My Entrepreneur Family : Berjibaku Merajut Kemakmuran

Fajar kebangkitan ekonomi negri ini mungkin akan terus berkibar-kibar dalam panggung ekonomi sejagat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia – setelah China. Dan ini dia : pada tahun 2030 size ekonomi Indonesia akan melesat dan nangkring pada peringkat 7 besar dunia.

Sebuah karnaval indah tentang kemakmuran mungkin akan terbentang, kalau saja prospek jos markojos itu juga disertai dengan kebangkitan masif barisan entrepreneur : mereka yang berjibaku menganyam nilai tambah demi ekonomi keluarga dan orang-orang di sekelilingnya.

Benar, laju pertumbuhan jumlah enterpreneur dalam beberapa tahun terakhir terus meningkat. Beragam festival wirausaha datang siling berganti, mencoba menyapa angan dan impian jutaan anak muda negeri ini. Sayangnya, akselerasi pertumbuhan entrepreneur belum juga menemukan momentum yang dramatis.

Ada banyak faktor yang bisa disebut tentang kenapa laju dan akselerasi pertumbuhan jumlah entrepreneur di tanah air belum begi masif. Dunia pendidikan kita mungkin lebih banyak mengajarkan anak didiknya untuk menjadi job seekers, dan bukan job creators atau risk takers yang berani menjemput petualangan usaha yang berliku nan mendebarkan.

Faktor lain yang mungkin ikut berperan adalah faktor keluarga (family factor). Ada kecenderungan kuat dimana seseorang akan menjalani profesi seperti ayah, orang tua dan anggota keluarga di sekelilingnya.

Begitulah, jika ayahnya menjadi pegawai, maka anak-anaknya juga akan cenderung mengikuti langkah yang sama. Ayahnya dokter, biasanya anak-anaknya (setidaknya salah satunya) juga ada yang akan menjadi doker. Ayah atau ibunya dosen, maka anggota keluarganya juga akan mengikuti jejak yang sama. Memang benar pepatah yang berbunyi : buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya.

Hanya sayangnya, fakta diatas acapkali juga tak lepas dari “kemauan sang ayah”. Jika misalnya, si ayah pernah menjadi pegawai dan sukses menjadi manajer, maka biasanya ia juga akan mendorong anak-anaknya untuk mengikuti jejak dirinya, yakni bekerja menjadi pegawai dan meretas karir menjadi manajer di perusahaan besar (saya sering menemui kasus seperti ini pada sejumlah orang).

Dalam kultur keluarga semacam itu, yang mendorong anak-anaknya untuk menjadi pegawai seperti ayahnya (dan kemudian menikmati stabilitas ekonomi), maka biasanya akan sulit bagi si anak untuk mengambil risiko menjadi entrepreneur.

Dalam lingkungan keluarga yang tak terbiasa dengan petualangan usaha – dan telah terbiasa dengan kemapanan khas pegawai – maka pilihan anak untuk menjadi wirausaha menjadi sesuatu yang “agak terasa aneh”. Dan biasanya, meski tidak eksplisit, orang tua cenderung akan tidak sepenuh hati menyetujuinya.

Sebaliknya, anak-anak yang dibesarkan dalam kultur kemandirian usaha, dimana orang tuanya juga dulu berprofesi sebagai wirausaha/pedagang, maka transformasi karir anak-anaknya untuk menjadi entrepreneur akan berlangsung dengan lebih mulus. Saya beruntung dilahirkan dalam keluarga semacam ini.

Ibu saya memiliki darah yang pekat dengan kemandirian usaha. Ia sejak menikah dulu telah menjalani usaha produksi batik, dan hingga beberapa tahun silam, rajin ke Pasar Tanah Abang untuk menjajakan produksinya, door to door ke setiap toko yang ada di pasar itu.

Sementara ayah saya adalah “social entrepreneuer tulen” : ia sejak lama telah mewakafkan hidupnya untuk kegiatan sosial keagamaan (ia mendedikasikan hidupnya untuk mengelola Muhammadiyah Pekalongan, dan merupakan arsitek dibalik kebangkitan ormas itu untuk menjadi salah satu the best Muhammadiyah branch in Indonesia).

Dalam kultur keluarga semacam itu, yang praktis tidak pernah mengenal ritual berangkat ke kantor setiap hari pada jam yang sama, maka saya dan adik-adik saya jadi lebih memilih menjadi “free person” dan menjadi entrepreneur.

Saya adalah anak sulung dengan empat adik. Dan semuanya berketetapan hati menjadi wirausaha (beberapa pernah mencoba menjadi karyawan, namun kemudian semua resign lantaran ingin meniru ibunya yang dengan gigih mengajarkan arti kemandirian ekonomi).

Berikut sekilas perjalanan karir saya dan adik-adik saya, yang mungkin menjelaskan mengenai keberanian keluar dari comfort zone, dan merajut kemakmuran secara mandiri :

Yodhia Antariksa (saya sempat bekerja menjadi karyawan selama 6 tahun, sebelum resign dan membuka usaha dibidang konsultan manajemen SDM)

Aditya Samudra (sejak lulus langsung memilih menjadi wirausaha, sekarang menekuni bisnis penyediaan alat peraga pendidikan)

Astrea Kejora (sempat bekerja di Bank Syariah Mandiri selama 12 bulan, resign, dan kini punya usaha bagus dibidang pembuatan perban/pembalut kassa).

Adhika Dirgantara (sempat bekerja di Pfizer selama 3 tahun, resign, dan kini punya usaha top dibidang penjualan emas batangan secara online)

Adhigama Gurun (sempat bekerja di Bank Mega selama 6 bulan, resign, dan kini menekuni bisnis produksi dan pemasaran batik).

(ya, nama semua anggota keluarga kami melambangkan kebesaran semesta : menembus antariksa dan luasnya samudra, menikmati bintang kejora dan digantara, ditengah padang Gurun yang luas membentang)

An Entrepreneur Family – mungkin ini yang bisa menjelaskan kiprah anggota keluarga kami. Pada akhirnya, mungkin ini impak dari sebuah DNA : gen dan darah kemandirian ekonomi ini mengalir deras dari ibu dan ayah kami (juga dulu dari kakek nenek kami yang semuanya juga wirausaha tangguh).

An Entreprenuer DNA. Ini mungkin jenis genetika yang mesti terus di-semaikan dalam keluarga Indonesia.

Saya sendiri berharap, gen itu yang kelak bisa mengalir pada darah anak dan cucu kami. Sebab pada tahun 2030, ketika ekonomi negeri ini kian menjulang, saya ingin anak-anak saya menjadi wirausaha muda yang tangguh : berlayar merajut kemakmuran demi keluarga dan bangsa.

Photo credit by : Ludovic Bertron @flickr.com

Author: Yodhia Antariksa

Yodhia Antariksa

38 thoughts on “My Entrepreneur Family : Berjibaku Merajut Kemakmuran”

  1. Salam kenal Pak Yodhia. Menarik sekali ulasan ttg keluarga entrepreneur Bapak di atas, yg kebetulan berbeda sekali dengan latar belakang keluarga kami. Saat ini saya mulai menyadari akan menantangnya dunia entrepreneurship.

    Tentunya keputusan untuk berpindah menjadi entrepreneur adalah keputusan yang besar.

    Mohon Bapak berbagi pengalaman (mungkin di tulisan-tulisan berikutnya) bagaimana dinamika dunia entrepreneur ini. Tak lupa saya ucapkan terima kasih atas tulisan-tulisan Bapak yang bagus di blog ini.

  2. sepertinya saya tidak memiliki DNA Entreprenuer spt bapak, itu knp saya harus berusaha lebih keras hehehe.., saat ini saya masi melalui sbuah proses untuk pembentukan DNA Entreprenuer, gagal sih sudah biasa alhamdulillah bs bangkit lagi, yang penting baca artikel bapak tiap senin biar dapat inspirasi… smangat… smangat…

  3. Kita tidak bisa memilih keluarga kita kan pak. Trus ada tips untuk yang diberi keluarga tidak seperti keluarga pak Yod? (pertanyaan ini koq kaya ga bersyukur ya, padahal keluarga adalah anugrah yg luar biasa)

  4. wah..salut yang paling dominan untuk membentuk entrepreneur menurut saya memang lingkungan, apakah dari keluarga atau lingkungan tempat tinggal. Sebuah keluarga pengusaha dengan 4 anak berpotensi lebih besar melahirkan 4 lagi keluarga pengusaha dibandingkan dengan seorang pengusaha sukses yang membuka seminar dan mentoring bisnis dengan kelas yang dihadiri ratusan peserta.

    Semoga sukses

    Salam,
    Wahyudi
    http://www.afscmelocal512.org

  5. Sukses buat pa Yodhia dan juga temen2 yang sekarang menggeluti pengusaha. Tetapi apapun pilihan anda saat ini maka yang terpenting adalah bagaimana memberikan prestasi terbaik. apakah itu sebagai pengusaha, karyawan, guru, atau apapun. jadikan pilihan Anda memberikan nilai lebih pada kehidupan Anda di akhirat. 🙂

  6. saya malah kebalik mas,orang tua termasuk sukses berwirausaha, namun mendorong anak anaknya untuk menjadi pegawai saja, karena tidak ingin mengulangi kepedihan dalam berusaha yang mereka lalui. Ayah tidak lulus SD dan ibu tidak lulus SMP, namun semua anaknya Sarjana,dan mampu menyekolahkan puluhan orang sampai lulus SMA dan sarjana sebagai anak asuh

    saya sudah beberapa kali berbisnis namun gagal ( offline bisnis ), tapi semoga tahun depan bisa resign dan mampu mengembangkan bisnis online yang saya tekuni saat ini.

    catatan : mas Yodhia gak cocok jadi anak sulung lebih cocok anak bungsu, cocoknya yang paling kanan jadi anak sulung

    https://kaoskus.com/

  7. Menarik sekali kisah dan latar belakang pak Yodhia. Setidaknya bs memberi inspirasi bg sy dan pembaca lain yg kebanyakan ‘gen’ yg dimiliki trlanjur berpola ‘job seekers’ bukan ‘creator’. Smoga pak Yodhia sll mendapatkan rahmat, anugrah dan bimbingan shg bisa terus berbagi dan memberi manfaat buat orang lain antara lain melalui blog ini…

  8. Sebuah teori yg sering disebut2 ktika bicara mngenai entrepreneurship adlh, jk sbuah negara mmiliki sdikitnya 2% entrepreneur, mk akselerasi prtumbuhan ekonomi utk mnjd sbuah negara maju akn trcapai.

    Dikatakn, mnurut data yg dimuat Kompas 2011, entrepreneur Indonesia baru 0,18%. Jk pnduduk Indonesia 230jt, brarti skitar 400.000-an entrepreneur. Apa iya?

    Buah jatuh tdk jauh dr pohonnya. Sepakat. Dan jg lingkungan yg mndominasinya. Krn sturut teori pmbntukan karakter, selain by nature (genetik) jg by nurture (asuhan). Krn org tua di Indonesia masih bnyak yg brmindset ambtenaar, anak2nya jg sibuk mmikirkan bkerja di mana stelah lulus skolah.

    Namun, sy melihat saat ini ada tren org mulai melihat entrepreneur sbg hal yg keren.

    Org mulai bangga mnjd entrepreneur. Mungkin dg smakin bnyaknya kelompok2 entrepreneur di setiap ekosistem, akn mnjd nurture yg kuat mmbntuk mindset entreprenur.

    Trimakasih Pak Yodhia atas brbagai tulisannya, meski sy agak telat mnjd pmbaca setia tulisan2 anda.

  9. wah-wah-wah,semoga bisa menginspirasi.Walaupun memang benar demikian,tidak semuanya juga begitu.Kadang sang ayah sukses dalam dunia kerjanya,tapi mental,kecerdasan sang anak tidak melampaui si ayah,jadi banyak juga yang melenceng dari keinginan ayahnya. Apapun itu yg penting halal. hehe.

  10. Sejak duduk di bangku SMP saya sudah sering diajak Ibu keluar-masuk pasar. Dari Pasar Klewer, Pasar Kliwon, Pasar Tn. Abang, hingga Jatinegara. Dari mulai usaha Sarung Palekat, Celana Jeans, hingga Batik. Waktu itu usia Ibu saya tak lagi muda, 55th!, dan dia masih rutin keliling pasar, dari satu toko ke toko lainnya untuk mendapat orderan atau sekedar silaturahmi.

    Saya banyak belajar dari Ibu saya, bagaimana berkomunikasi dengan pelanggan atau calon pelanggan, negosiasi harga, negosiasi sistem pembayaran, dan yg tdk kalah penting Ibu melatih saya untuk memiliki mental dan kepribadian yang tangguh.

    Menawarkan barang bukanlah perkara mudah, ada rasa malu, takut, nervous yg akan menjadi tembok penghalang. Dan Ibu saya sudah sejak lama merobohkan tembok penghalang tsb krn beliau sadar bahwa dia memiliki 5 orang anak yg harus ditanggung.

    Beberapa kali, bukan 1-2 kali, Ibu saya ketipu ratusan juta rupiah, barang yg dikirimkan ke pelanggan dibayar dengan giro2 bodong alias kosong. Tp beliau tdk putus asa, lalu jatuh, dan terpuruk. Beliau tetap bangkit lagi. Dan taukah apa yg dinasehatkan Ibu saya? “Kalo masih bisa ditagih ya ditagih. Kalo masih ada batik milik kita ya diambil batiknya. Kalo bisa dtukar dgn jaminan lain semisal mobil atau rumah yg sesuai jumlah terhutang ya Alhamdulillah.

    Kalo gak bisa semua, ikhlaskan saja… Insya Allah, Allah akan menggantinya dengan yang lebih banyak lagi”. OMG! Ini ilmu bisnis apa ini? Rasa2nya saya kuliah 4 tahun di IPMI tdk pernah dpt pelajaran spt itu.

    Saya ingat betul, Ibu dan Saya berangkat dari bekasi (Rumah Kakak) naik Bus Patas AC 63, turun di gambir, naik bajaj menuju Ps. Tn Abang. Di usianya yg sudah 55th, beliau tak merasa lelah menggendong tas ransel besar yg berisi puluhan sample motif batik, saya saja yg masih muda merasa kelimpungan, tapi tak sedikitpun raut wajah kepedihan dan lelah tergurat di wajah Ibu.

    Dari Ps. Tn Abang kemudian naik bajaj lagi menuju Jembatan Lima, dari Jembatan Lima kembali lagi ke Ps. Tn Abang, lalu ke stasiun Gambir dan pulang menggunakan transportasi yg sama.

    Usia beliau 55th, bukan wanita umur 37th yg muda nan enerjik! Jangan berharap kita pulang akan mampir Sarinah untuk makan McDonald atau seloyang Pizza Hut, Saya dan Ibu makan di warung2 yg banyak berjualan di Ps. Tn Abang, menthok2nya nasi padang. “Kita kesini bukan untuk liburan tapi cari duit” demikian Ibu saya menasehati.

    Satu lagi nasehat ibu saya: “Kerja ini tdk semata-mata mencari uang tapi juga ibadah. Yang penting berkah. Dapat untung banyak tapi gak berkah, uangmu akan tercecer kemana-mana, menguap entah kemana. Tapi kalo berkah, biar sedikit tapi Insya Allah akan tercukupi semua kebutuhanmu.

    Biar pas-pasan yg penting berkah. Pas mau beli rumah pas ada uang, pas mau beli mobil pas ada uang, pas mau menyekolahkan anak pas ada uang, pas mau umroh pas ada duit, pas mau naik haji pas ada duit. pokoknya serba pas-pasan asal berkah Alhamdulillah.

    Dan jangan lupa bersodaqoh krn sodaqoh itulah yg akan membawamu ke level berkah pas-pasan.

    Dan juga membayar zakat, untuk membersihkan hartamu. Lebih baik km bersihkan sendiri hartamu itu, kan cuma 2,5%, kalo mau dlebihkan jauh lebih baik. Kalo kmu menolak/malas2an membersihkan hartamu sendiri nanti Allah yg akan membersihkan hartamu, dan celakanya itung2annya sudah bukan 2,5% lagi bisa-bisa 50% bahkan 100%. Na’udzubillah min dzalik”.

  11. Pak Yodhia,

    Menarik sekali saya membaca penuturan bapak pagi ini…
    Saya sendiri sudah malang melintang di dunia profesi selama 15 thn lebih dan memutuskan usaha sendiri pada umur 42 th. Suatu umur yang tidak muda dan penuh risiko.

    Nah, sekarang di umur kitaran 50 thn, apa yang saya putuskan membuahkan hasil yang sangat baik. Saya mempunyai freedom of time yang sangat tinggi sekali. Jalan ke sana sini, olahraga tiap hari, dan tentu saja, terus mencari peluang dalam bisnis…..

    Salam

  12. bapak saya karyawan ibu saya wiraswasta, saya sendiri masih menjadi karyawan saat ini tapi tujuan terbesar saya adalah bekerja untuk menimba ilmu dan pengalaman di perusahaan. Someday saya akan menjadi konsultan di bidang yang saya tekuni sekarang

  13. Subhanallah…senang sekali rasanya membaca tulisan anda Pak Yodhia, meski bagi kami dan keluarga masih merupakan mimpi. Kami lahir dari buyut, kakek, bapak dan ibu pegawai. Namun saya sebagai sulung dari 3 bersaudara yang kesemuanya memilih jalur pekerja swasta, berharap anak-anak kami ada yang terjun sebagai pengusaha.

  14. Tulisan anda menginspirasi banyak orang, semoga kebahagiaan selalu menaungi anda dan keluarga, Amin ya Rabbal Alamin.

  15. Senang membaca Pak Yodhia dan Adik menjalani kehidupan sebagai Wirausaha dan mendorong saya untuk berbagi.

    Saya PNS tetapi selalu memanfaatkan waktu sepulang kantor dg berusaha yang jatuh dan bangun, mulai bertanam cabe, mengelola usaha distribusi consumer good, pengumpul jagung, pemasok beras, ekspedisi, pembibitan, berkebun dan 2 tahun lalu membuka barbershop berikut layanan facial, crembath, semir dan pijat.

    Nampaknya kami menemukan yang terakhir ini cocok untuk saya (pasca stroke), saya merasa berguna untuk mendidik anak 2 pangkas(tidak teratur) menuju pemahaman/mewujudkan industri jasa seperti slide Pak Yodhia, Buku buku Hermawan, Rhenal Kasali.

    Dalam perjalanan, saya sering jatuh karena faktor kontrol dan terlalu berani mengambil resiko namun ketika jatuh selalu muncul peluang baru dan selalu ada tangan-tangan yang membantu.

    Babershop bagi saya dunia baru, benar benar masuk hutan/ satu komponenpun tidak pernah ku kenal. Barangkali yang saya punya/mengenal sedikit bagaimana mengajar orang dewasa yang nara sumbernya audient, yang saya lakukan setiap hari jum at pasca sholat.

    Hasilnya menyenangkan, melihat anak anak berubah ke arah kebaikan dan mendapatkan penghasilan diatas rata-rata seprofesinya.

    Lebih senang lagi Pak Yodhia kami semua yang terlibat menerima penghasilan dari mengumpulkan uang kecil kecil pemberian setiap orang (mudah mudahan sambil tersenyum) , tentu disertai dengan rasa syukur.

  16. Betul… orang tua is a model.
    Jadi, harus hati-hati “memperagagakan” perilaku di depan anak – anak, agar perilaku yang diduplikasi anak-anak memberikan manfaat kelak di kemudian hari. Salam Beyond 😀

  17. saya terinspirasi oleh para pengusaha muda dan berhubung saya juga masih muda jadi ada rasa “klo dia bisa kenapa gw engga” di dalam hati, tapi mungkin orang tua kurang setuju jika anaknya mau jd pengusaha karena mereka khawatir dan takut melihat anaknya sengsara.

    kemudian ada bagusnya juga ko kita jadi pegawai dulu setidaknya kita jadi bisa menilai bentuk kepemimpinan apa yg pegawai suka dan perlakuan para big bos trus hal itulah yg
    menjadi dasar bagi kita ketika kedepannya nanti kita jadi pemimpin dan pada akhirnya memimpin para pegawai kita..

    Nikmati proses kehidupan (^_^) walau terkadang dalam hati rasanya miris banged hahahaha

  18. intinya adalah kutipan diawalnya :

    “Fajar kebangkitan ekonomi negri ini mungkin akan terus berkibar-kibar dalam panggung ekonomi sejagat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia – setelah China. Dan ini dia : pada tahun 2030 size ekonomi Indonesia akan melesat dan nangkring pada peringkat 7 besar dunia.”

    …ini buat saya berarti sebuah sinyal peluang..yang menjadi pertanyaanya adalah..mampukah kita melihat peluang tersebut ?

    ..pada saat waktu itu datang,ada diposisi manakah kita berada ?
    ..kita bisa berada diposisi golongan orang2 yang merasa cukup
    hanya dengan mengagumi orang lain yang sukses atau..
    ..kita berada diposisi golongan orang2 sukses yang dikagumi
    orang lain ?

    memang hidup adalah pilihan, oleh karena hidup adalah pilihanlah kita boleh memilih yang paling terbaik dalam kehidupan ini….

    selamat memilih kawan, semoga apa yang telah menjadi pilihan pak yodhia menjadi inspirasi bagi golongan orang2 yang diluar 0,18% persen,mampu membuka mata bagi golongan tersebut untuk tersadar bahwa kita sangat punya hak untuk menjadi yang terbaik untuk orang2 yang paling kita sayangi,
    bisa itu mungkin untuk anak2 kita, pasangan kita, orangtua kita, atau orang2 disekeliling kita……

  19. Waduh,.. saya berwirausaha dah beberapa tahun. Sayangnya masih terbelit rutinitas harian, jd blm punya kebebasan waktu. Yg sulit didapat skr justru karyawan yg handal. Klo pada ngikut jadi wirausahawan, makin sulit dong ntar nyari karyawan.. :p haha…

  20. saya juga sangat beruntung dibesarkan dalam linkungan wirausaha. kebanyakan orang kampung saya yang berduit juga karena berwirausaha. tapi, sebagian keluarga yg sukses di kota besar justru mengajarkan untuk menjadi pegawai,krn katanya sayang sama ijazah ptn dan jurusan yg keren2, kalo ujung2nya jadi wirausaha juga.

    bagi saya pribadi, menjadi wirausaha salah satu impian saya.

  21. terima kasih pak yodhia, jika berkenan mungkin bisa berbagi ilmu mengenai strategy jitu untuk memulai ber-entrepreneur ria..
    biar semangat dan ilmu nya bisa sepadan untuk berkiprah hehe
    thanks again pak yodhia untuk tulisan inspiratifnya setiap senin 🙂

  22. Sangat menginspirasi Mas Yodhia. Saya sendiri karyawan yg ingin pindah kuadran. saya juga mulai memprovokatori anak saya untuk berpikir sbg pengusaha. Sayang saya tidak ada DNA enterprenership itu. Gimana caranya Mas bisa mendorong diri saya untuk bermental pengusaha.

  23. Assalamualaikum bapak yodhia,salam kenal saya narwan dan masih sma kelas 3 di jakarta, sayaberkeinginan untuk berwirausaha di kala kuliah nanti, apa yang harus saya kembangkan dalam diri saya agar bisa menumbuhkan jiwa enterpreneurship saya? orang tua saya bukan seorang enterpreneur, terimakasih sebelumnya

  24. saya adalah seorang pegawai, berasal dari keluarga wiraswasta .. kebalikan banget dengan pak Yodhia, sekedar sharing: hidup di keluarga-bukan-pegawai itu mirip rollercoaster, mendebarkan, kadang diatas, kebawah, jungkir balik. tapi mengasyikkan!!!

    karena sekarang jadi pegawai, hidup jadi flat, sedatar cicilan utang saya hehe.. jadi kangen pengin coba naik rollercoater lagi… (nb: jadi pingin buka usaha lagi!!)

    sekarang mencoba wirausaha nyambi jadi pegawai 🙂 silakan kunjungi http://www.bajusantai.com

  25. ass.wr.wr. wah, saya harus bilang wow gitu, baru buka tulisan dan foto keluarga Pak Yodhia, spirit hidup tumbuh kembali. trm kasih sebelumnya,saya akan coba baca artikel-artikel Pak Yodhia berikutnya.

    Salam untuk Bapak Pak Yodhia sebagai pimpinan aktivis sosial keagamaan muh. pekalongan.

    Boleh nanya ‘ Pak Yodhia dosen dimana dan mendirikan komunitas/jaringan enterprenuer apa ya ? thanks.

Comments are closed.