Ada salah satu bias psikologis keuangan yang sering muncul, dan kita lakukan dalam pengelolaan keuangan pribadi kita, yakni mental accounting.
Mental accounting intinya adalah kita melakukan semacam pembagian peran uang dalam mental pikiran kita, dan kemudian kita memperlakukan uang secara berlainan berdasar perannya masing-masing.
Contoh praktisnya begini. Seringkali setelah menerima gajian, seseorang langsung melakukan semacam pembagian alokasi uangnya. Misal, sebagian untuk bayar cicilan, sebagian lagi untuk biaya hidup, sebagian yang lain untuk dana investasi masa depan, sebagian untuk dana darurat (emergency fund), dan sebagian lainnya untuk kebutuhan main dan bersenang-senang.
Nah proses pembagian uang ke dalam perannya masing-masing tersebut disebut dengan “mental accounting” atau secara mental membagi gajian kita dalam berbagai akun yang memiliki peran berlainan. Dengan kata lain, ini adalah proses bugdeting : atau mengalokasikan gaji kita, dan kemudian menyusun alokasi budget sesuai uang yang kita terima.
Problem yang muncul dalam proses mental accounting atau personal budgeting tersebut adalah seperti berikut : secara mental kita kemudian memperlakukan uang tersebut secara berbeda-beda sesuai dengan perannya masing-masing.
Misal kita akan cenderung memperlakukan budget dana darurat dengan lebih berhati-hati, sebab memang dana ini digunakan untuk keperluan yang tak terduga. Sebaliknya, kita akan cenderung lebih royal, dalam menggunakan uang yang masuk dalam alokasi budget dana untuk main dan bersenang-senang.
Klik gambar untuk akses free KPI software.
Kejadian mental accounting juga muncul misalnya saat seseorang menerima bonus atau THR (Tunjangan Hari Raya). Sejumlah orang biasanya akan lebih royal memakai uang hasil bonus ini, misal untuk membeli aneka barang konsumtif. Kenapa ia cenderung lebih royal mengeluarkan uang hasil bonus ini? Sebab ia menganggap uang bonus ini sebagai “free money” atay semacam rezeki nomplok.
Demikian juga, jika seseorang misalnya menerima hadiah uang, maka ia akan cenderung memakai uang ini dengan lebih royal, dibanding uang yang ia terima dari gaji pokok hasil kerja kerasnya. Ia akan menganggap uang gajiannnya sebagai sesuatu yang harus dijaga dengan cermat karena hasil kerja lelahnya selama ini. Sementara uang hadiah ibarat rezeki nomplok yang bebas ia gunakan dengan royal dan konsumtif.
Semua uraian di atas menggambarkan jebakan mental accounting. Secara mental, kita memperlakukan uang secara berbeda tergantung peran atau dari mana ia berasal. Dan secara matematis ekonomis, sikap ini sejatinya adalah sikap yang tidak rasional.
Kenapa sikap itu bukan sebuah sikap yang rasional? Sebab secara matematis ekonomis, nilai uang Rp 1 juta itu SAMA JUMLAHNYA, dan seharusnya perlakuan kita atas uang Rp 1 juta ini sama.
Namun mental accounting membuat kita kadang memperlakukan uang dengan jumlah yang sama itu secara berbeda.
Seperti yang telah diuraikan di atas, kita akan menganggap dan memperlakukan uang Rp 1 juta sebagai dana cadangan/dana darurat dengan cara yang jauh lebih cermat, dibanding uang Rp 1 juta yang kita alokasikan untuk bersenang-senang.
Demikian juga, perlakuan kita terhadap uang Rp 5 juta dari bagian gaji pokok kita, akan sangat berbeda dengan perlakuan saat menerima uang Rp 5 juta sebagai bagian dari bonus atau THR.
Seharusnya tidak demikian. Sebab dari manapun datangnya, atau untuk apapun alokasinya, uang yang kita keluarkan akan sama jumlahnya. Entah datang dari gaji atau bonus, THR atau hadiah, uang sebesar Rp 5 juta tetaplah bernilai Rp 5 juta. Dan karena itu, perlakuan kita atas uang Rp 5 juta ini seharusnya sama. Jangan dipengaruhi oleh jebakan mental accounting.
Namun kenyataannya tidak demikian. Dalam keseharian yang kita lakukan, kita cukup sering terjebak dalam mental accounting ini. Dan akibatnya kadang tidak menguntungkan.
Misal : karena secara mental accounting kita menganggap uang THR atau bonus Rp 5 juta sebagai semacam “rezeki ekstra”, maka kita akan cenderung lebih royal memakainya (misal buat membeli hape sering terbaru); padahal secara rasional mungkin dana tersebut lebih menguntungkan jika dibelikan produk investasi demi masa depan.
Atau contoh lain. Seseorang misalnya sudah membuat alokasi budget untuk biaya gaya hidup (makan-makan, jalan-jalan dan aneka gaya hidup lainnya). Dan karena pengaruh mental accounting, maka orang ini akan cenderung menghabiskan semua dana ini dengan cepat “tanpa rasa bersalah”.
Padahal dana yang ia keluarkan nilainya sama, entah digunakan untuk kebutuhan gaya hidup, untuk bayar cicilan hutang, untuk ditabung, atau untuk biaya hidup sehari-hari. Namun perlakuan dan perasaan orang terhadap uang yang jumlahnya sama itu, akan sangat berlainan tergantung peran atau fungsi yang dibebankan pada uang tersebut.
Semua contoh di atas disebut dengan jebakan mental accounting.
Konsep mental accounting sendiri pertama kali dirumuskan oleh Profesor Richard Thaller, pakar behavioral economics dari University of Chicago. Riset dia tentang jebakan mental accounting ini menjadi salah satu kontribusi kenapa dia kemudian mendapat hadiah Nobel Ekonomi pada tahun 2017.
Saat dia melakukan pidato kemenangan Nobel di Oslo Norwegia, dan menerima hadiah uang senilai Rp 14 milyar, dia agak bercanda dan bilang : semoga saya bisa menggunakan uang hadiah ini dengan bijak, tidak menganggap uang ini sebagai “free money” dan membuat saya terjebak mental accounting.
Dari segenap uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa mental accounting ini adalah perhitungan peran pembagian uang dalam mental pikiran kita. Hasil pikiran ini kemudian membuat perlakuan kita terhadap uang menjadi berlainan.
Makna uang Rp 1 juta bisa sama sekali berlainan dalam pikiran kita, tergantung dari mana datangnya uang tersebut, dan untuk apa uang itu akan kita gunakan.
Sesungguhnya, mental accounting ini tidak selamanya bersifat negatif dan menjebak perilaku keuangan kita secara tidak menguntungkan. Jika kita cerdik, maka sebenarnya kita malah bisa memanfaatkan kekuatan mental accounting ini demi manfaat positif bagi pengelolaan keuangan personal kita.
Artinya alih-alih mencoba menghilangkan bias mental accounting dari isi pikiran kita, maka kita justru mencoba memafaatkannya demi keuntungan positif bagi diri kita.
Bagaimana cara memanfaatkan trik mental accounting ini? Kita akan mengulasnya dalam edisi artikel minggu depan. Stay tuned.