Salah satu strategi kunci agar kekuatan grit dan daya resiliensi tidak mudah jatuh itu adalah dengan cara menghindari atau menjauhi negative emotion. Secara spesifik, wujud dari negative emotion bisa berupa emosi kemarahan, kesedihan, kekecewaan, kebencian, julid, sirik, nyinyir, hingga iri dan dengki atau juga rasa sinisme yang berlebihan (cynical emotion).
Pertama-tama layak disebutkan, ternyata negative emotion itu memiliki dampak yang buruk bagi kekuatan grit dan daya resiliensi dalam diri kita. Studi saintifik menunjukkan saat jiwa kita terlalu sering disergap dengan emosi kemarahan, kesedihan, kekecewaan, ataupun sinisme yang berlebihan, maka ternyata kekuatan grit dan daya resiliensi dalam diri kita akan mudah jatuh dan lenyap (Frederickson, 2010).
Saat emosi negatif terus menghadang, kita akan mudah mengalami “grit depletion” (atau lenyapnya kekuatan keuletan dalam diri kita). Dengan kata lain, kekuatan grit atau kegigihan dalam jiwa kita akan mudah tergerus habis saat pikiran kita diliputi oleh emosi negatif seperti kemarahan, kekecewaan, kesedihan atau rasa sinisme yang berlebihan.
Itulah kenapa untuk memelihara kekuatan grit dan daya resiliensi, maka kita mesti pandai mengelola emosi dalam jiwa kita. Kita selayaknya menjauhi atau menghindari hal-hal yang bisa memicu kemarahan, kebencian dan rasa sinisme dalam diri kita.
Hal ini perlu dikemukakan di sini sebab sejumlah orang terlalu mudah mengumbar emosi negatif, dan menganggapnya sebagai sesuatu yang sepele. Padahal proses pengumbaran emosi negatif ini (seperti misalnya sinisme berlebihan) ternyata berdampak buruk bagi kekuatan grit dan daya resiliensi kita.
Saat kita terlalu mudah menghamburkan emosi negatif, ternyata diam-diam ini akan menguras energi willpower, dan sekaligus kekuatan grit kita. Tanpa disadari hal ini acap akan membuat kita menjadi mudah kehilangan konsistensi, dan akhirnya mudah menyerah untuk menjalani sebuah action dengan penuh ketekunan.
Emosi negatif seperti kemarahan, kekecewaan, kesedihan, hingga kebencian dan juga rasa sinisme berlebihan – acap muncul dalam diri kita karena interaksi kita dengan lingkungan di sekitar kita, baik dalam dunia fisik ataupun interaksi dalam dunia maya (online).
Misal jika di dunia offline, kita menjadi mudah kecewa dan marah saat dihadapkan pada jalanan yang macet. Atau juga perasaan jadi bete dan emosi saat menghadapi rekan kerja yang kurang kooperatif, atau menjumpai pelayanan pelanggan yang kurang sesuai harapan. Atau hati kita merasa sakit saat seseorang yang kita kenal mengeluarkan komentar negatif tentang diri kita. Hati kita kemudian jadi sedih dan kecewa.
Dalam interaksi online, kita juga mudah terpicu emosinya jika membaca konten di media sosial yang memantik kemarahan atau kekecewaan. Kita juga acap menjumpai rasa sinisme yang agak berlebihan dalam bentuk komentar negatif dari para netizen tentang sebuah isu. Saat muncul sebuah isu, tak jarang banyak komentar muncul dengan nuansa negatif dan kurang memberikan apresiasi.
Pada akhirnya, interaksi online yang kita jalani tak jarang justru membuat jiwa kita menjadi ikut pedih. Pedih karena mungkin terdorong menjadi marah terbawa emosi demi sebuah isu, atau juga menjadi ikut-ikutan terlalu sinis secara berlebihan terhadap beragam hal.
Seperti yang sudah dituliskan diatas, emosi negatif seperti kemarahan, kekecewaan, kesedihan dan rasa sinisme ini sejatinya sangat destruktif dampaknya bagi kekuatan grit dan daya resiliensi dalam diri kita. Saat jiwa kita terpicu oleh emosi kemarahan, kekecewaan atau sinisme berlebihan, maka kekuatan grit dan daya resiliensi dalam diri kita mudah lenyap.
Dan saat kekuatan grit dan daya resiliensi menurun, maka kita akan mudah menyerah dan cenderung malas melakukan action secara tekun dan konsisten.
Dari paparan di atas menjadi penting bagi kita untuk melakukan strategi demi menghindari jebakan negative emotion. Atau tepatnya, kita mesti menyusun langkah agar tidak mudah terpapar dengan beragam informasi yang membuat emosi jiwa kita terkoyak.
Secara lebih spesifik, ada setidaknya tiga langkah praktikal yang bisa kita jalani untuk menghindari jebakan negative emotion.
Cara pertama untuk menghindari emosi negatif adalah dengan menjalankan “expectation gap principle”.
Dalam ilmu tentang kebahagiaan, dikenal sebuah konsep bernama expectation gap principle. Jadi sumber utama kekecewaan, kesedihan dan kemarahan kita itu terjadi karena sebuah hal yang sederhana : yakni saat ekspektasi yang Anda harapkan tidak sesuai kenyataan.
Makin tinggi ekspektasi kita pada sebuah hal, maka makin mudah kita terjebak dalam emosi negatif saat realitas yang terjadi tidak sesuai yang kita harapkan. Kita mudah kecewa saat jalanan macet, sebab ekspektasi kita jalanan lancar. Kita jadi bete sebab ekspektasi kita adalah kerjaan lancar, namun ternyata ada banyak hambatan. Hati kita pedih sebab eksepktasi kita adalah mendapatkan dukungan dan apresiasi, namun yang didapat malah kata-kata yang merendahkan.
Maka cara efektif untuk mengendalikan emosi negatif adalah dengan membangun ekspektasi yang optimal (optimal expectation) dan realistik. Maksudnya adalah jika dari hasil analisa Anda, situasinya memang sangat kondusif, maka wajar jika Anda membangun ekspektasi tinggi.
Namun dalam sejumlah situasi tertentu dimana banyak potensi masalah muncul, maka selayaknya kita bisa membangun ekspektasi yang lebih realistik. Tujuannya agar kita tidak terlalu mudah kecewa dan sedih saat realitas yang pahit hadir di hadapan kita.
Kepandaian Anda dalam mengelola ekspektasi personal Anda, akan amat menentukan keberhasilan Anda dalam mengendalikan emosi negatif dalam diri Anda.
Emosi kemarahan, kekecewaan dan kesedihan dalam diri Anda bisa dikurangi secara signifikan jika Anda mampu merajut ekspektasi yang optimal akan berbagai hal di sekitar Anda.
Cara kedua untuk mengindari emosi negatif adalah dengan melakukan reframing dan menumbuhkan sikap apresiatif.
Reframing dan sikap apreasiatif intinya adalah mengajak kita untuk melihat sisi positif dari setiap masalah yang muncul. Sebab dibalik setiap masalah yang mudah memicu emosi negatif, sejatinya juga terdapat sisi positif yang bisa digali dan dijadikan sumber solusi. Apa pelajaran positif yang bisa dipetik dari masalah yang membuat kita kecewa atau sedih.
Fokus pada pelajaran positif dari sebuah masalah (entah masalah dalam pekerjaan, keuangan, bisnis atau masalah pribadi) akan membuat jiwa kita lebih resilien dan mendorong untuk menemukan solusi yang lebih baik.
Sebaliknya terlalu fokus pada dimensi negatif dari sebuah masalah, dan kemudian malah memikirkannya secara terus menerus aspek negatif itu, justru akan membuat hati kita makin sedih dan kecewa.
Sikap apresiatif juga perlu ditumbuhkan. Sikap ini adalah ikhtiar kita untuk mengapresiasi pada hal-hal atau kejadian positif yang terjadi di sekeliling kita, betapapun kecilnya kejadian ini. Tumbuhkan atensi pada beragam kejadian atau peristiwa sederhana dalam keseharian Anda yang perlu diapresiasi dan disyukuri.
Sikap apresiatif ini akan mendorong kita untuk fokus melihat “positive sides of life”, dan ini akan amat bagus bagi ketentangan emosi jiwa kita.
Sebaliknya, jiwa kita mudah mengalami kekecewaan, kemarahan atau kepedihan saat pikiran kita terlalu fokus pada “negative sides of life”. Kita juga mudah menjadi sinis dan nyinyir jika dalam relung hati kita tertanam insting untuk selalu melihat kejelekan dan keburukan pada sebuah kejadian atau pada orang lain.
Dan sungguh, emosi negatif semacam ini sejatinya amat buruk bagi penguatan daya resiliensi kita. Saat sikap nyinyir, sinis atau iri dan dengki yang lebih sering muncul dalam hati kita, maka energi negatif ini akan mampu menurunkan daya kegigihan dan keuletan kita dalam menghadapi aneka tantangan dan masalah.
Cara ketiga untuk menghindari emosi negatif adalah dengan mengurangi ekspose terhadap serbuan informasi negatif
Di era ledakan informasi online dan media sosial ini, kini kita terlalu mudah terekspose dengan aliran informasi yang memudah memantik emosi negatif.
Tak jarang, melalui media online atau media sosial yang kita ikuti, kita terpapar beragam konten informasi yang mudah memantik emosi negatif seperti kemarahan, kekecewaan atau kesedihan. Berita atau informasi yang mengandung aura kemarahan dan kebencian juga mudah menjadi viral, sehingga kita sering terpapar dengan jenis konten seperti ini.
Demikian juga dengan informasi yang sarat dengan aura sinisme yang berlebihan atau nyinyir tentang beragam hal. Sering kita melihat komentar negatif bernada sinis berlebihan semacam ini pada media sosial yang kita ikuti. Rendahnya sikap apresiatif, dan insting ingin selalu melihat keburukan orang lain – membuat konten bernada nyinyir cukup marak hadir di berbagai kolom komen media sosial (entah di Instagram, Youtube ataupun Twitter dan Facebook).
Menyimak dengan seksama konten yang memantik emosi negatif, kelihatannya sepele. Dan banyak orang malah mungkin menikmatinya.
Namun jika hal ini terus dilakukan secara berulang, tenyata memberikan efek buruk yang merusak ketenangan batin dalam diri kita. Riset-riset saintifik membuktikan, aktivitas semacam ini secara halus dan pelan bisa menurunkan kekuatan grit dan daya resiliensi dalam jiwa kita (Frederickson, 2007). Terlalu sering terpapar aneka konten negatif semacam ini akan pelan-pelan menurunkan daya kegigihan dan konsistensi kita dalam melakukan action.
Cara untuk menghindari paparan konten negatif semacam itu mudah. Secara aktif misalnya kita bisa unfollow atau unfriend akun-akun yang acap menyebar konten dengan aura negatif dan tidak berfaedah bagi ketenangan jiwa.
Jika kita menjumpai aneka konten negatif melalui viral, kita sebaiknya juga secara aktif mesti mengabaikan konten-konten semacam itu. Bukan malah menyimaknya dengan penuh emosi dan lalu ikut-ikutan share. Sebab sekali lagi, jika kita sering melakukan hal semacam ini, maka dalam jangka panjang ketenangan jiwa kita akan terganggu. Dan ini berdampak buruk bagi kekuatan grit dan daya resiliensi dalam diri kita.
Skip and move on. Begitu mungkin slogannya, setiap kali kita secara tak sengaja melihat aneka informasi online yang isinya memantik emosi negatif.
DEMIKIANLAH, tiga cara praktikal untuk menghindari dan mengelola emosi negatif yang acap menyergap keseharian yang kita jalani – baik dalam kehidupan fisik nyata ataupun dalam kehidupan online kita.
Seringkali kita sering terjebak dalam emosi negatif ini antara lain emosi kesedihan, kekecewaan, kemarahan, hingga rasa sinisme berlebihan. Layak digarisbawahi, emosi-emosi negatif semacam ini ternyata memberikan dampak buruk bagi penguatan grit dan daya resiliensi dalam diri kita.
Studi-studi saintifik telah membuktikan, saat kita terlalu sering mengalami emosi negatif, maka ketangguhan mental, kegigihan dan ketekunan kita dalam mengejar impian yang kita angankan menjadi makin pudar (Bauimester, 2010).