Jika laju pertumbuhan penduduk terus berlangsung seperti saat ini, maka pada tahun 2050 diperkirakan jumlah penduduk Indonesia akan berada pada kisaran angka 500 juta. Bagi saya, this is a really scary number.
Sekarang saja dengan jumlah 235 juta, kota-kota besar di Indonesia seperti tergolek letih menyuapi jutaan penghuninya. Lihatlah jalanan di Jakarta, Surabaya atau Medan saat jam 5 sore, dan kita menyaksikan lautan manusia berjejalan seperti pindang di kuali besar. Crowded, bising, dan jalanan seperti tak kuasa lagi menahan beban yang kian membuncah.
Lalu apa yang bisa kita bayangkan jika penduduk negeri ini meledak menjadi 500 juta? Apakah kota-kota besar itu (di pulau Jawa terutama) tak makin sempoyongan? Adakah ini tidak akan membuat bumi kian perih menahan luka dan beban yang tak tertahankan? Adakah ini tidak akan membuat pohon, air, dan tanah tempat manusia berpijak kian meratap menahan letih?
Pakar demografi memprediksi ledakan penduduk Indonesia semacam ini akan meninggalkan jejak beragam soal yang sungguh kelam. Banjir akan makin sering mengintai akibat lahan tanah yang kian habis “dimakan” jutaan manusia. Bencana kelaparan dan kekurangan gizi akan makin sering mampir. Beragam sumber daya alam akan cepat terkikis, dan ini akan menimbulkan dampak lanjutan yang tak terbayangkan.
Tak ada jalan lain. Para pakar kependudukan menyebut bahwa laju kelahiran anak manusia di bumi nusantara ini harus terus ditahan untuk menuju titik yang lebih reasonable. Namun sayangnya, isu kependudukan acap dianggap bukan sebuah isu yang seksi. Isu yang sejatinya sangat fundamental ini kalah seksi dibanding isu korupsi, isu global warming, atau isu lapangan kerja. Mungkin kini saatnya untuk terus mendorong isu kependudukan agar menjadi salah satu elemen vital dalam kebijakan pembangunan negeri ini.
Lalu apa yang mesti digagas agar ledakan penduduk (baby booming) ini bisa dikendalikan pada titik yang rasional. Menurut saya ada dua langkah yang mungkin bisa dilakoni.
Yang pertama, inilah saatnya untuk menggelorakan kembali Gerakan KB. Jaman dulu kita ingat, gerakan KB ini begitu gegap gempita. Namun sayang semenjak Pak Harto lengser, gerakan ini kian redup ditelan arus jaman.
Kini saatnya untuk kembali menyemburatkan sprit mulia melakukan KB. Sebuah spirit yang percaya bahwa 2 Anak itu Cukup. Sebab ber-KB bukan saja meringankan beban keuangan keluarga. Namun juga merupakan sebuah tindakan heorik yang sungguh mulia : sebuah tindakan untuk ikut bertanggungjawab atas masa depan keberlangsungan bumi – tempat kita semua berpijak.
Memilih memiliki anak lebih dari dua – dengan alasan ini hak kami – tanpa peduli dengan masa depan kehidupan di planet bumi adalah sebuah tindakan yang rada-rada egois. Sebuah tindakan yang dilandasi oleh rasa tidak peduli akan keselamatan sumber daya alam yang kian menipis. Berkoar-koar tentang global warming, tentang keselamatan lingkungan hidup, dan blah-blah lainnya, namun di rumah punya lebih dari dua anak adalah sebuah tindakan yang nyaris seperti pengecut.
Jadi jika Anda merupakan pasangan muda, maka lakukanlah tindakan mulia untuk ikut menyelamatkan masa depan planet ini : dua anak saja cukup.
Saya membayangkan gerakan revitalisasi KB itu tidak hanya melalui kampanye di media cetak dan elektronik, namun juga memanfaatkan secara optimal beragam social media sites seperti Facebook, blog dan twitter. Dengan cara ini, gerakan KB mungkin akan bisa kembali menjadi “cool” dan “keren” dimata anak muda yang akan memasuki jenjang pernikahan.
Cara yang kedua yang juga perlu dilakukan adalah ini : kalau laju pertumbuhan penduduk tak juga melambat, namun justru kian meningkat, ada baiknya pemerintah mengeluarkan keputusan yang radikal dan tegas : melarang pegawai negeri dan pegawai BUMN yang baru membangun keluarga untuk memiliki lebih dari dua anak.
Kontroversial memang, namun mungkin itu pilihan yang tidak terelakkan jika ledakan penduduk kian tak tertahankan (contoh : kalau saja pemerintah China tidak mengeluarkan kebijakan satu keluarga satu anak, mungkin penduduk mereka sudah mencapai 3 miliar, dan ini sungguh akan membuat tanah negeri mereka tenggelam oleh lautan manusia).
Akhirnya, sekali lagi, memilih hanya memiliki dua anak adalah sebuah pilihan bijak nan mulia untuk kepentingan masa depan planet bumi ini. Janganlah kita mewariskan kepada anak cucu kita kelak sebuah bumi yang compang camping, dengan sumber daya alam yang kian tergerus. Hanya lantaran kita rakus ingin punya anak lebih dari dua.
Note : Jika Anda ingin mendapatkan kaos keren dengan desain Facebook dan techno life, silakan klik DISINI.
Photo credit by : Phitar @Flickr.com
Sepakat. Kita semakin sulit mengelola negara ii karena penduduknya semakin banyak. KB solusi pencegahan yg baik.
Namun saya jadi bertanya-tanya juga. Kalau seandainya semua orang di Indonesia KB, jadi berapa ya kira-kira penduduk Indonesia tahun 2050?
greatt.. sy punya usul, bagaimana jika selain 2 rekomendasi tersebut diatas.. juga ditambahkan Tentang Pembatasan Usia perkawinan (minimal Usia 25 Tahun). jika hal ini bisa diberlakukan, sehingga perkawinan dibawah 25 tahun tidak terjadi lagi seperti sekarang ini yang juga menjadi pendorong membludaknya jumlah penduduk indonesia akibat perkawinan usia dini…
usia perkawinan minimal 25 tahun dan 2 anak saja lebih baik, memang itu jalan yang terbaik. kalau ingin punya anak lebih dari 2, misal 2 atau ke tiga, maka di beri pajak 3 juta per anak pertahun… atau jika tidak tidak akan mendapat tunjangan dari negara
Hebat sekali, dari netpreneurship, sampai juga mikir demografi Indonesia.
‘Mungkin’ ada semacam keharaman untuk meneruskan program pak Harto, termasuk KB, Wawasan Nusantara, P4, dll. Mestinya kita harus fair memandang masa depan negri ini tanpa dikotori oleh perasaan benci terhadap seseorang. KB di Indonesia sebetulnya sudah berhasil, di pedalaman2 banyak yg sudah sadar ber-KB. Tetapi ‘kayaknya’ setelah reformasi, mulai muncul lagi ‘banyak anak banyak rejeki’, apalagi kontrasepsipun harus beli.
Saya setuju Program KB digalakkan kembali, tp jangan sampai terjebak perdebatan ‘nama’ yg hanya untuk menghindari ‘program Pak Harto’. Sy yakin akan perlu enerji tambahan bila ada perubahan nama. Lebih baik enerji itu dipakai untuk action.
Bung Yodh,
Hal lain yang perlu diperhatikan ialah Pendidikan. Pendidikan sangat berpengaruh terhadap kesadaran akan pentingnya memiliki keluarga yang berkualitas. Pasangan yang berpendidikan tentunya lebih memiliki perencanaan dalam membangun keluarganya. Mereka sadar memiliki anak lebih banyak bukan hanya akan merepotkan mereka tetapi juga mengaburkan masa depan anaknya. Saya mengamati, pasangan muda yang ada di sekitar saya – dengan latar belakang pendidikan yang baik – sebagian besar hanya memiliki satu atau dua anak. Sangat jarang yang lebih dari itu. Kalaupun ada yang memiliki lebih dari tiga lebih karena ajaran agama yang mereka anut. Jadi saya berkesimpulan pendidikan adalah hal yang penting juga untuk dilakukan dalam mengerem laju pertambahan penduduk.
Jumlah penduduk yang banyak, menurut saya, tidaklah menjadi soal bila pendidikannya baik. Keterbatasan sumber daya alam bisa “diakali” bila masyarakatnya punya kemampuan.
Nah, Pada saat itu nanti bung Yodh, kita akan bisa berbanggga. Dengan jumlah penduduk 500 juta – saya yakin ini pasti masuk 5 besar dunia – kita akan bertepuk dada dan berkata ” Dengan peringkat tinggi jumlah penduduk di dunia kita harus berbangga sebab itu adalah HASIL KERJA KERAS KITA SEMUA”.
Salam
Robin
“2 Anak tidak cukup, laki-laki perempuan tentu tidak sama”. 🙂
Ada yang lebih ngaco lagi:
“2 istri cukup, laki-laki perempuan sama saja”
Yang ini just kidding aja ya…
sepertinya 2 anak belum tentu cukup.. kalau dua-duanya laki-laki atau perempuan kan harus usaha untuk punya anak dari dua kaum; hawa dan adam.. jadi punya anak secukupnya aja.. karana batasan cukup bagi orang tuh beda2 kan?? 🙂
“Sebuah tindakan yang dilandasi oleh rasa tidak peduli akan keselamatan sumber daya alam yang kian menipis. Berkoar-koar tentang global warming, tentang keselamatan lingkungan hidup, dan blah-blah lainnya, namun di rumah punya lebih dari dua anak adalah sebuah tindakan yang nyaris seperti pengecut.”
Saya kurang setuju dengan statement anda diatas. Sebab, setiap pandangan orang berbeda dikarenakan tingkat kemampuan finansial, pendidikan dan pemikiran berbeda-beda. Jika kemampuan finansial dan pendidikan cukup bagi sebuah keluarga ditunjang dengan kesadaran mereka melestarikan lingkungan dan pangan saya kira tidak masalah dan tidak pengecut. Kecuali bagi orang2 yg tdk memikirkan efek2 punya anak banyak tanpa ditunjang dengan faktor yang harus mensupport itu semua yang harus dimiliki oleh keluarga tsb.
Secara umum, saya setuju KB “bagi yang wajib ber-kb”. Mungkin bisa ditambahin syarat2 mutlak orang yg wajib KB dan wajib hanya memiliki anak 2,3 ato 4 hehe…
Salam
Adhi
Rustan (# 2) dan Febri ( # 3) : ya benar, pembatasan usia pernikahan juga mesti diterapkan. Pajak tinggi untuk anak ke – 3 dan seterusnya adalah hal yang bagus.
Cuman memang ternyata yang punya anak banyak (more than 3) rata-rata justru penduduk miskin. Bagi suami istri yang tergolong miskin, seks ternyata satu-satunya hiburan yang tersisa, dan murah meriah (gratis malah).
Sialnya, akses mereka akan alat KB justru terbatas. Beli kondom saja mungkin mereka ndak mampu.
Btw, 2 anak saja cukup mesti terus digencarkan; dan diwajibkan suatu saat nanti…:):)
Gimana kalo seperti yang difilm 2012 memang terjadi?…
Salam
Arief
Seakan menegaskan bahwa nantinya mas Yodhia Antariksa hanya akan punya 2 orang anak. jika lebih dari 2 berarti musibah. musibah komitmen. Semoga istiqomah.
kalau orang2 yang hidup nya cukup mapan, mungkin sudah sadar mempunyai anak 2 sudah cukup, mungkin karena sudah tahu bagaimana ber KB, punya uang untuk konsultasi, atau merasakan susah nya kehidupan ini, kepikir bagaimana nantinya merawat dan membiayai anak2 nya.
namun yang terjadi sebaliknya. mereka yg hidup pas-pas san atau di bawah garis kemiskinan, saya sering melihat mereka mempunyai banyak anak.
saya pernah mengobrol dengan tukang becak (waktu naik becak). saya tanya, berapa anaknya pak ? jawabannya “7”. Luar biasa !!! alasannya karena ekonomi, tidak mengerti bagaimana mengerem ‘niat berhubungan intim’ dsb.
memang tidak masuk akal karena alasan ekonomi tidak punya uang untuk kedokter, apa untuk merawat anak tidak perlu biaya ?
tugas pemerintah untuk mensosialisasikan kb, termasuk memberi pendidikan kepada mereka.
kira2 siapa ya yang mau bikin cause atau campaignnya di facebook? bung yodhia mungkin? saya sih siap2 saja untuk koar2 di twitter..
anyway, negeri ini memang negeri yang penuh masalah.. 😉
Wah..pak Yod mantap nih..concern jg sm program KB. Terimakasih pak atas dukungannya.
Repot juga Bang Yodh, ketika kita mengambil pilihan bijak untuk punya 2 anak, sementara itu saudara-saudara kita yang (maaf)miskin justru bikin anak melulu, belum lagi saudara-saudara setanah air nih masih banyak yang hobinya bikin anak di sana sini yang akhirnya si anak malah tidak memiliki figur bijaksana. Oooh malangnya negriku.. 🙁
pendidikan..! saya sepakat sekali dengan bung Robin. Pendidikan justru menurut saya jauh lebih penting dari hitung2an matematis kuantitatis merenda masa depan bangsa ini. kekuatan ilmu dan spiritual punya peran sangat besar.. menuju negri sejahtera yg kita idamkan bersama. 🙂
saya justru melihat dan merasakan adanya sekelompok masyarakat (tidak hanya di indonesia namun di berbagai negara lain) dalam suatu aliran kepercayaan tertentu, yang beranggapan bahwa punya banyak anak adalah kewajiban dan sebagai salah satu cara untuk menguasai dunia, punya banyak anak menjadi menang dalam jumlah populasi, dan mudah untuk menguasai dunia dengan dalih sebagai mayoritas, pergi dari negaranya sendiri ke tempat2 lain dan menjadi berkuasa di tempat baru tersebut itu.
Yang jelas dengan semakin besarnya jumlah penduduk, artinya market juga akan tumbuh semakin besar….benar ga ya ????
waduh, ga mungkin lagi mas tahun segitu jumlah manusia segitu…Yang ada jumlah manusia ya 0 (nol) alias gada manusia..kan mau kiamat tahun 2012, hehhehehhe..prepare ya.
Kalau pasangan itu bisa mencetak generasi yang berkualitas seperti Habibie, saya rasa 2 anak kurang, bolehlah sampai 5.
2050? sekarang, anggaplah 2010 jumlah penduduk indonesia 235 jt, tahun 2000 kemarin 200 jt, dalam waktu 10 tahun bertambah 35 juta, berarti setiap tahun 3.5 jt, kalau tahun 2050 berarti kurang 40 tahun lagi,
pake rumus mencongak’
=> 3.5 jt x 40 tahun = 140 jt, jika ditambah 235 jt => 140 jt + 235 jt = 375 jt
terus kalau per tahun 3.5 jt angka kelahiran,
setiap harinya 3.5 jt/360 = 9722-an per hari ada orang melahirkan, Logis ga ini?
apalagi per jam bisa 9722/24 = 405 kelahiran, walah?????
Saya hanya percaya bahwa Bumi dan Manusia punya cara tersendiri untuk bertahan hidup, kecuali Penciptanya menentukan lain…
Tampaknya hidup di dunia ini memang harus disiapkan dan direncanakan tetapi tidak semuanya menggunakan hitung2an ala kita… manusia. di agama ada himbauan untuk memperbanyak keturunan karena di akherat kelak Rosulullah akan membangga banggakan umatnya yg banyak dan berkualitas di akherat. Tentu bisa jadi pertimbangan. Kedua, ternyata alam ini sudah ada yg mengatur… mungkin apabila di sensus ulang jumlah penduduk bisa jadi tidak bertambah. Bencana alam yang sering terjadi selama ini barangkali tidak hanya berbicara takdir dari yang kuasa sehingga penduduk berkurang, tetapi bisa jadi karena ulah tangan-tangan manusianya (Ali Imran 41). So… mengapa tidak kita ubah saja perilaku orang2 yg ada di bumi ini. Sehingga alam tetap bersahabat dengan kita, dan sunatullah tetap bisa dijalankan.
Saya setuju dengan mas Andika. Berikut saya copas haditsnya sebagai bahan renungan:
Dari Ma’qil bin Yasar al-Muzani radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Seorang lelaki pernah datang (menemui) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: Sesungguhnya aku mendapatkan seorang perempuan yang memiliki kecantikan dan (berasal dari) keturunan yang terhormat, akan tetapi dia tidak bisa punya anak (mandul), apakah aku (boleh) menikahinya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak (boleh)”, kemudian lelaki itu datang (dan bertanya lagi) untuk kedua kalinya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali melarangnya, kemudian lelaki itu datang (dan bertanya lagi) untuk ketiga kalinya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Nikahilah perempuan yang penyayang dan subur (banyak anak), karena sesungguhnya aku akan membanggakan (banyaknya jumlah kalian) di hadapan umat-umat lain (pada hari kiamat nanti).”
Sumber: https://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/keluarga-berencana-islami.html
Untuk Mas Santo…..simple tapi padat, penuh makna spiritual
Untuk Semua,….ada ide syarat minimal menikah 25 tahun, gimana kalau maksimal 30 tahun ??…yang lewat ya silahkan jadi bujang lapuk….
Ikut bertanggungb jawab memikirkan alam ini saya setuju banget!?? tetapi jika usia perkawinan dibatasi, sementara naluri seksual manusia tidak bisa dibendung, dan selanjutnya terjadi hubungan intim di luar koridor ikatan pernikahan semakin marak di mana-mana. Ini berarti kita turut melegalkan sesuatu yang dilarang oleh Yang Menciptakan kita. Apakah Anda setuju jika anak-anak anda melakukan perzinaan akibat dilarang buru-buru nikah (
Rezeki dari Yang Kuasa seluas langit dan bumi. Tak perlu khawatir dengan berapapun anak yang diberi-Nya.
Di Sebagian negara Eropa, misal Jerman sudah mulai khawatir karena ratio jumlah penduduk berusia lanjut sudah semakin meninggi dibandingkan yang berusia muda. Nah, ini akibat pasangan yg meminimalkan jumlah anak, malah udah banyak yg ogah punya anak sama sekali. Lho…gimana jadinya nanti? Bisa-bisa dunia ini dipenuhi orang-orang jompo…amit-amit….
Hmmm, demografi dan kependudukan adalah ilmu sosial yang penting dalam tatanan kenegaraan. Sebagai bagian dari masyarakat di negara yang padat penduduk memang kita perlu menyadari pentingnya pengendalian natalitas. Akan tetapi, menurut pengamatan saya yang lebih penting dari itu bagi Indonesia tercinta ini adalah pemerataan penduduk. Jadi dibandingkan dengan KB saya menilai bahwa program transmigrasi lbih penting untuk disemarakkan kembali. Yang tidak kalah penting selain itu adalah pemerataan pendidikan, sehingga meningkatkan SDM yang cukup banyak hidup di negeri ini. Alangkah sayangnya, saya selaku pengusaha sulit sekali mencari tenaga kerja yang paling tidak lulusan SMA yang bisa dibilang cerdas, bahkan parahnya banyak lulusan Universitas yang sekedar menyalin ketikan saja tidak bisa benar. Bayangkan bagaimana jika 70% penduduk Indonesia yang ada sekarang ini tingkat kecerdasan dan skillnya dibawah rata2? Mau jadi apa bangsa ini? Apalagi banyak sekali kejadian dimana para mahasiswa tidak menunjukkan intelegensia mereka melainkan bertingkah laku seperti barbarian. So sad to say, negeri ini akan “madesu” alias masa depan suram. Kembali pada soal berapa jumlah anak yang tepat, susah dikatakan. Saya berasal dari keluarga besar (8 bersaudara), akan tetapi semua memiliki usaha yang menyerap tenaga kerja. Bahkan keluarga kami masih merasa kurang memiliki orang yang bisa dipercaya untuk menjadi pimpinan sehingga kadang terlintas seandainya anak dalam keluarga ini lebih banyak tentunya mengurangi kepusingan saat ini. Hmmm, it’s just my opinion. Tentunya masing2 orang punya pendapat yang berbeda.
Tidak perlu pusing, Indoensia masih luas dan banyak yang pulau yang masih kosong dan belum ditempati dan banyak daerah yang masih lowong. Problem yang ada adalah ketidak merataan persebaran penduduk, jadi menumpuk dikota-kota besar karena dikota-kota tersebut ada kegiatan ekonomi sehingga terjadi konsentrasi penduduk di kota2 besar tersebut. Kalau pulau-pulau di Indonesia ditempati secara merata maka Indoensia akan menjadi superpower dengan kekuatan ekonomi karean kekayaan sumber alam dan penduduk yang merupakan pasar besar. Yang penting adalah bagaimana melakukan pembangunan secara merata sehingga tidak terjadi ketimpangan baik dalam konsentrasi penduduk maupun perkembangan ekonomi.
Di lain pihak negara seperti Malaysia masih kekurangan penduduk karena mereka hanya mempunyai 26 juta penduduk itupun karena ada TKI kita yang kurang lebih 2 juta dan dengan wilayah yang ada mereka berkeinginan mempunyai penduduk sebesar 60 juta untuk menjadi negara sebesar Taiwan negara yang middle size tetapi dengan income percapita yang tinggi. Jadi Indoensia dapat mengekspor penduduk kesana dengan cara yang sophisticated, terlebih mulai Januari 2010 berlaku AFTA (Asean Free Trade Area) dimana perdagangan bebas diantara negara ASEAn akan mulai berlaku dengan taraif 0%. Perdagangan ini kemudian juga akan diikuti dengan pergerakan tenaga kerja yang secara bertahap juga akan bebas. Jadi yang penting adalah mempersiapkan manusia Indoensia dengan pendidikan yang baik sehingga mereka bisa survive dengan membawa kebudayaan Indoensia. Thanks
mungkin kita bisa ambil sisi positif: yaitu separuh lebih penduduk kita sekarang(sensus 2010) adalah usia produktif *15 tahun keatas ::: https://yopie37.wordpress.com/2011/09/19/jumlah-penduduk-indonesia-259-juta/