Blackberry, kita tahu, kini telah menjadi salah satu gadget yang digandrungi banyak orang. Tentu saja, larisnya produk ini ditopang oleh fitur-fiturnya yang user-friendly. Beragam fiturnya membikin para penggunanya bisa saling ber-BBM, dan juga amat praktis untuk ber-FB atau ber-tweet ria.
Namun dibalik meledaknya penjualan gadget BB itu, terselip sebuah fenonema psikologis yang acap disebut sebagai “sikap latah”. Kalau orang lain atau teman-teman saya pakai BB, saya saya harus pakai juga dong; begitu kira-kira bunyi sikap tersebut.
Dalam ilmu perilaku (behavior science), kejadian ini disebut sebagai “social proof”. Atau sebuah perilaku individu yang dipicu semata-mata karena orang lain juga melakukan hal yang sama.
Jika dimanfaatkan secara cerdik, fenomena social proof itu bisa menjadi alat pemasaran yang mampu meledakkan penjualan sebuah produk – persis seperti yang terjadi pada Blackberry itu.
Strategi social proof ini kemudian dimanfaatkan secara jeli oleh sejumlah produsen. Contohnya : penerapan label best sellers pada sejumlah item (misal produk buku atau CD). Misalkan ada sebuah buku yang lumayan laku (dan karenanya layak masuk kategori best seller); namun begitu label “best seller” itu dipasang didepan sampul buku, maka penjualan buku itu langsung melambung berkali-kali. Riset berulang kali telah membuktikan keampuhan kata-kata “best seller” itu.
Mengapa kata “best seller” begitu sakti dalam melambungkan penjualan. Jawabnya jelas : ada social proof disitu. Para calon pembeli akan membayangkan, bahwa buku itu telah dibeli oleh banyak orang, jadi mengapa saya tidak ikut membelinya.
Risalah tentang social proof itu saya baca melalui buku bertajuk : Yes – 50 Scientifically Proven Ways to Be Persuasive. Secara amat memikat buku ini menyajikan kisah 50 hasil riset ilmiah tentang beragam perilaku manusia. Setiap kisah hanya disajikan sepanjang dua halaman. Ringkas, padat namun pekat dengan narasi yang menyegarkan.
Tema lain yang dibahas dalam buku itu adalah fenomena positive labeling. Dalam sebuah riset, dikisahkan ada dua kelompok murid SLTA. Dalam satu kelompok, para guru diminta mengajar sambil sering-sering menyampaikan positive labeling : misal, kalian adalah murid-murid yang gigih dalam belajar, atau kalian adalah murid yang cerdas, dan sejenisnya. Sementara dalam kelompok satunya, para guru hanya diminta mengajar seperti biasanya, alias tidak ada satupun positive labeling yang ditancapkan.
Enam bulan kemudian, ketika dilakukan ujian, maka rata-rata nilai kelompok pertama secara signifikan lebih tinggi dibanding rata-rata nilai kelompok kedua. Riset itu menyimpulkan bahwa positive labeling ternyata memberikan kekuatan sugestif kepada penerimanya. Memberikan label “anda adalah orang yang gigih” ternyata membuat penerimanya terdorong untuk bertindak sesuai dengan label yang diberikan tersebut. Jadi kalau Anda ingin anak atau keponakan Anda menjadi orang sukses, sering-seringlah memberikan positive labeling kepada mereka.
Fenomena lainnya yang juga dibahas dalam buku itu adalah apa yang oleh para peneliti perilaku disebut sebagai “groupthink” atau “kegagalan berpikir secara kelompok”. Fenomena ini merujuk pada gagalnya sebuah kelompok mencapai keputusan yang bermutu karena masing-masing anggota kelompoknya takut/rikuh/khawatir untuk mengekspresikan gagasannya secara mandiri dan bebas.
Acap dalam sebuah rapat/meeting, masing-masing pesertanya segan atau enggan memberikan pandangannya yang berlainan – lebih karena ia tidak mau mengambil sikap konfrotatif, atau sekedar ingin menghargai pendapat umum yang muncul. Sialnya semua peserta memiliki sikap seperti itu. Akibatnya bisa fatal : kesimpulan atau keputusan yang diambil kurang bermutu karena tidak melalui pertarungan gagasan yang mendalam. Atau karena semua peserta menahan diri untuk tidak saling “mengkritisi” pendapat pihak lain.
Itulah sebuah fenonema yang disebut “groupthink”. Dalam arena ini tidak terjadi sinergi. Yang terjadi justru destruksi. Artinya, masing-masing anggota kelompok itu secara individual mungkin cerdas-cerdas dan brilian. Namun begitu semuanya bergabung dalam sebuah kelompok, justru terjerumus dalam “kebodohan kolektif”.
Jadi lain kali ikut meeting, waspadalah dengan fenomena “groupthink” ini. Salah satu cara untuk menghindarinya adalah dengan menghadirkan “devil’s advocate” atau seseorang yang memang ditugaskan untuk selalu mengkritisi keputusan kelompok; menggugat dan mendorong semua anggota kelompok untuk benar-benar memikirkan ulang keputusannya secara mendalam.
Social proof. Positive labeling. Groupthink. Inilah sejumlah fenomena perilaku sosial yang perlu kita cermati. Mudah-mudahan Anda tidak sering terjebak dalam social proof dan terjerumus dalam tragedi groupthink. Dan jangan lupa, sering-seringlah memberikan positive labeling kepada siapapun di sekeliling kita.
NOTE : Jika ingin mendapatkan slide presentasi yang bagus tentang strategi bisnis, personal development dan leadership, silakan KLIK DISINI.
Tentang Labeling ini memang saya setuju untuk membentuk karakter organisasi untuk menuju perilaku yang lebih baik.
kemudian untuk groupting sepertinya juga dah sesuai dengan karakter orang indonesia yang hanya suka meniru ( sebagian besar ).contoh pada waktu saya menawari bisnis online yang menjanjikan orang rame – rame bilang katanya scam , tapi pada waktu ada facebook , twitter , messengger pada pakai beramai – ramai dan mereka tidak merasa di bohongi padahal merekatelah banyak buang waktu dan tenaga untuk melakukan update status , chating, dan sejenisnya hanya untuk bersuka – suka tanpa pengharapan .
Bandingkan dengan bisnis online yang kita di bayar untuk melakukan usaha untuk mencari konsumen dan tidak mengurangi kesukaan kita untuk chating dan update status pada gak mau katanya scam , padahal tidak semua scam to.
tapi tetep susah untuk memberikan labeling yang bagus , oh emang masyarakat indonesia lebih banyak yaag suka di bohongi bahkan ramai – ramai membuat fasilitas untuk hal – hal yang kurang bermanfaat tersebut. bahkan sampai lembaga negara dah ikut campur tapi tetep saja fatwa yang di berikan tetep gak di gubris . demi bisnis kebohongan semua it’s ok bagaimana ada tanggapan
masih banyak yang pakai BB hanya latah mengikuti trend..seorang rekan calo di komdak pakai BB alasanya sungguh membuat miris..”ngapain gua pakai handphone cina..kaya tukang sayur sama tukang ojek,,”..padahal dia ga bisa pakai salah satu item maskot BB..yaitu BBM..
Terus terang, ini tulisan sangat menginspirasi saya dalam membuat bisnis baru, yang tujuanya agar semua orang hanya ingin merebut titel “saya juga punya/beli/ada”
lama saya mencermati kenapa kartika sari jadi oleh2 wajib, itu karena gengsi dan ketenangan para pelancong untuk tidak pusing2 menentukan oleh2 yang dasarnya tidak ada “request” di kasi apa aja mau gitu.
Tulisan yang bisa menjembatani pikiran saya nih…tnx berat ya Mas Yodia
Pak Yodia
Saya menaggapi tulisan anda sebagai sebuah pembuktian dimana aplikasi ilmu psikologi mampu meningkatkan penjualan suatu produk. istilah social proof, positive labelling dan groupthink, merupakan istilah baru bagi saya yang masih terus belajar tentang pengembangan SDM.
Namun, yang perlu dicermati adalah pengaruh budaya , saya menyebutnya cultural approach, dimana akan sangat berperan penting dalam penjualan suatu produk.BB sukses di pasar indonesia karena salah satunya kita(bangsa indonesia) punya budaya latah (secara sadar/tidak sadar) dan itu dimanfaatkan oleh produsen BB. contoh lain adalah Yamaha.
Dalam tiap kali iklan yang ditampilkan Yamaha selalu menggambarkan kehidupan sederhana di sebuah desa (namun, iklan terakhir Yamaha Xeon memang agak beda). hal ini menunjukan memang penjualan yamaha di pedesaan melebihi honda. saya punya datanya karena memang saya pernah bekerja di Yamaha.
Demikian, sukses selalu pak yodia…
Artikel yang bagus sekali. Positive labeling saya harus lakukan itu. Tks. Alhamdulilah saya tidak “social proof” (ikut-ikutan)ber BB.
Social Proof merupakan budaya gengsi di negeri ini, hal ini dimanfaatkan dengan baik oleh produsen :). Positive Labeling juga merupakan salah satu Fenomena WOM (Word Of Mouth). Jika Social Proof dan WOM ini dikelola dengan baik akan menghasilkan angka2 penjualan yang fantastis menurut saya…ini menarik dan kita para pebisnis perlu memperhatikan hal kecil semacam ini. IMHO.
Kisah “groupthink” yang terkenal adalah kisah kegagalan invasi As ke Cuba melalui teluk Babbi. Gagasan tersebut datang dari Presiden JFK, yang karena kharismanya tdk seorang pun berani membantah termasuk para jenderal dan Dewan Nasional, walaupun mereka tahu bahwa invasi tersebut tdk layak. Saya mengira kecerobohanh Irak untuk menginvasi Kuwait juga karena “groupthink” ini, tak ada yang berani menentang Sadam Husein. Dinegeri kita, saya kira banyak juga kegagalan akibat hal serupa.
Wassalam
Pak Yodhia..makasih atas sarapan paginya.
Sedikit membahas topik ini kalau di dunia marketing sebenarnya ini fenomena biasa (hampir setiap produk bikin strategi ini) karena setiap pengambilan keputusan untuk membeli sebuah produk lebih disebabkan karena emotional reason dan prilaku pembeli Indonesia begitu kuat sisi emosinya dan ini bisa dibuktikan di beberapa kejadian (ada ditulisan saya https://imamwijayanto.blogspot.com/2010/07/alasan-membeli-sebuah-produk.html )
Sebuah studi di Inggris juga membuat hasil yang sama…emotional content dalam membuat sebuah strategi pemasaran produk menghasilkan tingkat efektifitas 2 kali lipat lebih baik dibandingkan rational content.
Mas Yodya , saya pernah mengalami suatu kejadian… waktu itu saya harus menemui salah satu temannya boss saya, setelah selesai petemuan dia bertanya ” mbak, pin BB nya berapa?” saya tertawa dan bilang ” Maaf saya tidak pakai BB, HP saya Nokia” jawab si tamu ” Waduh, hari gini kok masih belum pakai BB , mbak?”
kesimpulan saya …memang ” memang sosial prooflah yang membuat laku BB. karena sampai saya saat ini kegiatan bisnis dan pekerjaan saya masih bisa terkendali dengan HP saya. Entah nanti kalau saya memang merasa sudah membutuhkan BB….mungkin BB sudah tidak populer seperti sekarang.
Tks for ide2 yang segar dari mas yodya
tetap rajin memantau postingannya Bung Yodha..dan kali ini saya menyatakan..saya bukan salah satu yang latah BB itu…..Handset yang saya beli harus sesuai kebutuhan saya…untuk menulis dan jualan sya tetap pilih produk Nokia…salam
Mas Yodha, benar sekali masyarakat kita sangat latah. Banyak yang miliki BB tidak ngerti akan fungsi utamanya dan respon terhadap lingkungannya sdh luntur, karena lebih sibuk bermain BB. Pernah ada teman seminar yang menanyakan pin BB, dan tidak pernah bisa saya jawab lha HP saya masih menggunakan HP lama. Pola hidup kita dinegri ini yang memang sdh menjadi masyarakat yang latah…apa2 harus tren tanpa melihat kepada harga dan kepentingannya. Thanks
Kembali tulisan Mas Yodhia memberikan inspirasi bagi saya. Dan sampai sekarang saya adalah orang yang sangat anti berBB ria. Artinya tidak terjebak dalam golongan social proof.
Bukan hanya BB, facebook juga bukan suatu kebutuhan bagi saya. Budaya latah memang telah menjadi khas orang Indonesia, orang pake BB dianggap keren, berjam2 maen facebook tanpa sadar padahal telah menghabiskan waktunya.
Tapi media sosial seperti facebook juga bukan tanpa manfaat. Banyak perusahaan, memanfaatkan media seperti itu sebagai strategi memperluas branding. Sekarang saya juga akan selalu menerapkan Positive labeling kepada keluarga saya… Thanks atas pencerahannya Mas..
Salam kenal… Tepat sekali Mas Yodhia, mayoritas masyarakat kita memang sudah sangat terpengaruh “social proof” ini, bisa dikatakan telah menjadi budaya baru dalam kehidupan bermasyarakat kita. Thank God I’m not one of them 😉
Kenapa sekarang BB makin banyak digunakan orang bukan juga karna ikut2an semata, tapi karna faktor teknologinya yang lebih lengkap dg mengakses semua fitur dr BB, lalu faktor pendukung dari operator yg saat ini lebih memberi kemudahan untuk bisa berlangganan dgn tarif yg lebih manusiawi, ada juga faktor pihak lain (leasing) yang berani memberi label bunga 0% tinggal gesek org bisa punya BB, dan banyak faktor lain.
Tulisan yg menggugah di awal minggu. Ijin untuk share
Pingback: Twitter Trackbacks for Blackberry, Social Proof dan Positive Labeling | blog strategi + manajemen [strategimanajemen.net] on Topsy.com
alhamdulillah setelah saya cermati internal diri saya, saya bersyukur saya tidak termasuk dalam kelompok social proof (ga ikutan BB), bukan groupthink karena cenderung vokal dan berbeda dengan mainstream, dan setidaknya sudah menerapkan positive labeling setidaknya untuk anak-anak saya.
Pak Yodhia, out of topic ya.. maap 🙂
Punya rekomendasi video motivasi ga? oleh motivator nasional maupun internasional. yang durasinya 15 menitan gitu (ada banyak subject, tapi dipotong per subject pembahasannya..).. buat isi materi di coffee morning kantor pak.. minta rekomnedasinya ya..
Makasih
Masyarakat indonesia lebih bersifat konsumsimeris yang mudah terpengaruh produk baru yang dianggapnya kalau tidak membeli produk-produk yang sedang tren akan ketinggalan jaman.Hal itu yang sering dimanfaatkan produsen. Sebaiknya pembelian barang harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan setiap individu.
Masyarakat Indonesia lebih cenderung bersifat konsumeris terhadap produk baru. Mereka menganggap kalau tidak membeli barang yang sedang tren disebut ketinggalan zaman. Sebaiknya pembelian barang disesuikan dengan kemampuan dan kebutuhan seseorang
tulisan yang mencerahkan mas yodia. nambah ilmu istilah baru ni, social proof, positive labelling dan groupthink,
terima kasih
alhamdulillah dari kecil udah ditanamkan sama bapak buat gak ikut2an kalo beli barang, malah kalo minta barang yang lagi booming sering ditolak
kalo positive labeling sebenernya dari diri sendiri juga bisa, karena sayangnya ada saja orang tua dan keluarga yang cenderung suka meremehkan anggota keluarga lainnya, menurut saya melabeli diri dengan kata2 positive meningkatkan rasa percaya diri.
Yes mas, positive labeling harus dimiliki seorang pemimpin.
Alhamdulillah.. untuk positive labeling sudah saya coba ke anak saya dan saya selalu berpikir sebagai partner-nya dalam mempelajari sesuatu jadi kedudukan kita sama. Jadi ketika kita memberitahukan sesuatu hal yang baru ada komunikasi dan sharing ide.
Anyway, kalau tidak salah tgl 24 juli kemarin ultah blog strategimanajemen.net yang ke-3 ya pak.. Selamat! Smoga terus bisa memberikan pencerahan buat kita semua. Amin
Semua hal ada yang baik ada yang buruk. tergantung kita pilih mau wujudin yang mana.
Lee (18) : datang saja ke youtube.com; lalu search kata “motivation”. Disana ada banyak video tentang motivasi.
Social proof sebenarnya bagus jika kita seorang produsen. Bayangkan, betapa larisnya produk yang kita jual jika kita bisa “menciptakan” social proof….ya seperti fenomena kartika sari itu. Atau sepatu crooks.
Salam kenal pak Yodhia,
Pagi2 baca artikel yg bisa membuat tambahan pengetahuan, sedikit memberikan sentilan tentang fenomena yang memang ada disekitar kita.
Semoga selalu bisa memberikan pemikiran yang terbaik.
seperti istilah padi makin berisi makin merunduk
Makasih.
social proof, seringkali terlihat hebat. seakan2 hebat. fenomena latah u melengkapi gaya hidup agar terlihat sll OK. agar terlihat. agar terlihat. kasihan sekali mereka yg tak punya sikap pribadi. sll meniru dn mengekor. mudah2n kebaikan yg ditiru.
Bagus artikelnya,memberi inspirasi dan pencerahan. Fenomena social proof adalah kenyataan dan itulah kita.
Dibalik mendung sebenarnya masih tetap ada matahari yang bersinar, dibalik kenyataan pahit social proof disitu sebenarnya kekuatan bangsa ini dapat dimanfaatkan ,pemimpin kita jaman revolusi pernah memanfaatkannya dalam ruang positip dengan label “bersatu kita menang” mungkin tinggal bagaimana kita menangani dan mensikapinya.salam.
Terimakasih Mas Yodhia….tulisan Mas sangat meng-inpirasi saya….. memang apa yang dikatakan mas tentang social proof adalah benar…namun bagaimana sosial proof tersebut bisa diarahkan pada perilaku masyarakat yang lebih positif…seperti misalnya perilaku pengguna jalan yang saat ini kurang tertib (melanggar lalu lintas, lampu merah, parkir disembarang tempat, dll)
Menarik sekali buku ini. Udah ada di Indonesia ya? Tks
Inspiratif…groupthink merupakan suatu budaya yang sdh sangat mengakar,
yang penting ikut ” IYA ” dari pada “BEDA”.mksh Mas Yodhia.
Roni (31) : ya saya beli bukunya di Periplus Bandara Soekarno Hatta. Mungkin ada juga di toko Periplus Pondok Indah Mall.
Bukunya emang asyik bangets. Saya kadang tertawa terbahak-bahak membaca hasil riset yang tertuang di buku itu. Habis banyak perilaku manusia yang aneh bin ajaib.
Selalu ada proses. Apapun fenomenanya, apabila ada setitik kesadaran untuk bergerak lebih baik, maka kedewasaan berfikir dan kematangan berkarya akan tercapai.
saya siap berbagi ide di http://www.sejutaguru.blogspot.com
Menarik,amat menarik. Terutama soal groupthink itu. Budaya yang mungkin masih kita temui di korporasi di Indonesia. Untung di kantor saya skrg tidak termasuk 🙂