Seberapa Efektif Training ESQ dan Sejenisnya?

Dan pelan-pelan lampu disegenap sudut ruangan diredupkan. Lalu lamat-lamat terdengar alunan musik yang menyentuh hati. Suasana sejenak kemudian menjadi senyap. Dalam desau keheningan, sang instruktur lalu melantunkan kalimat demi kalimat nan syahdu tentang kebesaran Sang Ilahi, sembari mengingatkan deretan dosa yang telah dilakukan kepada orang tua, kerabat dan sahabat.

Perlahan-lahan, isak tangis terdengar di segenap sudut ruang, dan kemudian puluhan atau bahkan ratusan peserta training itu tenggelam dalam raungan tangis, dalam sembilu kepedihan dan penyesalan atas segenap dosa yang telah mereka perbuat selama ini.

Itulah salah satu segmen yang akan kita temui jika kita mengikuti training ESQ atau training sejenisnya yang mengusung tema tentang spiritualitas dan etos kerja. Ribuan peserta – termasuk para pejabat BUMN dan pemerintah daerah – telah mengikuti training itu, dan ribuan orang itu selalu tenggelam dalam apa yang saya sebut sebagai momen pengakuan dosa massal dalam haru biru penuh tangisan penyesalan.

Pertanyaannya : kenapa beberapa bulan sesudah itu, para peserta kembali melakoni ritus lama, kembali melakukan suap menyuap, praktek kolusi, dan sejenisnya; dan juga kenapa kinerja perusahaan atau organisasi mereka tak kunjung meningkat secara dramatis. Tanya, kenapa?

Salah satu sebab yang paling fundamental adalah ini : para peserta atau organisasi penyelenggara training semacam ESQ itu malas melakukan pengukuran efektivitas training (pelatihan) secara tuntas dan sistematis.

Dan akibatnya adalah sebuah tragedi : segenap training yang telah menghabiskan anggaran milyaran rupiah itu hanya terpelanting menjadi “tangisan sesaat” saja. Hanya heboh saat training. Lalu setelah tiga – enam bulan, dilupakan begitu saja. Duh.

Harus diakui proses mengukur efektivitas training secara komprehensif memang bukan hal yang mudah. Namun itu bukan berarti kegiatan pengukuran ini tidak bisa dikerjakan dengan baik dan benar. Hanya sayangnya, masih banyak praktisi SDM yang alpa melakukannya dengan tuntas. Mereka lebih bersemangat saat melakukan proses analisa kebutuhan training. Mereka juga antusias ketika melakukan proses training – persis seperti yang mereka alami ketika tenggelam dalam “tangisan massal” a la training ESQ itu.

Namun sayangnya, antusiasme dan semangat itu seperti mendadak lenyap ketika sudah tiba pada fase pengukuran efektivitas training secara sistematis. Mereka mungkin mengira bahwa proses training sudah selesai sesaat setelah sang trainer menyudahi sesi mereka. Padahal sesi training itu sendiri sesungguhnya justru merupakan awal – bukan akhir – dari sebuah proses belajar yang berkelanjutan dan berjangka panjang.

Jadi, bagaimana mungkin gemuruh semangat training itu akan dapat memberikan impak yang signifikan, jika proses pengukuran efektivitasnya tak pernah dilakoni dengan penuh kesungguhan?

Problem seperti diatas mungkin akan segera dapat diatasi dengan hadirnya sebuah buku tentang proses pengukuran efektivitas training. Buku yang ditulis oleh Teguh Satriono dan Andree MKP ini, bertajuk “How To Measure 5 Levels of Training Evaluation” (meski judulnya memakai bahasa Inggris, namun seluruh isinya menggunakan bahasa Indonesia).

Dalam buku ini, secara runtut kedua penulis menyajikan lima tahapan pengukuran efektivitas training: mulai dari tahap pengukuran kepuasan peserta training, tahapan implementasi materi training hingga tahapan untuk mengukur dampak pelatihan terhadap kinerja bisnis perusahaan. (Penjelasan mengenai pengukuran efektivitas training pernah saya ulas secara rinci disini).

Melalui buku ini kita didorong untuk melakukan pengukuran secara sistematis atas dampak pelatihan terhadap kinerja individu dan organisasi. Dan disini sungguh diperlukan skema monitoring yang teratur dan konsisten untuk memastikan bahwa materi training benar-benar diaplikasikan dalam kenyataan sehari-hari. Sebab hanya dengan skema monitoring yang reguler inilah, sebuah sesi training bisa memberikan dampak yang optimal bagi peningkatan kinerja.

Secara spesifik, skema monitoring ini setidaknya mesti mencakup dua elemen kunci. Elemen yang pertama adalah adanya post-training action plan yang berisikan serangkaian rencana tindakan konkrit yang harus dilakukan oleh para peserta untuk mengaplikasikan materi training yang telah dipelajari. Didalamnya termuat secara rinci jenis tindakan apa yang akan dilakukan, kapan dilakukan dan target spesifik apa yang ingin diraih.

Elemen yang kedua adalah adanya sesi monitoring yang reguler dan dilakukan secara kontinyu, misal setiap 2 bulan sekali selama 24 bulan berturut-turut. Dalam sesi ini mesti hadir para peserta training, pihak atasan, dan juga fasilitator training. Melalui sesi-sesi inilah, pelaksanaan action-plan tadi dipantau dan diuji kemajuannya. Melalui serangkaian sesi ini pula, dibangun sebuah proses kunci : yakni bagaimana menginjeksikan kebiasaan dan perilaku baru sesuai dengan tujuan training.

Keseluruhan proses diatas memang panjang, dan melelahkan. Namun hanya melalui skema semacam inilah sebuah materi training akan terus mengendap dalam jejak sanubari para pesertanya.

Sebaliknya, tanpa sistem monitoring yang berjangka panjang dan sistematis, sebuah materi training – betapapun dahsyat isinya – hanya akan menguap dalam hitungan bulan…… gone with the wind. Dan air mata pengakuan dosa yang mengharu biru itu, percayalah, akan segera hilang tak berbekas, disapu oleh angin……..

Note : Jika Anda ingin mendapatkan file powerpoint slides mengenai cara mengukur efektivitas training, silakan datang KESINI.

Photo Credit by Mesq – under creative common license.

Author: Yodhia Antariksa

Yodhia Antariksa

47 thoughts on “Seberapa Efektif Training ESQ dan Sejenisnya?”

  1. Memang susah mengubah kebiasaan yang sudah berjalan mungkin puluhan tahun, atau bahkan sudah menjadi kultur dalam sebuah instansi. Saya sepakat dengan adanya sesi monitoring selama 24 bulan akan mampu membawa kebiasaan karyawan ke arah positif.

  2. yang perlu diperhatikan dalam training ESQ adalah niat dari peserta training itu sendiri, kalo ga ada niat untuk merubah diri dan mentalnya, ya itu tadi, training akan jadi sia-sia. Harus ada insight dulu.

  3. Bang Yod, memang benar, tiap kali selesai mengikuti training motivasi rasanya seperti full charged, semangat. tapi setelah beberapa lama, low batt lagi. cara yg bang Yod paparkan apakah efektif bila diterapkan untuk training-training motivasi, sejenis ESQ itu? bisa saja si trainee membuat rencana perbaikan (continuous improvement) utk dirinya sendiri, kemudian waktu difoll-up dia bilang udah dilakukan, padahal tidak? gimana bang?

  4. Pak Yodhia, artikelnya sangat menarik!

    Saya sendiri pernah mengikuti ESQ Training ini dan akhirnya kembali lagi pada diri kita bagaimana memaknai-nya. Tapi terlepas apakah training ESQ atau training yang lain itu berjalan efektif atau tidak setahu saya memang dapat diukur dengan metode evaluasi training.
    Pak Yodhia, kebetulan saya kemarin juga sudah membeli buku karangan pak Teguh & Andree yang kebetulan ada di rak Bestsellers (selamat untuk penulis) dan setelah saya baca isinya sangat membantu saya dalam mengevaluasi training.
    Semoga dengan adanya tools itu ESQ Training yang dideliver oleh banyak perusahaan dapat berjalan dengan efektif.

    -Dicky S-

  5. # Fahrizal, tentu dalam sesi monitoring itu kita mesti juga mengeksplorasi contoh atau bukti konkrit mengenai pelaksanaan action-plan. Explorasi ini bisa kita peroleh dengan bertanya pada bawahan atau rekan kerja ybs. Juga bisa diperoleh dari hasil pantauan atasannya.

    Dengan demikian, kita bisa memperoleh data yang valid mengenai sejauh mana kemajuan dan efektivitas pelaksanaan action plan tsb.

  6. Thanks Mas atas info bukunya. saat ini saya juga kebetulan lagi nyusun Model Return on Training Investment (ROTI). saya rasa kedepan semua model pelatihan akan bergantung pada hal ini, jadi prinsipnya bagaimana hasil dari pelatihan dapat diukur secara kuantitatif dan kualitatif. bagaimana dampak kinerja dapat diukur, dsb. ini mungkin hal baru di Indonesia.
    Beberapa literatur juga telah saya dapatkan namun lebih berbentuk report-report dan kurang lengkap. mudah-mudahan buku ini bisa membantu. Sekali lagi Terima kasih banyak Mas Yodhia atas infonya.

  7. memang pada akhirnya semua kembali ke niat dan hidayah yang diberikan, untuk efek nyatanya memang harus ada kelanjutannya, dan itu semua harus diupayakan sendiri, Training ESQ nggak pernah cukup untuk merubah segalanya, harus ada tindak lanjut dari tiap-tiap diri untuk terus mengembangkan dirinya..tetapi tidak bisa dipungkiri, bangsa ini masih membutuhkan sarana-sarana pertobatan seperti pada ESQ, yang kita sadari bersama, telah banyak mengubah beberapa orang, dari jalan kegelapan untuk kembali ke jalan yang terang-benderang..

  8. tulisan renyah dan enak dibaca selalu disuguhkan oleh mas yodh…;-)
    yang pasti dalam firman Tuhan “tidak akan berubah sebuah kaum, jika dia tidak berupaya untuk berubah”, dan salah satu jalannya adalah training..
    manajemen training yang berkelanjutan adalah harapan panjang utnuk sebuah perubahan…hasil dari sebuah pengalaman panjang yang tertuang dalam buku “How To Measure 5 Levels of Training Evaluation” patut untuk dijadikan rujukan, smoga sukses mas yodh dan penulis buku….eeet tdk lupa buat penggemar blog ini..smoga jga sukses ok!

  9. Berproses untuk terus lebih baik, serta mengambil banyak hikmah dari setiap yang ditemukan. Itu yang bisa saya dapatkan dari uraiannya tulisan ini. Agar kita tidak menua dengan rantai rutinitas, ilmu yang ada tapi open mind untuk siap berkembang dan berkwalitas.
    Tapi salut juga buat ESQ dan tim yang mampu menguatkan brandnya sebagai salah satu training yang sudah cukup dikenal, mampu mengekslorasi konsep dasar keislaman yang mudah diterima, tinggal penguatan serta terus melakukan penyempurnaan terhadap sisi-sisi lain yang terus dilakukan. Moga teman2 di ESQ bisa membaca dan menerima saran ini. seperti yang disampaikan oleh mas yodhia. Thank’s

  10. saya monitoring di indonesiabootcamp.com kader yang dihasilkan bener bener militan di online. Saya gak tahu apa yang di doktrinkan. Yang saya denger infonya… komandannya mantan demonstran yang memang juragan teknologi di Bali juga alumni ESQ. Mungkin sharingnya bisa berguna.

  11. Mengubah kebiasaan sangatlah sulit dan dibutuhkan “pengorbanan”
    ada pepatah mengatakan ” (LELE BULU” TE LELE A BIASANG)… Bulu (rambut) bisa berubah dari (hitam) menjadi (putih) tapi kebiasaan tidak berubah”…
    dibutuhkan masih banyak buku-buku bermutu karya anak bangsa..agar saling melengkapi demi kimajuan dan kemakmuran bersama..good luck..

  12. Menurut saya yang salah bukan trainingnya tetapi kepada manusianya apakah dia mau merubah sikap hidupnya menjadi ke arah yang lebih baik. Karena menurut saya sekalipun dibuat sebuah sistem monitoring yang canggih tapi kalau manusianya tidak mau melakukan perubahan yaa susah…Dari jaman para nabi juga megalami hal yang sama. banyak para manusia yang telah bertobat terus kembali lagi ke jalan sesat. Dengan begitu apakah Nabi/Rasul yang salah dalam memberikan “training” yang bahan materinya langsung dari ILAHI ?…

  13. # Rahadian….tentu faktor internal diri peserta punya pengaruh. Namun, proses monitoring yang melibatkan atasan dan fasilitator, dan dilakukan secara konsisten, memiliki PERAN yang amat signifikan untuk merubah perilaku.
    Beragam studi empirik menunjukkan reinforcement melalui monitoring yang sistematis menaikkan dampak positif training hingga pada angka 80 %. Sementara tanpa monitoring, dampak thdp perubahan perilaku hanya akan berkisar pada angka 20 – 30 %.

  14. semua kembali kepada insan yang mengikuti dan niat mengikuti, mungkin sesinya perlu ditambah dengan sesi menanamkan kepada alam bawah sadar kita bahwa setelah mengikuti training kita akan membuat perubahan sesuai niat ikhlas kita …..dan kembali kepada Allah,

  15. Shalom Aleichem … May peace be upon you all …

    Why make it so difficult? Just Do your own ESQ don’t follow others!

    It really is hilarious that so many people believe in “dumping” so many options into a training system that it “becomes clunky”, “burdensome”, “not used”, “not cost effective”, “doesn’t maximize resources”.

    Your training system or ESQ TRAINING doesn’t have to fly like Superman to be effective. Nor does it have to soar through the galaxy like the Millenium Falcon to have an impact on your employees and your ESQ training methodology.

    Although ESQ trainining presents a fantastic way for you to maximize your postive mind resources and streamline efficiencies … you need to be weary of just how much ” ESQ fever” we let control our mind & work life every time by saying HOW DOES IT WORK? or IT DOEST WORK AT ALL … If we have too much – we risk becoming a commodity of that business from ESQ training providers.

    We can’t have or rely on ESQ fever “ONLY” take over our jobs, but make the real ESQ as daily basis based on your specific characteristic as an extension of yourselves and a “tool” to help you accomplish your own goals and solve particular company problems thus we have to be careful not to accept easly ESQ proposal from outsiders since we are sure that we realize what beneaths under the proposal it self, YES, money … some of them “they need YOUR company money!” since on the other hand sometimes frankly speaking that they don’t know the reality of your current environment.

    On very simple terms, the most important factor to keep in mind when bringing up an ESQ training program is that it should be an extension of you your self – as the training administrator.

    First, it should make your job easier and your life easier. If it does this – you’re on the right track.

    Next, it should give you a much easier way to schedule, deliver and track your training… or better yet – a better way for training management.

    If it’s saving you time, keeping you more productive and allowing your trainees to train on their own time (so as not to interfere with their daily tasks)… then you are definately on the right track!

    Last, I would highly recommend a system that automates 90% of the administration of keeping up with delivery and progress AND (and this is very important btw…) you need a way to create engaging, a personal & touchy interactive courses that you can deliver to your trainees (while you sleep) automatically.

    If you can get your hands on “a system“ that:
    1. Makes your working life easier
    2. Makes your personal life easier
    3. Gives you a better way to manage your training
    4. Saves you time (and money)
    5. Keeps you very productive
    6. Keeps your employees productive
    7. Automates 90% of the administrative/tedious functions of training
    8. Gives you way to easily create engaging, personal & touchy interactive courses that stimulate learning

    Then I think your way ahead of the game!

    On the other side – there are still people and organizations that believe that in order to have a good result of ESQ at training your disposal – “it needs to be able to make the audience to cry and dance.” I don’t agree.

    Why make itso difficult? Keep it simple smile sweety … and you shouldn’t have any problems. Plus it’s much easier to make a case to management to procure a training system – with a list of 8 items (like above).

    If you have tons of money – then pick and choose what you want for your own ESQ training and build one from scratch.

    But, if you don’t have the money and are looking for a way to transform your ESQ training program more effective into something wonderful and exceptionally productive then please consider the real basic needs of your OWN wish NOT only looking at the other people’s pasture.

    Stay loose and focused!
    Be dare to say NO to cheapy ESQ or Be Square!

  16. Saya kebetulan sudah membaca “How to measure 5…” ini buku yang saya butuhkan selama ini. Apalagi saya seringkali terlibat dalam berbagai training baik itu berkaitan dengan sistem, know how atau pun perubahan perilaku. Saya kebetulan seorang lawyer, konsultan GCG, dan aktivis sosial. Jadi saya sangat berkonsentrasi terhadap perubahan sistem dan perilaku. Salah satu metodenya adalah melalui training, dan rasanya saya terlibat dalam berbagai proyek miliaran rupiah untuk perubahan sistem dan perilaku. Dan hasilnya…

    Namun saya keberatan dengan argumentasi anda untuk menyandarkan buku ini pada fenomena training ESQ. Saya adalah alumni training tersebut, dan sebelum mengikuti training tersebut, saya sudah direkomendasikan oleh berbagai temen (lintas agama, dan bahkan seorang yang ateis) untuk mengikuti training tersebut. Selain itu saya sebelum mengikuti training tersebut melakukan riset kecil melalui search engine ( saya pikir ini metodelogi riset yang sederhana namun paling transparan objektif, bila dibandingkan riset para peneliti profesional yang dapat dengan mudah mensetup penilitian berdasarkan data2 tak objektif), dan hasil riset tersebut terutama melalui bloger2 independen terdapat dua jenis penilaian yakni: CURIGA dan BAGUS. Yang curiga rata2 orang yang belum pernah ikut training, yang bagus rata2 orang yang telah mengikuti training.

    Lalu bagaimana signifikasinya terhadap perubahan perilaku? Saya tidak sedang berapologi, Saya mempunyai pengamatan terhadap “big ten BUMN”, dan saya pastikan semuanya pernah mengikuti training dan menerapkan sistem management kelas dunia, bahkan sering dibimbing dalam pengawasan mereka langsung ( hmmm economic hitman), dan hasilnya?

    Terlepas dari beberapa kekurangan yang manusiawi, training ESQ memang training paling hebat dibanding berbagai training yang pernah saya ikuti dan “selenggarakan”. Saya sungguh memiliki semacam fresh mind about management. Selain itu saya melihat sendiri keluarga besar saya mengalami perubahan kesadaran bahkan perilaku sosial dan profesional yang luar biasa. Saya dapat ceritakan pula, teman saya seorang hakim baru melewatkan begitu saja sogokan 500 juta didepan mata, padahal sebelumnya uang 500 ribu aja dia ambil. Dan saya sempat sedikit kontak dengan seorang penghuni Lapas Paledang Bogor bernama Djafar yang pernah memperkosa 10 perempuan, dan menyatakan tobat hanya karena mengikuti training ESQ SELAMA 2 HARI! Padahal sebelumnya dia pernah mengikuti training yang sistematis, dan berlangsung bertahun-tahun lamanya (tolong dibaca “Lembaga PEmasyarakatan”).

    Lalu bagaimana dengan efek signifikannya, saya dengar Training ESQ saat ini sudah dikembangkan menjadi beberapa tingkatan untuk menjawab tingkat signifikasi efek pada seseorang. Tapi diluar itu semua, please wake up mas….kita masih hidup di dunia variabel efek terhadap seseorang masih terlalu rumit untuk mas sederhanakan. Seseorang yang merupakan sahabat(murid) nabi bernama Yudas atau bahkan sebagian orang mengatakan merupakan murid langsung Tuhan Yesus masih saja berkhianat….

  17. Setuju…
    Setuju…

    Saya juga pernah mengikuti kegiatan training semisal ESQ. Namun keefektifan hasil training tersebut tidak lebih dari satu pekan saja.

  18. ass..
    saya alumni ESQ untuk remaja angkatan 34 jakarta,skarang duduk di kelas 3 sma,waktu itu saya ikut klas 3 smp..
    itulah mengapa alasan ESQ memberikan investasi untuk seumur hidup..
    kita bisa datang lagi di training ESQ gratis dimanapun kita berada..
    ibarat sebuah handphone dicharge, lama kelamaan baterainya pun akan berkurang/habis, maka dari itu, kita juga harus datang kembali ke training, untuk me recharge ilmu yg telah kita dapat..
    keimanan seseorang pun naik turun..
    kita belajar di sekolah, klo ga di ulang2 lagi materinya kita pasti bingung saat ngerjain soal ulangan, sama seperti pelatihan2/seminar,dikasi ilmu,ingat beberapa saat, tpi kalau diulang2 Insya Allah, ilmu itu akan ter aplikasi dalam hidup kita..

  19. Assalamualaikum

    Tulisan yang cukup bagus dari teman-teman.
    Menurut saya sebuah training memang perlu follow up baik dari individu peserta maupun lingkungan (institusi).
    Bagi individu yang pernah training ESQ kalau mau berubah memang harus banyak berinteraksi dengan lingkungan yang positif, bisa sering datang recharge di training maupun aktif dalam FKA (Forum Komunikasi Alumni). Kadang memang qt gampang terpengaruh lingkungan, nah bila lingkungan qt positif tentunya qt berubah menjadi lebih baik.
    Kalau qt ikut training karena insitusi, memang sebaiknya ada monitoring dari institusi untuk merecharge hasil training, baik melalui forum diskusi formal maupun non formal. Alhamdulillah, saya pernah bertemu dg pengusaha kayu di sumatra utara, yang produktivitasnya tidak pernah bangkit. Setelah ikut training ESQ, dia terapkan ke seluruh karyawan dan dia memodifikasi model training ESQ khusus untuk karyawannya dan hasilnya sangat bagus. Produktivitasnya yang selama ini rendah bisa ditingkatkan diatas estimasi. Mungkin yang pernah membaca buku ESQ POWER, kasus ini menjadi kajian dalam buku tersebut.
    Akhirnya memang semua kembali pada qt, apakah training ini sebagai tool untuk perubahan atau hanya sekedar ikut trend ataupun alasan lain.
    Bila qt mendapatkan pencerahan dan pengin nur/ cahaya itu selalu ada dalam hati qt, maka qt wajib menjaga cahaya hati tersebut dari tiupan angin dan gelombang apapun yang qt hadapi. Dan sekali qt biarkan tiupan angin itu memadamkan cahaya tadi, maka qt akan sulit untuk menyalakan ‘cahaya’ dalam diri qt, maka wajib menjaga ‘cahaya’ tersebut dan biarkan cahaya tersebut membesar dan menyinari kegelapan dimanapun qt berada
    Mudah-mudahan bermanfaat, maaf bila kurang berkenan.

  20. asslm…
    tulisan yang sangat bagus,
    saya setuju bahwa sebuah pelatihan memang sangat memerlukan evaluasi dan follow up agar ke-efektifannya dapat terukur. Seperti sebuah bongkahan es yang ingin kita ukir menjadi hiasan pesta pun tidak bisa hanya dengan sekali sentuhan, harus memiliki teknik dan berulang-ulang. begitupun dengan sebuah training ESQ yang lebih cenderung kepada kecerdasan emosional dan spiritual dimana hal tersebut merujuk kepada hati dan mindset seseorang dalam memandang hidupnya. ya, hal itu pasti tidak mudah dan perlu sentuhan berulang kali agar terbentuk dengan cantik. Lingkungan pun akan menjadi pengaruh yang paling mendominasi terhadap perubahan.oleh karena itu, menurut saya Training ESQ perlu dilakukan rutin dan pengkondisian lingkungan kerja yang akan membantu dalam sebuah perubahan. Untuk menciptakan organisasi belajar bukan hanya dari sisi internal namun eksternal pun juga harus dipertimbangkan. karena sebuah perubahan tidak akan berjalan hanya dengan satu orang, perlu kontribusi besar dari semua pihak.
    ESQ bukanlah satu-satunya solusi, tapi ESQ adalah satu-satunya yang mampu menyentuh seseorang dengan “hati”, karena hati adalah sumber kehidupan seseorang, baik hatinya maka baiklah segala perangainya. tinggal penataan ulang dan penjagaan dari lingkungan dan kerjasama untuk menjadi sesuatu yang lebih baik.
    okeh! semangat untuk kita yang selalu ingin perubahan baik didiri kita maupun lingkungan kita!^_^

  21. wah, kayaknya bapak udah ketinggalan ya.. di ESQ sendiri udah ada metode pengukurannya yang intinya pada productivity impact ke perusahaan, kalo di ESQ ada di divisi khusus perihal hal tersebut yaitu Arga Pilar assesment, sementara ini pengukuran hanya dilakukan pada training yang bersifat corporasi atau in house training

  22. Assalamualaikum all….

    Salam buat seluruh alumni ESQ…..
    Komentarnya bagus2, sebagai gambaran di ESQ gak ada yg namanya DOKTRIN, masalah berubah itu tergantung pada personnya, karena habit nya setelah sekian tahun, kan gak mungkin berobah cuma 1 sampai 3 hari training, tapi alhamdulillah yg berubah 180%, sangat2 banyak

    ESQ LC kepentingannya cuma 1, bagaimana bisa membawa Rakyat Indonesia bermartabat dimata Allah, tanpa memandang suku, agama dll, gak lebih, dan ESQ cuma salah satu sarana dan begitu banyak sarana2 yg lain.

    Sangat disayangkan memang bagi yg telah ikut training ESQ, tapi gak mendapat apa2, waktu, tenaga, materi dll jadi mubazir, karena sampai saat ini belum semua org bisa ikut dan mempunyai kesempatan.

    Jadi beruntunglah org yg men-sucikan hatinya, dan merugilah bagi yg mengotorinya, wasalam mohon maaf

  23. Kenapa harus membandingkan dengan ESQ training mas? bukankah training lain yang bahkan diukur sampai berbulan-bulan juga hasilnya hanya efektif sesaat. Saya dan beberapa teman pernah menjalani training di kuala lumpur dan 3 bulan kemudian dilanjutkan di bogor. Proses dan Progressnya juga diukur. Motivasi ditumbuhkan. Baik hasilnya pada saat pengukuran tapi tak berlanjut setelah 6 bulan atau 1 tahun setelahnya. Saya kira training yang paling prinsip adalah kemampuan mengawasi diri sendiri, memompa motivasi dan menciptakannnya menjadi bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Saya malah sering melihat training dengan hasil ukuran untuk capaiannya terbatas mas.
    Jadi tak usah sebutlah ESQ sebagai contoh pengantar mas. Justru kesan yang tertangkap mas Yodhia begitu anti dengan ESQ training. Walau begitu mudah2an kesan saya ini salah mas.(Note : Saya tak pernah ikut ESQ training mas, tapi saya pernah baca beberapa materinya dan tanggapan serta perubahan2 positif bahkan dalam jangka panjangnya)

  24. Artikel ini sangat menarik dan saya sangat setuju dengan pendapat penulis. Saat ini mengikuti ESQ jd trend dikalangan kelas menengah atas, dikelompok pengajian ibu2 berlomba2 ikut ESQ, mereka sangat bangga, dan baru ingat dosa2, baru ingat telah lalai akan kewajibannya menjalankan shalat. Tapi kemudian sangat bangga lagi karena telah mengikuti trainning dengan biaya yg sangat mahal. Apakah karena mahalnya itu maka orang2 baru sadar akan dosa2nya……….???????????? Apakah menagis secara masal dan ditambah alunan musik yg mengharu biru baru ingat dosa…….??????Cobalah mengaji dan shalat tahajjud, berdoa dan minta ampunan …… pasti kita jg menangis…betapa kecilnya kita ini dan betapa banyak dosa2 yg pernah kita lakukan. ga perlu trainning ESQ dulu kan…..?

  25. dimensi spiritual memang menarik untuk didiskusikan, diseminasikan, dan ditarik ke dalam ranah development atau training. saya melihat banyak training2 yang menyentuh wacana spiritual namun pada implementasinya masuk ke ranah emosional terutama dalam metodanya. Jadi seharusnya yang harus banyak dilatihkan adalah spiritualitas bukan rasa spiritual itu sendiri. lebih jelas tentang hal ini anda bisa membaca buku berjudul ‘spiritual salah kaprah’ oleh abu sangkan. memang tidak ada cara yang instan & metoda yang baku dalam melatih otot mental spiritualitas kita akan tetapi kalau kita tertarik untuk mengembangkan dimensi spiritual dari diri kita, maka satu-satunya cara adalah melibatkan diri dengan tugas-tugas manajerial Tuhan seperti menyantuni kaum miskin, pelayanan masyarakat,memelihara anak yatim, membantu yang tersakiti dll. maka pada saat yang sama anda akan memiliki potensi yang besar untuk melatih sisi spiritual dari diri kita

  26. Ada benarnya juga yang Anda katakan,
    Saya alumni ESQ Teens Basic Training dan ESQ MCB Teens,
    Saya beberapa kali menjadi ATS,
    Salah satunya inhouse di sekolah saya,
    Adik-adik kelas saya yang ikut training bisa dibilang tidak ada yang mengalami perubahan, walaupun ada tapi hanya beberapa,,,
    Menurut saya, evaluasi pasca training mamang perlu dilakukan, namun tindakan ini juga harus disadari oleh trainee tersebut, apabila ia ikhlas dan mau berusaha unuk menghijrahkan dirinya, insyaallah training yang didapatkan tidak akan percuma

  27. hmm.. sebenarnya bukan hanya training ESQ saja yg harusnya dibahas.. menurut saya sebenarnya ini tergantung dan berpulang kepada peserta itu sendiri. Training ESQ hanya menyajikan belasan Modul dalam 2 atau 3 hari training. Jangankan training ESQ, ibadah haji saja yg merupakan puncak training juga seringkali tidak memberi dampak positif bagi pesertanya kecuali embel2 haji dan hajjah di depan namanya.

    kalau tidak salah dalam training ESQ juga ada sesi yg membahas kenapa training SDM umumnya tidak meninggalkan bekas ( kalau anda Alumni ESQ pasti anda tahu ) ini dibahas dalam modul Character Building di hari ke 3.

    Training ESQ sesungguhnya ( seperti yg selalu diucapkan trainer di hari terakhir ) adalah training sepulang dari ruangan hotel, dengan trainer Allah SWT langsung 😀

  28. wah ko kyknya cm tertuju dan terfokus ma training esq aj si? kl perubahan karakter ato kebiasaan kan tergantung individu masing2 tp kl mnrt saya si metode yg di pake oleh esq dah ckp bgs ko! training tsb kan tujuannya mengajak masyarakat bwt inget ma dosa2 mrka jd kl mmg ternyata mereka stlh mengikuti training tsb blk ke kebiasaan awal jangan salahin training ato trainernya dun yg salah kan orangnya!

  29. Kan sudah disampaikan di training, “bukan matamu yg buta, tapi hati di dalam dada”.
    Mau training apapun, kalau hati sudah buta, cahaya hidayah yang sudah ditampakkan melalui training tidak akan masuk ke dalam hati.

    Ikrar syahadat memang harus dari hati bukan hanya diucapkan dimulut.

    Salam 165

  30. Esq adalah suatu awal, bukan akhir (benar sekali). Proses menemukan kembali Allah yang pernah hilang atau terlupakan oleh kita sebagai hambaNya. Begitu kita sudah menemukan kembali Allah dalam kehidupan kita atau sudah mengenal kembali Allah, akan timbul kecintaan kita terhadap Allah, dimana kita akan selalu berusaha membersihkan hati sebagai wujud cinta kita kepada Allah. Dan beramal saleh sebagai buah dari hati kita yang bersih dari noda dan dosa.

  31. Sekedar menangkap kesan dr 33 posting,problem pengukuran hasil taining :
    1. Yang salah bukan ESQ atau training lainnya (pulang Haji sj bisa lowbat lg )
    2. Kembali kepada individu dan niat masing2.
    3. Implementasi spiritual harus konkrit ,santuni anak yatim dsb.
    …Sekedar komen diatas:
    1. Tidak semua orang suka soto ayam
    2. Dari awal emang gak suka/niat soto ayam,kok dibayarin makan soto ayam ,massal lagi?.kenyang nggak muntah iya.
    3. Setelah makan soto ayam apakah libido naik?stamina ber OR tinggi?
    jawabannya “tergantung….pd individu lg,(no 1).
    Syukron.

  32. Aku coba nerapkan apa yang ada di ESQ…saya kerja bukan karena saya pengen cepet naik pangkat atau kelas…tapi lebih dari itu, saya kerja karena ada tujuan yang lebih mulia, karena Allah memang suka orang yang bersungguh-sungguh…jadi saya kerja keras tidak peduli apakah atasan lihat atau tidak….hasilnya sungguh di luar dugaan…saya naik pangkat dan dapat posisi dalam waktu 1 tahun saja, yang biasanya paling cepat 3 tahun baru naik pangkat…Alhamdulillah, memang Allah maha adil..

    Wassalamualaikum

  33. Salam 165 Mas Yodhia :

    Mas Yodhi, Training ESQ memang hebat, supaya jadi tambah mudah dipahami oleh alumni dan orang lain, saya berharap anda ikut training dan mendalami ESQ 165, saya kira dengan ilmu dan pengetahuan yang anda miliki dibidang ini maka Visi dan Misi ESQ dapat lebih cepat terwujud.

    Sebenarnya inti dari training ESQ itu Simple seperti Halal/Kebaikan dan Haram/keburukan sama dengan tujuan training2 lainnya, cuman untuk menyampaikan apa itu haram dan halal iu saya kira perlu cara/metode yang lebih kreatif yang bisa diterima oleh semua kalangan, dan kiranya salah satunya yang di gagas oleh Pak Ary dengan ESQ nya.

    Apa yang dibicarakan oleh saudara2 saya di atas sebenarnya sudah dipikirkan oleh Pak Ary, dan dibukukan dalam buku “ESQ Power”, disana beliau dengan panjang lebar dan contoh konkrit tentang internalisasi nilai2 ESQ.

    Selamat Membaca . Salam 165.

  34. yaaaaaaahhhh,,kalo diliat dari segi itu ya, kayaknya ESQ gak bakal ada benarnya. Kalo misalnya, abis sesi training itu, udah gak berbekas (efeknya cuma sekejab) ya tuh tergantung orangnya ya!!!
    gak bisa dunk, nyalahin gitu ajah.
    Toh, mereka yang dari ESQ udah berusaha buat ngemas acara sedemikian rupa.
    Tergantung dari kita, gimana cara mempertahankan hidayah yang udah masuk ke celah hati kita!
    kan udah dijelasin secara gamblang tuh, di ESQ, entah dicontohkan dari segi kebudayaan negara lain ato apa, yang intinya “menghimbau” kepada kita, buat terus memperjuangkan hal2 yang udah dijadikan training di eSQ..
    Tergantung kita, gimana caranya memanfaatkan ilmu tsb!
    Anda udah pernah ikutan ESQ kan?? YAhh, kalo udah pernah, coba diliat lagi..diingat2 lagi…
    ESQ team udah berusaha sedemikian rupa, buat menyadarkan dan membangun kecerdasan emosi dan spiritual kita, masa kita masih mau “mencari2 kesalahan” mereka….!
    Lagipula tugas mereka tidak hanya untuk mengurusi kita.
    Masih banyak saudara2 kita!

  35. maaf sebelumnya!!
    tapi saya agak sedikit kecewa membaca artikel yang anda tulis.
    Saya tahu, itu argumen anda…
    Tapi…..!!
    tidakkah anda bisa, untuk sedikit banyak menghargai usaha yang para ESQ team lakukan untuk keberhasilan acara dan efek selanjutnya!!
    Saya rasa ESQ sudah bagus!
    sangat bagus….
    jadi mungkin letak kesalahan bukan pada ESQ, tapi pada orang yang bewlum mengerti apa itu ESQ!~!!!!!!!!!!

  36. saya juga alumni ESQ bahkan mengikuti intermediete classnya yaitu mission & character building. saya juga pengurus FOSMA (forum silaturahmi Mahasiswa alumni ESQ)
    sebenernya sudah ada monitoring dan re evaluasinya yaitu dengan beberapa program antara lain :

    * Program alumni
    disini peserta bisa datang lagi ke training yang pernah diikuti secara gratis
    * Renungan 165, disini diadakan untuk merecharge baterei spiritualitas kita..mengingatkan kita kembali akan keadaan kita setelah training

    * ATS (advance Training servis)
    dibuka untuk umum. program ini adalah rekrutmen panitia training ESQ. kita bisa belajar teamwork dan mengamalkan nilai2 yang kita dapat dari Training ESQ dan Ilmu lain.

    * Forum2 alumni
    – FKA (Forum komunikasi alumni)untuk umum usia > 30 thn
    – FOSMA (forum silaturahmi mahasiswa Alumni)untuk mahasiswa
    – SHOT ( silaturahmi Of Teens)untuk remaja
    – GEMA ( GErakan pemuda Alumni ESQ)untuk pemuda usia 25-30 tahun

    * Kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh ESQ LC cabang dan pusat seperti Training ESQ peduli, buka puasa bersama dll

    * After training service khusus in house training

    apakah itu bukan termasuk monitoring pasca training??
    kalau kesalahan pastiu ada namun kontrol diri setelah secara kontinyu mengikuti berbagai program tersebut amatlah bermakna dalam mengurangi penyimpangan-penyimpangan terhadap nilai spiritualitas..menyangkut referensi yang bapak ajukan saya haturkan terima kasih. itu bisa saya sampaikan kepihak Kantor cabang dikota saya sebagai bahan evaluasi.

    tapi permasalahannya adalah banyak alumni yang belum memanfaatkan fasilitas tersebut untuk memonitoring sendiri keadaan dirinya..
    dan tidak dapat dipungkiri lagi banyak juga kantor-kantor cabang ESQ yang belum melaksanakan program ini dengan baik. itu sudah banyak dikeluhkan oleh alumni dicabang-cabang tersebut

    kalau penulis berkenan cobalah buat penelitian yang ilmiah tentang ini..
    dengan metode yang tepat tentunya (anda yang lebih paham).. pilihlah cluster random sampling dari peserta yang mengikuti program-program diatas dengan yang tidak, kemudian bandingkan hasilnya..

    lalu bandingkan dengan training2 lain bahkan dengan pendidikan formal seperti pesantren. maaf bukan untuk mendiskreditkan tapi sekedar perbandingan..alumni pesantren yang tahunan saja banyak yang hilang kontrol setelah lulus.. apalagi trainig ESQ..
    atau kalo mau terkesan lebih netral, alumni universitas. berapa banyak alumni kampus ternama setelah lulus hanya jadi sampah masyarakat saja??
    yang salah kampusnya atau mahasiswanya??
    tentu penulis yang (kelihatannya) dari kalangan intelek bisa memahami
    besar harapan saya penulis mau menanggapi komment dari saya untuk feedback sehingga proses pembelajaran bisa berjalan di forum kecil ini…

    atau memang penulis sudah sentimen atau apatis terhadap training ESQ da sejenisnya??
    who knows??

  37. ESQ Training dan Spirit Neoliberalisme
    Oleh: Firdaus Putra A.

    Seperti kalian, saya pernah mengikuti training ESQ. Saya angkatan ke-14. Bedanya, kalau tak salah, kalian membayar Rp. 320.000 sedang saya Rp. 1000.000 untuk kelas dosen dan guru. Syukurnya, saya digratiskan oleh pihak ESQ Purwokerto. Saat itu, hanya saya sendiri peserta training yang berstatus mahasiswa.

    Saya pikir tak ada perbedaan materi yang saya peroleh dengan materi training kalian. Tekniknya pun sama. Kalian masih ingat, LCD layar lebar, ruang yang dingin dan temaram, juga sound system yang menggelegar itu, masih ingat kan? Suasana seperti itu juga yang ditangkap oleh Daromir Rudnyckyj, antropolog dari University of Victoria. Dalam artikelnya dia melukiskan, “The sound in the hall was sometimes elevated to ear-splitting volume and the lights in the room were manipulated to maximize the dramatic effects of the points made. Further, the air conditioning was turned to its lowest setting”.

    Saya rasa kalian juga masih ingat dengan “Selamat Pagi!”, atau “Bersenang-senang…”, “Satria ESQ”, dan banyak salam/ jargon lainnya. Nah, pada kesempatan kali ini saya ingin mengajak kalian “bersenang-senang” dalam tamasya pemikiran.

    Oh iya, kalian merasa asing kah dengan judul di atas? Judul itu tersusun dari dua frasa utama, “ESQ Training” dan “Spirit Neoliberalisme”. “ESQ Training” saya yakin kalian sudah paham. Lantas apa itu “Spirit Neoliberalisme”? Kata “neoliberalisme” beberapa bulan terakhir sangat booming di media. Oke, saya ingatkan sedikit, saat SBY menggandeng Budiono isu neoliberalisme santer dituduhkan pada Budiono.

    Sederhananya, neoliberalisme bisa disamakan dengan perdagangan bebas. Ketentuannya, tarif (bea-cukai) nol persen. Pertukaran barang-jasa-modal terjadi lintas negara dengan sedikit/ bahkan tanpa kontrol negara. Selain itu, ada juga kebijakan neoliberal, misalnya menghapuskan subsidi BBM, tarif dasar listrik, kesehatan, dan pendidikan. Juga ditandai dengan adanya privatisasi (swastanisasi) berbagai bidang yang termasuk “hajat hidup orang banyak” seperti air, listrik, telepon, minyak bumi dan sebagainya. Lantas kenapa “neoliberalisme” begitu buruk citranya? Karena, neoliberalisme pada dasarnya hanya menguntungkan negara-negara maju, di sisi lain membuat negara berkembang menjadi semakin miskin. Itu sederhananya, kalau kalian ingin lebih, silahkan googling saja “neoliberalisme”.

    Kemudian apa hubungannya training ESQ dengan spirit neoliberalisme? Saya akan kutipkan sambutan Ary Ginanjar saat training ESQ pada Mei 2004 di Krakatau Steel (KS), “Ladies and gentlemen … our faith in Allah is the key to all the problems that we face in this global era! This era has brought the elimination of import tariffs on steel. For humans it is darkness, but for Allah it is light. Because the elimination of tariffs is a blessing from Allah! The reduction of import tariffs to zero per cent is a blessing from Allah!” Untuk mempermudah pembacaan, coba kalian ganti “the elimination/reduction of import tariffs” dengan “pasar bebas”, maka pada kalimat terakhir, “… Pasar bebas merupakan berkah dari Allah!”.

    Melalui ESQ training, karyawan Krakatau Steel diyakinkan bahwa pasar bebas—yang kemudian memprivatisasi KS—merupakan berkah dari Tuhan. Oleh karenanya, karyawan harus menerima itu sebagai tantangan. Meskipun, faktanya pasar bebas dengan berbagai privatisasinya justru mengancam kesejahteraan pekerja, sebut saja sistem tenaga lepas (outsourcing). Kerelaan karyawan menerima sistem pasar bebas, privatisasi dan tenaga lepas itu selanjutnya dianggap/ diklaim sebagai bentuk “other-worldly salvation”, sebuah bentuk “keselamatan bagi dunia lain” yakni akhirat.

    Kemudian, karyawan diarahkan bahwa kerja di KS sama dengan kerja untuk Tuhan, “…they work for God”, itu kata Rinaldi yang adalah saudara Ary Ginanjar. Sehingga, seorang karyawan harus bekerja dengan giat, disiplin, tepat waktu, bertanggungjawab, dan tidak korupsi karena pada dasarnya ia sedang beribadah kepada-Nya. Poinnya, dengan ESQ karyawan dibentuk agar berperilaku dan bekerja dengan baik, demi perusahaan/ Tuhan.

    Mari saya ajak kalian “bersenang-senang” lagi dengan otak-atik kata. Apakah sama maksud antara dua frasa ini, “bekerja dengan baik” dan “bekerja baik”? Menurut saya berbeda, entah menurut kalian. Yang pertama berarti bahwa sebagai karyawan, mahasiswa, pelajar, atau pegawai pemerintah kita semua dituntut untuk bekerja sesuai aturan yang ada. Lebih lengkapnya, kita dituntut untuk bekerja dengan sebaik-baiknya dengan cara mematuhi aturan/ perintah yang ditetapkan. Sedangkan yang kedua, kita dihadapkan pada keadaan dimana ada kebaikan dalam sebuah pekerjaan. Artinya ada nilai yang perlu kita pertimbangkan terlebih dulu sebelum melakukan sesuatu (penj. kerja).

    Pada yang pertama, saya kira robot—maaf kalau terlalu kasar—lebih mungkin bekerja dengan baik daripada manusia. Lihat saja, robot tidak perlu bertanya atau mempertanyakan mengapa ia harus bekerja pada sistem tenaga lepas, PHK buruh, gaji rendah dan lain sebagainya. Ia cukup bekerja dengan baik sesuai perintah/ aturan yang ada. Sedangkan yang kedua, hanya ditemukan pada manusia dimana ia bisa berpikir sebelum bekerja apakah hal itu, misalnya, sistem tenaga lepas, PHK buruh, gaji rendah itu baik atau tidak?

    Nah, dengan mendasarkan bahwa kalian belajar untuk Allah atau bekerja untuk Allah, maka kalian cukup mengikuti berbagai aturan/ norma/ perintah yang ada. Sekali-kali, karena “our faith in Allah is the key to all the problems” tidak perlulah kalian bertanya mengapa aturan atau sistem itu muncul dan diberlakukan. Kalian, dalam bahasa kasar saya, cukup “do the order!” (kerjakan perintahnya!).

    Saya ingin mengajak kalian “bersenang-senang” sekali lagi. Dulu pada abad 16 ada gerakan “etika Protestan”. Saya terangkan sedikit, etika Protestan merupakan sebuah perilaku praktis/metodis seperti disiplin waktu, gemar menabung, sederhana, dan bekerja giat. Basis asumsi gerakan itu bahwa manusia yang dipilih oleh Tuhan, adalah manusia yang sejahtera di dunia. Sehingga masyarakat Protestan kala itu menerapkan sungguh-sungguh beberapa etika di atas. Dampaknya, karena masyarakat giat bekerja dan gemar menabung serta hidup sederhana, timbulah akumulasi modal (capital). Dalam risetnya kemudian Weber menyimpulkan bahwa etika Protestan berhubungan dengan spirit kapitalisme. Hasil riset itu dibukukan dengan judul “The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism” yang juga sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia.

    Dalam artikelnya, Daromir membedakan antara etika Protestan dan spirit kapitalisme dengan ESQ dan spirit neoliberalisme. Perbedaanya kata dia, “This relationship (penj. Etika protestan dan spirit kapitalisme) was contingent and unintentional. In contrast, spiritual reformers in contemporary Indonesia (penj. ESQ training) make the link between corporate success and religious piety in the present. This relationship is not contingent, but by design”. Maksudnya, hubungan antara etika protestan dengan spirit kapitalisme merupakan sebuah dampak yang tidak disengaja (contingent and unintentional). Sebaliknya, hubungan antara ESQ dengan spirit neoliberalisme merupakan sesuatu yang didesain secara sengaja.

    Sebelum kalian masuk ke UNSOED, saya pernah berdebat panjang lebar dengan alumni ESQ. Ada 5-6 tulisan tentang analisis saya terhadap ESQ yang bisa kalian baca di http://www.firdausputra.co.cc. Saya juga menyoroti masalah mahalnya harga training itu. Bayangkan Rp. 320.000 kali mahasiswa baru UNSOED sebanyak 5000 orang, maka akan diperoleh Rp. 1.600.000.000 (Satu milyar enam ratus juta rupiah). Angka yang fantastik, bukan?

    Dari tamasya pemikiran di atas, saya termasuk orang yang tidak terlalu berharap dengan training ESQ. Tenang saja, kalian tidak perlu takut karena telanjur mengikutinya. Melalui poling (terbatas) yang sempat saya lakukan, banyak mahasiswa yang mengatakan bahwa efek training itu hanya bertahan tujuh hari dan paling lama satu bulan. Hanya ada beberapa mahasiswa saja mengatakan efek training itu masih terasa sampai sekarang. Sekarang, mari kita buktikan, selama dan sejauh apa efek training itu bagi kalian. Maaf, kalau tamasya ini justru menganggu keyakinan kalian dan tidak menyenangkan lagi. []

    * Rencana akan dicetak dan dipublikasikan di buletin WE-Press untuk mahasiswa 2009.

    Referensi:

    Daromir Rudnyckyj. 2009. “Spiritual Economies: Islam and Neoliberalism in Contemporery Indonesia” pada jurnal Cultural Anthropology. The American Anthropological Association.

    ____________. 2009. “Market Islam in Indonesia” pada jurnal Journal of the Royal Anthropological Institute. Royal Anthropological Institute.

    Max Weber, 2002. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Diterjemahkan oleh Yusup Priasudiarja dengan judul asli The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism. Pustaka Promethea.

  38. Artikel Doramir itu sangat menyesatkan………….., kenapa?
    Dia itu 1 tahun di Cilegon dan dibantu oleh Krakatau Steel untuk melakukan studi banding tentang budaya Banten……., didalam aktivitasnya sebagai seorang “KAFIR”/tdk ada agama, dia diperbolehkan oleh pak Ary G untuk diwawancarai dan tertarik mengikuti training ESQ di Krakatau Steel ( ikutnya jg setengah2) kok sudah komentar begitu panjang?………., Bila ada rasa kecemburuan terhadap ESQ…mohon direnungkan…, khuusus mas firdaus putra…, cobalah perbaiki prinsip kehidupan yang positif…, anda tahulah apa yg saya maksud………

  39. Hai bung Yudhia, saya coba serius lihat tulisan kamu, eh ujung-ujungnya kamu promosi (alias jualan), hahaha, kalau mau jualan ya jualan aje, jangan jelek-jelikin orang, gimana sih, yakinlah kalau kamu ikhlas Allah akan berikan zam-zam, hasil kepadamu, tapi gimana, ada orang yg tulus dan punya visi yang jelas untuk bangsa, kamu sewot, woi hari gini masih mempermasalahkan ESQ bapak Ary Ginanjar, noh, sudah basi, kamu telat sih hehehe, kalau kamu lakukan 8 tahun yg lalu ya, mungkin2 aja, tapi Allah yg Maha tahu siapa yang punya niat yang baik untuk bangsa ini, coba merenung dulu bung Yudhi, malam-malam tanya dalam hatimu dan engkau akan menemukan jawabannya, good luck.

  40. Training ESQ adalah moment seseorang untuk muhasabah diri melalui pendekatan imaniah. Apa yang dilakukan managemen ESQ sudah baik dan perlu dipertahankan dan ditingkatkan. Saya sendiri adalah alumni ESQ yang merasakan bagaimana training membuka hati nurani untuk jujur menyadari, mengakui dan akhirnya menyesali semua kesalahan dan dosa yang telah diperbuat. Dan itu adalah bagian dari pintu taubat. Memang benar training selama 2 hari belum cukup, maka alumni harus menjaga nilai-nilai ESQ tersebut dengan menindaklanjuti melalui berbagai kajian atau training lanjutan. Harus kita berikan apresisasi yang tinggi kepada manajemen ESQ yang sudah berijtihad memberikan pemahaman kepada nilai-nilai agama (ISlam) kepada masyarakat melalui training tersebut. Semoga apa yang dilakukan oleh manajemen ESQ mendapat pahala yang layak dari Allah SWT. Salam untuk alumni ESQ Lampung.

  41. ah, gancil jawabannya… karakter manusia dibentuk dengan intensitas bertahun-tahun. kalau ada orang yang senang mengambil yang bukan haknya, itu juga terbentuk sejak muda bertahun-tahun, tiap hari, dari mereka bangun, tidur lagi, sampai kemimpi-mimpinya. Training 2-3 hari apa jadi solusi? tidak, karena intensitasnya walau besar tapi tidak akan sedahsyat intensitas yang terbangun sepanjang hidup tadi.

    Apa solusinya? intensitas yang setara. Pelatihan ESQ sangat baik untuk awal pembuka. Tapi lalu dilanjutkan. diintenskan. bisa dengan rutin menyelami ESQ, temu alumni, atau paling sederhana dengan buku dan kaset. baca bukunya tiap hari, resapkan. kalau ada kasetnya, putar di mobil pas ke kantor atau pulang kantor, dengarkan tiap hari, seperti proses NLP nanti pasti akan menembus alam bawah sadar kita dan tertanam dalam karakter kita. kuncinya adalah intensitas. karakter manusia adalah intensitas, apa yang mereka tanam dan lakukan sehari-hari. salam.

  42. Saya mau memperbarui komentar lagi nih 😀

    sebelumnya saya komen di artikel ini pada komen #30

    Setelah saya membaca ulang dan melihat kembali fenomena yang mas Yodhia tuliskan disini, sekarang saya bisa menerima dengan pikiran terbuka apa yang mas yodhia sampaikan.

    Memang benar, setelah mengikuti training ESQ, bahkan sampai training lanjutannya, MCB.. saya justru menemukan fenomena yang saya sebut sebagai efek imunitas. Dimana ketika kita sudah mengikuti training ini dan seperti mas yodhia sebutkan sebagai “momen pengakuan dosa massal dalam haru biru penuh tangisan penyesalan”, meskipun Alumni ESQ diberikan fasilitas gratis untuk kembali masuk ruangan training, efeknya makin menurun dibanding waktu ikut pertama kali bahkan sampai akhirnya kita imun atau kebal dengan metode “pengakuan dosa” tsb.

    Faktanya hanya beberapa orang dari alumni ESQ yang konon sudah mencapai 1 juta lebih itu yang maju kembali men”charge” materi training.

    Well, buat yang nggak setuju dengan mas Yodhia, coba deh pahami lagi apa yg dimaksudkan dalam tulisan ini. Bukan Training ESQnya yg tidak bagus, tapi “seberapa efektif” materi training ini mampu mengubah perilaku dari alumninya 🙂

  43. kalau menurut saya, efektif atau tidaknya tergantung dari perusahaan tsb.

    Jadi walau menggunakan lembaga training terbaikpun sudah dilakukan, tapi culture company dan juga keinginan dari pihak management tidak memberikan suasana yang kondusif, cepat atau lambat, akan kembali lagi ke kondisi semula.

    Karena selama ini juga ada pemahaman yang kurang tepat, bahwa dengan mengadakan training, berapa banyak yang tidak memberikan impact yang tidak seperti yang diharapkan?

    Karena orang perorang, itu tidak akan berdiri sendiri, mereka merupakan kumpulan orang2 yang akan memberikan reaksi terhadap suatu kondisi dari lingkungan itu sendiri?

    sehingga sebenarnya dari pihak company, harus memahami dulu, apa sesungguhnya permasalahan dari perusahan tsb?

    dari situ baru diketahui sebenarnya treatment apa yang tepat, yang harus dilakukan?

    bisa karena staff atau lingukungan dan top management itu sendiri?

Comments are closed.