Mentalitas playing victim pada dasarnya adalah sikap seseorang yang suka menjadikan dirinya sebagai “korban”, dan cenderung selalu menyalahkan pihak lain jika terjadi masalah. Misal jika nasib dirinya stuck, maka orang ini akan cenderung menyalahkan keadaan, dan merasa dirinya adalah korban yang tak berdaya.
Contoh yang sangat klasik dari cerminan mentalitas playing victim adalah seperti ini. Misal saat karir dirinya mentok, dia langsung bilang : yah saya kan gak kenal baik dengan big boss sih; atau yah, saya gak punya kenalan orang dalam sih.
Atau kalau melihat orang lain yang karena prestasinya bisa bekerja di perusahaan bonafid, orang-orang seperti ini langsung komen, yah soalnya dia punya kenalan orang dalam sih…… (Saya suka garuk-garuk kepala kalau mendengar komen semacam ini).
Atau contoh lain lagi seperti ini. Saat mau bisnis tapi gak pernah jalan-jalan, alasannya : yah saya nggak punya ortu kaya yang bisa modalin saya sih. Atau : saya nggak punya koneksi orang-orang yang punya duit sih.
Apapun contohnya, mentalitas playing victim ini sejatinya sikap yang ingin selalu menyalahkan keadaan, kenapa dirinya stuck. Dirinya sendiri tak mau disalahkan saat nasibnya stagnan, sebab ia merasa hanyah korban dari keadaan yang tak berpihak pada dirinya.
Sikap semacam itu sungguh sebuah sikap fatalitistik yang kelam. Kenapa? Sebab sikap semacam itu justru akan membuat orang ini stuck selamanya; sebab dengan mudah, ia melempar tanggungjawab untuk mengubah nasib dirinya pada faktor eksternal yang diluar kendalinya.
See.
Langkah pertama yang amat fundamental untuk mengubah nasih itu adalah sikap besar hati untuk mengakui bahwa ada something dalam diri kita yang perlu diperbaiki, dan hanya kita sendiri yang bisa melakukannya.
Saat kita enggan mengakui hal ini, dan selalu menyalahkan faktor eksternal, serta merasa diri kita hanyalah korban keadaan, maka sampai kapanpun, nasib kita akan terus terkapar dalam stagnasi yang muram.
Sialnya, orang-orang yang melempar sikap playing victim memang akan merasa “puas hatinya” saat mereka melemparkan kalimat saktinya yang absurd. Saat bilang, saya gak punya kenalan orang dalam sih, atau saya gak kenal big boss sih, orang ini akan merasa lega hatinya; seolah memberitahu dunia bahwa dirinya adalah korban keadaan yang tak berpihak. Emosi batinnya puas setelah mengucapkan kalimat ngeles yang absurd bin katrok ini.
Dan kita tahu, kepuasan batin semacam itu hanyalah kepuasan palsu dalam panggung fatamorgana.
Kepuasan ini palsu, sebab dengan sikap semacam itu, dirinya tidak pernah terpicu untuk melakukan introspeksi : melihat apa yang kurang dalam dirinya, dan perlu diperbaiki; dan kemudian bergerak melakukan improvement secara konsisten.
Orang ini tidak pernah mau mengakui kekurangan dirinya, sebab dia memang merasa hanyalah korban keadaan.
Yang juga kelam adalah jika sikap mentalitas playing victim itu dilakukan justru sebagai dalih untuk menyembunyikan ketidakbecusan dirinya dalam mengubah nasib.
Saat seseroang dengan enteng ngeles : saya gak punya kenalan orang dalam-lah, atau saya gak kenal dekat dengan big boss-lah, kemungkinan yang terjadi adalah sebenarnya orang ini memang tidak kompeten : orang ini tidak memiliki kompetensi yang layak dibanggakan, tidak punya talenta tangguh yang teruji, tidak pernah prestasi yang mengesankan, dan mindsetnya closed-minded (sebab memang selalu merasa dirinya hanyalah korban). Jadi nasib atau karir orang ini stagnan semata karena faktor ketidak-mampuannya dirinya, bukan karena faktor keadaan.
So what? Apa yang mesti dilakukan untuk menaklukkan sikap dan mentalitas playing victim yang sepertinya makin sering muncul di sekitar kita dan juga di media sosial?
Berikut adalah tiga solusi yang layak dijalani untuk mengatasi jebakan mentalitas playing victim, terutama dalam konteks dunia kerja, karir dan dunia bisnis.
Solusi Playing Victim #1 : Tumbuhkan Mentalitas Kemandirian
You define your own destiny. You write your own storyline.
Prinsip paling fundamental dalam perjalanan hidup ini adalah : kita sendirilah yang paling bertanggungjawab untuk mengubah nasib diri kita; bukan orang lain.
Saat kita mengelak dari prinsip dasar itu, dan selalu cenderung menyalahkan keadaan saat nasib kita stuck, maka sikap semacam ini justru akan membuat kita stuck selamanya. Sebab melempar tanggungjawab pada orang lain tidak akan membuat kita terdorong untuk melakukan perubahan dalam diri kita sendiri.
Padahal kunci mengubah nasib dimulai dari kebesaran dalam diri kita untuk mau mengubah apa yang masih kurang dalam diri kita.
Solusi Playing Victim #2 : Fokus pada Self-Improvement
Solusi pertama di atas adalah kunci yang mengawali segalanya. Saat kita percaya bahwa diri kitalah yang paling bertanggungjaqwab atasa nasib kita, dan bukan pihak lain, maka kita baru akan tergerak untuk melakukan proses self-improvement.
Alih-alih menyalahkan keadaan atau faktor eksternal, dan terus bersikap seolah sebagai korban (victim) namun setelah itu tidak melakukan perubahan apapun, dan akhirnya nasib tetap stagnan; maka jauh lebih baik melakukan instrospeksi : kenapa nasib saya masih stagnan. Apa yang perlu saya perbaiki dalam diri saya?
Apa skills atau kompetensi yang perlu diupgrade agar keahlian saya terus meningkat? Bagaimana metode peningkatan skills-nya? Dan bagaimana agar diri saya konsisten melakukan proses self-improvement ini? Serangkaian pertanyaan semacam ini perlu terus ditumbuhkan dan dicari jawabannya.
Saat pikiran kita lebih fokus pada pertanyaan-pertanyaan penting semacam itu, maka sikap playing victim dan sikap mudah menyalahkan pihak lain bisa pelan-pelan lenyap, digantikan dengan sikap yang lebih positif memandang masa depan.
Solusi Playing Victim #3 : Rumuskan dan Jalani Improvement Action Plan
Setelah menemukan jawaban dari serangkaian pertanyaan kunci pada solusi nomer dua, maka dalam tahapan terakhir ini, kita perlu merumuskan action plan agar skills dan keahlian kita memang benar-benar meningkat.
Jabarkan aktivitas pengembangan diri apa saja yang akan kita lakukan, kapan saja akan dilakukan, dan apa ukuran keberhasilannya? Setelah terususun, maka implementasikan rencana ini secara gradual, dimulai dari action yang paling mudah dilakukan. Start small. Take first easy step.
Saat kita tenggelam dalam pelaksanaan improvement action semacam itu, maka otomatis sikap playing victim akan lenyap dengan sendirinya. Sebab kita sudah terlalu sibuk dengan beragam action perbaikan yang harus kita jalani.
Prinsip orang seperti ini adalah : just shut up, and keep improving my valuable skills.
DEMIKIANLAH, tiga solusi efektif untuk menaklukkan mentalitas playing victim yang justru akan menjebak nasib kita dalam lorong gelap dan nestapa yang berkepanjangan.
Tiga solusi ini adalah :
- Tumbuhkan mentalitas kemandirian
- Fokus pada self-improvement
- Rumuskan dan jalani improvement action plan.
Saya ingin mengakhiri artikel ini dengan kutipan indah dari film Invictus yang dibitangi oleh Morgan Freeman :
You are the master of your fate.
You are the captain of your soul.
trimakasih atas ilmunya pak. sangat bermanfaat dan membuka pikiran
Benar sekali yang mas Yodia jelaskan pada artikel ini. Kita perlu menaklukkkan playing victim. Menyalahkan keadaan dan melemparkan kesalahan kepada orang lain justru merusak mental kita. Sebagai generasi muda Indonesia, kita perlu menanamkan semangat bertumbuh dan berjuan mencapai cita – cita.