Hutang Indonesia saat ini sudah tembus angka Rp 3700 triliun – sebuah angka yang cukup masif.
Yang kelam : utang baru yang ditarik sebagian digunakan untuk membayar bunga utang masa lalu. Ini ibarat bisnis yang gali lubang untuk menutup lubang lama.
Yang lebih kelam : tahun ini kewajiban membayar pokok hutang dan bunga berkisar pada angka Rp 500 triliun – atau setara 39% dari total target penerimaan pajak 2017.
Scary. Saat hampir 40% penerimaan usaha Anda habis hanya untuk membayar beban hutang dan bunganya.
Sejumlah pihak menyebut bahwa tingkat hutang kita masih relatif aman, karena menurut standar Rasio Hutang terhadap PDB, maka angkanya masih 30-an persen (masih dibawah standar aman yakni sekitar 40%).
Utang kita Rp 3700 triliun, sementara PDB sekitar Rp 12.500 triliun; maka rasio utang Indonesia terhadap PDB masih 29%. Banyak negara lain yang rasio hutang terhadap PDB-nya jauh diatas angka tersebut.
Namun rasio hutang terhadap PDB ini rasanya kurang pas digunakan sebagai ukuran.
Ada indikator lain yang lebih tajam yakni : berapa cicilan hutang dan bunga dibanding penerimaan (cash) Anda setahun. Makin kecil rasionya, makin bagus kesehatan keuangan Anda.
Nah datanya ya itu tadi : kewajiban membayar cicilan utang pokok dan bunga negri kita tahun ini sekitar Rp 500 triliun; sementara target penerimaan pajak 2017 adalah Rp 1.271 triliun.
Itu artinya rasionya hampir 40%. Ini kondisi yang kurang sehat. Sudah lampu kuning. Idealnya beban pembayaran hutang dan cicilan hanya 25%.
Nah bagaimana caranya agar beban hutang menurun, sehingga ada lebih banyak dana untuk pembangunan?
Saat ini kita saksikan begitu gencar pembangunan infrastruktur yang mencengangkan, dari Sabang sampai Merauke.
Ribuan KM jalan baru dibangun, begitu pula rel kereta api, bandara baru, pelabuhan, MRT, LRT, tol layang, sekolah-sekolah hingga bendungan dan 35 ribu megawatt pembangkit listrik.
Tentu saja pembangunan itu butuh dana ribuan triliunan (bukan dana dari lampu Aladin).
Harapan satu-satunya adalah pada pemasukan pajak. Harus dikatakan, di era modern ini, PAJAK mungkin instrumen yang paling krusial perannya dalam menentukan wajah masa depan bangsa.
Yang muram : angka penerimaan pajak kita masih belum memuaskan, meski sudah terus naik tiap tahun.
Salah satu ukuran kehebatan penerimaan pajak itu adalah perbandingannya dengan PDB. Angka rasio penerimaan pajak kita tahun terhadap PDB hanya sekitar 10%.
Target pajak Rp 1271 triliun; sementara angka PDB sekitar Rp 12.500 triliun (jadi rasionya hanya sekitar 10%).
Rasio 10% itu angka yang agak mengecewakan. Sebab di negara Asean lainnya, angka rasio pajak terjadap PDB sudah bisa 14 – 16%. Rata-rata dunia malah sudah 25%.
Artinya kalau PDB kita tahun ini Rp 12.500 triliun, dengan rasio 25%, mestinya penerimaan pajak tahun ini Rp 3000 trilunan. Angka yang super amazing.
Untuk mencapai angka rasio pajak terhadap PBM menjadi 16% atau bahkan 25%, maka kita amat menantikan Revolusi Pajak Indonesia. Menurut saya ini lebih penting daripada Revolusi Mental yang nggak jelas apa maksudnya 🙂 🙂
Revolusi Pajak Indonesia bisa dilakukan dengan hanya melakukan 2 langkah sederhana namun powerful berikut ini.
Yang pertama, mungkin gagasan untuk membentuk Badan Pajak Indonesia yang terpisah dari Kemenkeu perlu segera direalisasikan.
Pembentukan badan yang otonom, dengan Kepala yang setingkat Menteri, dan dengan OTORITAS yang memadai akan membuat organisasi ini menjadi lebih powerful dan responsif dalam bergerak.
Urusan pajak terlalu besar dan masif untuk hanya dikelola oleh pejabat level Dirjen. Saat target pajak mau dinaikkan secara dramatis, perlu juga dilakukan penguatan organisasi secara signifikan.
Yang kedua, penguatan kapasitas SDM bagi lembaga pajak yang baru ini perlu dilakukan secara dramatis (baik dari sisi kualitas dan kuantitas) – salah satunya dengan meningkatkan anggaran dua kali lipat.
Saat ini anggaran DJP sekitar 6 triliun. Dengan badan baru yang lebih powerful, anggaran ini bisa dinaikkan jadi 12 triliun; tapi dengan target terukur peningkatan pajak harus naik – katakan – 400 triliun.
Simpel kan : invest 6 trilun, tapi hasilkan 400 triliun. ROI yang cetar membahana. Sebuh prinsip yang didasar logika bisnis simpel : Anda harus berani invest 10 demi hasilkan 100 atau bahkan lebih.
Anggaran yang naik dua kali lipat itu bisa digunakan untuk 1) menambah jumlah pegawai secara dramatis demi ekstensifikasi dan intensifikasi pajak; 2) upgrade sistem IT secara habis-habisan dan 3) kenaikan remunerasi untuk akselerasi produktivitas.
Untuk remunerasi, saya membayangkan Badan Pajak ini mampu memberikan gaji yang setara dengan pegawai di perusahaan multinasional atau BUMN papan atas. Hanya dengan gaji yang menarik, Anda akan mampu rekrut karyawan terbaik.
Ingat selalu pepatah ini : if you pay peanut, you will only get monkeys. Ada harga, ada rupa.
Kalau mau SDM dengan kualitas BMW ya tidak bisa dengan budget hanya sekelas Kijang bodol tahun 90-an.
Gaji pegawai pemerintahan yang sudah setara Unilever atau Pertamina itu hanya Bank Indonesia dan OJK. Padahal dilihat dari kontribusinya, jajaran Ditjen Pajak jauh lebih heroik dan krusial perannya dalam membiayai pembangunan bangsa, dibanding peran BI dan OJK.
Pembentukan Badan Pajak yang otonom dan selevel Kementerian, disertai dengan anggaran yang melimpah, dan skema remunerasi kelas dunia – adalah revolusi yang amat dibutuhkan untuk meningkatkan penerimaan pajak secara dramatis.
Ditengah derap pembangunan ribuan KM jalan baru, bandara yang megah, hingga sekolah-sekolah di pelosok negeri; maka uang penerimaan pajak adalah tumpuan ibu pertiwi untuk merajut masa depannya.
Revolusi Pajak Indonesia adalah sebuah kebutuhan bagi masa depan negeri ini.
Membaca artikel di blog strategi manajemen setiap Senin pagi, seperti menikmati menu sarapan pagi yang bergizi.
Bikin otak berkembang dan tercerahkan…
Bikin Wawasan jadi makin luas…
dan bikin Pendar-pendar ide serta kreatifitas bermunculan…
Semoga pengelolaan pajak semakin baik dari waktu ke waktu sehingga uang penerimaan pajak adalah tumpuan ibu pertiwi untuk merajut masa depannya.
dan bagi pebisnis, sebelum BISNIS anda BERANTAKAN karena pengelolaan keuangan yang ALA KADAR nya
Mending cepetan aja belajar manajemen keuangan di https://manajemenkeuangan.net/
Disajikan dengan renyah, menarik dan aplikatif.
sehingga penerimaan pajak dari sektor BISNIS bisa tercapai…
Terima kasih Kang Yodhia.
Salam sukses penuh KEBERKAHAN!
Segala hal nanti dipajakin saking perlunya dana..
Jika lepas kontrol akan mnjadi Alarm merah bagi kelanggengan rezim.
Penerimaan dr SDA jg konon masih rendah banget.. ironis
Solusinya mungkin kembali pada jalan ilahi..
Saya sangat setuju dengan pembentukan Badan Pajak Indonesia yg kekuasaan nya seperti lembaga KPK mungkin diperlukan ya….., sehingga bisa melakukan OTT, penyelidikan, penyidikan dan penuntutan hukum masalah pajak, serta lebih intensif lagi utk ancaman penahanan bagi para penunggak pajak (terutama penunggak pajak besar)…..????
Tanpa pajak, tidak ada negeri. itu entah quotes oleh siapa, lupa.
Revolusi pajak menurut saya tetap sangat berhubungan dengan revolusi mental. Kalau mentalnya bagus, pasti taat bayar pajak.
Andai semua bayar, saya kira pajak tidak perlu dinaikkan. Takutnya, karena mereka “malas”, persentase pajak dinaikkan sehingga beban rakyat (yang jujur bayar pajak) semakin bertambah.
Yang ngurus pajak negeri, sepertinya memang harus membuat badan mandiri sendiri, saya setuju om.
Setidaknya yang lalai bayar pajak, mulai dari rakyat kecil, sampai yang paling penting, rakyat kelas atas, rajin bayar pajak seperti seharusnya. Sanksi kelalaian bayar pajak juga mungkin harus lebih serius, macam di negeri sono..
Yang sudah bayar pajak harus dihargai lebih oleh Negara dan aparatnya. Kalau dalam laporan pajaknya masih ada yang salah, harus diberi pembinaan dan dikasih tahu cara koreksinya, bukan malah ditakut-takuti dengan ancaman denda, hukuman dsb.
Yang harus dioptimalkan adalah melakukan pendataan wajib pajak baru, yang seharusnya lapor dan bayar pajak tapi sampai saat ini masih ngemplang.
Bener juga, kt praktisi pengelola keuangan juga pmbayaran cicilan itu maximum 30% dr penghasilan bersih. Bukan bruto.
Setuju Pak!
Kita butuh tata ulang pengelola perpajakan dalam bentuk Badan Otoritas Pajak dan penguatan legislasi peraturan perpajakan utamanya dalam hal kewenangan
Sebenarnya pajak adalah sebuah paradoks. sebab dengan banyaknya instrumen kena pajak, masyarakat sulit bergerak untuk melakukan kesejahteraan. tetapi jika penerimaan pajak kecil, negara kekurangan dana kas untuk pembangunan.
mungkin jalan tengahnya adalah mengembalikan pajak pada sektor yang bermanfaat maksimal, terutama infrastruktur produktif.
yang kedua, penerimaan pajak yang sederhana. misalnya adalah pajak integral dalam satu dokumen.
misalnya pajak di kenakan pada “jumlah kekayaan” sekian persen fix untuk semua sektor setiap bulan atau setiap tahun.
kalau saat ini ada pph 21, pph 23, ppn dan lain sebagainya. kalau dihitung besar juga ternyata untuk satu putaran transaksi, apalagi kalau dihitung mulai dari hulu, pajaknya bikin nyesek.
Ya Allah…
Hutang negara kita begitu besar.
Semoga segera ada solusi terbaik tanpa mencekik penduduk Indonesia.
Semoga Indonesia segera lepas dari hutang berbunga. Aamiin…
Membaca data dari Mas Yodhia begitu mengerikan…
Hutang Indonesia kok sampai tiga ribuan triliun.
Mending fokus ke penguatan ekonomi lokal aja… Gerakkan perekonomian lokal untuk kesejahteraan rakyat. Tanpa perlu lagi negara berhutang.
Berhutang sih sah-sah saja.
Yang miris bayar bunganya itu. Berhutang untuk menutup hutang dan bayar bunganya.
Sedih….
Makanya uang bunga-berbunga hukumnya RIBA.
Harus benar2 didiaknose, diidentifikasi dan inventarisasi permasalahan yang substantif agar alternatif penyelesaian benar2 tepat. Revolusi pajak dengan memberikan otonomi yg lebih luas, menambah SDM, memberikan remunerasi, bukannya sdh dan sedang terus dilakukan namun (empiris) belum memberikan pengaruh yg signifikan terhadap realisasi penerimaan. Mohon maaf diperlukan analisa yang lebih mendalam. Kesimpulan dan saran/ usulan yg belum workable dan achievable.
jadi sedih baca mas, semoga indonesia segera terlepas dari hutangnya. amiin
Kalau Senin pagi belum baca blog legenderis ini, sepertinya ada yang kurang hehe..
Lihat ulasan di atas, jadi ngeri-ngeri sedep gimana gitu..
Wah harus bisa nyumbang pajak yang gede neh buat Negara haha.. Bismillah
salam
https://www.bayuwin.com/2015/09/seragam-net-tv.html
Sayangnya stigma “Gayus Tambunan” yg melekat pada pegawai pajak blom hilang sampai sekarang, bagaimana kalau nanti menjadi lembaga yg super-body, satu tantangan.
topik yang sedap di hari senin, saya setuju dengan Ide revolusi Pajak pak, semoga artikel ini sampai ke pemerintah terkait.
Simpelnya banyaknya hutang negara mencerminkan kondisi perilaku masyarakatnya. Jika negara mau berhutang, hutanglah melalui rakyatnya seperti ORI, Sukuk,dll. Jepang juga cukup banyak hutangnya tapi jika krediturnya bangsanya sendiri mereka bakal aman .
seram juga ya mas utang indonesia…padahal jika freeport dan kekayaan alam yang ada dimanfaatkan dengan sebenar-benarnya untuk indonesia, mungkin indonesia bukan lah negara pengutang. Riba pula !!!
kalo pemerintah membaca blog ini mungkin ada insight yang bisa diambil.. agar persoalan pajak ini cepat selesai cepat beres
Apa kabarnya pajak dari Facebook, Google, dll
sampai sekarang belum ada tindak lanjutnya.
Hutang itu kan ada banyak ya pak, hutang sebesar itu kan utk bayar bunga dan nambah hutang baru utk pembiayaan infrastruktur..
bukan hanya hutang untuk bayar pegawai pemerintah saja kan..
Emang ngeri hutang pemerintah sekarang pak. Nilainya gak maen2. Bisa jadi negara gagal nih ntar Indonesia.
Ada kah solusi untuk melunasi hutang it pak? Minimal untuk warga Indonesia yang banyak terjerat riba dan hutang.