Investasi Telkomsel di GoTo Tak Sekadar Investasi Portofolio, Lalu Membeli Apa?

Artikel ini ditulis oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Institute.

TIDAK sedikit jalan menuju Roma. Banyak jalan membangun ekosistem. Itulah yang dilakukan oleh Telkomsel, anak emas PT Telkom, ketika masuk menjadi salah satu pemegang saham Gojek-Tokopedia (GoTo). GoTo merupakan decacorn nomor wahid di Indonesia dalam ekonomi digital.

Langkah Telkomsel berinvestasi di GoTo searifnya jangan hanya dilihat sebagai investasi portofolio dan berjangka pendek. Namun, setidaknya harus dilihat jangka panjang – membeli masa depan ketika ekonomi digital tumbuh pesat. Jadi, investasi Telkomsel di GoTo tidak bisa dilihat satu sisi dan jangka pendek.

Menurut catatan Infobank Institute, ada tiga hal penting. Satu, industri start up di Indonesia selain butuh dukungan banyak pihak, juga sekaligus diharapkan meraih peluang di masa yang akan datang. Perusahaan teknologi akan menjadi tulang punggung perkembangan industri digital ke depan.

Dua, saat ini Indonesia sudah menjadi pemain utama, khususnya di Asia Tenggara, dalam pertumbuhan ekonomi digital. Sejumlah decacorn asal Indonesia menjadi pemain utama, sebut saja GoTo, Blibli, Traveloka, dan Tiket.com.

Tiga, menurut data Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, ekonomi digital Indonesia diproyesikan akan tumbuh delapan kali lipat, dari Rp632 triliun menjadi Rp4.531 triliun pada 2030. Juga, sektor e-commerce, yang akan berperan penting dalam ekonomi digital di masa datang (2030). Lebih membanggakan, produk domestik bruto (PDB) Indonesia akan tumbuh menjadi Rp24.000 triliun di tahun yang sama.

Memang, kini perkembangan digital di dunia mengalami koreksi. Tidak hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Saham-saham Nasdaq (year to date), seperti Grab Holding, Uber, Amazon, Tesla, Apple, dan Microsoft, mengalami penurunan. Juga, saham Alibaba, Sea Limited, termasuk Twiter di pasar saham NYSE. Bahkan, Kakao Bank di Korea (KRX) juga turun sahamnya. Ini gejala saham dunia.

Jadi, penurunan saham digital di Indonesia tidak hanya melanda GoTo. Sebelumnya juga dialami Bukalapak (BUKA). Yang jelas, terjadi di seluruh dunia. Semua ini tak lain karena dunia dilanda inflasi tinggi, yang membuat suku bunga naik – akhirnya pasar saham mengalami koreksi, tentu termasuk GoTo. Naik-turunnya saham merupakan hal yang biasa. Bahkan, pengalaman Amazon baru membukukan laba setelah enam tahun dan menjadi listed company.

Kini Telkomsel – yang menjadi pemegang saham GoTo – pun mengalami unrealized loss (kerugian yang belum direalisasikan). Hanya dicatat di buku sesuai dengan PSAK 71. Nilai unrealized loss, seperti dicatat dalam laporan keuangan Maret 2022 lalu, nilainya sebesar Rp881 miliar.

Nah, unrealized loss ini yang kini banyak diributkan. Paling tidak dengan melihat banyaknya teori konspirasi – mencampuradukkan data dengan asumsi dan kecurigaan, menggunakan analisis konspirasi politik.

Benar bahwa setiap laba atau kerugian Telkomsel akan selalu dicatat di induknya (Telkom). Namun, investasi Telkomsel tentu tidak sembarangan – selain Telkom, pemegang saham Telkomsel adalah Singtel, perusahaan telekomunikasi terbesar di Singapura.

Bukan Sekadar Investasi Portofolio Jangka Pendek

Menurut catatan Infobank Institute, masuknya Telkomsel pada November 2020 dengan memberikan pinjaman dalam bentuk obligasi konversi tanpa bunga ke Gojek dengan tenor tiga tahun. Disebutkan bahwa Telkomsel dapat mengeksekusi obligasi konversi menjadi saham. Harganya sesuai dengan kesepakatan di awal pemberian obligasi konversi diberikan.

Pada Mei 2021 Telkomsel mengonversi menjadi saham GoTo seharga Rp71,81 juta per saham. Setelah dilakukan stock split, jumlah lembar saham Telkomsel di GoTo berubah dari 89.125 lembar saham menjadi 23.722.133.875 lembar saham.

Cerita unrealized loss ini dimulai ketika pada saat tutup buku 31 Maret 2022 dicatatkan cadangan kerugian (unrealized loss) terhadap harga saham GoTo senilai Rp881 miliar. Cerita inilah yang ditarik-tarik ke ranah hukum. Padahal, kasus unrealized loss pernah terjadi di BP Jamsostek di 2020 lalu. Sampai saat ini Kejaksaan Agung RI tidak menemukan cerita “horor” kerugian negara.

Bahwa mencatatkan cadangan kerugian merupakan bentuk kehati-hatian. Bisa dibandingkan dengan kasus Bukalapak yang mencantumkan potential gain – pada akhirnya per Maret mencatatkan laba besar Rp14,42 triliun (setelah periode sebelumnya (2021) rugi Rp1,67 triliun). Potential gain itu disebutkan dari kenaikan investasi di Allo Bank – yang harga sahamnya terbang. Meski, BUKA tak menjadi saham pengendali, kenaikan saham tetap dicatatkan.

Kembali ke investasi Telkomsel di GoTo, perlu ditekankan lagi, tentu tidak bisa dilihat jangka pendek. Kita lihat kasus Amazon yang mencetak keuntungan ketika listed company. Bahkan, Amazon butuh waktu enam tahun.

Menurut catatan Infobank Institute, ada beberapa hal penting yang perlu digarisbawahi. Satu, investasi Telkomsel merupakan langkah yang tepat. Sebagai perusahaan telko, Telkomsel juga ingin mengambil peran dalam kemajuan digitalisasi di Indonesia.

Selain itu – investasi Telkomsel di GoTo tidak semata-mata menyasar keuntungan finansial jangka pendek. Telkomsel di sini menjadi investor strategis – di mana banyak peluang bisnis yang dapat digarap dari kerja sama kedua perusahaan. Lihat saja GoTo memiliki ekosistem terlengkap dengan bisnis on-demand, e-commerce, dan keuangannya.

Dua, lihat juga Google. Google berinvestasi di GoTo tidak hanya melihat keuntungan investasi, tapi juga peluang bisnis di balik itu. GoTo menggunakan berbagai sistem Google di dalam bisnis mereka, seperti Google Cloud dan lainnya. Hal ini yang disasar Telkomsel untuk bisa memaksimalkan investasi mereka.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Astra International, produsen sepeda motor dan mobil terbesar di Indonesia. Pernah disebutkan oleh salah satu eksekutifnya, investasi Astra di GoTo bukan melihat sisi jangka pendek dan tidak semata investasi portofolio. Ada sinergi dan kolaborasi yang bisa dilakukan oleh Astra dengan GoTo dalam jangka panjang.

Tiga, contoh lain adalah perusahaan BUMN Singapura, Government of Singapore Investment Corporation (GIC), yang banyak berinvestasi di perusahaan start up. GIC merupakan investment company kredibel dengan rekam jejak panjang. Penurunan harga saham yang dikoleksi GIC tidak membuat kepercayaan pemerintah hilang, apalagi sampai mencurigai GIC tidak kredibel atau tidak profesional. GIC berinvestasi di BUKA, Jago, GoTo, dan sejumlah perusahaan lain di indonesia.

Empat, satu kebanggaan tersendiri, jika ada decacorn asli Indonesia dan dimiliki juga oleh perusahaan Indonesia, seperti Telkomsel. Selama ini banyak suara, perusahaan digital dimiliki oleh asing, kini Telkomsel – telah melihat masa depan ekonomi digital di Indonesia.

Lima, investasi di perusahaan digital terbesar di Indonesia (GoTo) tentu banyak celah bisnis yang bisa dikolaborasi dengan pendekatan bisnis. Peluang lebar ini bisa dimanfaatkan dengan menggunakan ekosistem GoTo yang jumlahnya jutaan. Menurut catatan, ada 2,5 juta driver Gojek, dan belum lagi pelanggan Tokopedia yang juga jutaan. Tentu pasar Gojek dan Tokopedia dapat dimanfaatkan oleh Telkomsel dengan baik, semisal dalam pembelian pulsa.

Saham Turun, Jangan Dikriminalisasi

Dan, fluktuasi harga saham GoTo adalah murni mekanisme pasar yang sedang terjadi di dunia. Seperti disebutkan, telah terjadi penurunan saham Tesla, Amazon, Kakao Bank, Nubank, dan yang lainnya. Juga, saham Netflix. Dunia sedang terbakar oleh inflasi, dan bahkan dampak perang Ukraina-Rusia.

Jadi, unrealized loss Telkomsel di GoTo tidak perlu dibawa ke ranah politik, apalagi “dikriminalisasi” dengan alasan yang tak berdasar. Investasi Telkomsel di GoTo bukanlah semata-mata untuk kepentingan jangka pendek dan investasi portofolio. Namanya harga saham, tentu ada naik, ada turun. Dan, saham GoTo bukanlah saham kualitas rendah, melainkan saham digital berkualitas baik.

Dan, Telkomsel membeli saham GoTo – sebagai perusahaan telko – juga ingin berperan dalam memajukan digitalisasi ekonomi yang akan tumbuh pesat. Telkomsel boleh jadi membeli masa depan ekonomi digital di Indonesia.

Jangan dorong-dorong unrealized loss sebagai bentuk kerugian negara atau dikriminalisasi. Dihubung-hubungkan ke Telkom sebagai induk perusahaan. Lihat sekarang, BP Jamsostek mengalami “trauma” investasi saham pasca dikriminalisasi. Langkahnya mengurangi main saham telah merugikan pasar saham Indonesia – karena BP Jamsostek merupakan market leader di pasar saham Indonesia. Selain ketika rebound saham tahun lalu, BP Jamsostek tidak menikmati kue besar itu.

Sudah waktunya melihat sisi investasi dengan pendekatan bisnis dan bukan politisasi dan kriminalisasi. Sebab, “politisasi” dan “kriminalisasi” telah membuat pasar modal dan dunia investasi menjadi tidak market friendly. Jangan membuat pasar ketakutan yang tak berdasar.