Perjalanan untuk mengulik momen yang bisa menebarkan benih-benih emosi positif sesungguhnya terasa makin terjal dengan temuan saintifik yang satu ini.
Jadi dalam serangkaian studi tentang human behavior, terungkap sebuah fakta yang rada muram. Yakni momen-momen negatif itu ternyata lebih mudah diingat oleh pikiran manusia, dan juga lebih lama membekasnya, dibanding momen atau kejadian positif.
Istilahnya adalah : bad is stronger than good.
Jadi bad events atau kejadian buruk yang memicu emosi negatif memang lebih kuat (stronger) menancap dalam benak kita sebaga manusia, dibanding good events atau kejadian positif.
Misal : rasa sakit hati karena dibully atau diledek oleh teman atau orang lain rasanya lebih membekas dibanding rasa senang karena pujian. Peristiwa putus hubungan dengan mantan akan lebih lama terkenang dalam memori (tsaaah).
Atau : berita dan informasi yang memicu emosi negatif seperti kemarahan akan lebih mudah menyebar menjadi viral.
Klik gambar untuk akses free KPI software.
Atau sebuah penelitian juga menemukan fakta : kejadian rugi atau kehilanga uang Rp 1 juta (negative event) akan jauh lebih membekas dalam pikiran dibanding saat kejadian menerima bonus Rp 1 juta (positive event).
Dan kenapa mayoritas berita di berbagai media online lebih banyak mengabarkan berita negatif (seperti konflik, kerusahan, kecelakaan, dll)? Karena bad news memang lebih menjual.
Bad news is good news kalau kata pepatah para pelaku bisnis media. Berita buruk adalah berita bagus yang akan laku dijual.
Pendeknya, berdasar serangkaian riset ilmiah, pikiran manusia itu ternyata lebih sensitif dan lebih peka dengan aneka kejadian negatif (bad events). Selain itu, kejadian yang memicu emosi negatif kita (yang membuat kita sedih, kecewa, marah dan frsutasi) akan jauh lebih membekas dalam benak pikiran, dibanding aneka kejadikan yang memunculkan emosi positif.
Fenomena bad is stronger than good ini juga selaras dengan fenomena lain dalam ilmu perilaku manusia yang disebut dengan “negativity bias”. Para peneliti dalam behavior science telah lama menemukan fenomena negativity bias ini, dan dampaknya bagi persepsi dan perilaku manusia.
Makna dari negativity bias adalah kecenderungan manusia untuk lebih fokus pada hal-hal yang bersifat negatif (merasa hidup ini penuh dengan aneka kejadian negatif); atau juga secara instingtif lebih mudah melihat aneka kekurangan, kejelekan dan keburukan di sekitarnya (dibanding hal-hal positif yang sebenarnya juga banyak tersedia).
Negativity bias inilah yang acap membuat seseorang lebih mudah dan lebih cepat melihat keburukan orang lain atau hal-hal di sekitarnya, dibanding melihat hal-hal positif yang ada pada orang lain atau hal-hal di sekitarnya.
Para pakar neurologi menyebut fenonema bad is stronger than good dan juga fenomena negativity bias bermula dari akar yang sama. Yakni ternyata susunan sel saraf otak manusia itu — by default — memang lebih peka dan lebih mudah bereaksi pada hal-hal yang negatif.
Tak pelak fenomena bad is strong than good dan negaivity bias ini memberikan tantangan besar bagi proses untuk meraih kebahagiaan jiwa. Kenapa? Sebab saat pikiran kita lebih banyak fokus pada aneka hal negatif di sekitar kita, maka jiwa kita niscaya akan menjadi lebih mudah galau.
Saat tiap hari kita lebih peka dan mudah terpicu oleh aneka hal negatif (misal bad news di berbagai media, aneka konten negatif di medsos, atau oleh konten online yang memicu nuansa kebencian; atau karena memang pikiran kita selalu tertuju untuk lebih mudah melihat kekurangan dan kejelakan di sekitar kita), maka jiwa kita pasti tidak akan pernah bahagia.
So what? Apa yang kudu dijalani agar kita bisa keluar dari jebakan negativity bias ini? Sebab sekali lagi, jebakan negativity bias akan membuat kita makin sulit merajut jiwa yang bahagia. Dan selanjutnya, saat jiwa kita yang tidak bahagia maka diri kita akan makin sulit meraih kesuksesan yang kita harapkan.
Menyadari bahwa ada sebuah fenomena yang disebut negativity bias dan fenomena bad is stronger than good, adalah sebuah langkah awal yang berharga. Sebab kesadaran ini akan membuat kita sebagai manusia bisa memahami bahaya laten yang ada dalam pikiran kita sendiri.
Dengan self awarenes semacam ini, kita kemudian bisa merajut strategi yang perlu dijalankan demi membantu tumbuhnya pikiran yang bersih dari negativity bias, dan demi lahirnya jiwa yang makin bahagia.