Gerakan Membangun Kampung Halaman

Setiap tahun menjelang hari lebaran, sekitar 8 juta penduduk Jabodetabek (dan kota-kota besar lainnya) melakukan ritual tahunan yang penuh gemuruh : pulang mudik, pulang ke kampung halamannya. Dan setiap tahun pula, mendadak kota Jakarta menjadi lebih senyap, menjadi lebih longgar.

Kalau saja para pemudik itu tetap tinggal di kampung halaman selamanya, kota Jakarta (dan kota-kota besar lainnya) mungkin tidak terlalu letih menanggung beban. Sementara ribuan kampung halaman akan tetap semarak sepanjang tahun, memantulkan geliat ekonomi yang sumringah.

Namun sayang itu belum terjadi. Jutaan kaum urban itu – seperti syair dalam lagu Koes Plus – akan segera kembali ke ibukota Jakarta. Sebab disanalah mungkin harapan terus berkibar-kibar. Sebab disanalah, patung Selamat Datang di Bundaran HI terus melambai-lambai : menyambut sang pemudik untuk datang kembali.

Dan Jakarta kembali seperti semula : kian lelah menanggung beban, kian termehek-mehek menopang jutaan warganya.

Gambaran kota Jakarta adalah tipikal khas megapolitan negara-negara berkembang, sama seperti kota Bombay, Sao Paulo, Mexico City hingga kota Karachi : makin banyak penduduk urban, dengan sumber daya yang makin terbatas.

Pada tahun 2020, kota Jakarta akan menjadi kota megapolitan dengan penduduk sekitar 25 juta orang (saat ini jumlah penduduk Jakarta di siang hari adalah 12 jutaan). Berarti lebih dua kali lipat naik. Sekarang saja, kemacetan sudah kian melelahkan, apalagi kalau penduduknya naik dua kali lipat. Alamak.

Salah satu biang kepadatan, dan kemacetan itu, tentu saja adalah jutaan kaum urban yang tiap tahun berbondong-bondong datang ke Ibukota. Dan jujur saja, saya adalah salah satu dari jutaan kaum urban itu (saya hijrah ke Jakarta pada tahun 1996 dari kampung halaman saya di Pekalongan, membuat kota Batik ini kehilangan salah satu putra terbaiknya….:))

Fenomena yang saya alami itu acap juga disebut sebagai urban brain drain. Atau pindahnya kaum muda yang terdidik dan potensial dari kampung halaman menuju ibukota. Dalam jangka panjang ini bisa membawa petaka : semua orang terbaik menumpuk di Jakarta, membuat gap yang kian lebar dengan ribuan kampung halaman di pelosok Nusantara.

Itulah kenapa, gerakan membangun kampung halaman mungkin harus terus disuarakan. Sebab dengan itu, geliat dan roda ekonomi kampung halaman juga bisa terus melaju dengan pesat. Ada dua jalan yang barangkali bisa dilakukan.

Yang pertama, mendorong kaum urban yang ada di Jakarta (atau kota besar lainnya) untuk pulang, dan memulai usaha di kampung halamannya (terutama bagi kaum urban yang sudah meraih kesuksesan). Fenomena ini disebut sebagai reverse brain drain : atau kembalinya orang-orang penuh talenta untuk berkiprah di kampung halaman (seperti kisah orang China dan India yang sukses di Silicon Valley, dan kemudian memilih pulang ke kampung halaman selamanya).

Beberapa kerabat saya telah melakukan hal diatas : karena sudah terlalu letih dengan kemacetan di Jakarta, mereka memilih pulang, dan memulai usaha di kampung halamannya. Dan berhasil. Mungkin suatu saat saya akan mengikuti jejak mereka (pulang kampung ke Pekalongan, dan menjadi Guru SMA, sebuah cita-cita lama yang terus saya pendam hingga hari ini).

Cara kedua : kini sudah saatnya, menggelorakan kampanye β€œMembangun Kampung Halaman” di segenap kampus-kampus di tanah air. Tagline-nya begini : Go Home. Build Your Hometown.

Impian para calon sarjana sekarang selalu seperti ini : lulus, pergi ke Jakarta (atau kota besar lain), dan kemudian melamar pekerjaan menjadi karyawan; dengan harapan kelak bisa menjadi manajer.

Mungkin mindset itu perlu diubah : setelah lulus, pulang ke kampung halaman, dan memulai usaha sendiri dengan berbasis pada potensi serta sumber daya lokal. Impian ini rasanya lebih menggetarkan. Dan lebih heroik.

Begitulah, dua jalan yang barangkali mesti dilakukan untuk membuat ribuan kampung halaman menjadi lebih sumringah dan semarak. Dan pada saat yang bersamaan, membuat beban kota Jakarta (dan kota besar lainnya) menjadi lebih terdistribusi secara merata.

So, let’s go home. Build our hometown.

Photo credit by : DanielKHC @flickr.com

Author: Yodhia Antariksa

Yodhia Antariksa

33 thoughts on “Gerakan Membangun Kampung Halaman”

  1. Sharing dong, apa yang mas lakukan untuk mengurangi kepadan jakarta atau membangun kampung halaman. Siapa tahu bisa menginspirasi. Ditungguuuuu

  2. Sebuah inspirasi subuh yang sangat luar biasa. Saya yakin ide untuk memajukan kampung halaman patut kita dukung bersama. Dan pola fikir yang sudah menjadi tradisi untuk menjadi kaum urban dapat diminimalisir.

    Terimakasih Pak Yodhia untuk inspirasi paginya. Saya juga sama seperti anda, saya merantau ke jakarta. Mudah-mudahan suatu saat saya dapat kembali ke kampung halaman saya untuk memajukan potensi yang ada di daerah saya.

    Selamat Iedul Fitri, Mohon Maaf lahir dan bathin.

  3. Semalem ada ulasan potensi mudik sangat besar buat menggerakkan ekonomi daerah.

    ada sekitar 105 triliun dana mengalir selama mudik (dalam dan luar negeri) ke daerah.jumalh ini senilai sekitar 10 persen APBN pemerintah.

    andai saja peruntukannya untuk barang modal,tentunya akan menarik kita simak hasilnya ke depan.Selamat Mudik dan ber Hari Raya Idul Fithri 1432 H.Mhn maaf Lahir Bathin.

    Salam,
    Wahyudi
    http://www.whjobs.info

  4. Bukik (2) : saya lahir dan besar di kota Pekalongan, dalam tradisi Muhammadiyah yang kental. Sebab itu, melalui organisasi ini, saya bersama dengan rekan-rekan disini, membangun kota kelahiran saya.

    Untuk melihat kiprah kami dalam membangun kota kelahiran, please do come here : Mengapa Saya Bangga dengan Muhammadiyah Pekalongan

    Muhammadiyah Pekalongan acap dianggap sebagai salah satu prototipe lembaga sosial keagamaan yang maju, progresif, dan sekaligus dinaungi spirit membawa keberkahan bagi semesta alam.

    Banyak sudah orang dari segenap penjuru tanah air, juga sejumlah peneliti asing, yang datang ke Pekalongan : belajar tentang bagaimana membangun social movement yang mencerahkan bagi segenap umat.

    Now that’s the power of thinking globally, acting locally.

  5. Ya.PR buat pemerintah dan pelaku ekonomi utk menyebarkan aktivitas ekonomi ke kampung,jgn hny terpusat di ibukota.mgkn bisnis di daerah yg byk tenaga kerja lbh murah dari pada biaya mudik tenaga kerja,

  6. Ass..sy sangat sependapat dengan gerakan membangun kampung halaman

    sy telah melakukannya begitu tamat kuliah tahun 2004 sy langsung pulang kampung dan mengabdi d sebuah perguruan tinggi swasta sampai saat ini dan bs melanjutkan pendidikan sampai S3 krn bekerja d PTS..

    tapi tidak serta merta kesuksesan sy (sukses menurut ukuran sy πŸ™‚ tsb) d kampung halaman d beri apresiasi, malah eksistensi kita2 (bersama2 teman komit pulang kampung dng sgala keterbatasan dan tidak memilih menjadi PNS) cenderung d kerdilkan terutama oleh pemerintah daerah yg lbh percaya kpd Pihak luar

    dan mereka2 yg dulunya tidak mau pulang kampung krn memandang kampungnya susah skrng berebutan mencari tempat bergantung baru..

    alhasil kita2 yg sedari awal berani komit membangun kampung halaman harus terus berjuang menghadapi ketidak adilan..

    tapi saya puas dan bangga atas keputusan pulang kampung,kelak akan terus berkontribusi bagi kampung halaman..

  7. Mohon maaf lahir dan bathin pak Yodhia..

    Saya juga dari hati kecil ingin sekali membangun kampung halaman ( cita-cita jangka panjang), tetapi saat ini saya juga masih menjadi kaum urban yang datang ke Jakarta, karena sampai hari ini saya sampaikan, banyak hal yang mungkin belum tentu saya dapat di kampung halaman

    Belajar melihat bisnis yang begitu ketat di jakarta ini( pembelajaran), mengenal orang-orang yang jauh lebih sukses dari saya, dan saya berusaha belajar dari kesuksesan mereka

    Semoga suatu saat nanti saya bisa membangun bisnis di daerah saya sendiri.. amin..

    saya doa kan Pak Yodhia bisa juga membangun Pekalongan.. πŸ™‚ amin..

  8. sebuah cita2 mulia, wacana seperti ini terus menggelora setiap lebaran. perlu ada pelopor2, contoh2, dan penggerak dan dukungan dari orang2 besar untuk mewujudkannya. mungkin perlu ada lembaga sosial atau perusahaan besar untuk sponsor.

  9. Saya adalah salah satu sarjana kampung yg belum hijrah ke Ibu Kota. Saat ini saya masih berusaha membangun kampung halaman, meski mungkin skalanya (masih) sangat kecil, hehe….

    Salam Pak Yodhia πŸ™‚

  10. Ide yang bagus dan mulia. Saya sendiri sebagai perantau juga punya mimpi sama dengan Bung Yodh.

    Sekedar sharing, pemda kampung halaman saya sudah sejak lama punya program seperti ini. Ya, kami orang Sumut, sudah familiar dengan program yang diberi nama “Martabe” yaitu singkatan dari “Marsipature Hutana Be” yang artinya kira-kira “membangun kampung masing-masing”. Dalam beberapa hal program ini sukses namun menang belum begitu berhasil.

    Beberapa tantangan yang dihadapi pada program ini adalah:

    1. Fasilitas dan kenikmatan hidup yang ada di kota tidak ditemukan di kampung. Ini membuat orang enggan pulang.
    2. Banyak kasus, “orang kota” tidak diterima di kampung karena sudah dianggap bukan bagian dari mereka lagi.

    Nah, yang membuat miris adalah, orang-orang perantau ini pasti akan pulang nantinya. Hanya saja pada saat itu dengan tambahan gelar “Alm” di depan namanya. Akhirnya pembangunan memang ada, tapi cuma Kuburan dan Tugu. Sangat menyedihkan.

    Anyway, ini ulasan yang sangat menarik. Mari kita tanamkan pada diri kita masing-masing untuk mau pulang dam membangun kampung halaman. Semoga mimpi membangun kampung halaman bisa segera terwujud sebelum kita diwisuda dari kehidupan.

    Salam
    Robin

  11. saya orang tidak betah di jakarta walaupun hanya tinggal 1 bulan, Saya memilih menetap di Sukoharjo, dekat kota Solo tempat saya kuliah.

    Membangun Kampung halaman tidak harus dilakukan dengan pulang Kampung. Kita bisa sinergikan sumber daya yang dikampung dengan usaha yang kita lakukan.

    Kebetulan saya bekerja dibidang handycraft sangat sinergi dengan kampung halaman he he,…

  12. Saya sangat setuju dengan….Go Home. Build Your Hometown!!!

    Ini lebih memungkinkan untuk mencapai program pemerintah, “Memeratakan Pembangunan”.

    Harusnya pemerintah dapat membantu para pemuda kampung seperti saya ini baik dari segi Modal, Training, Sarana dan Prasarana lainnya untuk melakukan usaha karena ada begitu banyak Potensi daerah yang belum dapat digali untuk kesejahteraan masyarakat sekitar.

    Salam,
    ringo

  13. go home, build you hometown (kembali pulang & bangun kampung halaman)….

    kalo spt sy yg keturunan orang tua kaum urban gimana

    kampung Bapak di Gorontalo dan Ibu di Solo-Tasik kayaknya gak asik untuk kami tinggali, ngga bisa dipungkiri peluang & potensi di kota lebih banyak

    belum lagi infrakstruktur & sarana pendukung kehidupan utk kita yg mengejar mimpi menjadi sejahtera, sebelum tua.

  14. Distribusi kekayaan dan perputaran uang harusnya bisa dinikmati oleh semua orang, fenomena antri untuk jatah zakat sangat menyedihkan sementara pemerintah menyatakan berhasil menurunkan angka kemiskinan.

    Saya setuju dengan pendapat mas Robin, bahwa memang tidak sebanding terutama fasilitas.

    Kita berharap, infra structure summit summit kemaren bukan sekedar wacana namun betul-betul dijalankan sehingga setidaknya gap antara pulau jawa dan lainnya tidak begitu jauh.

  15. Saya jadi teringat motto dari Gubernur Jateng P.Bibit waktu kampanye dan awal jd gubernur yaitu “BALI NDESO BANGUN DESO”

    pemkiran yg sangat bagus tinggal bagaimana implementasinya ..

    Jakarta kalau menurut saya benar-benar kota yg sdh kelebihan beban…

    bagaimana tdk ..pusat pemerintahan, pusat bisnis, ..pusat pendidikan ,pusat hiburann/wisata ..dan pusat2 lainnya.

    untuk mengurai itu semua dibutuhkan ..pemimpin yg kuat ..dan terobosan kebijakan yg radikal ..mungkin revolusioner..tp saya yakin kalau mau pasti bisa..bravo !!!

  16. cocok. tinggal siapa yang mau duluan memulai yang tentunya siap dengan segala resikonya………
    jangan kwatir pasti ada jalan .walau tidak mulus

    selamat berjuang membangun desamu….desa kita bersama untuk satu indonesia.
    jaya bangsaku.

  17. Kita juga mesti realistis.

    Kebanyakan kaum urban tsb bukan usahawan. Mereka karyawan biasa, meski mungkin sebagian dari mereka memiliki mental pengusaha dan berpotensi jadi pengusaha.
    Saat ini tenaga dan keterampilan mereka (sebagai karyawan) di hargai sangat rendah di daerah.

    Lihat saja UMR (UMK) di Jawa Tengah, rata2 di bawah 1 juta (bahkan banyak karyawan di daerah saya cuma digaji 300rb sebulan)

    Padahal, mereka juga menginginkan gaya hidup sebagaimana saudara2 mereka yang bekerja di kota.

    Alhasil himbauan semacam ini jadi ga ada artinya.

    Seandainya UMR bisa dibikin sama se-Indonesia, mungkin mereka akan lebih memilih di kampung halaman. Otomatis kan tidak ada biaya utk sewa rumah dll. Jadi bekerja di kampung lebih menguntungkan.

    Saat ini yang paling enak bagi warga daerah adalah jadi PNS. Gaji sama aja dengan PNS Jakarta, tapi biaya hidup (pokok) lebih murah.

  18. Ada gula ada semut, demikian ungkapan umum yg sering dipakai utk menggambaran besarnya magnet Jakarta bagi para urban.

    Pertanyan kritis yang perlu diajukan adalah : “siapa gulanya dan siapa semutnya?”.

    Mereka lupa bahwa merekalah gula dan sekaligus semutnya.

    Merekalah konsumen dan sekaligus marketnya.

    Oleh karena itu sangatlah wajar apabila dibangun insight baru untuk tetap ada di daerah secara bersama-sama karena pada saat itu juga gula atau market beserta semut atau konsumennya memiliki potensi untuk menetap di daerah dan mengembangkan magnet mereka sendiri.

  19. Saya coba lakukan dg cara yg lain. November nanti buat Taman Bacaan Anak di kampung. Sekarang lagi mengumpulkan materi (buku pengetahuan / majalah anak bekas) dg minta sumbangan ke kolega2 di sidoarjo…majalah2 anak mereka menumpuk dan akhirnya dibuang/ dikilo-in ..khan sayang itu.. bisa disumbangkan ke kampung πŸ™‚

  20. Alhamdulillah saya sudah kembali ke kampung halaman saya di Klaten, selepas dari kuliah di Bandung dan bekerja di Balikpapan.

    Kini saya mendirikan sarana belajar komputer, warnet, kursus bhs inggris&taman bacaan buku2 yg bermanfaat melalui Rumah Pintar Kembar.

    Melalui ini, ide2 saya, impian saya semasa kuliah bisa tercapai, dan niat baik utk insyaAllah membuat masyarakat sekitar ikutan pintar bisa terwujud pak..Meskipun banyak juga yg mempertanyakan keputusan saya ini.

    “Tidak ada pekerjaan yg kecil jika kita melakukannya bersungguh2”

  21. Setelah malang melintang di Jakarta selama 13 tahun, April kemarin kami pulang ke kampung halaman.
    Beberapa usaha yg sudah kami rintis di Jakarta kami pindahkan ke kampung halaman, dengan bantuan internet, kerja dari mana saja insyaAllah sudah bukan lagi menjadi soal.

    Bismillah, lakukan yg terbaik untuk kampung halaman kita πŸ™‚

  22. saya sepakat dengan pernyataan “setelah lulus, pulang ke kampung halaman, dan memulai usaha sendiri dengan berbasis pada potensi serta sumber daya lokal. Impian ini rasanya lebih menggetarkan. Dan lebih heroik.”

    ketika ditanya teman, “setelah lulus mau kemana?” kata sakti yang selalu saya gunakan adalah pernyataan tersebut di atas

  23. sebelum makasih merasa ada semangat baru memang teorinya begitu

    nambahin aja mas…

    menurut saya untuk yg pertama kayanya aga sedikit susah dilaksanakan soalnya orang kota ek-kampung (mirip xixixi…) sudah terhegemoni dengan gemerlap kota untuk memaksakan impiannya.

    mungkin yang kedua punya peluang besar cuman ada sedikit kendala dengan sarjana kita nih mas…

    mereka jarang punya skil buat wirausaha apalagi buat bagun kampung masalahnya cuman taunya kosant-kampus kali2 ke mall, cek aja jumlah mahasiswa dengan yang ikutan UKM (unit kegiatan mahasiswa)

    makanya banyak sarjana ketika balik kampungnya mau bikin mesjid atau kelompok tani disuruh bikin proposal jawabnya ga ada mata kuliahnya. ironis padahal itu yang dibutuhkan dimasyarakat.

    dan…

    salam
    yang berusaha istikomah merealisasikan
    “Go Home. Build Your Hometown”

  24. Saya juga asal jkt, tp skrg merantau kerja di perushaan di Malang jatim jg sambil bangun bisnis kecil2an kos2san n atributnya dikomplek mahasiswa sekitar Unbraw, Muhammadiyah, ITN dll, kebetulan malang lokasi universitas terlokalisir jd enak lokasi terfokus…

    so sy enggak mau balik untuk hidup di jkt lagi kec mudik lebaran…pusing n ruwet bgt…artinya jenis spt saya ini namanya apa ya mas Yodhia..?

Comments are closed.