Pada akhirnya kita semua bekerja untuk merenggut sejumput nafkah. Disana yang segera terbentang adalah berapa penghasilan yang bisa kita bungkus dan bawa pulang setiap akhir bulan tiba. Receh demi receh kita dekap setelah sebulan lamanya kita memeras peluh, berjibaku menggantang pikiran dan menebarkan segenap dedikasi.
Pertanyaannya adalah : apakah gaji atau penghasilan yang kita ringkus setiap bulan demi anak dan keluarga sudah cukup memadai? Apakah jumlahnya sudah sebanding dengan pekerjaan yang hari demi hari kita lakoni dengan sepenuh asa dan pengabdian? Atau sebenarnya berapa sih harga yang paling pantas untuk pekerjaan kita?
Pertanyaan tentang harga sebuah pekerjaan dikenal pula dengan sebutan measuring job value. Inilah sebuah konsep yang hendak memberi informasi mengenai berapa harga yang paling tepat untuk sebuah jabatan. Proses untuk menelisik job value kemudian sering disebut sebagai job evaluation. Istilah ini merujuk pada sebuah ikhtiar untuk mengevaluasi segenap komponen yang melekat dalam suatu jabatan, dan kemudian menghitung berapa harga yang paling pantas untuk pekerjaan itu.
Untuk melakukan job evaluation, biasanya kita mesti menetapkan dulu sejumlah kriteria baku yang akan digunakan untuk menghitung harga sebuah jabatan. Kriteria ini biasanya berjumlah antara empat hingga lima faktor, dan lazim juga disebut sebagai compensable factors.
Berikut ini akan coba dipetakan contoh empat compensable factors yang acap digunakan sebagai kriteria untuk menilai value sebuah jabatan. Faktor yang pertama biasanya berkaitan dengan aspek kompetensi teknis yang dibutuhkan untuk melakukan sebuah pekerjaan. Makin tinggi kualifikasi yang dibutuhkan, tentu makin mahal harga jabatan itu.
Faktor yang kedua adalah job complexity. Aspek ini merujuk pada sejauh mana level kompleksitas yang dibutuhkan dalam mengelola suatu jabatan. Kompleksitas disini mengacu baik pada aspek teknis operasional ataupun dalam aspek konsep dan kedalaman analisa untuk menuntaskan sebuah pekerjaan.
Faktor yang ketiga adalah impact of decisions. Apakah dampak keputusan yang dihasilkan oleh jabatan ini bersifat signifikan dan lintas sektoral ataukah hanya sekedar punya pengaruh yang terbatas? Disini yang diuji adalah seberapa ekspansif dampak keputusan yang dihasilkan oleh sebuah jabatan.
Faktor yang keempat adalah responsibility of others. Disini yang diuji adalah rentang kendali dan tanggung jawab dari suatu jabatan. Apakah ia memiliki jumlah anak buah yang banyak dan masing-masing memiliki jenis pekerjaan yang variatif; atau sebaliknya? Dan sampai dimana tingkat otoritas dan tanggungjawab jabatan ini dalam menggerakkan orang lain.
Demikianlah, berdasar empat faktor diatas lantas dihitung nilai setiap jabatan yang ada dalam organisasi; biasanya mewujud dalam skala skor. Masing-masing skala skor ini juga disertai dengan deskripsi yang jelas dan terukur sehingga proses penghitungan menjadi lebih obyektif. Berdasar hasil skor inilah kemudian dipetakan berapa harga setiap jabatan yang ada di organisasi itu. Dari sinilah kemudian akan muncul skala gaji yang berbeda untuk setiap jabatan.
Sejatinya, makin tinggi skor sebuah jabatan tentu akan makin mahal harganya, dan tentu kian besar pula gaji yang bisa dibawa pulang. Meski demikian segera harus dikatakan bahwa hal ini sangat tergantung dengan 1) kondisi keuangan perusahaan dan 2) kebijakan manajamen dan pemilik perusahaan (baca : tergantung pelit tidaknya, atau serakah tidaknya sang pemilik perusahaan).
Tempo hari, salah seorang klien saya bilang kalau gaji Manajer SDM di perusahaannya berkisar pada angka Rp 25 juta per bulan, sementara menurut dia gaji Manajer SDM di perusahaan kompetitor hanyalah sekitar Rp 15 juta per bulan. Padahal kedua perusahaan ini punya bisnis yang sama, skala yang sama, dan job des Manajer SDM di kedua perusahaan itu sama persis. Tentu ini terjadi karena mungkin kondisi keuangan kedua perusahaan itu berbeda, atau mungkin juga pemilik kedua perusahaan itu punya kebijakan yang berlainan. Atau ada kemungkinan yang lain : ini memang sudah suratan takdir (doh!)
Jadi kembali pada pertanyaan judul tulisan ini : apakah pekerjaan Anda sekarang sudah dinilai dengan harga yang pas, atau terlalu murah? Alias di-diskon gede-gedan? Kalau pekerjaan Anda diobral terlalu murah, ya ndak usah terus bersedih dan tenggelam dalam duka lara.
Keep on moving. Have a positive mindset. Sebab esok kan masih ada harapan.
Note : Jika Anda ingin mendapatkan slide powerpoint presentasi yang bagus tentang career management dan people strategy, silakan KLIK DISINI.
Photo credit by : MorBCN @Flickr.com
Klo menurut saya,lebih baik punya usaha sendiri. Jadi masalah besarnya penghasilan lebih ditentukan oleh kita sendiri, bukan orang lain.
Ya sekarang kan zaman kompetensi yang serba terukur, perolehan hasil kerja juga proporsional. Menurut saya pada tingkat akumulasinya usaha ini sebagai strategi untuk menghindari Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN)
setuju sama El Sadra, mendingan punya usaha sendiri. btw itu untuk perusahaan swasta kali ya mas? soalnya kalau pegawai negeri kayanya uda kerja keras jg tetap kurang dihargai dari segi gajinya, mknya byk yg korupsi. apalagi guru yg pegawai negeri.. duh duh duh..
Great info.
Sepertinya juga perlu untuk membandingkan dengan gaji pada perusahaan dan jabatan sejenis.
‘An Tarodlin -saja supaya supaya tentrem dihati orang beriman, rezeki sedikit banyak samasekali bukan kita yang menentukan, kenyataan demikian, nyatanya begitu, rezeki berlimpah tapi sedikit atau samasekali tidak barokah, akan membuat hidup kita nggak semakin sengsara dan tertipu, banyak nih contohnya – coba amati sekitar anda, sekitar kita, dengan radius semakin melebar, “see life of them”, “fantasyiru fil ardli”, ayuk berusaha jadi milyarder, jadi millioner, jadi jutawan, tapi kita tetap yakin bahwa rezeki itu sudah ditakar, coba amati “Innallaha yabsuthur rizqo liman yasya-u wa yaqdir”.
menarik Mas. Menurut saya, investasi terbaik adalah meng-upgrade kualitas diri kita sendiri secara terus menerus . Ada banyak cara, diantara yang murah dan tidak ada resiko adalah bergabung dengan perusahaan network marketing yang bagus. Bedanya di tempat lain kita belajar dan berbayar lumayan mahal, di perusahaan network marketing distributornya belajar dan dibayar sesuai dengan tingkat pembelajarannya. See business school-nya Kang Robert Kiyosaki. Saya merasakan sendiri hasilnya.
Bagusnya cari pekerjaan atau cari uang toh …? Kalau rejeki tentunya beda dg Gaji/Penghasilan. Berapa rejeki orang yg bergaji Rp 5 juta, tentuny rejekinya bisa lebih besar dari Rp 5 juta. Berapa kali ia akan sakit, tapi karena barokah ga jadi sakit. Berapa kali ia mo makan diluar ternyata sering ditraktir orang, berapa kali dia mo kehilangan dompet yang birisi uang tapi gak jadi. So yang peling penting disini adalah kalau menurut saya berkelimpahan Rejeki, tapi juga TETAP berusaha untuk meningkatkan Penghasilan agar semakin banyak orang yang bisa kita bantu.
Salam hormat
Waaah kalau korupsi terjadi jangan di salah kan karena besar atau kecil gaji yang diterima dounk…. Gaji besar, posisi bagus tetap aja korupsi.
Oknum nya aja yang serakah dan banyak keinginan.
Dan juga walaupun kita punya gaji kecil, kalau kita bersyukur dengan apa yg diterima pasti semua kebutuhan akan terpenuhi.
Gaji emang penting di dunia kerja. Tetapi kerja dengan mengatasnamakan uang, saya kira pekerjaan tidak akan pernah mantap.
Besar kecil gaji yg diterima, harus bener2 digunakan semaksimal mungkin. Menurut saya gaji itu sangat relative, yg penting jangan besar pasak dari pada tiang. Saya kita setiap perusahaan punya kebijakan atau penilaian2 yg objektif utk karyawannya dan memberikan gaji yg sesuai.
sekaligus juga perlu dievaluasi,
jangan2 ada yang sekarang digaji kemahalan, kontribusi ‘mepet’ gaji ‘longgar’,….
ada yang bisa kasih contoh ???
Ikhlas bekerja dengan penuh kesungguhan,
Cerdas berfikir dan bertindak,
Tepat waktu dan penuh optimis dalam menjalaninya
Do’a dan prasangka baik paada-Nya
Itu kunci keindahan bekerja yang sesungguhnya,
Ada yang Maha Adil atas hasil yang telah kita perbuat dengan sungguh – sungguh.
Bung Yod,
Menurut anda, apabila kita sudah berhasil meng-kuantifikasi setiap faktor yang Bung sebutkan diatas, apakah mungkin bila kemudian dipaparkan secara transparan kepada karyawan? Dalam pemikiran saya, ini dilakukan agar karyawan semakin termotivasi.
Hanya saja, berdasarkan pengalaman saya faktor terkuat dalam penentuan gaji ini adalah kebijakan manajemen. Jamak terjadi di dalam perusahaan yang sama, posisi yg relatif sama dan tuntutan kompetensi yang sama ternyata ada pembedaan. Gawatnya perbedaan ini cenderung bersifat diskriminatif lagi.
Salam
Robin
kerja, nafkah, gaji, rizki, kebutuhan, keinginan, kehidupan… halaaah… sebagian kita sudah sangat lebih dari cukup, sebagiannya cukup, kurang cukup, kurang dan sangat kurang… halaah.. entah bagaiamana solusinya… tapi kita tetap berharap besar. wajib untuk tetap optimis bg seorang muslim, krn harapan itu masih ada… 🙂 ayo maju INDONESIAku..!!
mendapatkan gaji yang sesuai memang menjadi idaman setiap orang. setiap effort serta hasil terkadang tidak dapat dijadikan patokan, karena perusahaan masih melihat konsep jabatan dan juga putusan.
tapi, justru itulah seni dalam manajemen SDM. bagaimana membagi kesepakatan yang setara dan adil untuk masing2 orang.
Kalo ingin jadi pengusaha (dan punya karyawan) justru harus memahami pelajaran ini. Dari sini kita bisa membuat struktur gaji di dalam perusahaan. Struktur gaji ini yang akan menjadi patokan nominal gaji.
Bukan begitu Bang Yod ?
(Maaf saya copy artikelnya)
Kalau saya lebih setuju dengan kalimat terakhir dari mas yodya : ” Keep on moving. Have a positive mindset. Sebab esok kan masih ada harapan.” sebab kaya’nya perusahaan tempat saya bekerja masih jauh dari harapan !!!
Saya pernah ikut jadi anggota tim penyusun remunerasi berdasarkan jabatan di perusahaan perkebunan, dimana pada level jabatan yg sama gajinya belum tentu sama. Contohnya, gaji Manajer Umum lebih rendah dari Manajer Tanaman, gaji Foreman Boiler lebih tinggi dari Foreman Packaging.
Faktor 2 job complexity, apakah ada contoh perhitungannya? Apakah termasuk tingkat kesulitan unit kerja (topografi, masyarakat, adat, kesuburan tanah, kondisi asset terkini)?
Tolong kirimi saya contoh kuantifikasi job complexity.
Trims.
Wah kalau pendapat El sadra begitu maka anda termasuk yang menentukan kebijakan terhadap karyawan, seperti tertulis diartikel diatas:
“Meski demikian segera harus dikatakan bahwa hal ini sangat tergantung dengan 1) kondisi keuangan perusahaan dan 2) kebijakan manajamen dan pemilik perusahaan (baca : tergantung pelit tidaknya, atau serakah tidaknya sang pemilik perusahaan).”.
dan yang membaca artikel diatas adalah bawahan anda. 🙂
Deal All,
menurut saya gaji adalah rejeki yang diberikan olehNya kepada kita. Kita harus mensyukurinya berapapun pemberianNya. tapi kita tetap utk berikhtiar terus mencarinya. Dengan apa mencarinya ??? dengan segala potensi yang telah diberikan olehNya kepada kita. Apa itu ??? Pikiran kita….hati kita…..jiwa kita…..raga kita….Hidup kita tentunya….Sudahkah kita mengoptimalkan semuanya ?????
Pay for passion , saya rasa patut dipertimbangkan mas Yod ….
karena saya merasakan, passion saya untuk mandiri dan berusaha / entrepreneurship, tergadai dengan menjadi suruhan / employee
bagaimana bila profesi rohaniwan atau alim ulama? Berapa nilai yang layak diberikannya?
@ Budiman : “priceless…..”
@ Budiman : Apakah rohaniwan atau alim ulama adalah sebuah “profesi” ? Saya malah khawatir …
Menarik 🙂
Solusi’y, kita harus memahami uang,
“Biarkan uang yang bekerja untuk kita, bukan kita yang bekerja untuk uang” jangan selamanya jadi budak uang..
Kutipan : “RICH DAD,POOR DAD” (RObert Kiyosaki)
Mas Yod makin kencang mengepakkan sayap. Artikel ini bisa diakses melalui http://www.portalhr.com. Selamat.
bagi aku pekerjaan itu yang penting bukan uang yang di dapatkannya.tapi bagaimana kita merasa enaknya bekerja
semuanya cuman titipan …gaji besar tapi ngga barokah bikin susah dan penyakit…gaji kecil tp semua tercukupi …alhamdulillah jadi ngga banyak pikiran …cara terbaik ya bersyukur masih diberi hidup dan rejeki layak …kalo mau kaya jd pengusaha …tp pengusaha yg smart dan pinter ngatur hidup krn semakin banyak orang kaya tp keblinger bukannya bermanfaat buat orang lain …malah ngerepotin …capek deh ….
tujuannya baik untuk azas keadilan dan kompetitif dalam dinamika job yang bervariasi dan menumbuhkan kepada individu untuk terus belajar dan meningkatkan mutu diri agar dapat dihargai oleh manajemen.