Awas, Banjir yang Lebih Ganas akan Segera Kembali Datang …..

Potret yang kelam itu kembali datang : tentang jalanan protokol Jakarta dan sekitarnya yang dihantam banjir. Menyaksikan Bunderan HI yang basah kuyup melalui layar CNN, membuat saya masygul : antara rasa malu kenapa ikon negeri ini nyaris tenggelam; dan bangga, bahwa negri ini tetap akan jadi negara ekonomi terbesar 7 dunia di tahun 2030 nanti.

Oke, tulisan ini lebih ingin melihat banjir dari sudut pandang manajemen. Secara lebih rinci, sajian kali ini akan menelisik pelajaran tentang management skills, organizational culture dan human behaviors; dan kenapa tiga elemen ini tergelincir masuk got ketika berhadapan dengan air dari kali Ciliwung yang tak kenal ampun.

Sebelum mendedahkan pelajaran tentang tiga tema itu, ada baiknya kita mengingat kembali pelajaran IPA saat kelas SD kenapa terjadi banjir. Sederhana saja. Banjir terjadi karena hujan deras, yang airnya tidak terserap oleh tanah (lantaran semua sudah berubah jadi perumahan dan mall); dan ketika airnya masuk ke sungai, daya tampungnya termehek-mehek (lantara DAS atau Daerah Aliran Sungai-nya sudah rusak porak poranda).

Maka, mari kita mulai telisik satu per satu management lesson yang bisa dipetik.

Lesson # 1: Management Process. Dalam teori manajemen klasik, tersebutlah sebuah kredo : Anda tak akan pernah bisa memenangkan kompetisi ketika team Anda di pimpin oleh dua komandan (atau bahkan lebih). Konflik akan menyeruak, rantai komando akan macet ditengah jalan; dan kinerja team Anda akan terkaing-kaing.

Dan itulah yang terjadi : daerah aliran sungai Ciliwung yang legendaris itu – dan selalu menjadi tokoh sentral dalam banjir Jakarta – dikelola oleh lebih dari satu komandan. Tidak ada single body yang kokoh dan memiliki kewenangan tunggal untuk mengelola sungai yang amat krusial itu.

Padahal dalam ilmu hidrologi, ada kredo yang mirip dan harus ditegakkan : one river, one leadership.

Kenapa sungai Bengawan Solo pernah menjadi simbol kedahsyatan dan pilar kejayaan negara Majapahit? Karena petinggi Majapahit telah dengan jenius menerapkan kredo itu : one river, one leadership.

Sungguh ajaib, manajer-manajer yang mengelola sungai Bengawan Solo seribu tahun silam lebih cerdas daripada pengelola Ciliwung hari ini. Hello.

Lesson # 2 : Organizational Culture. Beberapa kali dalam blog ini saya mengulas betapa ampuhnya pengaruh lingkungan kerja dan kultur organisasi dalam menentukan level kinerja individual.

Pasti ada banyak orang pintar di lingkungan Kementerian PU dan juga Pemprov DKI. But you know what? Kultur birokrasi yang beku dan tidak adaptif, membuat individu-individu yang relatif cerdas itu tak kunjung mekar mewangi. Semuanya terpeleset menjadi incompetent people.

Rantai birokrasi yang ribet (kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah, right?), garis kewenangan yang tumpang tindih, ego sektoral yang menyelinap; membuat kecerdasan individual selalu gagal menjelma menjadi “kecerdasan kolektif”.

Akibatnya apa : ya tragedi banjir itu – petaka yang membuat patung Selamat Datang di Bunderan HI tersenyum pahit. Dan matanya mrebes mili.

Lesson # 3 : Human Behaviors. Dalam mengatasi banjir ini ada satu solusi yang sederhana, murah namun powerful : buatlah sumur resapan (atau sumur biopori) sebanyaknya-banyaknya; di setiap rumah di Jabodetabek (di halaman rumah saya sudah ada 4 lubang biopori sejak tahun 2008. See, I am a good man…). Ide sumur resapan ini terbukti berhasil diterapkan di Jepang yang dulu juga langganan banjir.

Gagasan Biopori itu simple dan jauh lebih berguna dibanding ide Deep Tunel (yang bukan saja mahal namun aneh dilihat dari ilmu dasar hidrologi). Tantangannya : bagaimana jutaan penduduk Jabodetabek mau membuat minimal satu atau dua biopori di  halaman rumah, kampung, atau taman-taman disekitarnya?

Dan persis disitulah kita bertemu dengan tema : Influencing Human Behavior. Bagi yang tidak tahu, hal ini dianggap sulit. Namun bagi yang pernah berkelana dengan ratusan studi dan pengalaman mengubah mental masyarakat di seluruh dunia; mereka tahu : ada ilmu ces pleng yang bisa mentransformasi gerakan masyarakat untuk melakukan sesuatu.

Pakar perubahan perilaku masyarakat Chip Heath & Daniel Heath pernah menuliskan beragam studi dan kisah sukses dalam mengubah perilaku masyarakat; dan isunya hampir sama dengan biopori tadi : bagaimana mengajak peran serta publik dalam mengendalikan kepentingan bersama.

Kisah-kisah hebat Heat itu dibukukan dalam buku yang tak kalah memukau berjudul : Switch – Mengubah Situasi Ketika Perubahan Sulit Terjadi (Penerbit Gramedia). Membaca kisah dalam buku ini kita berkali-kali dibuat tersenyum : oh ternyata betapa mudahnya mengubah mental dan perilaku masyarakat (asal tahu tekniknya).

Buku itu rasanya wajib dibaca oleh setiap pengendali banjir di negeri ini. Atau bahkan kalau perlu, penulisnya yang ahli mengubah kebiasaan masyarakat yang buruk, diundang kesini untuk menjadi konsultan Gerakan Membangun 50 juta Sumur Resapan dalam 3 tahun. Impossible is Nothing.

Demikianlah tiga pelajaran yang bisa diulas dari kisah banjir Ibukota ini. Kalau bisa direspon, tiga pelajaran tadi mungkin bisa menyelematkan kita dari tragedi yang berulang ini.

Jika tidak, maka banjir yang lebih ganas akan segara menyapa. Menjadi ritual tahunan.

Maka, mari kita beramai-ramai menyewa perahu untuk pergi ke kantor.

Photo credit by : Diego da Silva @flickr.com

Author: Yodhia Antariksa

Yodhia Antariksa

24 thoughts on “Awas, Banjir yang Lebih Ganas akan Segera Kembali Datang …..”

  1. kasian yang bekerja ya pak, apalagi yang merantau, sudah gak dapet duit (sementara), tapi harus bayar kos/sewa rumah,tapi saya percaya Jokowi bisa mengatasi masalah ini asalkan ada sinergi dengan kaum intelektual dan masyarakat

  2. tidak dapat dipungkiri hal ini menjadi cerminan kebodohan semua pihak, sesuatu yang biasa dan bahkan akan pasti terjadi namun hanya dianggap sebagai angin lalu. Kini tidak hanya kalangan masyarakat kelas bawah yang merasakan air keruh setinggi dengkul namun kini semua elemen masyarakat Jakarta mencicipi harus rela mencicipi grojokan air suci.

    Memang saya sangat setuju untuk solusi sangat sederhana ini, tapi jika tanpa ada koordinasi yang tepat dan tepat dari semua elemen yang terkait, hal ini hanya akan menjadi omong kosong belaka.

    Semoga efek kebodohan yang terjadi sekarang dapat sedikit menyentuh nurani tidak hanya bagi pemerintah namun juga masyarakat agar lebih sedikit peduli dengan alam dan lingkungannya. semoga…

  3. betul pak, biopori merupakan alternatif efektif yg sangat murah dan sangat gampang dilakukan, titambah setiap rumah di jakarta menanam 1 jenis pohon berdaun rindang dengan demikian penyerapan akan terbantu dengan akar2 pohon yg ada dan suhu udara di jakarta tidak akan terlalu panas.

    Tetapi Masalahnya bukan hanya itu pak…,yg paling mendasar adalah bahwa jakarta minus 1m dpl,dan setiap tahun permukaan tanah jakarta amblas sekitar 10-15cm. apakah masih mungkin membuat biopori?

  4. Antara marah, kecewa dan semangat memperbaharui sangat kentara bapak tuliskan dengan santun. Pas tidak berlebihan dan sungguh tepat sehingga bisa di sebut dengan “marah dengan tepat”.
    Saya setuju kalau orang Majapahit lebih lebat dari kita sekarang,
    Hello…

  5. Mantap…saya doakan semoga Bapak Yodhia kelak diberi amanah untuk mengambil bagian dalam mengelola negeri tercinta ini di pemerintahan mendatang sebagai pejabat publik yang mampu memberi solusi atas beberapa permasalahan terkait, menjadikan Indonesia Raya kinclong dimata dunia…Amin.

  6. artikel yang cukup inspiratif.. bukan hanya bisa mengubah wajah jakarta yang lagi diserang banjir tiap tahun,, tapi juga bisa mengubah wajah Indonesia yang memang lagi bingung nyari pemimpin yang memenuhi kriteria One River, One Leadhership…

    Khusus banjir jakarta, selagi daerah hulu (Kota penyangga jakarta) hutan lindungnya terus-menerus dibabat habis untuk dijadikan pemukiman dan mall, maka jakarta akan terus kebagian sisa air yang sudah tak bisa ditampung di daerah hulu tsb

    parahnya sisa air yang tidak bisa ditampung voulumenya lebih banyak dibanding yang bisa ditampung, akhirnya yang terjadi seperti sekarang ini, Bundaran HI bisa terlihat seperti danau 🙂

  7. budaya organisasi dan human behaviours sangat berpengaruh terhadap kinerja sebuah perusahaan, orang orang dengan attitude yang baik ditunjang budaya perusaahaan yang oke dan pemimpin yang fair tentu perusahaan tsb akan maju pesat.

    thx pak yodia tulisan yg amat bagus.

    Berkat 1 sumur resapan yang saya buat dibelakang rumah, alkhamdulillah jadi tidak kebanjiran lagi rumah saya, this is good idea.

  8. tulisan yang menarik Pak.
    Lesson # 3 : Human Behaviors, menarik untuk diterapkan sesegera mungkin supaya bisa menyadarkan people untuk lebih care terhadap sungai baik itu yg ada di hulu, tengah dan hilir sungai.

    terima kasih

  9. Saya mau cari buku “Switch” itu dulu buat diri saya sendiri, nti saya jlasin ke temen yg lain2, biar pd sadar klo kt tuh hidup bkn utk kita aj tp jg buat anak cucu kita, karangan & trbitan kapan pak Yodh?

  10. Febri (6) dan Uday (16) : Buku Switch karangan Chip Heat, terbitan Gramedia tahun 2010. Buku keren untuk mengubah habit dan perilaku manusia. Penuh dengan kisah yang renyah.

  11. Yup bener Mas Yod, buku Switch ini emang mantep.

    Analogi gajah dan pawangnya menarik, dan sering saya jadikan referensi ketika mengantar pelatihan-pelatihan Leadership & Mindset, karena bahasanya sederhana dan mudah dipahami.

  12. Pak Yodhia,

    Sangat menarik, namun menurut saya usulan prihal biopori sudah kurang efektip untuk di laksanakan, mengapa? karena halaman rumah nyaris tak ada tanah kosong lagi yg dapat di jadikan media untuk biopori.

    Mungkin akan lebih efektip untuk menambah media resapan air selain biopori pada rumah2 penduduk yang masih ada halaman rumah ( dalam bentuk tanah Kosong ) adalah PEMDA banyak mencari lahan2 kosong ( mungkin ukuran 10 M X 10 M ) membebaskannya lalu di gali sedalam 1 atau 2 meter untuk di jadikan penampungan air hujan.

    selain lebih cepat daya resapnya juga mempunyai daya tampung yang lebih besar, tinggal di buat sebanyak mungkin.

  13. Banjir yang datang tanggal 17 Januari kemarin saja sudah amat parah menurut saya dan semoga tidak banjir lagi, semoga jadi yang terakhir kalinya agar Jakarta bisa lebih maju dari sebelumnya

  14. Beruntung saya tidak sedang berada di Jakarta waktu itu. Bagaimana mungkin salah satu icon kota jakarta, Bundaran HI sampai sebegitu parah.. ckckck…

Comments are closed.