Mana yang Lebih Utama : Customer Satisfaction or Employee Satisfaction?

Memberikan pelayanan yang memuaskan pelanggan barangkali merupakan pilihan mutlak yang kudu diambil ketika sebuah entitas bisnis hendak melestarikan kejayaannya.

Pertanyannya kemudian adalah : langkah strategis apa yang semestinya diambil agar mantra kepuasan pelanggan tak berhenti pada mantra belaka?

Dari sejumlah wacana, kita mungkin bisa menyebut beragam item : mulai dari pengembangan visi yang berfokus pada pelanggan; penumbuhan benih-benih inovasi buat menghasilkan high value added products hingga perintisan budaya service excellence, dan juga perampingan proses bisnis untuk mempercepat pelayanan.

Lalu, apakah beragam item ini cukup untuk mewujudkan impian tentang satisfied customers? Jawabannya barangkali tidak.

Sebab sepertinya ada satu item yang punya peran kritikal namun sialnya, selama ini acap luput dalam perbincangan mengenai pemenuhan kepuasan pelanggan.

Item itu berbunyi begini: untuk memuaskan pelanggan maka hal pertama yang harus Anda lakukan adalah memuaskan karyawan. Dengan kata lain, you can not create satisfied customers without satisfied employees.

Proposisi ini sejatinya didukung juga oleh serangkaian studi di berbagai belahan dunia. Penelitian yang dilakukan oleh Dana Jones (1996) misalnya; menunjukkan adanya hubungan yang positif antara customer satisfaction (CS) dengan employee satisfaction (ES).

Artinya tingkat kepuasan karyawan Anda berbanding lurus dengan tingkat kepuasan pelanggan yang Anda miliki — semakin puas karyawan Anda, maka semakin tinggi juga tingkat kepuasan pelanggan Anda, dan sebaliknya.

Temuan serupa juga dikenali dan dimanfaatkan oleh Sears Roebuck, sebuah perusahaan retail terkemuka dari USA.

Dari survei tahun yang dilakukan, mereka menemukan bahwa rating kepuasan karyawannya amat menentukan tinggi rendahnya rating kepuasan pelanggan mereka, dan pada ujungnya berpengaruh terhadap tingkat profit yang mereka peroleh. Karena itu, pihak top manajemen Sears kemudian meminta setiap store manager-nya untuk peduli dengan kepuasan karyawannya; sebab faktor ini ternyata amat berpengaruh terhadap kepuasan pelanggan dan juga tingkat profit yang diperoleh tiap outlet-nya.

Melihat fakta-fakta diatas, lalu apa yang mestinya dilakukan? Jawabannya barangkali jelas. Sejumlah inisiatif untuk memuaskan pelanggan yang selama ini telah diusung ramai-ramai perlu juga dibarengi dengan inisiatif untuk memuaskan karyawan.

Ibarat merenovasi rumah, Anda tak mungkin hanya merias dinding-dinding luarnya saja; namun juga musti menciptakan desain interior yang cantik untuk memuaskan para penghuninya.

Segenap promosi dan reklame tentang gambar pelanggan yang tersenyum puas hanya akan menjadi sebuah parodi manakala itu tak dibarengi dengan sebuah keseriusan untuk memberikan pelayanan yang sempurna kepada para “pelanggan didalam” – yakni barisan para karyawan.

Dalam konteks ini ada sejumlah inisiatif yang layak diusung untuk memuaskan para karyawan; semisal : membangun lingkungan kerja yang kondusif; menawarkan variasi tugas yang challenging; menciptakan career plan yang jelas atau juga menyodorkan paket remunerasi yang atraktif. Atau dengan kata lain : memberikan paket imbalan yang cetar membahana.

Terlalu pelit memberikan reward atau fasilitas yang bisa membuat karyawan happy mungkin akan terasa bagus dilihat dari sisi “cost efficiency”.

Namun dalam jangka panjang, efisiensi biaya ini justru bisa menimbulkan hidden cost yang amat masif : salah satunya pelayanan pelanggan menjadi buruk, dan membuat pelanggan lari. Ujungnya penjualan jeblok.

Karyawan yang tidak happy juga akan membuat laju inovasi menjadi termehek-mehek. Dan ini bisa membuat perusahaan terjungkal dalam persaingan yang amat disruptif.

Karyawan yang tidak puas juga akan membuat mereka mudah pindah kerja ke perusahaan lain, dan ini memunculkan biaya rekrutmen yang mahal dan melelahkan.

Itulah kenapa beberapa perusahaan kelas dunia tak segan mengerahkan segenap energinya untuk benar-benar memberikan “layanan super istimewa” bagi para karyawannnya (lihat tulisan saya sebelumnya tentang bagaimana Google memperlakukan para karyawannya bak seorang raja).

Harapannya, sejumlah inisiatif diatas akan dapat menciptakan barisan satisfied employees yang mampu memberikan pelayanan terbaik dan senyum yang tulus bagi para pelanggannya. Dan bukan senyum yang dipaksakan lantaran ada rasa tidak puas yang mengganjal di benaknya.

Pendeknya, hanya barisan karyawan yang puas-lah yang benar-benar akan mampu membuat para pelanggan tersenyum dan bersorak riang 🙂 🙂

Author: Yodhia Antariksa

Yodhia Antariksa

34 thoughts on “Mana yang Lebih Utama : Customer Satisfaction or Employee Satisfaction?”

  1. Kl melihat uraian diatas memang make sense untuk ukuran perusahaan asing, tp kyknya sangat berat untuk diimplementasikan di Indonesia karena rata-rata masih terbentur dengan business culture yang semrawut dan typical-nya hit & run (profit taking oriented)..sejatinya, para enterpreneur kita harus punya goodwill dalam mensejahterakan internal customernya untuk bisa mencapai business sustainability..

  2. sangat setuju mas yodhia..
    CS tidak akan bisa jalan jika ES tidak ada. toh yang melayani costumer adalah mereka.
    akan tetapi, mungkin kita perlu sedikit melakukan penyesuaian, melakukan “indonesiafikasi” jika kasus cerita google diterapkan di Indonesia misalnya. Indonesia pernah punya story tentang Bali Camp, yang menyediakan berbagai fasilitas bagi karyawannya. terlepas banyaknya komponen yang mempengaruhi, tapi ternyata fasilitas ini menurut saya justru yang menyebabkan bali camp “bubar”. mungkin kita masih kena penyakit keturunan jaman penjajah, yang punya mentalitas “ngelamak” :). saya sendiri pernah pengen agar aktifitas kantor saya berkonsep home office. akan tetapi hal ini saya urungkan. karena menurut saya, kita (apa lagi saya dan teman2 orang muda semua 🙂 ) masih membutuhkan pengaruh lingkungan dalam bentuk environtment kerja yang memacu semangat kerja pula :). so, fokusnya adalah pada “what”nya, yaitu employee satisfaction dan kreatifitas google ada pada “how” nya penerapannya apakah harus seperti google? tentu kita yang lebih memahami kultur perusahaan dan orang2nya 🙂

  3. Interesting!
    Salah satu tantangan lagi bagi barisan HR management untuk lebih fokus pada Human Capital.
    Investasi yang ditanamkan pada employee akan sangat besar dampaknya pada kepuasan pelanggan.
    HR team dituntut untuk lebih berperan dan tidak hanya sebagai “personalia dan Administrasi”

  4. HR team jg dituntut agar dpt menjadi bridging idea antara karyawan dengan manajemen, krn selama ini byk kasus ketidak seimbangan dalam manajemen lokal sehingga menguburkan potensi yang ada..

  5. Mengelola kepuasan karyawan memang juga bukan hal yang mudah…..dibutuhkan kombinasi yang optimal antara beragam variabel : salary, lingkungan kerja yang nyaman (kalau tiap hari kena macet ke kantor….gimana dong….), atasan yang kredibel, target kerja yang jelas dan menantang, serta sistem reward yang fair dan kreatif.

  6. Betul, kepuasan customer dan kepuasan karyawan saling berhubungan. Kepuasan karyawan juga berpengaruh pada loyalitas.

    Lagipula terdengar sangat menyedihkan jika sebuah produk / jasa perusahaan tidak dicintai oleh karyawan mereka sendiri, apalagi kalau mereka malah mencintai produk kompetitor, meski hal itu memang relatif dan banyak terjadi, tetapi bisa diminimalisasikan dengan manajemen yang baik ke karyawan perusahaan tersebut.

    Ngga usah muluk2 sampe seperti Google Plax yang free food, spa, 20% free time for own business, etc. Cukup salary yang sebanding, lingkungan yang kondunsif, manajemen yang transparan, target dan reward yang fair, dsb.

    “Andy OrangeMood is Online Advertising Consultant”

  7. Kisah mengenai bubarnya Bali Camp memang cukup menyedihkan. Padahal dulu konsep mereka tentang “workspace” yang enjoy dan fun cukup menarik. Sayang.

  8. memang banyak penelitian yang merelasikan keterkaitan antara employe satisfaction dan consumer satisfaction. Saya juga setuju. Dan biasanya, banyak perusahaan melupakan satu hal penting dalam membangun kepuasan kerja dari karyawannya, yaitu pelatihan pengelolaan keuangan. Sebanyak apapun gaji yang diberikan oleh sebuah perusahaan kepada karyawannya jika tidak diimbangi dengan keahlian mengelola keuangan dari pribadi karyawan, maka karyawan akan selalu merasa tidak puas dengan gaji yang diterimanya yang secara tidak langsung akan berimbas pada ketidakpuasan kerja mereka.

  9. mas..kapan2 beri contoh yang laen lagi setelah contoh google..sangat menginspirasi..ato gak yang terkenal di indonesia gitu..mungkin kayak astra ato perusahaan indonesia yang sejenis..ato mungkin yang laen bisa share?

  10. Saya sangat setuju dengan pendapat sampeyan Mas…
    1000 X setuju.
    Namun ada satu hal yang penting juga disini …yaitu peran Top leader nya…
    kalau ES tidak dibarengi kontrol yang kuat dari Top Manajemen yang kemudian di delegasikan ke Manajemen dengan kontinyu terarah dan terukur…lama2 Karyawan jadi keenakan,malas,tidak ada inovasi,tidak ada jiwa enterpreneur ,tahunya cuma naik gaji & bonus melulu….pelayanan pelanggan jadi sebuah mimpi .Padahal ini penting banget.
    Jikalau suatu perusahaan sudah memilki budaya korporat dengan CS yang tinggi enggak masalah sih,walau sekali tempo tetap juga Top Leader melakukan check di level bawah.
    Namun untuk Perusahaan yang masih dalam masa transisi ke arah CS yang baik…Top Leader Musti kerja keras.
    Jadi CS dan ES bukan hanya Visi dan Misi yang di tulis di dekat Resepsionist,Web,atau di Logo Blok note,namun sebuah Action dari Top Leader dan jajaran Manajemennya juga karyawan.
    Mungkin besok besok ada juga kata gini CS,ES,MS he he…..
    Eh…ini tulisan nyimpang enggak ya dari Kontek ini.
    Maaf kalau saya salah…maklum kami dari kampung.

  11. Mbah, opini panjenengan ada benarnya. Peran top leader harus tetap muncul agar proses pencapaian tujuan tetap berjalan on track. Namun dalam konteks ini, top leader benar-benar memposisikan dirinya sebagai inspiring leader — bukan bos otoriter yang hanya main perintah. Inspiring leaders adalah mereka yang mampu membangun spirit team, memberikan guidance yang mencerahkan, dan pada saat yang bersamaa tetap result oriented. Justru tipe leader semacam ini yang amat diperlukan agar moral dan kepuasan karyawan kian menjulang. Sebab, memang kualitas leader, merupakan salah satu elemen penting yang membuat karyawan happy atau tidak.

  12. Saya setuju dgn semua pemikiran di atas. Cust, emp dan management yg menjadi objek sekaligus subjek membutuhkan suatu “Balance Satisfaction” secara bersama2. Dgn BS diharapkan tercipta suasana harmonis yg sesuai dgn budaya, hukum, ekonomi dan sosial di lingkungan/perusahaan/bangsa kita. Yg menjadi tanda tanya saat ini adalah bagaimana BS itu ditemukan dan diimplementasikan dgn menyesuaikan kondisi yg ada. Membutuhan penelitian dan survey secara mikro maupun makro utk ini.

  13. Topik employee satisfaction memang suatu hal yang menarik, namun kalah “sexy” dg customer satisfaction. Saya pernah melakukan survey skala nasional dg Majalah Bisnis SWA, sewaktu saya masih bekerja di Hay Group. Namun arahnya lebih ke employee engagement, dg pengertian employee yang engaged more than satisfied. Engaged itu bak orang yang berpacaran, tunangan, dan kemudian menikah; jadi ada komitmen yg luar biasa utk hidup berdua dengan bahagia. Begitu jg karyawan yg engaged memiliki komitmen yg tinggi terhadap pekerjaannya dan keberhasilan perusahaan, shg dia mau memberikan discretionary efforts diluar tuntutan formal yg ada di job description, demi kesuksesan perusahaan, atau sering disebut go extra miles…
    Namun dari banyak penelitian dan survey yang pernah saya lakukan dalam hal employee satisfaction atau employee engagement, salah satu yang saya temukan adalah bahwa faktor tingkat gaji/remunerasi selalu menjadi faktor ikutan yg mempengaruhi tingkat kepuasan atau tingkat komitmen karyawan. Ini patut menjadi renungan bagi para pekerja Indonesia dan praktisi HR, apakah ini menggambarkan pekerja Indonesia masih terlalu dipengaruhi oleh gaji dalam bekerja, dan kurang pada faktor perkembangan kemampuan dan karir? Apakah ini yang mencerminkan praktek remunerasi di Indonesia masih rendah atau kurang kompetitif? Apakah ini yang menyebabkan banyak perselisihan industrial?

  14. artikel yang sangat bagus, hanya saja cukup sulit menciptakan faktor penunjang employee satisfaction dengan mengabaikan faktor remunerasi. hal ini akan cukup sulit dilakukan oleh perusahaan kecil menengah atau yang tidak memiliki sistem remunerasi yang bersaing.

  15. Secara umum memang benar, karena dengan memberikan kepuasan kepada karyawan, maka karyawan akan lebih mampu menciptakan dan memberikan layanan yang lebih baik kepada pelanggan, dan pada akhirnya pelanggan yang terpuaskan, adalah aset utama perusahaan yang bisa memuaskan pemilik modal.
    karena sesungguhnya ada 3 pasar yang harus dilayani oleh perusahaan, pasar kompetensi, pasar komersil dan pasar kapital, so mana urutan yang baik untuk dipuaskan terlebih dahulu.
    setuju banget saya dengan artikel ini…

  16. Bagaimana akan bisa melayani pelanggan dengan baik bila melayani karyawannya sendiri saja tak becus.

    so…

    Keduanya harus menjadi perhatian. Tanpa memberikan pelayanan yang baik untuk karyawan dan customernya, kejayaan perusahaan hanya akan menjadi angan-angan KOSONG.

    Indah dalam mimpi, namun PERIH berkepanjangan dalam dunia nyata 🙂

  17. Harus diingat juga bahwa Satisfied Employee belom tentu akan menjadikan Satisfied Customers.

    Apabila perusahaan tidak mempunyai SOP pakem tentang servis, maka menyenangkan karyawan menjadi isapan jempol saja. Hal ini tidak otomatis dan hrs ada effort lain dalam training, renumerasi dan prosedur.

  18. klo di tempat saya bekerja, ditekankan loyalitas,tapi kerjaan tambah banyak dan gaji belum juga naik…,untuk pelanggan ya diberikan yang terbaik….bingung jadinya…

  19. Sebagai status masih karyawan , saya sangat setuju dengan ini jika adanya hubungan yang positif antara customer satisfaction (CS) dengan employee satisfaction (ES).

  20. “Dari survei tahun yang dilakukan, mereka menemukan bahwa rating kepuasan karyawannya amat menentukan tinggi rendahnya rating kepuasan pelanggan mereka, dan pada ujungnya berpengaruh terhadap tingkat profit yang mereka peroleh”.

    Sumbernya mana??

    Harus dikasi link sumber.

      1. Artikelnya semestinya diedit, terus “survei tahun yang dilakukan” dijadikan anchor text yang mengarah ke halaman website yang memuat hasil survei itu.

        Jadi pembaca mendapatkan tulisan dengan referensi yang jelas.

        Kalau hanya bilang: “dari survei tahun lalu …..” siapa aja bisa nulis seperti itu.

        Saya juga kan bisa bilang “dari hasil penelitian, bahwa ternyata….dan akibatnya….”.

        Kalau saya hanya bilang gitu, orang akan tanya: “sumbernya mana?”.

        Saya jawab: “cari di Google Om”.

        Orang jawab, ya elah…ngutip hasil penelitian gak ngasi sumber terus pas ditanya…eh suru cari di Google…gak banget deh.

        Seperti ini juga:

        “Penelitian yang dilakukan oleh Dana Jones (1996) misalnya”, ini juga gak ada sumbernya.

        Bagaimana kalau saya mau membaca langsung hasil penelitian tersebut??

        Masa masih harus cari di Google lagi? harusnya langsung disertakan link sumbernya dalam artikel.

        …intinya, sebuah artikel yang bagus, setiap kali mengutip hasil penelitan, hasil suvei atau apapun itu, harus disertakan sumbernya.

        Hanya sekadar masukan aja sih, karena saya suka baca artikel di blog ini, tapi kadang2 kalau mengutip gak dikasi sumber nya.

      2. Lah berarti sampean jarang baca intisari, nasional geographic dan reader digest..soalnya artikelnya bagus bagus tapi gak ada link sumbernya wkwkkw

  21. Sepertinya fenomena Employee Satisfaction hanya berlaku pada posisi dan jabatan tertentu. Sales/Marketing atau front liner misalnya, yang behubungan langsung dengan customer.

    Kalau karyawan yang kerja di balik layar biasanya kurang begitu diperhatikan. Yang penting sudah digaji dan ada output yang dihasilkan, menurut manajemen itu sudah cukup. Jadi ketika karyawan merasa kurang, bisa-bisa muncul kata-kata seperti ini: “Kamu, bekerjalah dengan benar. Kalau tidak, masih banyak orang yang mau menggantikan posisimu”.

    Bagi yang punya cicilan mobil, habislah sudah.

  22. Benar Pak, sebagai karyawan/pegawai, saat saya kerja lebih tapi gak ada bonus, maka sebagai balasannya saya mengurang kwalitas kerja besok besoknya.

  23. Kalo kata Jack Ma, konsumen no 1, karyawan no 2, investor no 3.

    Tapi memang sepertinya jalan bersamaan sih. Sebagai contoh, startup di Indonesia yang bagus take care their employee well supaya bisa take care their customer well. 😀

Comments are closed.