Sejak awal tahun ini, terdapat tren kenaikan harga tiket pesawat jurusan domestik yang sangat tajam, naik antara 30 hingga 50%. Kontan banyak pelanggan yang komplain dengan kenaikan yang terlalu tinggi ini.
Dampaknya lumayan muram : jumlah penumpang pesawat langsung mengalami penurunan, hingga 18,5% dibanding tahun lalu. Akibat lanjutannya : banyak hotel dan tempat wisata juga anjlok pengunjungnya.
Kenaikan harga tiket pesawat ternyata membawa multiplier effect yang cukup kelam terhadap laju roda bisnis di berbagai lokasi di tanah air.
Sebenarnya bagaimana perhitungan biaya bisnis airline, sehingga dua maskapai besar di tanah air yakni Garuda Group (Garuda, Citilink, dan kini juga mengelola operasional Sriwijaya) serta Lion Group (Lion, Batik Air dan Wings) kompak menaikkan harga secara serentak?
Penguasaan pasar Garuda dan Lion Group ini memang mengarah pada duopoli yang cukup rentan menciptakan kartel. Kasus kenaikan harga tiket pesawat ini mungkin juga imbas dari fenomena duopoli ini.
Kalau saya cek hari ini melalui web travel online, maka rata-rata harga tiket penerbangan dengan durasi 1 jam (misal Jakarta – Surabaya) untuk Low Cost Airline seperti Lion dan Citilink adalah sekitar Rp 1 juta rupiah (tahun lalu rata-rata 30% lebih murah), sementara tiket full service airline Garuda adalah diatas Rp 1,5 juta.
Nah mari kita coba berhitung. Harga rata-rata satu unit pesawat Boeing seri 737 – 800 atau Airbus A320 (keduanya sekelas) adalah sekitar Rp 1,5 triliun per unit. Tidak murah.
Lalu berapa sebenarnya biaya operasional untuk mengoperasikan Boeing 737 atau Airbus A320 untuk setiap 1 JAM PENERBANGAN?
Data yang sangat lengkap dari semua airline di Amerika, memberikan informasi bahwa rata-rata biaya untuk menerbangkan Boeing 737 atau Airbus A320 selama 1 jam penerbangan adalah sekitar USD 5000 (atau setara Rp 70 juta dengan asumsi 1 dollar R 14.000). Data selengkapnya bisa dicek disini.
Biaya USD 5000 itu sudah mencakup biaya avtur, biaya crew pesawat, biaya perawatan hingga biaya asuransi.
Lalu berapa pendapatan setiap airline untuk 1 jam penerbangan? Jika kita mengambil rute 1 jam Jakarta – Surabaya, maka harga tiketnya adalah Rp 1 juta (low cost).
Dengan asumsi keterisian kursi adalah 70% atau sekitar 133 penumpang (70% dari total kursi 190 unit), maka total pendapatan dalam penerbangan 1 jam adalah Rp 133 juta.
Artinya dengan biaya penerbangan 1 jam sebanyak Rp 70 juta, jika dibandingkan pendapatan yang masuk sekitar Rp 133 juta, maka masih ada sisa Rp 63 juta per penerbangan.
Jadi laba kotor pesawat setiap satu jam penebangan adalah sekitar Rp 63 juta.
Setiap hari, pesawat terbang minimal selama 6 jam (bisa lebih dari 6 jam jika efisien pengelolaan rutenya).
Sehingga total laba kotor setiap pesawat setiap hari adalah sekitar Rp 378 juta.
Maka hasil laba kotor setiap unit pesawat jenis Being 737 atau A320 selama setahun adalah 365 hari x Rp 378 juta = Rp 137 milyar.
Tadi diawal disebut, harga setiap pesawat adalah Rp 1,5 triliun.
Maka payback period atau titik balik modal setiap pesawat butuh waktu yang cukup lama yakni Rp 1,5 triliun / Rp 137 milyar atau selama 11 tahun. Angka ini memang durasi balik modal yang lazim dalam industri airline.
Dari analisa diatas, maka asumsi laba kotor airline sangat bergantung pada empat variabel utama, yakni :
1. Biaya operasional tiap 1 jam (standar dunia adalah USD 5000)
2. Harga tiket pesawat tiap 1 jam penerbangan
3. Tingkat keterisian penumpang (load factor)
4. Utilisasi jam penerbangan setiap pesawat setiap harinya
Variabel pertama tergantung pada kecakapan efisiensi setiap maskapai. Standar USD 5000 adalah standar yang lazim. Mestinya maskapai di tanah air bisa lebih hemat atau tidak melebihi angka standar ini.
Meski demikian ada anomali dengan harga avtur di tanah air. Harganya malah lebih mahal sekitar 20% dibanding harga luar negeri. Dengan harga yang lebih mahal bisa jadi rata-rata biaya operasional pesawat naik menjadi USD 6000 per satu jam penerbangan (atau setara Rp 84 juta).
Degan biaya operasional yang makin tinggu, maka laba kotor setiap pesawat akan menjadi makin menipis.
Variabel harga tiket dengan tingkat keterisian pesawat sejatinya sangat berkaitan, karena adanya konsep Elastisitas Harga.
Dalam ilmu ekonomi mikro, konsep elastisitas harga menunjukkan berapa persen penurunan permintaan setiap ada kenaikan harga.
Jika dianalisa, rata-rata kenaikan harga tiket pesawat adalah sekitar 40 – 50%. Namun tingkat keterisian airline ternyata hanya turun sekitar 20% (dibanding periode bulan yang sama tahun lalu).
Jika penurunannya bisa ditahan hanya hingga 20%, maka mungkin pihak airline merasa tidak perlu lagi menurunkan harga tiket. Sebab penurunannya bisa dikompensasi dengan kenaikan harga yag jauh lebih tinggi.
Jika melihata analisa biaya diatas, maka sejatinya harga yang sekarang sudah naik itu masih tergolong harga yang wajar.
Sebab dari analisa diatas, dengan harga saat ini, BEP pembelian pesawat masih butuh waktu 11 tahun. Itupun dengan asumsi, biaya avtur lokal bisa diturunkan agar sama dengan harga internasional.
Jika biaya avtur tetap mahal, maka biaya operasional pesawat per jam bisa diatas standar USD 5000, dan otomatis pendapatan akan makin turun. Atau bahkan biaya operasional bisa lebih tinggi daripada pemasukan – jika jumlah penumpang makin sepi.
Ujungnya maskapai akan mengalami kerugian yang cukup masif, seperti yang dialami Garuda Indonesia yang tahun lalu rugi hingga Rp 2,7 triliun.
Dimanapun di dunia, industri airline memang adalah bisnis yang sangat tipis laba-nya. Risiko kerugian juga selalu mengancam.
Begitu banyak airline di dunia yang kolaps, dan jika airline-nya adalah milik negara maka akan diselamatkan dengan suntikan dana pemerintah (misal seperti yang pernah menimpa Qantas, JAL, Malaysian Airline, Lufthansa, Air France hingga KLM).
Bagaimanapun fakta kenaikan harga tiket pesawat domestik ini memunculkan dilema. Jika harga tetap tinggi, maka akan memukul industri turisme di tanah air – sementara bisnis turisme makin besar kontribusinya bagi ekonomi.
Namun jika harganya dipaksa untuk diturunkan, maka dalam jangka panjang hal ini bisa membuat industri airline di Indonesia tidak sustainable. Para pelaku airline bisa mengalami kerugian yang besar, dan akhirnya malah makin menurun kualitas pelayanan dan aspek keselamatannya.
Mungkin harga yang berlaku saat ini butuh waktu untuk penyesuaian. Para pelanggan yang dulu terbiasa dengan tiket murah, barangkali butuh waktu untuk mencerna dan menyesuaikan dengan kondisi seperti sekarang. Jika rasa kaget sudah mereda, biasanya tren jumlah penumpang pesawat pada akhirnya akan naik kembali pelan-pelan meski harga sudah dinaikkan.
Safety tinggi meminta harga yang setimpal
Yups…
sepertinya kembalai pada pepetah lama, ada harga, ada rupa.
Kita memang menginginkan harga (jasa) yang terjangkau (murah), namun tentu saja kita tidak mengharapkan terjadi hal-hal yang merugikan, apalagi membahayakan.
Jika harga tiket dibuat murah namun mengorbankan pelayanan dan ‘keselamatan’ kita semua, apalah artinya.
Yang terpenting adalah, bagaimana harga tiket pesawat yang ‘lebih tinggi’ dari sebelumnya ini bisa kita jangkau, dengan meningkatkan pendapatan kita.
Semoga peningkatan harga tiket pesawat, akan dibarengi dengan kenaikan tingkat keamanan dan pelayanan.
Thanks Pak Yodhia atas artikel menariknya …
kalo avtur naik 20% belum tentu biaya operasional langsung naik 20% (USD 5000 menjadi USD 6000) tapi dilihat dulu besarnya komponen biaya avtur dalam biaya operasional.. misal biaya avtur 40% dari biaya operasional, jadi kenaikan avtur 20% menyumbangkan kenaikan biaya operasional hanya 20% * 40% = 8% dari biaya operasional atau biaya operasional menjadi USD 5000*1.08 = USD 5400 saja
Setuju
lagi rame di grup Backpaker.
Karena pendapatan mayoritas penduduk Indonesia masih rendah. Makanya tiket mahal pada teriak….. Naik transformasi lain dong, kalau tiket pesawat mahal.
Tiket pesawat ke Padang naik hingga 50% dari harga sebelumnya. Jadi harus nabung lg buat mudik.
Mau penerbangan rugi ga masalah, namanya juga bisnis, kalo mau untung terus ya mending tutup aja bisnisnya, jadi karyawan
hehe
Tapi, anehnya Air Asia bisa suistanable. meski sering mengadakan promo tiket dengan harga setara 1 piring ayam geprek dan cuma bayar pajak air port saja.
ada yang bisa menjelaskan manajemen apa di terapkan di Air Asia?
Tapi kenapa AirAsia bisa ngasih harga tiket yg jauh lebih murah mas Yodhia?
Sebagai informasi, tiket pesawat Jakarta – Medan dgn transit di Kuala Lumpur pakai AirAsia, harganya sekitar 50% lebih murah dibandingkan direct flight Jakarta – Medan pakai Lion/Citilink/Sriwijaya.
Hehe
Sebenarnya tidak masalah, kalaupun harga tiket naik 100% jika pendapatan kita atau kenaikan pendapatan kita mampu meng-kaver kenaiikan harga tiket tersebut.
Persis seperti materi slide pop up blog strategi manajemen ini ” mau kaya apa MISQIEN” 🙂
So, yang jadi masalah bukan kenaikan harga tiketnya tapi pendapatan kita.
Kalau pendapatan kita masih belum cukup untuk beli tiket pesawat “yo dinikmatin ae” beli tiket lain, atau kalau belum mampu juga “yo mlaku ae rek”.
Atau cari cara bagaimana meningkatkan pndapatan dengan meningkatkan skill.
dengan mengikuti kursus aplikatif sepertinya pesannya Pak Yodh di artikel lain, seperti kursus SEO berkualtas, kursus membuat laporan keuangan berkualitas, bukan ‘ABAL-ABAL’
Biar gak dikit-dikit rame saat ada kenaikan harga-harga.
Hidup gitu mah repot 🙂
Salam sukses penuh keberkahan.
Menarik, belum lagi dipotong komisi agen tiket, mungkin salah satu strategi adalah memperindah tempat wisata, agar orang2 kaya mau naik pesawat, layaknya pertandingan Mayweather seperti parkit jet dimana-mana
Salam
https://seragamkerja.id
Ga pernah naik pesawart sih. Tapi dengan tau hal ini, jadi nambah ilmu kenapa harga tiket pesawat mahal
Maaf ingin menambahkan Pak Yodhia,
untuk menghitung payback period sebaiknya diperhitungkan juga biaya tetap atau biaya kantor pusat seperti gaji manajemen/karyawan, marketing, gedung administrasi,dsb. Jika asusmsi presentase biaya tetap ialah 35% dari pendepatan, maka kontribusi biaya tetap untuk 1 jam terbang = 35% * 133 juta = 46 juta
Laba bersih untuk 1 jam terbang = 133 – 70 – 46 = 17 juta
Payback period = 1,5T/(17*6*365 Juta) = 40 tahun, ini tanpa rumus future value inflasi, wow…
saya sering munggunakan low cost airline antar negara di uni eropa. seperti whizz air, easy jet, ryan air dan aigle azzur. harga tiket pesawat untuk satu jam penerbangan kalo order jauh jauh hari bisa cuma 300-400 rb rupiah. tentu saja level servicenya jauh lebih baik daripada airline domestik kita. apakah berarti komponen cost operasional di eropa lebih murah dari kita?! tentu saja sebaliknya! lalu bagaimana mungkin tiket jkt-hong kong bisa lebih murah drpd jkt-medan??! jkt-bangkok lebih murah drpd jkt-sby!! kesimpulannya ada sesuatu yg dipaksakan untuk kepentingan yg kita tidak tau.