Social Entrepreneur in Action

Dalam derap menggapai tatanan masyarakat yang makmur nan sejahtera, peranan para social entrepeneur tampaknya kian diperlukan. Lalu apa makna dari social entrepreneur itu? Istilah ini merujuk pada individu-individu yang inovatif, memiliki kecerdasan sosial yang kental, dan kemudian mendayagunakan segenap energi dan ketrampilan yang dimilikinya untuk memberikan yang terbaik demi kepentingan masyarakat luas.

Berbeda dengan business entrepreneur yang berfokus pada motif ekonomi, barisan social entrepreneur adalah mereka yang berjuang merajut hidup demi dan atas nama kemaslahatan sosial. Mereka berikhtiar membentangkan serangkaian tindakan untuk membantu penciptaan masyarakat sosial yang makmur dan bermartabat.

Saya beruntung sebab setiap kali mudik lebaran ke kampung halaman, saya bisa menyaksikan bagaimana barisan para social entrepreneurs itu menjalankan kiprah dan mendemonstrasikan prestasinya.

Setiap tahun menjelang lebaran, saya memang pulang ke kampung halaman saya : sebuah desa kecil yang bernama desa Pekajangan, 9 kilometer arah selatan kota batik Pekalongan. Saya lahir dan menghabiskan masa kecil hingga lulus SLTA di desa udik ini; sebab itulah tradisi dan kultur desa itu memberikan jejak yang amat kuat bagi jagat pemikiran saya hingga kelak jauh didepan.

Desa itu sendiri dihuni oleh mayoritas penduduk yang berwatak progresif, kosmopolit (orang desa namun concern dengan isu-isu global), dan selalu rindu dengan social transformation. Rata-rata penduduknya juga memiliki usaha sendiri, mayoritas menjadi produsen batik (desa ini merupakan sentra pemasok batik terbesar di tanah air; so thanks to UNESCO yang sudah menetapkan batik sebagai warisan budaya nusantara).

Dan ini dia : segenap individunya yang telah mapan secara finansial itu juga rata-rata memiliki talenta social entreneurship yang kokoh. Demikianlah, bersama-sama mereka kemudian membangun menggerakkan desanya. Dalam hal ini, mereka berkiprah melalui payung organisasi sosial keagamaan Muhammadiyah (sebuah organisasi yang juga sangat lekat dengan sejarah pertumbuhan desa ini).

Begitulah barisan para social entrepreneur itu – melalui organisasi Muhammadiyah tingkat desa – kemudian mendayagunakan segenap daya kreativitasnya untuk melentingkan sebuah peradaban desa yang unggul nan mulia. Hasilnya saya kira sungguh mengesankan.

Desa itu kini memiliki rumah sakit dengan fasilitas yang lengkap dengan tingkat pelayanan bermutu prima (and imagine, this happens in just a little village). Desa itu kini juga memiliki Sekolah Tinggi Perawat, dengan gedung kampus yang desain arsitekturnya membuat saya tertegun-tegun (ketika tempo hari mudik dan melintas di depan kampus mereka, saya sungguh kaget campur bangga, tak menyangka bahwa desa kecil ini bisa membangun gedung kampus yang sedemikian elok nan menjulang). Desa ini juga memilki lembaga keuangan mikro yang terus bergerak maju dengan jumlah pelanggan yang terus tumbuh.

Yang membuat semuanya indah adalah ini : segenap prestasi diatas digerakkan pertama-tama oleh motif sosial nan mulia dari para social entrepreneur yang brilian itu. Sebab itulah, setiap profit yang dihasilkan oleh beragam usaha diatas, selalu 100 % dikembalikan lagi untuk kemaslahatan masyarakat desa tersebut.

Kisah para social entrepreneurs di desa Pekajangan ini rasanya telah memberikan pelajaran penting bagi negeri ini dan juga bagi dunia : yakni perjuangan sosial yang dibalut dengan prinsip manajemen modern dan spirit social entrepreneurship bisa menghasilkan kontribusi yang sangat positif bagi kemajuan masyarakat.

Dengan kata lain, sebuah tindakan sosial yang luhur akan memberikan daya magis yang kuat jika ia digerakkan oleh kreativitas dari barisan social entrepreneurs yang tangguh.

Demikianlah, para social entrepreneurs di desa Pekajangan itu selalu berjuang menganyam gagasan dan merajut inovasi demi tumbuhnya masyarakat sosial yang maju nan sejahtera. Dan setiap tahun, setiap kali saya mudik, saya selalu melihat bagaimana inovasi itu diwujudkan dalam serangkaian prestasi yang mengesankan.

Dan saya kira itulah yang membuat saya selalu rindu untuk pulang ke kampung halaman.

Note : Jika Anda ingin mendapatkan slide powerpoint presentasi yang bagus tentang entrepreneurship silakan KLIK DISINI.

Author: Yodhia Antariksa

Yodhia Antariksa

33 thoughts on “Social Entrepreneur in Action”

  1. @ Khairul, ya benar, saya kira DESA PEKAJANGAN merupakan salah satu prototipe “desa kelas dunia” (world class village). Sebuah desa yang sangat responsif dengan dinamika perubahan zaman.

    Negeri ini perlu lebih banyak desa seperti itu. Sebuah desa yang inovatif nan brilian.

  2. Assalamualaikum…
    Wah, sangat kagum sekali saya dengan Pak Yodhia, dapat mengangkat sebuah desa di Pekalongan sana yang mungkin banyak orang yang belum tau. Tidak menyangka kl Pak Yodhia orang Pekalongan juga, krn dari namanya spt bukan orang Jawa 🙂 Semoga tulisan bapak bisa menjadi inspirasi bagi banyak desa lainnya untuk terus mengembangkan kemampuan social enterpreneur-nya.
    *salam dari saya, orang Wiradesa yang kagum pula dengan pesatnya perkembangan kota Pekalongan saat ini.

  3. Pengistilahan “prototipe desa kelas dunia (world class village)” untuk Desa Pekajangan ini sangat menarik, Mas. Sudah dicoba dikomunikasikan ke pemerintah daerah setempat? (atau jangan-jangan sudah ada konsep dan tindak lanjut untuk hal tersebut?)

    — Akan lebih lekat ke pembaca seandainya ditampilkan fotonya juga ya.

  4. @mas yodh, cerita yang luar biasa…saya ingin sekali menjadi seorang social entrepreneur, minimal bisa membangun desa/kampung halaman sy kelak..trims atas best practise nya…:)

  5. Oh mas Yodia asli Pekajangan tho mas….:-)
    Diriku kerja di Pekalongan juga di PT. Primatexco Indonesia dan banyak karyawan yang berdomisili di Pekajangan juga….
    Emang betul ceritanya seperti itu, tepat….

  6. Betul kata Yodhia, kekuatan social entreprenuer dan -kalau boleh sy tambahkan – juga krn kekuatan the spirit of Muhsinin” warga desanya (selalu menginfak-kan harta/pikiran/tenaga dijalan Alloh, meski dlm kesempitan )yg mengantarkan Pekajangan jd desa klas dunia .

    Bayangkan sebuah desa punya pendidikan dr PAUD sd PERGURUAN TINGGI. Punya RS dan awal th depan (sy dengar)akan dibuka RS Ibu Anak,dan Univ Pekajangan

    Sebagian besar warganya Saudagar yg bergelar S1 dan S2 dan yg warga S3 banyak betebaran di Pem dan Swasta .

  7. Seharusnya Pemerintahan Kabupaten Pekalongan perlu adanya Indeks Kinerja Pemerintahan Pedesaan atau Pemerintahan Kelurahan, parameter-perameter yang perlu di nilai kinerjanya serta adanya justifikasi dari lembaga penilai yang independen, karena potensi seperti di desa Pekajangan di desa-desa lain di lingkungan kabupaten pekalongan jumlahnya banyak nggak cuman pekajangan saja, para lurah dan para kepala desa perlu merumuskan Item-item Kinerjanya sesuai potensial dan kondisi pedesaan atau kelurahannya.

  8. mantap abizz mas…masih banyak mungkin di daerah laen di negeri ini yang seperti ini, tetapi terlupakan..mas aja yang ingat kampung halamannya..heheh

  9. social entrepreneur menurut saya memang sangat mulia, disitu tertanam bisnis yang tidak sekedar berorientasi pada “kejayaan” pribadi, sy yakin pada masyarakat Pekajangan sudah berpikir pada arah bisnis yang melihat aspek-aspek sosial sebagai upaya keberhasilannya. Saya jadi tertarik untuk melihat kota batik itu…., ada harapan kelak “Ibu kota” bukan satu2nya tampat menyandarkan kehidupan. Berani membangun desa sendiri dan kritis dengan potensi yang ada mungkin bisa jadi hal membanggakan ketika segala pemikiran cemerlang kita bisa disumbangkan untuk desa tercenta melalui asas “social entrepreneur”.

  10. Waah jadi pengen silaturahmi kesana ni,,,btw gimana dengan tempat kerja mas yodhia, tentunya jauh berbeda y, kalaupun ada CSR tetap saja bermula dari niatan yang tidak tulus alias profit oriented y gak?

  11. Sebuah fakta bahwa ada sisi lain dari
    keberhasilan ekonomi yang cenderung terabaikan, yaitu kerusakan
    lingkungan hidup yang sangat serius akibat buangan limbah batik yang
    langsung dialirkan ke sungai.

    Ironi bahwa Ekonomi Pekalongan bergulir
    selama air sungainya berwarna-warni memang merupakan fakta yang tidak
    bisa dipungkiri. Kita harus berusaha mendorong agar praktek bisnis
    dilakukan dengan lebih bermartabat melalui kepedulian terhadap
    lingkungan agar tidak semakin rusak parah.

  12. Inilah yang dikatakan Ustadz Farid Akhwan sbg Saleh Sosial. Kita dituntut tdk hanya Saleh Ritual tapi juga Saleh Sosial. Vertikal + Horizontal. Kita diwajibkan untuk ikut membantu penciptaan masyarakat sosial yang makmur dan bermartabat.

    Para Founding Father meninggalkan jejak keteladanan tdk hanya tentang saleh ritual tapi juga saleh ritual, betapa pentingnya social awareness, betapa pentingnya kemaslahatan umat.

    Apalah artinya Masjid yang Megah dan Glamour, tetapi masy. nya buta huruf, kelaparan, tak punya akses kesehatan yg “memadai”, dan tak punya akses informasi (IPTEK).. krn yg demikian hanya akan meninggalkan satu kata: IRONI.

  13. kepada calon menteri pembangunan desa tertinggal ( kalo ada ) bisa belajar banyak ke situ !!
    Ingat…..Memakmurkan indonesia memang basisnya dari desa…..
    sudah terbukti, kalo gak salah di china juga ada desa seperti itu….

  14. Seringkali gerakan sosial seperti itu lebih mudah terjadi di desa atau wilayah yang komunitas dan sense of belonging masyarakatnya kuat. Berbeda dengan kota besar yang mayoritas penduduknya terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Menarik untuk melihat gebrakan2 para social enterpreneur baru dari segenap pelosok Indonesia. Bangkitlah Indonesiaku!

  15. Singkatnya, social entrepreneur itu klo menurut saya adalah memberikan manfaat sebanyak-banyaknya pada orang lain..

    kuncinya : berlomba-lomba dalam kebaikan.

    Btw, frasa “social entrepreneur”-nya jadi menginspirasi saya.. makasih mas!

  16. Saya punya cita-cita bisa berguna untuk orang lain dimanapun saya berada oleh karena itu saya mencoba entrepreneur sejak dini. Tapi membaca tulisan dari Bapak saya kagum dengan para entrepeneur di desa itu.

    ~jadipengentinggaldidesa
    ~tapitetepjadientrepeneur 🙂

  17. Bisa dibayangkan jika semua desa yg ada di Indonesia bisa melakukan seperti itu, desa Pekajangan perlu dipromosikan lewat media-media dan menjadi proyek percontohan bagi desa-desa lainnya, soalnya masyarakat masih banyak yang tidak tahu. Perlu ada agenda di DPR yang membahas tentang ini. Jika basis perekonomian di desa kuat maka yang namanya urbanisasi bisa dikurangi dan ledakan penduduk di pusat-pusat kota menjadi berkurang dan yang terpenting pendapatan masyarakat desa menjadi lebih baik.

  18. enterpreneur yang berjiwa sayangnya kurang banyak diminati y? padahal jika dikembangkan lebih lanjut akan mendatangkan manfaat yang besar bagi masyarakat terutama hal ini dalam pemerataan pendapatan.

  19. social entrepreneur di desa Pekajangan telah memberikan manfa’at yang banyak bagi lingkungan dan masyarakatnya… contoh teladan yang dilakukan oleh orang-orang tua Pekajangan perlu regenerasi.. anak-anak muda sekelas mas Yodia ini harus punya program “bali ndeso.. mbangun deso” pencerahan ini perlu tindak lanjut.. hehehe.. ditunggu…

  20. Pekajangan memang moooy… sejak jaman belanda pekajangan sdh terkenal… orang belanda bilang..”belum ke Indonesia kalau blm datang ke Pekajangan..”

  21. subhanallah jika “virus” ini berkembang dan menyebar keseluruh pelosok kampung d negeri ini… sebuah contoh moral & mental pribumi yang harus dicontoh…

  22. aku anak pekajangan, mas. dan aku bangga jadi anak pekajangan.

    satu-satunya desa di pekalongan (kayaknya) yang punya fasilitas pendidikan lengkap dari play group sampai perguruan tinggi semua ada. smpe ada yg gedungnya ada di kota (bukan di pekajangannya sendiri) karena sdh gak muat lagi. hehe..

    smga aku bisa melanjutkan pengabdian masyarakat ini. amien. 😛

Comments are closed.