Kebangkitan Brand Indonesia melawan Dominasi Brand Asing

Brand is the oxygen of your business. Begitu Dave Aaker pernah menulis dalam masterpiecenya yang berjudul “Managing Brand Equity”. Faktanya, brand atau merk merupakan roh yang amat krusial untuk menentukan apakah sebuah bisnis layak melejit, atau lebh layak masuk got.

Tanpa brand, sebuah produk bisa jatuh hanya menjadi komoditi. Tanpa brand, produk tak akan memiliki diferensiasi. Tanpa brand, produk tak akan pernah dikenang menjadi legenda.

Sialnya, brand-brand yang menelusup di sekujur tubuh kita acapkali berasal dari luar negeri. Brand asing terasa begitu cerdik merasuk dalam raga kita. Membujuk. Merayu. Dan terus menggoda.

Tak usah jauh-jauh : tengok kamar mandi Anda. Ada Pepsodent. Ada Clear. Ada Lux. Ada Lifebouy. Kita tahu, semua produk ini adalah brand asing.

Lebih dekat lagi : rogoh saku celana Anda. Maka yang muncul adalah Samsung, atau BlackBerry, atau iPhone. Didalamya ada aplikasi Google dan Twitter. Semua brand asing juga.

Di jalanan, Yamaha dan Honda terus meliuk-liuk. Dan disudut jalanan neon terang menampilkan logo Starbucks, McD, atau Seven Eleven. Brand asing terasa begitu intim hadir dalam jiwa kita. Tsaah.

Jangan-jangan celana dalam Anda merek asing juga. Beha istri atau pacar Anda juga memakai brand asing. Begitu mendalam penetrasi brand luar negeri dalam kehidupan kita.

Dilatara oleh fakta itu, rekan saya Yuswohady, salah satu pakar marketing visioner di negeri ini, meluncurkan buku terbarunya bertajuk : Beat the Giant – Strategi Merk Indonesia Menandingi Merk Global dan Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri.

Dalam buku itu, secara memikat Yuswohady mendedahkan beragam strategi yang layak diracik agar brand-brand lokal bisa membangun brand yang legendaris dan punya reputasi kinclong.

Menurut dia, setidaknya ada empat tipe strategi local brands yang bisa di besut untuk menandingi dominasi brand luar negeri di negeri Indonesia. Dalam tulisan di blog ini, kita mau ulik dua diantaranya (kalau mau lengkap ya beli bukunya dong).

Strategi # 1 : National Champion atau brand lokal yang memiliki keunikan lokal, sekaligus memiliki kapasitas setara dengan global best practices.

Brand lokal yang sudah mapan seperti BRI, Teh Botol Sosro, Hotel Santika, dan Femina ada di posisi ini. Merek-merek lokal di posisi ini paling siap dalam menghadapi merek global secara head-to-head dengan cara membangun local differentiation.

Hotel Santika misalnya, membangun keunggulan lokal melawan hotel-chain asing dengan mengembangkan konsep layanan Indonesia hospitality yang berbasis pada kearifan lokal (local wisdom) Indonesia.

Strategi # 2 : Global Chaser. Ini adalah pemain lokal yang by-default tidak memiliki keunikan lokal, tapi memiliki kapasitas modal, SDM, manajemen, dan teknologi yang sejajar dengan merek-merek global.

Pemain-pemain lokal seperti Polygon, Telkom, Pertamina Pelumas, Mayora, Indofood, Semen Gresik, Bank Mandiri ada di posisi ini.

Pilihan strategi yang bisa mereka ambil adalah terus mengejar kapasitas global best practices dan kalau perlu membangun daya saing dengan masuk ke pasar-pasar regional/global.

Global chaser seperti Polygon, Indofood, Pertamina Pelumas misalnya, mulai agresif membangun daya saing dengan memasuki pasar Asia, Eropa, dan Amerika. Strategi generik pemain di posisi ini adalah: EXPAND to Global Market.

Tak pelak buku Beat the Giant ini merupakan bekal yang berharga bagi para pelaku bisnis untuk tekun merawat dan membangun strong brands.

Kita tahu, Indonesia akan jadi kekuatan ekonomi no 7 dunia di thn 2030. Itulah kenapa brand-brand luar negeri begitu masif menyerbu setiap sudut negeri ini. Yang kadang muncul adalah fenomena “Brand Invasion and Brand Colonization”.

Brand-brand lokal pada akhirnya mungkin kudu terus bangkit dan “melawan”. Sebab pertempuran modern saat ini dalam era bisnis adalah “war on branding”.

Maka, kebangkitan nasional Indonesia pada tanggal 20 Mei hari ini mungkin bisa juga dimaknai sebagai Era Kebangkitan Brand Indonesia.

Author: Yodhia Antariksa

Yodhia Antariksa

27 thoughts on “Kebangkitan Brand Indonesia melawan Dominasi Brand Asing”

  1. Mantap, benar kang Brand harus benar-benar melekat di benak masyarakat kita, seperti beli Indomie dalam memesan mie. dan yang lainnya.

  2. Setuju. Brand bisa dianggap sebagai bagian penting dalam kesuksesan sebuah produk. Bahkan, karena pengaruh brand seseorang akhirnya memutuskan untuk membeli produk dari brand tersebut meski kualitas produknya saat itu sedang tidak lebih baik dari produk brand lain yang kurang terkenal.

  3. Hiks…

    untuk produk non elektronik memang masih sangat bisa bersaing. Untuk elektronik canggih, rasanya sangat jauh.

    Mudah mengatakan ‘pakai produk dalam negri’, prakteknya, ga mudah sama sekali. Faktornya, quality.

    Ulasan yang mantap Pak Yodhia.

  4. Pak Yodhia Mariii..Do it..jadi Duit, saya mencoba praktekan teori yg ada..telah diluncurkan brand “HeavendoCrezz” dari Jajanan “G1”, mohon doanya utk bisa spt Seven Eleven lokal. Jajanan “G1” Cetar membahana disepanjang jalan.

  5. Ulasannya menarik sekali bung Yodhi. Apakah bukunya bisa dipesan online?

  6. Bung Yodh,

    Yah, begitulah, kita memang gak bisa lepas dari brand asing. Ilustrasi halaman muka bukunya juga menggambarkan budaya Jepang (walau si anak kecil pakai ban merah putih di pinggangnya).

    Salam
    Robin Garingging

  7. Untuk menuju bursa Persaingan tersebut,
    Perlu dibenahi dulu sistem pendidikan kita Bung Yod

    Khususnya paska dari SD sebetulnya sudah selayaknya
    penjurusan pada kompetensi anak didik

    agar mereka langsung terarah sejak dini potensi kreatiftasnya

    jadi lebih mudah menemukan keahlian dan kemampuan mencipta sebuah MAHAKARYA yang bisa Nge-BRAND dunia..
    dan yang gak kalah penting
    jangan alergi pakai Sumber Daya dalam negeri..

    Kalah modal memang bahaya tapi lebih bahaya lagi

    kalah sebelum bertanding karena tak percaya dengan Sumber Daya lokal yang ada..

  8. satu-satunya Brand made in lokal yang bisa bersaing gahar dengan brand asing ya dibidang kuliner dan makanan.

    coba buka majalah Franchise dan sejenisnya.
    90% startup franchise lokal diisi oleh pemain-pemain di dunia makanan.

    so far ya dibidang itu aja yang saya anggap realistis buat bersaing head to head dengan pemain asing.

    kalo dibidang electronic goods dan perangkat telekomunikasi rasanya koq masih jauuuuuuuh….

  9. ini test case, apakah atas nama nasionalisme sebuah brand lokal bisa unggul dibandingkan brand internasional. Hanya waktu yang bisa membuktikan.

    Kemudian, apa definisi brand lokal? Kecap Bango, teh celup sari wangi, mungkin akan dianggap oleh konsumen sebagai brand lokal (karena nama dan brand-nya). Walaupun, nyatanya yang punya adalah sebuah perusahaan consumer product raksasa global.

    Masalahnya, sesuatu yang sebenarnya global karena dimiliki oleh korporasi asing, sangat bisa dibuat ‘seolah-olah’ lokal di mata konsumen. Contohnya, ya kecap bango dan teh sari wangi tadi.

    kalau sudah begini, tidak relevan lagi brand lokal vs. brand global. Bukankah begitu?

  10. Celana dalam saya harga 10rbu dapet tiga om… 😀 ngapain pake produk2 asing, bikin bangkrut aja, semua itu sekedar gengsi, tingkat gengsi orang indo emang tinggi sih, jadi ya produk asing mudah sekali untuk menghypnotis dan menghasut kita . thanks, sekedar opini 🙂

Comments are closed.