Diskriminasi Diperlukan dalam Talent Management

Perbincangan mengenai pengembangan mutu SDM kini tengah disemarakkan dengan gagasan mengenai talent management. Esensi dasar dari gagasan ini adalah bagiamana sebuah organisasi mesti mampu secara konstan merekrut, mengembangkan, dan kemudian mempertahankan barisan SDM yang bertalenta tinggi serta berkinerja unggul.

Barisan SDM dengan talenta unggul yang menduduki strategic positions pada akhirnya memang merupakan life blood dari sebuah organisasi bisnis. Disini kita mungkin perlu menyimak sebuah ungkapan dari paman Bill Gates. Begini ia pernah berujar : silakan ambil 25 eksekutif kunci dengan talenta unggul dari perusahaan kami, dan dalam waktu tak berapa lama Microsoft akan langsung roboh.

Pertanyaanya kini adalah : lalu strategi terbaik apa yang mesti dilakoni untuk mampu mengembangkan talent management secara kokoh? Dalam kaitannya dengan hal ini, saya mencoba memetakan dua catatan filosofis yang layak digenggam manakala kita hendak merajut strategi talent management secara optimal.

Catatan yang pertama adalah ini : serangkaian studi empirik menunjukkan bahwa kehebatan sebuah organisasi bisnis sangat ditentukan oleh hanya 30 % karyawannya, terutama mereka yang menduduki posisi strategic/core positions. Ilustrasinya sederhana : bagi sebuah warung makan, posisi seorang koki adalah posisi yang amat vital; dan bukan kasir atau pramusaji atau bagian purchasing. Demikian pula bagi Microsoft, posisi yang amat penting adalah barisan programmer, bukan mereka yang duduk di bagian finansial, warehouse, ataupun bagian customer service.

Implikasinya jelas : untuk mereka yang menduduki posisi core, maka kita harus mati-matian mendapatkan talenta kelas dunia. Namun bagi mereka yang tidak menduduki posisi core, kita cukup mendapatkan pekerja yang standard saja, tidak perlu bagus-bagus amat. Alasannya sederhana : seorang pramusaji dengan talenta kelas dunia tak akan memberikan impak yang signifikan bagi kemajuan sebuah rumah makan. Demikian juga, seorang finance manager yang super sekalipun tidak akan memberikan dampak yang berarti bagi maju mundurnya Micorosft. Karena itulah, untuk posisi-posisi non-core ini kita cukup memelihara karyawan yang memenuhi standard kualifikasi saja – tidak perlu berambisi merekrut yang terbaik. Sebab efek diferensiasi dari posisi-posisi non core terhadap level kinerja perusahaan tidak banyak.

Sebaliknya, untuk mereka yang menduduki posisi core atau strategis, maka kita mesti bertarung mati-matian untuk mendapatkan talenta super. Sebab dalam posisi ini, perbedaan kinerja antara level standar dengan level superior akan memberikan dampak yang sangat signifikan bagi kemajuan perusahaan. Seorang koki dengan kualifikasi standar mungkin akan membuat rumah makan kita bisa terus eksis, namun kalau kita bisa merebut koki dengan kualifikasi kelas dunia, pasti rumah makan kita akan kebanjiran pelanggan.

Fakta diatas membawa kita kepada catatan penting kedua : perusahaan mesti mengalokasikan sumber daya waktu dan energi yang lebih besar (mungkin hingga 80%) untuk mengelola dan memelihara mereka yang duduk dalam posisi kunci (strategic positions); dan sisanya untuk mengelola para non-core employees. Nah, disinilah suka muncul masalah. Sering dengan alasan pemerataan, sebuah perusahaan memperlakukan semua karyawan dengan prioritas yang sama : semua mendapatkan porsi pelatihan yang sama, besaran bonus yang sama, dan kenaikan gaji yang sama.

Gaya manajemen a la sosialisme itu kelihatannya indah, namun dalam jangka panjang tidak akan pernah mampu membawa kita menuju kinerja puncak (gaya seperti ini mungkin lebih cocok untuk negeri Uni Soviet pada tahun 70-an dulu).  Sebaliknya, kita mesti mengalokasikan sumber daya yang berbeda antara karyawan core dan non-core. Untuk karyawan non core kita cukup mengalokasikan sumber daya pengembangan yang standard saja (ya, secukupnya sajalah….). Namun untuk core employees yang bersifat strategis, kita mesti mengalokasikan sumber daya habis-habisan untuk memelihara dan mengembangkan talenta terbaik mereka.

Dengan pendekatan semacam itu, kita tidak perlu lagi repot atau terlalu ambisius untuk mengembangkan semua karyawan (dan ini sering membikin kita selalu kehabisan energi). Kita cukup memfokuskan energi terbesar kita pada karyawan yang menduduki posisi kunci dan bersifat strategis (dan acapkali jumlah karyawan golongan ini tidak lebih dari 30% jumlah total karyawan). Talenta-talenta karyawan di golongan inilah yang mesti kita hajar habis-habisan. Dengan pola ini, kita bisa lebih fokus, lebih bisa menghemat energi, dan yang paling penting : bisa meraih hasil yang jauh lebih produktif.

Demikianlah, dua filosofi kunci yang mesti selalu dikenang tatkala kita hendak membangun sebuah sistem talent management yang unggul. Sebuah filosofi yang berangkat dari keyakinan bahwa : not everyone of us is equal. Sorry, kedengarannya ini agak diskriminatif, but this is a fact of life. Accept this, or you will be left behind the dust.

Note : Jika Anda ingin mendapatkan file powerpoint presentation mengenai management skills, strategy, marketing dan HR management, silakan datang KESINI.

Author: Yodhia Antariksa

Yodhia Antariksa

40 thoughts on “Diskriminasi Diperlukan dalam Talent Management”

  1. Pak Yodhia,

    Saya setuju dalam beberapa hal mengenai tulisan di atas. Hanya saja kalau kita hanya fokus kepada orang yang memegang posisi kunci, hal ini bisa berbahaya. Mengapa? Sebab sebagus apapun usaha kita untuk me-retain mereka, tidak otomatis mereka akan senantiasa berada bersama kita. Akan ada saja penyebab yang membuat mereka meninggalkan organisasi.
    Nah, sekali lagi, bila fokus kita hanya kepada orang di posisi kunci, ternyata resikonya akan besar juga.

    Saya berpikir, sebaiknya, kita tidak fokus hanya kepada orang yang memegang posisi kunci namun justru pada posisi kuncinya. Jadi bila kita fokus pada posisi kunci, kita tidak hanya fokus kepada orang yang sedang duduk pada posisi itu namun juga kepada orang yang akan menduduki posisi itu. Sebab, bila tidak, siapa tahu kita akan kehilangan mutiara yang belum terasah sementara mutiara yang sudah terasah bisa juga hilang karena berbagai alasan.

    Diskriminasi tentunya perlu karena memang tidak semua bibit pasti tumbuh dan berbuah namun kita harus lebih berhatihati terhadap bibit yang pada dasarnya unggul akhirnya mati hanya karena kita terlalu fokus pada tanaman yang sudah berbuah. Dan kita harus ingat bahwa tanaman yang sudah berbuah akan semakin dekat ke kematiannya.
    Salam
    Robin Garingging

  2. Setuju sekali Pak….
    Bahkan saya beberapa waktu yang lalu mendapatkan kosakata baru dalam bahasa campuran jawa, yaitu “Manajemen Kelon”.
    Sama seperti penjelasan bapak, seorang Kepala Sekolah yang ditugaskan membuat SMK baru di suatu daerah baru tersebut melakukan manajemen kelon kepada siswa2 yang berprestasi, mereka-merekalah yang di drill terus menerus, di”keloni” tiap hari sehingga mereka bisa laku dan layak “dijual” sehingga banyak orang tua yang mau menyekolahkan anaknya ke SMK tersebut. Dan dunia industri maupun masyarakat pun tertarik mendanai kegiatan operasional sehari-hari SMK tersebut.

  3. waduh pak Yodhia
    lalu bagaimana dengan karyawan yang kebetulan karirnya di non core
    misalnya di finance
    apakah dia harus pindah ke perusahaan yang menempatkan bidangnya sebagai posisi core
    atau dia harus pindah haluan, memperdalam ilmu yang jadi core di perusahaanya?
    terima kasih

  4. Memang betul apa yang disampaikan Pak Yodhia dalam tulisan ini dengan membedakan 2 sisi : core dan non-core, menurut saya dari 2 sisi tersebut sebetulnya sama-sama pentingnya, mungkin agak berbeda dalam hal kewajiban sebagai pemegang posisi yang berbeda, sama seperti saya. Dalam bisnis saya sekarang ada 2 sisi core dan non-core yaitu contoh : core adalah marketing dan non-core adalah bag. delivery (kurir). dalam hal ini satu sama lain sangat saling ketergantungan, di satu sisi marketing jelas lebih penting dalam organisasi bisnis, di sisi lain pun delivery menjadi penting karena dapat mengukur dari kepuasan konsumen (kecepatan waktu).

    Intinya, mungkin dalam hal ini ada perbedaan dari 2 sisi tersebut, mereka mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam melakukan kewajibannya. Tinggal kita saja yang menyikapinya bagaimana, tergantung dari strategi dan ketentuan yang berlaku di organisasi bisnis masing2.

    Salam hangat Pak Yodhia, semangat terus ya menulisnya,..saya tunggu tulisan2nya setiap hari senin

  5. Secara prinsip saya setuju, namun dalam pelaksanaannya harus hati-hati (maaf, tidak sekejam kalimat terakhir tersebut). Saya berikan contoh nyata :
    Pertama, ketika masih bekerja di instansi pemerintah, bos saya membentuk tim khusus. Bagi yg tidak masuk tim tersebut mengatakan tim itu adalah anak emas. Akibatnya yg tidak masuk tim itu merasa tidak adil diperlakukan, bekerja malas-malasan, pekerjaan administrasi sering terbelengkalai sehingga akhirnya menghambat kerja tim khusus tersebut karena terkadang surat penting bisa tidak disampaikan. Lalu bos saya dilaporkan ke atasan yang lebih tinggi. Yang paling parah semua orang yg tidak masuk tim khusus itu minta pindah bagian sambil menyebarkan berita ini. Akhirnya tidak ada pegawai bagian lain yang mau masuk untuk menggantikan mereka yang pindah dan bos saya lah yang dipindahkan.

    Kedua, ketika mengelola bisnis klinik, tentu yang di-core position adalah dokter dan perawat. Receptionis kami merasa tidak “dianggap” akhirnya bekerja dengan seadanya (walau sudah sering kami ingatkan). Tidak ramah, ada telpon kadang tidak dijawab atau tidak segera disampaikan dll. Akhirnya, saya ganti dengan yang kualitas di atas standar, penampilan oke, cantik dan ramah dan saya berikan gaji yang juga di atas standar ternyata penghasilan klinik jauh meningkat. Namun, setelah ia menamatkan S1, ia pindah kerja dan saya mendapatkan penggantinya yang belum bisa seperti dia, ternyata penghasilan klinik tidak sebesar seperti semula lagi. Hasil analisis saya ternyata hampir semua pasien tidak datang lagi itu adalah pasien lelaki yang umumnya menderita penyakit “laki-laki”. Biaya pengobatan penyakit ini sekali suntik sekitar 300 ribu belum termasuk obat antibiotik lainnya.

    Kemudian, kejatuhan Enron, Worldcom, Xerox dll adalah akibat skandal dalam bidang keuangan dan akuntansi, padahal dalam perusahaan tersebut fungsi keuangan dan akuntansi bukan core.

  6. Pak Yodhia… Kebetulan saya berkecimpung di BUMN yang bergerak dibidang setrum-menyetrum yang saat ini sedang getol-getolnya mengembangkan talent management. Membaca tulisan anda tentang diskriminasi yang harus dikembangkan dalam sistem tersebut, membuat mata saya kian terbuka lebar akan adanya resiko resistensi dari pihak pegawai. Kebetulan diskriminasi yang dilakukan di tempat kami bukanlah pada core position, melainkan pada usia dan struktur pendidikan. Jadi talent di kantor saya adalah mereka yang memiliki range usia tertentu, dengan peringkat tertentu, serta berpendidikan minimal tertentu pula. Nah, diskriminasi yang dilakukan oleh tim yang mengurusi talent inipun sudah menimbulkan gejolak dengan adanya kecemburuan, dan rasa iri antar pegawai yang talent dengan non talent. Ada tanggapan dari pak Yodhia…??

  7. Saya sependapat dengan Pak Yodhia, core menjadi sangat crusial dalam menentukan arah bisnis perusahaan ke depan. Untuk itu perlu perhatian yg lebih terhadap para talent people di core bisnis tsb. Tentunya dengan tidak mengesampingkan non core sebagai supporting agent dalam bisnis inti perusahaan. Karena tanpa non core , core tidak akan berjalan efektif. Seandainya kita berada pada posisi non core, maka jadilah non core yang memiliki talent yang tinggi, saya yakin perusahaan akan melihat hasil kerja kita, walaupun kita tidak berada pada posisi core.

  8. Seru juga materinya. memang ada lebih dan minusnya konsep tentang talent management ini, kalau-kalau tidak dikelola dengan baik. seperti misalkan adanya kecemburuan dan iri non-core dan nore (secara, iri dan cemburu itu lumrah karena mendapat perlakuan yang berbeda) namun hal ini bisa lebih dimaksimalkan dengan penjelasan kembali tentang tujuan dari program talet management ini, yang menurut saya baik yang core maupun non-core wajib mendapat “perlakuan” yang sama, seperti mendapat training dan pengembangan lainnya. mungkin yang membedakan adalah materi dari training atau pengembangan itu, dimana tentu saja materi atau program untuk yang core akan berbeda dengan yang non-core karena fungsi masing-masing berbeda pula.

    so, dengan adanya “perlakuan” yang sama dalam pengembangan potensi (walaupun dibedakan antara yang core dengan non-core) saya yakin, tidak akan ada kecemburuan yang akan merusak kinerja organisasi, malah justru dengan penjelasan yang baik, akan mampu untuk meningkatkan kinerja dan teamwork dalam organisasi tersebut.

    saran utk mas Yodhia, bisakah mas untuk memuat / meng-up date tidak hanya 1 artikel saja, karena dalam waktu kurang dari 10 menit sudah habis terbaca. saya suka sekali dengan semua tulisan2 mas yodhia.
    salam sukses selalu untuk kita semua,
    Gugi

  9. Saya sependapat dengan mas Ridwan dan pada intinya saya juga sependapat dengan pendapat Mas Yodia. Memang sudah saatnya kita mulai berpikir dengan realistis, se-realistis mungkin, yang mempunyai kontribusi banyak pada perusahan yang paling diperhatikan, yang kurang mempunyai kontribusi banyak pada perusahaan otomatis perhatian yang diberikan juga akan kurang. Akan tetapi yang perlu saya garis bawahi adalah kejelian kita dalam melihat apakah satu divisi masuk dalam core atau masuk dalam non core. Jangan sampai terjadi salah pemetaan, divisi yang seharusnya masuk dalam kategori core justru kita masukkan dalam kategori core. Bagaimana kita bisa jeli melihat ?, itu hal yang perlu untuk lebih dipelajari.

  10. Pak Yodhia, kalau bisnis perbankan, menurut Bapak, apakah core-nya di bagian pengembangan produk perbankan ataukah di bagian pemasarannya, Pak? Saya agak bingung karena bagian pemasaran produk perbankan sangat menentukan perluasan pasar perbankan Pak?Terima kasih, Pak.

  11. @ Irfan dan the Tracer…..yap benar, memang kita harus hati-hati juga dalam “mengkomunikasikan” kebijakan ini. Sebab kalau tidak, bisa timbul “civil war”….):)
    @ Bayu….ya kalau bisa malah bikin perusahaan sendiri dong….:):)
    @ Fonny, saya rasa dua-duanya memiliki fungsi core.

  12. setuju sekali pak….
    sebelumnya saya memperlakukan pegawai saya sama ratanya, namun saya berpikir keadilan tidak dapat dipandang dari satu sudut saja. maksud dari posisi core disini bahwa orang yang memberikan kontribusi yang besar patut diperhatikan lebih besar lagi. Justru kita akan menjadi tidak adil jika perusahaan memperlakukan pegawai sama rata antara yang memberikan kontribusi besar ke perusahaan dengan pegawai yang hanya *maaf* jadi pelengkap saja.
    Pegawai core ini akan menjadi tidak nyaman karena dirinya diperlakukan sama dengan pegawai non-core. walau bagaimanapun seseorang yang berada di posisi core akan memiliki posisi tawar menawar yang lebih baik kepada perusahaan dibandingkan posisi non-core.

  13. Talent management…. oh no, jarang sekali perusahaan yang mau seperti ini, terutama di bidang manufacture dan juga sudah establish. mungkin benar saat kita bilang core man must retain, but siapa yang bisa menghalangi saat kepergian dia. Apalagi kalau perusahaan bilang, “ternyata tanpamu langit masih biru” hehehe

    konsep ini bagus, sangat bagus malah. dan yang dikatakan pak Yodhia di akhir materi ini… ya seperti itulah seharusnya, bukankah ada perbedaan penghuni surga nantinya, termasuk jug apenghuni neraka…Tuhan saja sudah mengatur seperti itu, kenapa perusahaan nggak??

    weleh kok malah ngelantur…anyway thanks pak atas artikel ini

    https://portalinspirasi.wordpress.com

  14. Saya setuju sekali dengan yang di ungkapkan Pak Yodhia. memang pembagian antara core dan non core perlu sekali,. tp dalam pelaksanaan perlu hati2 agar tidak menimbulkan kecemburuan, yang dapat menurunkan kinerja.

    Kebetulan saya juga mempunyai usaha pengolahan kayu manis, sy membedakan antara bagian potong, bagian sorting dan bagian packing. Memeang kalo diliat beben kerja, bagian potong memerlukan fisik yang lebih,. dan harus cekatan bekerja. Saya lakukan evaluasi setiap bulan, untuk melihat kinerja mereka.

  15. saya bekerja di sebuah BUMN yang bergerak di bidang perdagangan, di perusahaan kami memang sudah sejak jaman dahulu kala sudah diterapkan hal seperti ini meskipun tidak diakui secara resmi/diatas kertas. Adapun akibatnya saat ini bagian non core kurang “geregetnya” dalam hal penyesuaian terhadap perkembangan jaman khususnya dalam hal teknologi, jadi menurut saya sebaiknya diskriminasi dilakukan terhadap karyawan yang memiliki talent yang dijadikan suksesi untuk pimpinan di masa yang akan datang di bagian core maupun non core (seperti program Management Trainee) namun diskriminasi tersebut jangan terlalu mencolok terlebih menggunakan istilah yang boombastis seperti “Tim Khusus/Tim Elite” agar gejolak tidak timbul dari karyawan lainnya, singkat kata “Musti Bermain Cantik”.thx

  16. Pak Yodhia, ini inspiring banget. Terimakasih atas tulisannya. Kebetulan saya lagi benah-benah perusahaan kecil saya. Dan sedang nyari idea apa yang cocok di implementasikan, agar memiliki value yang bagus, dan terjamin kelangsungannya. Dan… tulisan ini jawabannya.

  17. Wah, pak, keren juga artikelnya. saya skrg sedang mengabdikan diri di salah satu BUMN. skrg kita masih di competence-based HR management, sedang menuju ke human capital, yg ga jauh2 banget (menurut saya) dari istilah talent management. kl konsepnya gitu, agak ekstrim ga ya pak? gimana caranya biar ga terlalu keliatan ekstrim? maksudnya, ya itu, “playing the game beautifully” kata pak Gumilang. Ada tips2nya ga pak, terutama utk perusahaan BUMN yang kadang2 diidentikkan dengan orang-orang yg stabil dan resist to changenya cukup gede?

    thanks atas pencerahannya pak…

  18. “not everyone of us is equal”, yup tiap orang berbeda plus membawa potensi masing2. saya sekarang wartawan di media cetak, kelebihan teman2 jurnalis membentuk karakter tulisan yg bikin rubrik2 makin berwarna. trims

  19. resiko. itulah pilihan dari sekian kemungkinan. justru yg memiliki talenta yang tinggilah yang tidak kelihatan, mengapa? sebab ia mengetahui secara cermat kemana perahu akan bergerak, pada sudut berapa ia menemui gelombang, dan ia pula yang mengerti bagaimana menaklukkan gelombang. itu pulalah kepemimpinan yang memiliki jiwa seni. terjadinya desas-desus, ontran-ontran, adalah sesuatu yang tidak terhindarkan.

  20. Betul Pak Yodhia, karyawan jadi lebih berharga bila berada di posisi yang lebih atas, bisa diandalkan, atau mempunyai skill khusus. Apapun pekerjaan anda, anda harus menunjukan keunggulan anda. Jadilah The Indispensable Employee …

  21. sebelumnya saya memang sudah pernah mendengar tentang Talent Management… di Acara Smart FM business coach,, bersama coach2 harvard business.. dan contoh2 yg pak Yodhia berikan sama dengan yg saya dengar..

    saya baru pertama kali berkunjung k blog bapak… jd lom bisa comment byk.. yg pasti saya senang menemukan blog ini sebagai bahan saya untuk terus belajar.. terutama saya masih sangat hijau d bidang SDM… terima kasih pak Yodhia atas sharing ilmunya,,, 🙂

  22. i also agree with “not everyone of us is superman” 😀 mas yodhia sudah nonton film “The Core” belum?

  23. Mas Yodhia,
    Hei masih ingat aku kah…? saya tidak 100% setuju dg tulisan Mas. Mungkin tulisan mas malah menjelaskan bahwa untuk talent management ini memang harus perpaduan art dan science dalam mengimplementasikannya. Saya coba memberikan sudut pandang sederhana, tujuan talent manajemen adalah agar perusahaan kita mendapatkan suksesor dan mempertahankan superior performance agar berkembang sesuai kebutuhannya sendiri (maturity) serta kebutuhan perusahaan sehingga eksistensi dan growth perusahaan bisa survive dan sukses. Berdasarkan logika ini dan filosofi art and science tsb, maka yang harus diperhatikan adalah bagaimana kita memperlakukan dan memperhatikan/memenuhi kebutuhan karyawan tsb. Coba kita ingat dari sebagian besar karyawan yang meninggalkan suatu perusahaan akibat kebutuhannya sebagai manusia tidak diperhatikan, sederhananya coba cari tahu apa yang menyebabkan abdi dalem di keraton bisa awet/langgeng mengabdi pada pekerjaannya, apakah karena faktor uang semata? tentu bukan itu jawabnya. Coba cari tahu apa yang menyebabkan pembantu kita bisa betah bekerja pada keluarga kita hingga bertahun-tahun. Yah salah satunya adalah kita memperlakukan mereka sebagai manusia dan memberikan tantangan pekerjaan sesuai dengan kebutuhan mereka, yang pada intinya adalah karyawan tersebut merasa dibutuhkan.
    BTW, tulisan mas Yodhia sudah mengundang saya untuk me-response agar teman-teman juga jadi waspada bahwa pada dasarnya diskriminasi hanya digunakan untuk prinsip prioritas. Semoga membantu diskusi lebih lanjut dan bermanfaat…

  24. Alhamdulillah, terima kasih Mas Yodhia masih ingat saya.
    Saya masih ingat jamuan makan siangnya di KGM-1 tempohari.
    btw, Mas Yodhia, bagaimana caranya saya bisa nyumbang tulisan di blog ini?
    agar supaya bisa sharing pengalaman dibidang “ke-HR-an”, sebetulnya semua profesi sudah seharusnya punya paradigm human capital supaya menjai bisak untuk diri orang lain terutama diri sendiri.

    thanks,
    Imran

  25. Mas yodhia,saya setuju dengan mas imran,sebagai tambahan aja untuk posisi core kenapa tidak kembangkan atau dikader dari non core saja,dengan begitu kan dasarnya lebih kuat serta ada kompetisi dan sekaligus penghargaan buat mereka.yach intinya semua akan terpacu dan bertumbuh.

  26. @ Imran…..kebetulan blog ini masih self-dedicated; jadi so far belum menerima tulisan dari luar. Kalau mau ikut discuss, silakan aktif memberikan komentar….:):)

  27. Hallo
    Wah menarik sekali diskusi ini, wah ada Mas Imran juga nih, Inco’er kah ??? Hmmm salam untuk teman2 di Sor ya Mas Imran, Mas Darmono, Mas Gustia, Mas Paul, dll…Ok back to the main topic,
    Talent Management memang sangat penting bagi perusahaan yang ingin maju, mampu berkompetisi ditengah era globalisasi, Talent Management pada dasarnya dimulai dari rencana/ target visi dan misi suatu organisasi, bagaimana mencapai visi dan misi tersebut, berdasarkan hal tsb instrospeksi internal segera dimulai, posisi apa saja yang mendukung visi dan misi perusahaan, dan menurut saya almost all position sama pentingnya, lalu apakah perusahaan memilki talent people? Talent People dapat diperoleh internally dan externally, umumnya aktifitas Talent Management melalui beberapa proses, contohnya : Plan (Dapatkan resources yang benar2 qualified, melalui proses seleksi rekruitment), Asses serta Develop mereka melalui program pelatihan serta assignment yang terencana dengan baik, siapkan mentor untuk membimbing mereka, Monitor this talented people, cari posisi posisi yang masih vacant, berikan kesempatan resources yang bertalenta ini untuk mengisi kekosongan posisi tsb melalui fit gap analysis, tutup gap mereka dengan program pelatihan, monitor serta evaluasi performance mereka, ini adalah salah satu cara lain untuk menarik tenaga kerja kita untuk memberikan performance terbaiknya bagi perusahaan, retain mereka dengan program pelatihan di posisi ini, berikan reward serta benefit yang menarik atas performance yang telah mereka berikan. Talent Management is one cycle process of getting talented people, manage them, reward them and retain them as our asset, karena konsep Talent Management berkembang dari Human Capital Management dimana kita memperlakukan karyawan sebagai asset/modal/capital perusahaan, once we lost them, we will loose our asset, our capital and this will be a big lost to the company. Ini sekedar komentar sederhana dari saya. Rgrds Harry.

  28. memang benar apa yang dikatakan pak yodia,., namun kita juga harus melihat bahwa company adalah satu kesatuan yang mendukung…
    Seorang koki pun tanpa adanya marketing tidak akan mampu menghasilkan sebuah restoran seperti buffet,ataupun restoran lainnya yang sejenis.
    Setiap orang mmpunyai job functionnya masing-masing sesuai dengan comptency nya dan harus saling mendukung demi terciptanya satu visi dan misi perusahaan, jadi dapat dikatakan bahwa hampir semua elemen di perusahaan adalah core.
    Terimakasih

  29. Mencapai visi misi perusahaan dengan pendekatan talent management tentu akan menjadi lebih efektif. Tapi tunggu, jika implementasinya dengan cara yang dipaparkan pak Yodhia, jelas tidak populer. Why? becouse as a leader we have to know a little about human body chemistry. The peopple paradigm says ” The justiced and equality for all peopple “.
    So artinya kita sedang melawan hukum alam, diakhir permainan kita tentu akan tahu bentuk kesudahannya.

    Perhatikanlah alam ini dengan seksama, kita akan menemukan bahwa keseimbangan adalah rahasia untuk mendapatkan outcome dengan cara yang elegant and smart.

    Namun sebagai pelaku bisnis tentu masih ada cara mensiasati pencapaian visi misi perusahaan. Jika dengan talent management telah dibuktikan bahwa pekerja akan productive dan maximal. Bagaimana jika posisi non core di outsorce keperusahaan yang men-corekan posisi tersebut. Tentu semua akan mendapatkan the best outcome and the justiced for all…

  30. Mas Yodhia, hampir smua konteksnya org bisnis, gmn klo tuk org nir-laba? pa mungkin talent-management diterapkan? pa perlu modif khusus? kebetulan say berkecimpung di PT dlm bid yg terkait manajemen, meski sy sendiri tdk punya lb manajemen.

  31. Saya berpendapat konsep talent management tidak bisa bulat2 diterapkan pada semua organisasi bisnis. Talent management mungkin cocock untuk organisasi skala besar dan hi-tech sehingga memiliki daya saing kelas dunia. Lain halnya untuk organisasi bisnis skala kecil yang kelas lokal, cukup hanya menggunakan konsep competency management.
    Manusia dalam ukuran normal memungkinkan untuk didevelop competency-nya, sehingga pada akhirnya memiliki kinerja unggul. Kinerja unggul ini yang mesti punya ukuran yang benar2 sesuai dengan ukuran keberhasilan bisnis organisasi bisnis tersebut.
    Di Indonesia kalau sudah ada namanya diskriminasi, lalu timbul kecemburuan dan ujung2nya iklim kerja tidak kondusif. Kalau sudah begini timbul permasalah baru dalam budaya perusahan… hehehe

  32. Sepertinya kalau kita terlalu mementingkan posisi kunci jelas akan sangat memakan waktu, tapi jangan lupa pula posisi kunci pun tak akan berjalan/sukses bila tidak ada dukungan dari posisi lainnya sebagai pendukung atau support. Sehingga dalam hal ini penerapan talent pool tentunya harus melihat proporsi nya masing-masing sehingga pengembangan tidak hanya untuk posisi kunci melainkan semua Sumber Daya tetap menjadi focus yang pentung untuk menjamin sebuah organisasi berjalan dengan baik…..,

    Salam.

  33. Saya setuju untuk beberapa hal terkait pengelolaan bakat, seperti kekuatan memilih karyawan. Namun, saya berpendapat lain untuk meletakkan fokus terbesar pada beberapa orang yang kita anggap ‘core people’.
    Bukankah sebaiknya fokus diletakkan pada objektif utama (wildly important goal) perusahaan itu sendiri. Tentunya objektif itu hanya bisa tercapai bila leader yang ‘great’ dan orang-orang yang efektif menyatukan fokus dan disiplin pada objektif perusahaan? Apakah sebuah perusahaan yang ‘great’ bisa mencapai objektifnya tanpa engagement dari semua karyawan?
    Hal lain yang ingin saya ajukan juga di sini adalah bahwa ada beberapa perbedaan antara sistem kepemimpinan di era industri dengan era pengetahuan sekarang ini. Beberapa diantaranya adalah bahwa di era pengetahuan ini leader melepaskan mindset semua orang di organisasi, namun tetap align dengan objektif organisasi. Dari sinilah muncul orang-orang yang efektif dan kreatif, pembelajar.
    Jika mindset yang dimiliki adalah seperti yang diuraikan dalam tulisan mas Yodhia, bukankah itu mindset era sebelum sekarang, yakni mengontrol people mindset. Bukankah sebuah organisasi juga ingin menjadi organisasi pembelajar?

  34. Yang bener, mesti key talent dan key position.
    Jadi orang-2 non core yang memang mampu membuat keputusan bisnis yang berdampak besar, tetap diperhitungkan. Gitu Mas Yodhia..

  35. Sangat bagus dan bermanfaat, tapi bagaimana pembagian ini di lakukan pada sebuah sekolah? siapa sajakah yang masuk core dan non-core?

  36. Aduh rasanya kok diskriminatif sekali ya.

    Kayaknya manajemen ini akan menimbulkan kecemburuan sosial dan tentu saja akan mempengaruhi suasana kerja menjadi tidak nyaman. Saya kira baik SDM yg di posisi Core maupun non-Core sama pentingnya.

    Dua-duanya sama2 penting dan sama2 mempunyai andil dalam mengembangkan sebuah institusi

Comments are closed.