Merayakan Kematian Televisi dan Kematian Big Brands Indonesia

Coba perhatikan anak, adik, keponakan, sepupu atau saudara Anda yang masih sekolah SMP dan SMA. Hampir pasti mereka jarang atau bahkan tidak pernah lagi menonton layar televisi.

Layar hape yang mungil telah merebut seluruh atensi mereka. Channel Youtube, Line, Instagram, TikTok, hingga pertarungan Mobile Legends jauh lebih menarik bagi jutaan anak remaja dan gen milenial dibanding layar televisi yang jadul (teknologi peninggalan era 1920).

Ledakan smartphone dan beragam konten online yang atraktif pelan-pelan memang akan membunuh layar televisi. The death of television is coming.

Faktanya, migrasi besar-besaran kaum milenial untuk menjauhi layar televisi juga terjadi di seluruh dunia.

Dalam grafik berikut ini, terlihat grafik kejatuhan yang dramatis jumlah pemirsa televisi dari kalangan gen milenial Amerika.

Jika tren dalam grafik tersebut terus berlanjut, maka bau kemenyan kematian TV akan makin merebak.

Hilangnya daya pesona layar televisi yang jadul di mata gen milenial sungguh kelam. Sebab mereka adalah anak muda generasi masa depan. Jika mereka saat ini makin enggan menonton televisi, maka masa depan bisnis ini niscaya juga akan juga suram.

Dunia digital memang telah mengubah perilaku konsumsi media kita secara dramatis.

Dulu di era monopoli TV (sebelum terjadi ledakan konten online) semua program TV dipaksakan kepada pemirsa untuk ditonton. Gaya hiburan satu arah yang sangat monolitik.

Layar smartphone yang begitu rancak telah menghancurkan hegemoni tunggal seperti itu.

Setiap orang kini bebas menikmati konten online yang disukai, saat itu juga, real time. Jutaan konten online (yang hampir semuanya bersifat user-generated) – menawarkan jutaan variasi yang kapan saja bisa dinikmati.

Era monopoli TV dengan arogansi rating yang acap bikin mual memang sudah seharusnya segera berakhir.

Tentu saja, para pemilik bisnis TV amat layak cemas dengan fenomena ini.

Namun selain TV Business Owner, siapa lagi yang harus merasa ketakutan dengan kejatuhan TV di mata gen milenial?

Jawabannya adalah : BIG BRANDS.

Ya para pemilik brand besar seperti Unilever (dengan brand Pepsodent, Lux, shampoo Clear, Rinso, Kecap Bango dll), Indofood (dengan brand andalannya Indomie), Danone Aqua, hingga Garuda Food dan Mayora (pemilik puluhan brand snack dan aneka camilan) – mereka semua harus cemas dengan kematian televisi.

Kenapa mereka harus cemas?

Sebabnya simpel : karena dana iklan TV triliunan merekalah yang selama ini telah membesarkan big brands tersebut.

Jadi begini. Template atau formula sukses big brands itu sejatinya amat sederhana.

Templatenya begini : Ciptakan produk yang okelah (ndak usah yang terlalu dahsyat). Lalu gerojokkan dana iklan televisi ratusan milyar hingga triliunan seperti dana iklan Unilever. Kemudian sebar produk di semua gerai Indomaret dan pasar-pasar. Dijamin laris deh.

Jadi dalam formula sukses big brands itu, jantung kekuatannya ada pada dana iklan televisi yang super masif.

Nah bayangkan apa yang terjadi saat jutaan anak muda tak ada lagi yang mau nonton televisi?

Dengan seketika, formula sukses big brands itu menjadi rapuh dan akan segera terjungkal dalam kolong kematian yang pedih.

Era hegemoni televisi yang monolitik memang sangat memanjakan para pemilik big brands. Begitu mudahnya mereka “menyihir pikiran jutaan calon konsumen” dengan iklan TV yang masif dan repetitif.

Kenapa sangat mudah? Sebab saat itu layar TV adalah kekuatan tunggal. Belum ada ledakan layar hape yang disruptif yang menawarkan jutaan alternatif konten yang penuh variasi.

Saat layar televisi adalah kekuatan yang hegemonik, dan jutaan pemirsanya belum punya opsi lain – maka para pemilik big brands cukup tuangkan dana ratusan milar untuk iklan TV yang masif. Produk mereka dijamin laris dan lalu brand mereka akan melegenda.

Namun kini saat layar hape telah sukses merobohkan dominasi layar televisi, maka formula iklan TV yang begitu memanjakan para big brands itu menjadi usang dan terancam semaput.

Memang ada yang lalu bilang : wah Mas, tanpa iklan di televisi pun saya tetap akan makan indomie rebus.

Memang sih, pesona micin indomie yang bagaikan surga dunia itu amat membekas dalam lidah kita.

Namun jangan lupa, bombardir iklan Indofood di TV telah amat membantu “menancapkan image Indomie dalam alam bawah sadar kita”.

Demikian juga Pepsodent. Ada yang bilang ke saya : Mas, kalau ke Indomaret saya pasti beli Pepsodent, meski nggak lihat iklannya lagi.

Tapi ingat : dulu sekali, Anda atau orang tua Anda beli Pepsodent pertama kali ya kerena iklan mereka di TV yang super masif.

Poinnya : kalau iklan mereka yang masif di TV nggak ada lagi yang nonton, ya pelan-pelan penjualan mereka pasti akan jeblok.

Produk mereka yang ada dimana-mana itu, pelan-pelan akan makin dilupakan konsumen jika iklan TV mereka sepi penonton.

Lalu, ada juga yang bilang : kan big brands itu dengan mudah mengalokasikan dana iklannya ke media sosial dan youtube mas.

Ada benarnya juga.

Namun ada yang layak dicatat : di era layar smartphone, terdapat jutaan variasi pilihan konten, dan attention span gen milenial kini makin pendek.

Budaya scroll-scroll layar hape memang telah membuat attention span anak muda saat itu menjadi amat pendek.

Implikasinya : kini jauh lebih rumit untuk merebut atensi pemirsa layar hape, dibanding atensi layar televisi seperti jaman dulu.

Dulu, hanya dengan sekali pukul iklan masif di layar TV, pertempuran bisa dimenangkan. Done. Simpel.

Tak demikian dengan layar hape. Disini iklan big brands harus bersaing dengan jutaan alternatif konten yang acap isinya jauh lebih menarik, mengejutkan dan mendadak jadi viral (padahal penciptanya bukan siapa-siapa).

Ibaratnya, dalam pertarungan merebut layar hape, iklan big brands harus melakukan perang gerilya dengan jutaan konten dari small players yang tak mudah ditaklukkan.

Model perang bom iklan ala layar televisi yang simpel dan mudah dimenangkan, benar-benar tak lagi efektif untuk memenangkan pertempuran gerilya di layar hape.

Sayangnya, banyak pengelola big brands yang masih punya mindset lama, mindset layar televisi yang jadul, monolitik dan satu arah. Akibatnya tak banyak big brands yang sukses menaklukkan layar hape lantaran digital marketing mereka masih pakai pola jadul dan old fashion.

DEMIKIANLAH, ulasan ringkas tentang peta digital masa depan.

Kejatuhan layar TV yang monolitik dan robohnya dominasi iklan TV big brands sejatinya membuka peluang bagi banyak small brands untuk tumbuh.

Layar hape yang demokratis dan penuh variasi harusnya bisa memunculkan potensi ribuan small brands untuk maju bersama-sama.

Jika memang itu yang terjadi, maka selayaknya kita mesti merayakan kematian televisi dan kematian big brands Indonesia.

25 thoughts on “Merayakan Kematian Televisi dan Kematian Big Brands Indonesia”

  1. Perubahan milenial begitu deras..
    TV memang tak menarik lagi.. kangen jaman 90 dan 2000 an..

    Stasiun TV sebaiknya jadi TV khusus film, semua yg di puter film2 keren.. mungkin masih ada ceruk pasar nya.

  2. sejak lama di rumah gak ada tipi..
    anak anak juga lebih suka yutube
    bisa pilih channel yang disuka
    dan yang paling asyik pake browser terrtentu yang bisa ngeblock iklan di yutube :v

  3. Tapi beberapa produk sudah berada di top of mind yang merubahnya adalah feedback dari social media via HP untuk mencoba produk baru yang bisa jadi virak atau respon positif

    Big brand harus main di varian baru yang diperkenalkan via sosmed hemat saya untuk menjaga produknya top of mind

  4. Wah benar-benar sajian artikel yang dahsyat & memukau. Saya setuju, dengan kematian TV & Big Brands, kini saatnya untuk para pelaku usaha UMKM mengembangkan sayapnya dengan memanfaatkan internet

  5. Ada yang lebih penting lagi. Pemilik platform aplikasi seperti youtube, twitter, instagram adalah negara lain sehingga biaya iklan nantinya akan masuk negara lain dalam bentuk dollar.. Kita tidak akan dapat apa2.. CMIIW

  6. Terimakasih mas yodhia, sajian senin pagi ini sungguh renyah dan patut kita apresiasi.. salam sukses penuh keberkahan

  7. Kualitas konten acara di televisi yang makin lama makin bikin eneg (acara drama settingan), tidak mendidik, tidak informatif, menambah malas untuk menyaksikan tv.

    Belum lagi mahalnya harga perbaikan tv
    LCD/LED jika rusak (asumsi jaman now tiap rumah sekarang sdh pake tv jenis itu), makin bikin orang malas untuk nonton tv (memperjarang nonton tv biar awet tv-nya)..

  8. Setuju mas..dan sekarang konten youtube pun berubah drastis dibanding 3-4 tahun lalu. Trending di kuasai oleh industri tv dan konten berkualitas sudah sedkit dan semakin banyak konten yg biasa saja tetapi targetnya kelas c-d mirip tv. Karena nonton youtube sudah mudah sekarang ini dan tidak mahal lagi. Raja youtube atta halilintar dan ria ricis yg kontennya biasa banget. Sedangkan para pemain youtube yg berkualitas jalan ditempat. Para artis masuk ke dunia youtube sehingga youtube mirip tv lagi 🙂

  9. yang akan naik cepat adalah penjualan kacamata…karena semua orang pada liat HP berlama-lama…

  10. tapi kenapa yang katanya tv udah tidak dipake lagi,tapi startup unicorn masih menggunakan TV sebagai iklan mereka ?

  11. saya 1 bulan nonton televisi cuma 1-3 kali aja.

    malah banyak nonton youtube. he he..,

    tapi di Youtube banyak iklan shampo, bisnis online, trading, sikat gigi, odol pepsodent, iklan tokopedia, cukur rambut, dll…

    he he..

  12. Sajian yg sangat renyah sekali untuk senin ini.

    Kami pun di wikeu mengumpulkan semua konten viral dari semua situs sehingga pengguna tidak harus mengunjungi satu persatu

  13. Capres dan cawapres mestinya lebih intens lagi memanfaatkan layar hp untuk menyampaikan visi dan misinya guna memperoleh banyak suara di pilpres nanti…

  14. Jadi Sebenernya yg ngebunuh tv dan big brand itu para millenial, mereka gak nonton TV… jadi gak nonton iklan.
    Marketing strategi harus kekinian. Gak bs lg pakai pakar2 atau agency2 marketing yg pola pikirnya jadul. Selamat datang merk2 baru… mudah2an ini adalah era kebangkitan UKM…. amin

  15. Kalau big brand mulai melek internet, harusnya malah lebih powerfull dong.

    Soalnya kapital mereka kan lebih gede, tinggal bayar ads, nyewa buzzer dan konten kreator yang kreatif. BOOM

  16. Tapi apa ini berlaku juga bagi brand” yg sudah ‘top of mind’ seperti air minum Aqua, mi Indomie, dsc? Merk” tsb menurut saya sudah jadi bagian hidup dari banyak orang sehingga tanpa iklan gila”an pun, orang akan tetap mencari barang tsb. Mungkin untuk merk” baru atau yg belum jadi “top of mind product” harus mulai memikirkan ancaman ini, tapi u brand” spt contoh di atas, perubahannya tidak akan terlalu signifikan menurut saya

  17. sekarang banyak juga strategi orang2 YouTube dibikinkan acara sendiri di tv, seperti Raditya Dika di metro, ria ricis di trans 7, young Lex trans tv dan attack halilintar di ANTV ,Apakah bakal berhasil ya suhu? Menarik utk disimak artikel selanjutnya

    Salam
    https://seragambatik.id

  18. betul mas, televisi dan koran sudah mulai ditinggalkan.contohnya saja koran yang direksi dan pekerja nya banyak yang tidak mau membuka mata dan hanya menghibur diri bahwa koran masih memiliki power yang hebat seperti masa kejayaan nya (dulu). selain itu Banyak media cetak yang kurang sehat, yang memperkerjakan karyawan nya se enak nya, menyuruh muktitasking namun kesejahteraan nya sangat kurang gaji di bawah UMR sehingga karyawan bekerja se adanya dan tak ada inovasi yang membuat perlahan mati.

Comments are closed.