Apa itu Jebakan Mental Accounting yang Membuat Kita Cepat Bangkrut?

Ada salah satu bias psikologis keuangan yang sering muncul, dan kita lakukan dalam pengelolaan keuangan pribadi kita, yakni mental accounting.

Mental accounting intinya adalah kita melakukan semacam pembagian peran uang dalam mental pikiran kita, dan kemudian kita memperlakukan uang secara berlainan berdasar perannya masing-masing.

Contoh praktisnya begini. Seringkali setelah menerima gajian, seseorang langsung melakukan semacam pembagian alokasi uangnya. Misal, sebagian untuk bayar cicilan, sebagian lagi untuk biaya hidup, sebagian yang lain untuk dana investasi masa depan, sebagian untuk dana darurat (emergency fund), dan sebagian lainnya untuk kebutuhan main dan bersenang-senang.

Nah proses pembagian uang ke dalam perannya masing-masing tersebut disebut dengan “mental accounting” atau secara mental membagi gajian kita dalam berbagai akun yang memiliki peran berlainan. Dengan kata lain, ini adalah proses bugdeting : atau mengalokasikan gaji kita, dan kemudian menyusun alokasi budget sesuai uang yang kita terima.

Continue reading “Apa itu Jebakan Mental Accounting yang Membuat Kita Cepat Bangkrut?”

Menghindar dari Jebakan Sunk Cost Fallacy

Kesalahan psikologis keuangan yang  sering kita lakukan dalam keseharian hidup yang kadang melelahkan ini adalah terjebak dalam sunk cost fallacy. Ini adalah salah satu jenis bias kognitif yanh juga banyak diungkap dalam ilmu tentang behavioral economics.

Berikut 4 contoh praktikal tentang jebakan sunk cost fallacy, yang mungkin pernah juga Anda alami.

Contoh pertama. Anda sudah membeli tiket bioskop untuk menonton film. Setelah 45 menit berlalu, Anda merasa filmnya sangat membosankan dan jelek. Namun alaih-alih keluar, Anda tetap saja menonton filmnya hingga usai. Saya kan sudah beli tiketnya, sayang kalau saya harus keluar di tengah pertunjukan.

Contoh berikutnya. Anda memilih kuliah di jurusan yang juga dipiliha banyak teman Anda sekolah. Setelah kuliah 2 semester, Anda merasa kurang sreg dengan jurusan yang Anda pilih. Banyak mata kuliahnya yang tidak sesuai dengan minat Anda. Namun Anda tetap memaksa untuk mengikuti kuliah hingga lulus. Saya sudah kuliah 2 semester dan keluar uang kuliah yang banya, sayang kalau saya harus keluar. Saya memilih untuk terus mengikutnya hingga lulus, meski sebenarnya saya kurang sreg dengan jurusan ini.

Continue reading “Menghindar dari Jebakan Sunk Cost Fallacy”

Anda Gagal Menjadi Kaya secara Pelan-pelan Karena Attention Span Anda Makin Hancur

Salah satu bekal kunci dalam perjalanan panjang menjadi kaya secara pelan-pelan adalah kemampuan untuk membangun long and deep attention span atau kecakapan menumbuhkan rentang atensi yang panjang dan mendalam pada sebuah proses, sebuah usaha, atau sebuah topik tertentu yang ingin dipelajari.

Sayangnya, kecakapan yang amat krusial ini justru makin rapuh digilas oleh budaya smartphone yang makin memendekkan rentang atensi dengan serbuan konten yang dangkal, serba pendek, serba-permukaan dan kurang mendalam, dan terus menyerbu ke sel saraf pemirsanya setiap hari, diulang terus-menerus.

Contoh makin rapuhnya attention span ini sering terjadi. Misal, sering sekali seseorang bertanya tentang informasi sesuatu (misal tentang harga, kapan acaranya, atau bagaimana cara ordernya), padahal semua informasi ini sudah JELAS tertulis dalam poster iklan yang disajikan dalam layar HP mereka. Orang ini masih saja bertanya mengenai informasi yang sudah jelas terpampang, karena rentang atensinya amat pendek. Bahkan, untuk membaca informasi dengan tuntas saja ia enggan melakukannya.

Contoh lain lagi adalah kebiasaan untuk hanya membaca judul sebuah berita (yang juga cenderung click-bait) dan kemudian langsung mengambil kesimpulan tanpa mau bersusah-susah membaca isinya. Ini contoh buruknya attention span.

Continue reading “Anda Gagal Menjadi Kaya secara Pelan-pelan Karena Attention Span Anda Makin Hancur”

Menjadi Kaya secara Pelan-pelan Melalui Kekuatan Delayed Gratification Skills

Profesor Angela Duwckworth dalam karyanya yang berjudul GRIT (Duckworth, 2016) menulis : kecakapan mempraktekkan delayed gratification skills merupakan salah satu kecakapan kunci untuk meraih sukses masa depan, termasuk sukses finansial. Beragam studi empirik yang telah dilakukam juga menjukkan kesimpulan serupa : para responden yang mampu menunjukkan delayed gratification skills yang tangguh, beberapa tahun kemudian memang terbukti akan lebih sukses menjalani hidupnya, dibanding mereka yang gagal mempraktekkan delayed gratification skills (Mischel, 2014).

Delayed gratification skills intinya adalah kecakapan untuk mau menunda kesenangan hari ini, demi sukses hari esok. Dengan kata lain, kecakapan ini adalah kesediaan seseorang untuk berjibaku menjalani proses yang sulit, membutuhkan durasi lama dan acapkali amat membosankan, serta penuh dengan aneka hambatan yang tidak mudah diatasi, demi meraih hasil akhir yang diharapkan.

Tak banyak orang yang bisa menjalani delayed gratification skills ini dengan baik. Sebaliknya, seperti yang telah diuraikan dalam artikel sebelumnya, banyak orang yang justru kini makin terjebak dalam budaya instant gratification – atau ingin mendapatkan semuanya dengan serba cepat.

Continue reading “Menjadi Kaya secara Pelan-pelan Melalui Kekuatan Delayed Gratification Skills”

Kenapa Harus Menjadi Kaya secara Pelan-pelan (Get Rich Slowly)?

Kenapa harus menjadi kaya secara pelan-pelan, atau get rich slowly? Jawabannya lugas : sebab meraih sukses finansial itu memang membutuhkan proses yang acapkali panjang dan amat melelahkan.

Sebuah hasil akhir yang epik selalu dibangun melalui serangkaian proses yang panjang, konsisten, penuh dengan problem dan kendala di tengah-tengahnya, dan lalu mencoba mencari solusi untuk mengatasi kendala itu, lalu mentok karena solusinya gagal meraih hasil yang diharapkan, kemudian kembali berjibaku menemukan jalan keluar lain yang lebih efektif, untuk kemudian pelan-pelan mulai mendapatkan hasil akhir yang diharapkan, dan terus tekun menjalaninya hingga akhirnya meraih hasil epik yang layak dikibarkan…….

Proses perjalanan yang panjang, dan acap penuh kegagalan dan puluhan problem yang terus menghadang, adalah sebuah jembatan yang mesti ditapaki dengan segenap ketekunan dan daya resiliensi yang tinggi, demi meraih sukses finansial yang mengesankan.

Sebab memang tak pernah ada hasil akhir yang menggetarkan, yang dicapai tanpa perjuangan yang konsisten dan penuh ketekunan. Tak pernah ada sukses akhir finansial yang bisa direnggut secara instan, dan seketika, atau mendadak turun dari langit.

Continue reading “Kenapa Harus Menjadi Kaya secara Pelan-pelan (Get Rich Slowly)?”

Bagaimana Cara Memenangkan Pertarungan Gaya Hidup Minimalis vs Gaya Hidup Hedonis?

Dalam artikel sebelumnya, kita telah membahas salah satu kiat ampuh melawan jebakan hedonic treadmill. Yakni sebuah langkah untuk fokus melakukan pembelian yang produktif, alih-alih menghabiskan dana untuk membeli aneka barang konsumtif.

Kiat berikut yang juga ampuh untuk melawan godaan hedonic treadmill adalah dengan menerapkan apa yang acap disebut sebagai “gaya hidup minimalis”.

Gaya hidup minimalis adalah sebuah pola hidup yang belakangan makin naik daun di berbagai negara di dunia. Inti dari gaya hidup minimalis ini adalah menerapkan pola hidup dengan kebutuhan yang secukupnya saja. Tidak perlu terlalu banyak memiliki aneka benda materi yang malah bikin hidup ribet.

Continue reading “Bagaimana Cara Memenangkan Pertarungan Gaya Hidup Minimalis vs Gaya Hidup Hedonis?”

Lebih Baik Beli Toyota Fortuner atau Aset Produktif yang Menghasilkan?

Dalam artikel minggu lalu kita sudah membahas tentang dampak kelam hedonic treadmill. Yakni saat dana kita habis hanya untuk memenuhi aneka dorongan nafsu demi menguasai aneka benda materi. Sayangnya nafsu ini tak pernah bisa terpuaskan, sebab keinginan kita untuk pamer dan memiliki aneka materi memang tak pernah ada ujung akhirnya.

Dari perspektif keuangan, gaya hidup yang boros dan pola pengeluaran yang konsumtif semacam itu tidak akan memberikan manfaat finansial dalam jangka panjang.  Sebab aneka pengeluaran yang konsumtif semacam itu seringkali lebih didorong oleh nafsu untuk memuaskan keinginan (want), dan bukan kebutuhan sejati yang memang nyata (needs).

Dari sudut ilmu tentang kekayaan (the science of wealth) pembelian aneka barang yang konsumtif itu acapkali malah menimbulkan “kerugian finansial”. Kenapa? Sebab benda-benda (entah berupa gadget, mobil, motor, atau tas) yang kita beli demi memuaskan nafsu  itu dalam jangka panjang malah akan mengalami depresiasi (atau nilainya makin menurun).

Continue reading “Lebih Baik Beli Toyota Fortuner atau Aset Produktif yang Menghasilkan?”