Bagaimana Cara Mengkloning High Performers?

Peran pengelolaan SDM di banyak perusahaan tampaknya belum bisa dilakoni dengan penuh kecemerlangan. Masih banyak peran pengelolaan SDM yang hanya tergelincir dalam setumpuk tugas administratif, dan tak kunjung mampu memberikan value added siginifikan bagi berkibarnya bendera kejayaan organisasi.

Kenyataan kelam semacam itu mestinya harus segera disibak manakala kita percaya bahwa keunggulan SDM adalah kata kunci menuju kemenangan sejati. Para pengelola SDM di perusahaan mestinya bisa setapak maju menjadi strategic partner, dan kemudian meracik sejumlah inisiatif strategis buat melentingkan kinerja bisnis menuju titik optimal.

Dalam konteks itulah, terdapat satu inisiatif kunci yang barangkali bisa segera dirajut untuk memekarkan keunggulan SDM dan kejayaan bisnis. Inisiatif ini adalah : bagaimana cara mengkloning barisan pekerja unggul (high performers). Mari kita diskusikan tema kunci ini secara ringkas disini.

Inisiatif yang kita beri tajuk mengkloning keunggulan ini berangkat dari sebuah premis bahwa dalam setiap organisasi, pasti ada para pekerja unggul – meskipun jumlahnya relatif terbatas. Tugas mulia para pengelola SDM adalah memastikan bahwa barisan pekerja unggul ini bisa di-klon, di-replikasi dan kemudian di-copy paste kepada segenap individu lainnya yang bekerja di organisasi tersebut.

Tindakan pertama yang harus dilakukan dengan demikian adalah : menemukan dan mengindentifikasi pekerja unggul di organisasi. Individu unggul ini mungkin salah seorang salesman star di perusahaan, atau supervisor di bagian produksi, atau mungkin juga seorang manajer di bagian customer service. Keunggulan disini tentu saja mencakup baik aspek kompetensi ataupun hasil kinerja karyawan.

Tindakan diatas dengan mudah bisa dilakukan jika suatu perusahaan memiliki tools atau mekanisme yang obyektif untuk men-spot para pekerja unggul. Track record prestasi para pekerja ditambah dengan proses asesmen yang komprehensif, merupakan dua alat yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi siapa para high performers di organisasi kita.

Tindakan berikutnya alalah melakukan kloning : yakni bagaimana DNA para pekerja unggul itu bisa di-ekstrak, dan kemudian “di-injeksikan” dalam tubuh para pekerja lainnya. Dalam ilmu perilaku, proses ini disebut sebagai behavior modeling. Inti dari proses ini adalah : mengidentifikasi serangkaian perilaku kritikal yang menyebabkan seseorang menjadi pribadi unggul, dan kemudian mendokumentasikannya dalam sejumlah model perilaku yang dengan mudah bisa dipelajari dan ditiru oleh orang lain.

Identifikasi critical succes behavior ini tentu saja dihasilkan melalui serangkaian interview dan observasi yang mendalam terhadap para pekerja unggul yang sudah kita spot dalam tahap sebelumnya. Demikianlah, jika yang kita spot sebagai pekerja unggul adalah seorang star salesmen, kita mau melihat perilaku kunci apa yang membuat dia bisa menjadi seorang star sales person; kebiasaan-kebiasaan apa yang dia lakukan sepanjang hari kerja; gaya komunikasi semacam apa yang dia aplikasikan ketika bertemu dengan calon pelanggan; dan beragam “clue” lainnya yang membuat dia menjadi pekerja unggul.

Proses berikutnya adalah mendokumentasikan serangkaian clues itu kedalam model perilaku yang bisa dilihat, dipelajari dan ditiru pekerja lain secara sistematis. Dokumentasi ini bisa berbentuk dalam serangkaian instruksi kerja, dalam bentuk modul pembelajaran, ataupun juga dalam bentuk video yang secara nyata menggambarkan perilaku kunci para high performers dalam keseharian kerja mereka.

Tindakan selanjutnya tentu saja adalah bagaimana “mencangkokkan” model perilaku itu kepada para pekerja lain supaya juga bisa menjejak keunggulan. Ada sejumlah cara yang layak dilakukan. Yang paling efektif adalah melalui proses coaching, dimana seorang coach yang mumpuni melakukan serangkaian sesi pertemuan pendek dengan para karyawan (sekitar 2 jam setiap minggu) namun dalam durasi yang relatif panjang (sekitar 3 – 6 bulan). Dalam sesi-sesi perrtemuan inilah, model perilaku yang sudah di-ekstrak itu didiskusikan bersama, disimak, dan kemudian diterapkan secara sistematis serta berkelanjutan.

Tentu saja proses melakukan kloning para pekerja unggul ini membutuhkan sumber daya kompetensi yang memadai, energi yang berlimpah serta guliran waktu yang panjang. Namun program ini saya kira merupakan salah satu inisiatif kunci yang sangat layak dijalankan oleh para pengelola SDM perusahaan di tanah air.

Sebab hanya dengan itulah, para pengelola SDM ini kelak bisa meninggalkan jejak emas dalam sejarah panjang pengembangan human capital. Dan bukan senantiasa dicatat dalam lembaran sejarah yang buram nan kelam.

Note : Jika Anda ingin mendapatkan slide powerpoint presentasi yang bagus tentang career management dan personal development, silakan KLIK DISINI.

Photo credit by : Al Zanki @Flickr.com

Author: Yodhia Antariksa

Yodhia Antariksa

21 thoughts on “Bagaimana Cara Mengkloning High Performers?”

  1. Kalau diterapkan bagi pemula utk mencapai level standar mungkin bisa, tapi untuk menjadi high performer rasanya kok sulit. Yg performanya tinggi biasanya punya kekhasan masing – masing yg melekat dgn karakternya.

  2. Bung Yod,

    Strategic Partner? Utk yang satu ini saya agak skeptis. Saya kuatir kata-kata indah itu hanyalah mimpi para praktisi HR supaya lebih memiliki gengsi (lebih dianggap) dalam organisasi.

    Bagaimana mungkin kita menjadi partner kalo ternyata kita hanya menjadi “Cost Center”? Beberapa diantara kita coba meyakinkan BOD dengan hitung-hitungan ROI versi HR, cuma belum bisa menunjukkan dengan gamblang duit 100 perak yang diberi ke HR sudah berkembang menjadi 150 perak misalnya (mungkin kalau ada mohon di share kepada saya).

    Menurut saya, kita (HR Department) sebagai “Small HR” harus legowo bahwa kita ini adalah “support function” walaupun fungsi HR atau “Big HR” adalah mutlak dalam operasional.

    Pertanyaannya adalah bagaimana kita bisa membuktikan bahwa “Big HR” akan lumpuh bila “Small HR” tidak diberi ruang untuk bergerak dengan lincah.

    Saya menunggu komen Bung.

    Salam
    Robin Garingging

  3. sepertinya saya harus lebih kuat mengunyah sajian pagi ini agr bisa masuk pencernaan dan diserap otak…:) sangat sepakat jika proses tranformasi keahlian atau transfrmsi sikap positif dalam kerja menjadi sebuah program berketerusan untuk melahirkan sdm-sdm baru yang memliki high performers. tp bgmn jk di tempt kerja tdk terlalu peduli dg HR… sy sangat yakin hal itu tdk mudah, tp sy jg yakin hal itu bisa. ala kulli hal, maksh bang Yod..!

  4. Ada kalimat bijak yang mengatakan “kalau kita ingin wangi maka bergaul dengan penjual minyak wangi”
    barangakali kalimat ini bisa menjadi alarm/bel bagi kita yang ingin selalu meningkatkan kualitas diri.
    thank mas Yod sebuah ilmu yang berharga bagi saya…

  5. Monitoring karyawan unggul, tiru dan lakukan setiap detail dengan proses, buat SOP darinya dan berikan ke semua karyawan lain. Baru tau yg spt ini namanya behaviour modelling. hehe

  6. saya setuju dg pendapat bung Robin, bahwa hal pertama yang harus ada adalah ‘kesadaran’ dari BOD perihal pentingnya divisi HR. tanpa hal ini saya rasa sukar bagi praktisi HR bermimpi indah di tempat kerjanya

    atau jika orang2 divisi HR benar2 kreatif, saya rasa bisa kog mencari jalan tersendiri untuk meningkatkan derajat divisi HR di organisasi, tinggal butuh kerja keras saja!

  7. @ Robin, saya kira ndak juga ya, kalau memang chief HR-nya bagus dan punya pikiran progesif serta bisa menerapkan hal-hal inovatif dalam proses pengembangan people, HR pasti bisa menjadi strategic partner.

    Di grup Astra misalnya, sekarang mulai muncul semacam tradisi bahwa seseorang harus pernah menjadi HR manager sebelum bisa naik menjadi CEO/GM.

  8. wah.. saya setuju nih model ini.. emang cara bikin perusahaan supaya lebih maju adalah dengan cara modelling dan juga kloning seperti ini. tapi cara ini emang masih jarang bisa dilakukan, karena pihak perusahaan kadang2 masih terpaku sama cara2 lama, yaitu ganti atau buang.

  9. Maksudnya bila ada karyawan yang berprestasi kita buat SOP secara detail apa saja yang dia lakukan untuk mencapai prestasinya itu agar bisa dicontek oleh yang lain. Begitu ya?? Tolong dikoreksi kalo salah.

  10. Pengembangan karyawan memang tak mutlak menjadi tugasnya HR departemen, kualitas atasan masing-masing juga menjadi faktor penentu munculnya high performer baru, ada atasan yang senang memberikan bimbingan keanak buahnya untuk berkembang, tapi tidak sedikit pula atasan yang ketakutan anak buahnya akan menjadi sepintar dia..

    Tapi..kalau boleh memilih saya lebih senang menjadi atasan yang senang membimbing untuk perkembangan anak buah..semakin pintar mereka kita pun bisa semakin mudah bekerja.. bukan tidak mungkin kita malah bisa mengembangkan diri kita lagi..

    ………seperti mas yod..yang setiap senin ajarin kita tentang HR..

  11. Sepertinya strategi ini kurang cocok untuk diterapkan apda sebuah perusahaan yang kecemburuan sosialnya sangat tinggi
    belum lagi terhadap karyawan yang di jadikan modelling pasti nantinya akan menjadikan si model akan tidak nyaman dalam aktivitas kerjanya.

  12. Sebenarnya dibeberapa perusahaan retail atau konsumen, telah menerapkan prinsip seperti ini, dengan menempelkan atau mengumumkan apa yang dinamakan “employer of the …” atau karyawan … ini yang artinya pada masa itu seorang karyawan telah melakukan suaut achievement atau melakukan sesuatu above other average. Mungkin contoh ini adalah skala kecil dari apa yang dipaparkan dalam artikel ini. Bukan begitu Bung Yodhia?

  13. Ini menarik, tapi jelas bukan main susahnya. Isi kepala tiap orang beda-beda, karakternya beda, framework-nya juga beda, jadi untuk membuat kloning/replikasi jelas nggak gampang. Kedua, yang namanya tacit knowledge (yang dimiliki para high performers) tentunya sulit di-codified, yang pada akhirnya akan susah juga untuk direplikasi atau diturunkan ke personel yang lain.

    Tapi saya setuju kalau investasi yang paling penting dalam suatu bisnis/organisasi adalah investasi SDM. Masalahnya, organisasi/bisnis di Indonesia yang punya visi strategis ke arah itu mungkin masih bisa dihitung dengan jari.

  14. Artikel yang menarik. NLP (Neuro Linguistic Programming) yang disebut juga ‘Human Excellence Modeling’, mirip dengan yang diuraikan mas Yod diatas. Dalam level individu saja, kesuksesan proses modeling sangat tergantung pada sistem nilai individu tsb dan seberapa besar keinginannya/burning desire untuk sukses. Jika diterapkan di level organisasi, maka kesuksesan proses ‘kloning’ menjadi semakin kompleks, apalagi jika sistem nilai di perusahaan (corporate value) masih carut-marut, tidak konsisten dlsb, jangan harap akan berhasil, walaupun sudah menghabiskan energi, resource dan waktu yang luar biasa. Dapat dipahami kalau dalam beberapa komentar ada keraguan bahwa proses ‘kloning high performer’ adalah sesuatu yang possible 🙂

  15. saya tidak sepenuhnya sependapat bahwa HRD semata hanya support fuction, atau lebih lanjut digambarkan hanya small HR, kebetulan saya adalah Division Manager sebuah perusahaan otomotive yg membawahi HRD, Finance, Marketing serta Procurement.

    Memang betul sebagai support dalam artian not directly to product, tetapi bagaimana mengorganize ribuan karyawan sehingga memiliki platform yg seragam, tujuan yg sama, berjuang bersama-sama dengan sasaran yg juga sama ini butuh skill HR yg tinggi, line produksi akan berhenti atau lambat laun akan terus turun produktivitas nya jika HR tidak melakukan disain terhadap skill mapping, training system untuk melakukan kaderisasi keahlihan, job rolling sebagai cara untuk menstabilkan tingkat moticasi karyawan, dsb yang merupakan core jobnya HR, mungkin bung Robin Garingging perlu diskusi lebih lanjut di forum yg lebih praktis, betapa Jepang begitu sukses didunia otomotif karena mereka juga sukses melakukan TWI yg justru dulu dikembangkan oleh amerika pd PD ke-2

  16. saya senang mengamati dan mempelajari cara kerja rekan2 disekeliling saya yg memiliki kemampuan lebih dan kemudian mengcopynya pada diri saya ….

  17. Istilah cloning sebaiknya digunakan pada level “tactical worker” saja, karena kita bermaksud mencetak SDM persis sama dan sebangun sesuai dengan tujuan cloning pada bidang biologi. Bila kita bermaksud mencetak “knowledge worker” yang saat kini dianggap sebagai SDM tulang punggung pada era Knowledge Economy, sebaiknya ditularkan bagaimana kemampuan “learning how to learn” tercapai melalui proses “knowledge flow” agar terjadi “learning transfer”. Jadi cloning diasosiasikan dengan peniruan struktur, sedangkan learning transfer diasosiasikan dengan kemampuan fungsi.

    Tentang topik Knowledge Worker ikuti K-base kami https://delicious.com/mobeeknowledge/knowledgeworker (10 artikel)

Comments are closed.