Menggapai Kesempurnaan Melalui Six Sigma

Kebayang ndak sih, suatu hari Anda membeli ponsel baru, dan belum ada sebulan, layarnya sudah kedap-kedip. Atau suatu saat Anda pergi ke ATM lalu sekonyong-konyong kartu Anda lenyap ditelan oleh si mesin. Atau mungkin di hari Senin yang padat, Anda berangkat kerja naik taksi, pas di tengah jalan taksinya ngadat lantaran radiatornya jebol.

Dalam bahasa kaum quality management, semua kejadian diatas disebut sebagai defect atau error. Dan sungguh tak ada yang lebih bikin bete dibanding membeli produk atau jasa yang belum lama dipakai sudah macet. Disinilah kemudian pendekatan Six Sigma dianggap sebagai salah satu senjata ampuh untuk menghindari kegagalan mutu semacam itu.

Lalu apa sebenarnya makna six sigma itu? Arti ringkasnya adalah Anda hanya melakukan defect sebanyak 3,4 (tiga koma empat) kali per satu juta kejadian. Dengan kata lain, dari 1 juta transaksi ATM, yang gagal tak lebih dari 3,4 kali. Atau Anda naik kereta api bolak balik Jakarta Bandung sebanyak 1 juta kali, yang macet di tengah jalan hanya 3,4 kali (aduh, kenyataannya tahu sendirilah). Atau di kantor Anda mengolah data keuangan atau data karyawan sejumlah 1 juta item data, yang salah hanya 3,4 kali.

Tingkat akurasi six sigma memang mendekati kesempurnaan dengan level yang amat mengesankan (yang bisa 100% sempurna sih cuman malaikat). Dalam persentase, angka kesalahan 3,4 per 1 juta itu sebanding dengan 99,9997% sempurna. Jadi bukan 99 % doang, tapi ada 99% koma sekian, sekian.

Mungkin Anda bisa bilang mutu produk perusahaan Anda sudah bagus. Defect rate-nya hanya 1 %. Angka 1 % kelihatan sangat kecil, tapi kalau dibandingkan dengan 1 juta kejadian, itu artinya kegagalan produk Anda = 10 ribu kali. Sorry kalau begitu, perusahaan Anda akan cepat bangkrut karena kalah bersaing.

Tahapan dalam melakukan six sigma sendiri sejatinya tak beda—beda jauh dengan sistem total quality management yang sudah sangat terkenal itu. Pada tahapan pertama, kita mesti mendefenisikan proses apa yang mau disempurnakan kinerjanya. Ambil misal, proses pelayanan klaim biaya pengobatan karyawan; yang sasaran kinerjanya ditetapkan harus tuntas dalam waktu 2 hari kerja (omong-omong berapa hari bagian HRD perusahaan Anda mengurus klaim biaya pengobatan karyawan? 5 hari, 10 atau 30 hari baru kelar?) Berdasar prinsip six sigma, maka tingkat ketepatan waktu seusai standard 2 hari kerja itu haruslah sesuai 99,9997%. Tidak boleh kurang.

Tahapan berikutnya adalah mengukur (measure) kinerja saat ini. Ternyata dari proses pengukuran yang didapat, tingkat ketepatan waktunya hanya 80 % dari standard yang ditetapkan atau masih jauh dari level six sigma.

Jika demikian, maka dalam tahapan berikutnya adalah melakukan langkah analyze and improve. Segala aspek dianalisa mengapa pencapaiannnya baru bisa 80% : apakah karena prosedur yang bertele-tele; atau karena ndak punya sistem informasi yang canggih; atau lebih karena kinerja orang-orang HRD yang lelet bin tulalit.

Setelah ditemukan akar permasalahannya, maka dilakukan proses improve untuk meningkatkan kinerja secara dramatik – sehingga perlahan bisa meraih angka six sigma atau sesuai 99,9997 %.

Tahapan terakhir adalah melakukan control; atau mengendalikan proses kerja yang telah di-improve. Tujuannya adalah agar tingkat kinerja yang makin sempurna itu tidak menurun lagi dikemudian hari. Syukur-syukur justru terus meningkat akurasinya.

Demikianlah tahapan kunci yang mesti dilalui untuk merajut kesempurnaan melalui metode six sigma. Dalam sirkuit persaingan yang kerap membikin banyak perusahaan terkaing-kaing, standar mutu nomer satu adalah sebuah pilihan yang tak terelakkan. Dan metode six sigma adalah satu kunci untuk membantu kita tiba di garis finish persaingan itu dengan selamat serta menjadi sang pemenang.

Dan bukan tiba di garish finish dengan termehek-mehek lantaran mutu produk atau layanan kita selalu berantakan nan amburadul.

Note : Jika Anda ingin mendapatkan slide powerpoint presentasi tentang six sigma dan management skills, silakan klik DISINI.

Photo credit by : ThePres6 @Flickr.com

Author: Yodhia Antariksa

Yodhia Antariksa

28 thoughts on “Menggapai Kesempurnaan Melalui Six Sigma”

  1. Bagaimana aplikasi metode six sigma ini jika disodorkan ke kinerja para pemegang pemerintahan, Mas? Kira-kira berapa ya rapportnya?

  2. Artikel yang membuat penasaran mas Yodh…Apakah mungkin metode six sigma itu diterapkan di sebuah instansi yang tidak punya kompetitor? Misalnya di Instansi pemerintahan.. Salute 🙂

  3. Setuju pak Yodhia, continous improvement sudah menjadi tuntutan setiap organisasi saat ini, mengingat era kompetisi yang semakin terbuka.
    Ini yang sering tidak disadari oleh terutama BUMN-BUMN yang sebelumnya menerima mandat untuk memonopoli jenis usaha tertentu. Begitu monopoli dicabut, improvement tdk dilakukan, masih pake gaya2 birokrat. Akhirnya gak bisa bersaing sama swasta..
    Good article pak Yodhia.

  4. @ Roni, ya saya kira sangat aplikabel untuk UKM juga. Kebetulan saat ini saya tengah terlibat dalam proses penerapan balanced scorecard untuk sejumlah UKM di tanah air.

  5. Tks for the article p. yodhia…In Summary we can say DMAIC process (Define,Measure,Analysis,Improve & Control) as part of Core strategy to ensure the product or services provided within spesification & meet customer satisfaction..SIX SIGMA generated by GE Company… but ngak kalah jg Toyota Way dgn Contious Improvementnya (KAIZEN) melalui TPM & TQM nya salam

  6. bagus…sebenarnya ini konsep lama hanya casingnya aja yg baru….coz saya blm liat kelebihan dr six sigma ini. tapi artikel yg ditulis ttg six sigma ini simple, jelas, dan mudah dipahami …

    salam

  7. @ Nitis, Malcolm Bladrige National Quality Award adalah penghargaan tahunan oleh pemerintah Amerika (Department of Commerce) — dibantu oleh American Society for Quality; yang diberikan kepada perusahaan yang memiliki proses dan produk yang mutunya ekselen.

    MB menggunakan sejumlah kriteria yang komprehensif untuk menilai para pemenang; salah satu kriterianya adalah tentang process management (exellent quality process)

    Nah, Six Sigma ini adalah sebuah tool yang bisa membantu perusahaan mencapai excellent quality process itu; dan harapannya suatu saat bisa memperoleh penghargaan Malcolm Baldrige.

  8. Wah…jadi inget 3 tahun yl saya dapat training Six Sigma. Berat tapi seru. Apalagi kalau sudah mengolah data menggunakan Minitab. Amazing. Walau sebagai Green Belt sempat tertatih2 menyelesaikan project, karena masih harus mengerjakan daily job. Beda kalau sudah menjadi Black Belt, 100% waktunya untuk project Six Sigma.

    Kalau menurut pengalaman saya, jika berasal dari departemen “Non Manufacturing” (IT, Accounting, Finance, HRD), jika mengerjakan project sesuai departemen, susah untuk menghasilkan “hard saving”. Padahal top management lebih mengharap “hard saving” daripada “soft saving” yang sebenarnya exist tapi invisible dan susah pula ngitungnya 🙂 . Bagaimana menurut mas Yodhia?

  9. Wah menarik kalau membicarakan six sigma, banyak perusahaan yang ngga berani pakai six sigma terlalu detail dan banyak dokumentasi dan lebih cocok untuk manufacturing, memang seperti Bundanya Dita bilang untuk (IT, Acc, Fin, HR) susah ngitung savingnya walaupun bisa spt rework diquantify dll. Makanya ada yang menggabungkan six sigma dengan balance scorecard jadi lebih seru. Namun dalam prakteknya koordinasi di level tengah yang lemah…dan speed. Para pekerja kita terkenal produktifitasnya rendah (dibanding s’pore 1:8)kalau ditambah dengan tambahan dokumentasi seperti ini waah tambah rendah lagi deh…

  10. @ Bundanya Dita, saya kira sebenarnya tidak mesti harus langsung dihitung saving-nya. Sebab seperti contoh diatas, kalau semua klaim kesehatan karyawan bisa 2 hari tuntas…kan ini akan membikin semua karyawan senang dengan pelayanan ekselen divisi HRD.

    Demikian juga kalo orang finance, akurasi dan kecepatan pelayananya sesuai standard six sigma, maka semua orang pasti akan happy juga. Dan ujung-ujungnya produktivitas semua employees bisa naik.

  11. kalau dr penjelasannya mas Yodhia …six sigma ini sama aja ya basicnya dengan tools yg lain karena pasti ada pendefinisian – analisa – improve dan kontrol ….mgkn yg membedakan dalam aplikasinya adalah detail dr informasinya sehingga dpt dilaksanakan dengan lebih mudah dan terukur …cmn kalo ngga didukung 100 persen sama manajemen apa bisa jalan juga ya …

  12. Sudahkah ada penelitian aktual di Indonesia bahwa Six Sigma-nya bukan 1jeti : 3,4 …?!? Bisakah lebih dari itu variabelnya?
    TRY THIS…

  13. Apakah Management Tool ini dapat memprediksi suatu “external factor” dari defect yang timbul, seperti contohnya: kebangkrutan CITY GROUP, GM atau lainnya?

Comments are closed.