Ya kira-kira berapa persen peluang Anda untuk bisa menjadi sultan dengan gelar crazy rich?
Jawaban dari pertanyaan diatas mungkin bisa memberikan motivasi dan pencerahan bagi Anda yang sekarang merasa aset kekayaan bersihnya masih jauh dari angka ideal.
Sebuah studi yang dipimpin Profesor Raj Chetty (pakar ekonomi brilian dari Harvard University), telah menemukan jawabannya (Chetty, 2015).
Jadi dalam riset ini yang diteliti adalalh peluang orang super miskin. Kondisi super miskin maksudnya adalah mereka yang berada pada bottom 5% atau posisi paling miskin dalam sebuah masyarakat atau populasi sebuah negara. Jadi kategorinya benar-benar lahir dari keluarga kere.
Karena itulah, kita selayaknya melakukan serangkaian strategi untuk bisa menghindari dari jebakan present bias ini. Berikut dua trategi praktikal yang layak dijalankan untuk menghadapi potensi ancaman present bias dan sekaligus godaan instant gratification.
Ya kenapa kita semua mudah terjebak dalam mentalitas Instan dan keinginan mendapatkan hasil secara cepat? Jawabannya adalah karena hadirnya cognitive errors bernama PRESENT BIAS.
Present bias adalah jenis kesalahan kognitif manusia yang banyak diteliti dalam ilmu behavioral economics. Present bias tak pelak merupakan salah satu dimensi psikologis manusia yang acap membuat kehidupan finansial masa depan menjadi suram dan berantakan.
Present biasa pada dasarnya merupakan kecenderungan kita sebagai manusia (yang lemah dan banyak khilaf ini) untuk lebih menghargai imbalan (reward) yang langsung bisa dinikmati saat ini juga, dibanding harus menunggu imbalan positif di masa depan.
Di era digital seperti ini saat, model pembayaran digital tampaknya kian marak.
Kita asyik berbelanja online karena bisa melakukan pembayarannya dengan mudah melalui transfer via mobile banking. Kini juga banyak tersedia layanan digital wallet seperti Gopay, Ovo, Dana, LinkAja, dan lain-lain. Melalui dompet digital ini, kita bisa melakukan aneka pembayaran semudah tap, tap, klik, klik.
Namun di balik kemudah dan kenyamanan itu, terselip sebuah realitas yang agak muram. Realita yang muramnya adalah seperti ini : ternyata menggunakan metode digital payment saat kita berbelanja dan melakukan aneka pembayaran, mendorong pola konsumsi kita untuk menjadi makin boros.
Dengan kata lain, memakai digital payment ataupun digital wallet diam-diam akan membuat kita makin konsumtif dan boros mengeluarkan uang.
Sesungguhnya, mental accounting ini tidak selamnya bersifat negatif dan menjebak perilaku keuangan kita secara tidak menguntungkan. Jika kita cerdik, maka sebenarnya kita malah bisa memanfaatkan kekuatan mental accounting ini demi manfaat positif bagi pengelolaan keuangan personal kita.
Bertikut tiga langkah praktikal yang bisa kita lakukan untuk memanfaatkan mental accounting demi keuntungan finansial kita.
Ada salah satu bias psikologis keuangan yang sering muncul, dan kita lakukan dalam pengelolaan keuangan pribadi kita, yakni mental accounting.
Mental accounting intinya adalah kita melakukan semacam pembagian peran uang dalam mental pikiran kita, dan kemudian kita memperlakukan uang secara berlainan berdasar perannya masing-masing.
Contoh praktisnya begini. Seringkali setelah menerima gajian, seseorang langsung melakukan semacam pembagian alokasi uangnya. Misal, sebagian untuk bayar cicilan, sebagian lagi untuk biaya hidup, sebagian yang lain untuk dana investasi masa depan, sebagian untuk dana darurat (emergency fund), dan sebagian lainnya untuk kebutuhan main dan bersenang-senang.
Nah proses pembagian uang ke dalam perannya masing-masing tersebut disebut dengan “mental accounting” atau secara mental membagi gajian kita dalam berbagai akun yang memiliki peran berlainan. Dengan kata lain, ini adalah proses bugdeting : atau mengalokasikan gaji kita, dan kemudian menyusun alokasi budget sesuai uang yang kita terima.