Melacak Tren Bisnis di ERA CORONOMY

Kini kita sedang berjuang hidup di tengah era Coronomy – atau sebuah era ketika situasi ekonomi diwarnai oleh situasi VUCA (volatility, uncertainty, chaos dan ambiguity) lantaran serangan Coronavirus yang benar-benar destruktif dan meremukkan beragam sendi kehidupan bisnis.

Coronomy adalah sebuah situasi ekonomi seperti yang yang kita tengah alami saat ini, dan entah kapan akan berakhir, kita belum tahu.

Tak pelak era Coronomy ini telah merusak begitu banyak kegiatan bisnis. Pertumbuhan ekonomi diprediksi akan anjlok, dan jutaan orang harus kehilangan pekerjaan dan mata pencahariannya.

Yang kelam adalah : saat tren kasus wabah di negara lain mulai menurun, di tanah air malah makin tinggi angkanya. Harap tahu, dalam seminggu terakhir, angka kasus baru di tanah air justru merupakan rekor tertinggi sejak awal kasus pada tanggal 2 Maret 2020.

Maka agak janggal jika akan ada relaksasi dan pelonggaran, di saat angka kasus masih sangat tinggi. Kebijakan pelonggaran seperti ini justru akan makin membuat wabah tak pernah terkendali, dan makin lama bertahan. Dan saat wabah tetap tinggi dalam waktu panjang, maka pemulihan ekonomi justru akan makin lama dan makin panjang.

Maka era Coronomy ini mungkin akan terus eksis hingga beberapa bulan ke depan. Kita mesti bersiap untuk menghadapi Coronomy ini bahkan hingga September – Oktober 2020.

Kesabaran dan ketahanan mental banyak orang akan diuji dalam era Coronomy ini. Kita akan coba mengulik tema tentang ujian ketahanan mental di era Coronomy ini pada edisi minggu depan.

Kali ini kita akan mencoba mengulik sisi terang dari serangan kelam Coronomy : yakni apa saja tren bisnis yang justru akan makin melejit di era Post-Coronomy. Atau tren bisnis apa yang akan makin terasa penting di masa depan, semenjak adanya pandemi ini.

Kalau dicermati, di era Coronomy ini setidaknya ada tiga tren bisnis yang terasa makin penting di masa depan. Mari kita bedah satu demi satu di pagi yang cerah ini.

Tren Coronomy #1 : The Rise of Digital Business

Kebijakan PSBB telah membuat mobilitas orang menjadi amat terbatas. Bagi bisnis yang mengandalkan kerumunan (think about bisnis traveling, hiburan, bioskop, resto dan mall), maka kebijakan ini tentu amat memukul telak.

Sebaliknya kebijakan pembatasan sosial itu justru menegaskan makin pentingnya proses digitalisasi bisnis di masa depan. Proses digitalisasi sejatinya sudah sangat pesat pertumbuhan di era pra-pandemi. Dua contoh yang menonjol adalah layanan mobile banking dan layanan video streaming a la Netflix.

Layanan mobile banking tak pelak merupakan salah satu inovasi paling indah dalam 10 tahun terakhir. Dan di era Coronomy ini, layanan mobile banking ini makin terasa penting. Kita tak perlu lagi harus ke ATM secara fisik setiap kali mau melakukan proses tansfer atau transaksi – sebuah proses yang sangat berisiko jika gerai ATM-nya antri dan penuh kerumunan.

Saya sendiri sejak memakai layanan mobile banking dan digital wallet, hampir tak pernah pernah lagi memakai ATM atau datang ke bank.

Layanan video streaming seperti Netflix juga sudah booming sebelum Pandemi. Namun di era Coronomy ini, di saat jutaan orang butuh hiburan di rumah karena tidak bisa kemana-mana, maka terjadi ledakan peningkatan pelanggan Netflix di seluruh dunia, termasuk di tanah air.

Layanan digital lain yang justru makin penting di era Coronomy ini adalah layanan Gofood. Di masa PSBB, kita tak bisa leluasa datang ke resto secara fisik. Maka alternatifnya, kita makin sering pesan makanan untuk buka puasa melalui Gofood. Sudah tak terhitung berapa kali istri saya pesan Gofood selama bulan Ramadhan ini 🙂

Tren digital business merupakan tren yang akan makin penting di masa depan, atau Post-Coronomy Era. Namun di saat sekarang, saat pandemi masih aktif menyerang, maka layanan digital ini sungguh merupakan solusi yang elegan bagi banyak pelanggan.

Tren Coronomy #2 : The Rise of Teleworker

Era Coronomy telah memaksa banyak bisnis menerapkan kebijakan WFH (Working From Home) atau Bekerja Dari Rumah.

Dan surpirisingly, banyak pekerja yang akhirnya pelan-pelan bisa melakukan adaptasi dan proses pembelajaran, sehingga kinerja tetap bisa optimal meski harus melakukan WFH.

Kemarin saya ngobrol dengan salah satu karyawan Astra International yang sudah dua bulan melakukan WFH sesuai kebijakan kantornya. Dia bilang so far baik-baik saja dan semua pekerjaan bisa tetap diselesaikan dengan efektif.

Tentu saja ada sejumlah pekerjaan yang tidak bisa di-WFH, semisal pekerjaan cleaning service, operator di pabrik, atau teller di bank. Namun sejatinya ada lebih dari 60% jenis pekerjaan kantoran yang bisa dilakukan dari rumah, or anywhere sepanjang ada koneksi internet broadband.

Sebelum era pandemi, sebenarnya sudah ada tren kenaikan jumlah TELEWORKER – atau pekerja yang melakukan pekerjaannya dari rumah, dan tidak harus setiap hari datang ke kantor secara fisik.

Era Coronomy tak pelak telah memicu kenaikan dramatis jumlah teleworker di seluruh dunia termasuk di Indonesia.

Saya sendiri berharap, banyak perusahaan yang kelak tetap melakukan kebijakan WFH bahkan setelah era pandemi berakhir (atau di era Post-Coronomy). Setidaknya mereka bisa mengijinkan karyawannya untuk bekerja dari rumah dua kali dalam seminggu.

Kenapa? Sebab tren teleworking ini amat membantu mengurangi kemacetan di jalanan (dan akhirnya polusi udara). Para karyawan juga tak perlu lagi menghabiskan waktu hingga dua jam PP karena kena macet tiap hari di jalanan.

Studi dari team peneliti Stanford University juga menunjukkan kebijakan teleworking justru akan membuat para karyawan menjadi lebih produktif.

Saya sendiri sudah 8 tahun lebih melakukan WFH – atau jauh sebelum pandemi. Dan memang saya merasakan quality of life dan quality of work saya justru menjadi jauh lebih optimal.

Tren Coronomy #3 : The Rise of Online Shopping

Sebelum pandemi, tren online shopping memang telah mengalami booming. Namun di era sosial distancing ini, kehadiran online shopping menjadi terasa makin penting.

Di saat kita enggan keluar rumah, maka kini kita belanja apa saja melalui online marketplace atau online shop lainnya.

Misal selama pandemi ini, saya sudah membeli lebih dari 20 buku melalui Tokopedia dan Bukalapak. Juga melalui Tokopedia, saya membeli aneka kebutuhan lainnya seperti baygon, beras, madu, sapu, lampu hingga alat pemanggang roti dan celana dalam 🙂 🙂

Saya menduga banyak orang yang melakukan hal yang sama. Karena mereka tidak bisa ke mall datau keluar rumah, maka kebiasaan belanja online makin menjadi tren yang disukai.

DEMIKIANLAH, tiga tren bisnis yang makin melesat di era Coronomy ini, dan mungkin akan terus melejit di era Post-Pandemi : yaki tren digitalisasi bisnis, kebangkitan gerakan teleworker, dan makin meledaknya tren online shopping.

Pada sisi lain, kita semua amat berharap semoga era Coronomy ini bisa segera berakhir, dan kita bisa segera menjalani the New Normal dalam kehidupan kita sehari-hari.

Akhir kata, sambil terus berjuang bersama menghadapi pandemi ini, saya ingin mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri – Mohon Maaf Lahir dan Batin. Saya dan keluarga tidak mudik kali ini, dan entah kenapa, aura lebaran sama sekali tidak terasa di era Coronomy yang kelam ini 🙁

16 thoughts on “Melacak Tren Bisnis di ERA CORONOMY”

  1. Terima kasih pencerahannya.
    Terus belajar dan mempraktekkan pelajarannya.

    Dan terus memiliki daya resiliensi yang tangguh.

    Salam sukses damai dan berkah.

  2. Benar sekali pak Yodhia,

    Kebetulan saya memiliki sampingan online dan semenjak Corona ini omset saya meningkat hingga 5 kali dari biasa.

    Kebetulan produk saya sangat relevan dengan saat ini yaitu aneka lauk kemasan siap saji.

    Tren Online Shopping is real.

  3. Terimakasih pak Yodhia, semoga bapak sekeluarga sehat dan sukses selalu, selamat Idul Fitri. mohon maaf lahir dan batin

  4. Yappp min, bekerja dari rumah sangat membantu produktifitas seorang.

    4 bulan sebelum pandemi saya juga udah bekerja dari rumah, ternyata lebih produktif asal tidak multitasking.

    Selain itu, bisa tidur siang dan olahraga secara konsisten.

    Mohon maaf lahir dan batin juga Pak yodhia, panutanku tenan.

  5. Ya, kemungkinan besar kejahatan lbh tinggi. merampok hanya untuk bisa makan.
    secara ga langsung semua di giring ke bisnis digital.

  6. “Pada sisi lain, kita semua amat berharap semoga era Coronomy ini bisa segera berakhir, dan kita bisa segera menjalani the New Normal dalam kehidupan kita sehari-hari.”

    Mungkin pemahaman saya yg agak berbeda ttg The New Normal.
    Pandemi ini tdk akan berakhir smpe ditemukan faksinnya… jika faksinnya tdk ditemukan, maka pandemi ini akan terjadi selamanya, n kita hrs menyesuaikan hidup berdampingan dg corona… selamanya.
    Ekonomi akan dirancang dg protokol corona selamanya.
    Itulah The New Normal.

    Apakah mgkn tdk ada faksinnya ? bisa saja.
    Byk penyakit yg tdk ada obatnya.

    Jd jalan terbaik yg bs kita lakukan adl menganggap bhwa corona tdk akan berakhir selamanya n merancang bisnis yg beradaptasi dg kondisi itu.
    Jd ada ato tdk ada faksinnya tdk akan berpengaruh pd ekonomi kita.

    Perkiraan saya adl tdk ada faksinnya.
    So… get used to it.

  7. Para pelajar akan sekolah d gedung dg protokol corona… ato gedung sekolah tdk digunakan lg, sekolah full online… selamanya.
    Profesi pegawai negeri akan berkurang secara dramatis untuk efisiensi protokol corona… akan sgt jarang sekali ada pengangkatan PNS.

    Semua pekerjaan yg mengundang kerumunan akan menjalankan protokol corona… ato menghilang sepenuhnya… selamanya.
    Seluruh pekerjaan akan beradaptasi dg The New Normal.

    Pemerintah tdk perlu melakukan PSBB.
    Jika pandemi berlangsung selamanya, maka orang2 akan beradaptasi sendiri ketika tingkat kematian tinggi ( krn takut keluar rumah ), n bisnis akan menyesuaikan… atau mati.
    Toko baju offline bakal mati… selamanya.
    Mall-mall jg mati… selamanya.
    Bisnis gudang n delivery akan mjd satu2nya hal normal.

    Mgkn ada yg berargumen “Tp kan tetep aja ada yg beli baju d toko ?!”
    Iya, tp klo baju cuman laku sebulan 1 biji, ya bakal koleps jg akhirnya… ga nutup biaya sewa n makan.
    Bisnis delivery yg satu2nya akan mjd hal normal.
    Kecuali bisnis2 yg hrs on the spot seperti konstruksi misalnya.

  8. Saya sering ngobrol ttg corona dg membuat logika seperti ini…
    Corona itu bkn seperti musim kemarau n penghujan.
    Musim kemarau n penghujan adl siklus normal ( terbiasa ), jd ketika kemarau panjang, tdk peduli seberapa panjangnya, akhirnya bakal hujan juga… dg siklus terbiasa itulah kita “berharap” n “berdoa” spy kemarau panjang segera berakhir.

    Tp corona adl hal baru, bukan terbiasa, jd kita tdk tau apakah corona akan berakhir, atau berlangsung selamanya.

    Dg tingkat bertahan hidup corona yg tinggi ( tetap hidup pd suhu 57°C , n bbrp hari d udara bebas )… maka pandemi corona akan berlangsung selamanya.
    Itulah knp WHO membuat protokol The New Normal.
    Yg artinya manusia hrs menerima hidup berdampingan dg corona selamanya… klo istilahnya P Jokowi : “Berdamai dg Corona”.
    Berdamai artinya menerima dg ikhlas suatu kekurangan sbg bagian dr hidup kita… selamanya.

    Seperti teman sy seorang penderita skoliosis ( tulang punggung bengkok ) menulis buku “Berdamai dg Skoliosis”.

  9. Tampaknya era coronomy memaksa pelaku bisnis konvensional untuk merubah pola bisnisnya mengikuti perkembangan jaman. Yang semula kekeuh pada kegaptekan mau tidak mau harus belajar digital marketing kalau tidak ingin usahanya mati

    Kita ambil hikmah positifnya saja karena dibalik bencana pasti ada hikmahnya

    Terima kasih atas pencerahannya Pak Yodhia

  10. Kalau dunia perdagangan internasional nasibnya akan seperti apa ya Pak Yodhia?
    Sampai saat ini dunia impor ekspor masih sepi. Kapan sektor ini sembuh ya pak, apa duluan atau mungkin belakangan.
    Semoga keadaan lekas membaik bagi kita semua.

  11. Betul sekali. Di satu sisi, era social distancing dan PSBB ini membawa berkah untuk banyak bisnis di bidang digital. Platform streaming dan penyedia produk digital juga mengalami lonjakan trafik yang amat bagus.

    Untuk para karyawan pun juga cukup enak ketika WFH. Karena tidak mesti mengorbankan waktu, uang, dan tenaga untuk transportasi. Yang mana kalau hari biasa bisa memakan waktu 1-2 jam. Sekarang bisa langsung kerja tanpa perlu kena macet.

    Semua bisnis perlu beradaptasi atas perubahan ini.

Comments are closed.