Lima Dimensi Kunci dalam Kecerdasan Sosial

Di suatu pagi yang cerah di sebuah gedung perkantoran yang menjulang, saya bergegas memasuki sebuah lift yang sudah penuh sesak terisi. Terlihat wajah-wajah segar dengan semangat pagi untuk segera menyambut tugas yang sudah menanti. Di dalam lift, semua terdiam, mungkin benak mereka tengah dipenuhi dengan beragam rencana yang hendak didapuk pagi itu. Mendadak – sekonyong-konyong – bau tak sedap merebak di ruang lift yang sempit dan penuh sesak itu. Segera semua penghuni lift menutup hidungnya, ada yang dengan tisu, dengan saputangan, atau dan dengan jari-jarinya.

Saya tak tahu siapa yang di pagi nan cerah itu, di sebuah lift yang penuh sesak, dan dengan tanpa rasa dosa, mengeluarkan gas dengan amat sempurna dari perutnya. Sebuah serangan pagi yang mendadak membuat semangat saya seperti lenyap dilumat oleh bau gas yang amat menyengat. Siapapun orangnya, ia mungkin termasuk golongan orang yang memiliki kecerdasan sosial yang pas-pasan.

Kecerdasan sosial (atau social intelligence) kini tampaknya kian menduduki peran yang amat penting ketika kita hendak membangun sebuah relasi yang produktif nan harmonis. Relasi kita dengan kerabat, dengan tetangga, dengan rekan kerja atau juga dengan atasan mungkin bisa berjalan dengan lebih asyik kalau saja kita mampu mendemonstrasikan sejumlah elemen penting dalam kecerdasan sosial.

Dalam konteks itulah, kehadiran buku bertajuk Social Intelligence : The New Science of Success karya Karl Albrecht ini patut disambut dengan penuh antusiasme (buku yang amat memikat ini telah diterjemahkan ke dalam edisi bahasa Indonesia oleh Penerbit PPM dengan judul Cerdas Bergaul : Kunci Sukses dalam Bisnis dan Masyarakat).

Secara garis besar, Albrecht menyebut adanya lima elemen kunci yang bisa mengasah kecerdasan sosial kita, yang ia singkat menjadi kata SPACE. Kata S merujuk pada kata situational awareness (kesadaran situasional). Makna dari kesadaran ini adalah sebuah kehendak untuk bisa memahami dan peka akan kebutuhan serta hak orang lain. Orang yang tanpa rasa dosa mengeluarkan gas di lift yang penuh sesak itu pastilah bukan tipe orang yang paham akan makna kesadaran situasional. Demikian juga orang yang merokok di ruang ber AC atau yang merokok di ruang terbuka dan menghembuskan asap secara serampangan pada semua orang disekitarnya.

Elemen yang kedua adalah presense (atau kemampuan membawa diri). Bagaimana etika penampilan Anda, tutur kata dan sapa yang Anda bentangkan, gerak tubuh ketika bicara dan mendengarkan adalah sejumlah aspek yang tercakup dalam elemen ini. Setiap orang pasti akan meninggalkan impresi yang berlainan tentang mutu presense yang dihadirkannya. Anda mungkin bisa mengingat siapa rekan atau atasan Anda yang memiliki kualitas presense yang baik dan mana yang buruk.

Elemen yang ketiga adalah authenticity (autensitas) atau sinyal dari perilaku kita yang akan membuat orang lain menilai kita sebagai orang yang layak dipercaya (trusted), jujur, terbuka, dan mampu menghadirkan sejumput ketulusan. Elemen ini amat penting sebab hanya dengan aspek inilah kita bisa membentangkan berjejak relasi yang mulia nan bermartabat.

Elemen yang keempat adalah clarity (kejelasan). Aspek ini menjelaskan sejauh mana kita dibekali kemampuan untuk menyampaikan gagasan dan ide kita secara renyah nan persuasif sehingga orang lain bisa menerimanya dengan tangan terbuka. Acap kita memiliki gagasan yang baik, namun gagal mengkomunikasikannya secara cantik sehingga atasan atau rekan kerja kita ndak berhasil diyakinkan. Kecerdasan sosial yang produktif barangkali memang hanya akan bisa dibangun dengan indah manakala kita mampu mengartikulasikan segenap pemikiran kita dengan penuh kejernihan dan kebeningan. (Saya sendiri sudah pernah mengulas teknis mengartikulasikan gagasan secara efektif ini, dan ulasannya bisa dibaca disini).

Elemen yang terakhir adalah empathy (atau empati). Aspek ini merujuk pada sejauh mana kita bisa berempati pada pandangan dan gagasan orang lain. Dan juga sejauh mana kita memiliki ketrampilan untuk bisa mendengarkan dan memahami maksud pemikiran orang lain. Kita barangkali akan bisa merajut sebuah jalinan relasi yang guyub dan meaningful kalau saja kita semua selalu dibekali dengan rasa empati yang kuat  terhadap sesama rekan kita.

Demikianlah lima elemen kunci yang menurut Karl Albrecht merupakan aspek penting yang layak diperhatikan untuk bisa menenun bingkai kecerdasan emosional secara optimal. Tentu saja kita harus selalu menyempurnakan diri dalam kelima dimensi penting ini, supaya kita semua juga bisa menjadi pribadi-pribadi yang cerdas secara sosial. Dan bukan seperti orang yang kentut di pagi hari nan cerah di sebuah lift yang penuh sesak itu……

Jika Anda ingin mendapatkan slide powerpoint presentasi tentang entrepreneurship dan management skills, silakan klik DISINI.

Photo Credit by : thePress6 @Flickr

Author: Yodhia Antariksa

Yodhia Antariksa

25 thoughts on “Lima Dimensi Kunci dalam Kecerdasan Sosial”

  1. yup,kecerdasan emosi dan sosial memang sedang mencuat saat ini. Namun saat ini, banyak masyarakat kita yang tidak peduli dengan hal tersebut. Menurut Bang Yod, kenapa itu bisa terjadi?

    Salam Semangat dari Jogja

  2. Hmm, info buku baru lagi. Makasih, Mas Yod. Kalo boleh beropini, ramuan Karl Albrecht ini kok tidak jauh berbeda dengan buku-buku populer serupa ya? Kemasannya saja beda, tapi isinya mirip-mirip.

    Ah, sepertinya saya yang sok tahu. Mungkin harus baca bukunya dulu baru komentar ya.

    *Tentang kentut : nahan kentut kan susah banget, Mas. Kecuali kalo sudah terlatih, hehe
    **Tentang rokok : saya sih biasanya asertif saja menegur kalo ada yang merokok di tempat sembarangan. Meski harus direspon dengan tampang manyun orang yang bersangkutan

  3. itulah faktanya, kemajemukan latar belakang seseorang akan memiliki value yang berbeda-beda atas suatu keadaan, termasuk toleransinya. kentut sesungguhnya adalah manusiawi. bukankah kita akan kalang kabut kalo “knalpot” kita tak berfungsi dengan baik. mata kunang-kunang, perut mual, jangtung deg-degan, dll. Mahal lho operasi agar bisa kentut! ttp. kadang kita juga suka uring-uringan kalo menikmati kejadian kayak mas yodia itu. trus enaknya gimana ?…aah susah juga ya mikir kentut, eeh etika..apalagi kecerdasan sosial..

  4. Kalau dulu mungkin istilahnya “Social Skill”, sekarang ganti chasing jadi ”Social Intelligence”. Wah luar biasa mas kalau kita sudah bisa menerapkan 5 dimensi tsb. Ditambah kecerdasan berpikir (IQ) yang baik plus kecerdasan moral (SQ) saya yakin akan lebih mudah kita menapaki ke jenjang (karir) yang lebih tinggi. Kenapa? Karena selama ini banyak publik figur yang dianggap cukup sukses ternyata tidak bagus2 amat Social, IQ, dan apalagi SQ-nya.

  5. @ Afith, boleh jadi itu berkaitan dengan level pendidikan mayoritas masyarakat kita yang masih relatif rendah. Di negara-negara maju, yang tingkat pendidikan warganya secara relatif tinggi dan merata, kehidupan sosialnya cenderung lebih beradab.

    Tentu ini juga berkaitan dengan pendisiplinan warga; misal, UU anti rokok di ruangan tertentu sudah ada, namun enforcement penegakan disiplinnya masih amat kurang.

  6. Setuju Pak Yodhia, menambahkan juga bahwa butuh intervensi pemerintah baik berupa dukungan peraturan dan penegakan aturan untuk membentuk perilaku masyarakan sesuai yang dikehendaki.
    Kalau rokok, sumbernya (perokoknya) bisa dideteksi, lha kalau kentut….hehehe…

  7. social intelligence, saya kira salah satu problem masyarakat kita saat ini. Cermin paling mudah bisa kita lihat dari perilaku pengguna kendaraan dijalanan, semua ingin menang sendiri, terdepan dan tercepat sampai tujuan tampa memperhatikan pengguna kendaraan lainnya. Bila perlu, melalui ruas jalan orang lain. Jarang kita temukan pengemudi yang memiliki “SPACE”.

    Yang menyedihkan, terkadang kita terseret -seret berperilaku sama dengan pengemudi lainnya. Likungan di Jalan raya “yang mengerikan itu”, tampa sadar telah menjadikan kita manusia yang tidak “cerdas sosial” pula.

    Bisa jadi perilaku – perilaku diatas akan ditemukan diaspek kehidupan kita lainnya. Sekali lagi, bangsa ini punya problem dengan kecerdasan sosial ..

    salam
    edwar

  8. Saya ingin mengomentari satu hal saja. Empati itu termasuk ke dalam kecerdasan sosial atau kecerdasan emosi ? lalu ada berapa banyak bentuk kecerdasan? Gardner adalah orang pertama yang mengusulkan konsep multiple intelligences. Itupun ada batasannya. Seluruh hal yang dianggap sebagai bentuk kecerdasan, harus memiliki hubungan tertentu dengan konsep kecerdasan (intelligence) itu sendiri. Daniel Goleman yang terkenal dengan konsep kecerdasan emosinya (EQ)sudah mendapatkan banyak kritikan, diantaranya kerena tidak adanya akar teori yang jelas dan ilmiah. Teori EQ Goleman hanyalah mengumpulkan berbagai hal yang termasuk dalam pengertian kepribadian lalu dibungkus ulang dengan kemasan EQ. Korelasinya dengan Big Five saja cukup besar yang menunjukkan adanya tumpang tindih. Kesimpulan dari saya, ada baiknya kita lebih memperhatikan penggunaan istilah kecerdasan/ intelligence.

  9. gara2 mas yodhia, buku saya UWWAKEH alias SEUR PISAN! dan jarang nonton Tv da harus menyelesaikan buku yang saya beli, takut ada buku bagus laghi. orang bilang, kenapa saya sekarang ko jadi pinter! padahal saya cuma ngomongin apa yang saya baca dan apa yang saya denger di CD-CD pada moment yang pas. Thanks mas!

  10. mas memang kecerdasan sosial ini merupakan suatu tools agar kita sukses berinteraksi ……….trims mas

  11. tenkyu mas resensi bukunya… di Gramedia udah ada lom ya?

    oiya… mengani kentut dan rokok itu dua hal yg beda mas mnurut saya. Klo kentutu susah ditahan. Bisa aja tu orang dalem lift sebenarnya udah snaha stengah mati tapi ternyata tekanan dari dalem jauh kuat :mrgreen:

    klo rokook kan memang bisa dihindari

  12. tq Mas Yod…sy msh berusaha keras belajar ttg hal ini. sy jadi teringat sebuah Hadits, ketika Nabi SAW tiba di Madinah, Ia memberi pelajaran bersosial dengan 5hal. meski agak dipaksakan, ada bbrp yg pas… hehe…namanya juga coba2
    1. memberi salam
    2. silaturahim
    3. memberi (makan)
    4. bangun malam
    5. masuk surga

  13. thanks Mas Yodhia,

    saya sangat setuju bahwa kecerdasan social membantu “mengangkat” orang rata rata menjadi luar biasa !memang kecerdasan social tidak bisa menggantikan kompetensi ..namun dunia ini sangat membutuhkan banyak orang yang mempunyai kecerdasan social yang baik,apa artinya pandai jika diajak bicara mau menangnya sendiri,gak mau dengar pendapat orang lain ..dan itu kenthut di lift seperti manusia prasejarah (mungkin )he he he

  14. Terima kasih wejangannya, ketika banyak sudah teori tentang manajemen, mana yang paling efektif untuk bisa mengangkat performa personal seorang manajer?,

  15. Ini baru identifikasi elemen2 dasarnya. Lha strategi merajutnya ??? Kalo ada bau kentut, dan kita masih menghakimi si tukang kentut sebagai pihak yang salah, secara sosial emosional kita masih bermasalah, walaupun itu takterucap. Salah satu kunci merajut kecerdasan sosial adalah kualitas keseimbangan iman dan otak kita dalam membaca kompleksnya hidup bermasyarakat di Indonesia. Rasanya tidak adil membandingkan sosialita negara kita dgn negara maju hanya dari aspek pendidikan. Banyaklah jalan – jalan dan bergaul, lakukan hal kecil yang memang seharusnya dilakukan secara konsisten, perbanyak kebaikan walaupun itu sederhana, jangan segan ngobrol dengan berbagai kalangan, dari tukang becak sampai anggota DPR, sambil terus berfikir dan taklupa berdzikir. Terus, terus dan terus….

  16. Hello Bung Yodhia?
    Salam Kenal…

    Semoga tulisan anda ini bisa menginspirasi saya ya, hehe… Nulis buku gak mas?? Kalo nulis kasih tahu ya… Thanks

  17. seperti kombinasi dari emotional intelligence & communication skill..

    Thanks for sharing pak Yodhia

  18. ohhh gitu ya….hello pa yodhia
    salam kenal ya
    smga tulisan anda dpt menbuat sy mnjadi lbh baik lagi dan bs berguna bwt smua org

  19. empati menjadi hal yang paling pokok nampaknya dari berbagai komentar, yg saya tanyakan komponen empati itu apa saja ya..? dan mohon penjelasan dari komponen empati tsb.

Comments are closed.