Hindari Jebakan Survivorship Bias demi Sukses Masa Depan Anda

Survivorship bias adalah  kecenderungan kita manusia untuk menganggap kisah-kisah sukses (atau mereka yang berhasil survive dalam sebuah proses seleksi alam) sebagai representasi sebuah populasi. Padahal kenyataannya, mereka yang sukses dan survive ini persentase jumlahnya sangat kecil.  Sebagian besar yang lainnya sudah mati duluan, gagal atau tidak bisa survive melewati proses perjuangan.

Namun sebagian besar orang justru menganggap yang sukses dan survive itu (yang sebenarnya amat kecil jumlahnya) sebagai yang layak mewakili sebuah populasi. Kemudian orang-orang ini membuat semacam generalisasi bahwa mereka yang sukses dan survive ini merupakan hal yang wajar, normal dan karenanya mudah ditiru.

Generalisasi semacam itu sekali lagi sebenarnya keliru. Sebab jumlah orang yang sukses dan survive dari perjuangan itu amat kecil persentasenya. Pencapaian mereka bukanlah sebuah kenormalan, bukan hal yang wajar dan juga tidak mudah ditiru.

Namun karena jebakan survivorship bias, kebanyakan orang menganggap mereka yang survive itu adalah sebuah kenyataan normal dan “banyak jumlahnya”.

Kenapa survivorship bias terjadi? Salah satu alasannya  : sebab kisah-kisah sukses dan keberhasilan yang lebih sering muncul di media dengan frekuensi yang tinggi. Akhirnya, publik menganggap kisah orang yang sukses dan survive dari ancaman kegagalan itu, sebagai sebuah “kenormalan” dan “hal yang wajar”. Padahal yang gagal jumlahnya jauh lebih banyak lagi, namun karena tidak pernah diberitakan, maka dianggap tidak pernah ada.

Alasan lain kenapa survivorship bias terjadi adalah ya karena orang yang survive dan sukses lebih mudah ditemui. Mereka masih eksis. Hasil karyanya masih terus terpampang. Kiprahnya ada di mana-mana. Demikian juga produk yang sukses masih akan terus dijual di rak-rak supermarket.

Sebaliknya, dengan yang gagal atau tidak survive, mereka boleh jadi sudah hilang dari peredaran. Produk yang gagal sudah ditarik dari pasar. Orang yang gagal mungkin sudah menyepi dan mundur dari keramaian (karena merasa malu). Bisnis yang gagal sudah tidak ada lagi jejaknya, karena semua kantor dan pabriknya sudah tutup.

Kondisi di atas yang kemungkinan membuat kenapa banyak media yang lebih sering memberitakan kisah sukses dan kisah mereka yang survive dalam perjuangan. Sebab memang sumber beritanya lebih mudah dijumpai, dibanding yang telah gagal dan tidak survive. Yang gagal ini jejaknya bisanya tidak mudah ditemui.

Selain itu, orang yang sukses biasanya akan lebih senang jika mendapatkan publikasi. Sebaliknya, orang yang gagal mungkin akan lebih enggan mendapatkan pemberitaan sebab merasa malu dirinya gagal. Pada sisi lain, media-media juga biasanya lebih suka mempublikasikan kisah sukses karena dianggap lebih menjual dan menginspirasi, di banding memberitakan kisah kegagalan yang menyedihkan.

Semua kondisi di atas yang kemudian memunculkan efek survivorship bias. 

Contoh tentang survivorship bias ini misalnya terjadi dalam kisah tentang sukses bisnis. Kisah-kisah keberhasilan dan mereka yang survive dari persaingan, banyak bermunculan di media (baik media online ataupun media sosial). Sekali lagi mereka sering muncul karena memang masih survive, masih eksis.  Sebaliknya yang gagal dan tidak survive, sudah hilang dari perederan, tidak eksis lagi.

Fenomena ini lalu memunculkan survivorship bias : sebuah anggapan bahwa mereka yang sukses dan survive ini adalah kenormalan. Karena kisah sukses itu yang terus menerus muncul, maka kisah keberhasilan ini dianggap sebagai sebuah “kewajaran yang normal”.

Anggapan ini lalu memunculkan persepsi bahwa “sukses dan survive dari perjuangan bisnis itu mudah”.

Padahal kenyataannya tidak demikian. Data statistik yang lengkap menunjukkan bisnis yang bertahan lebih dari 5 tahun itu hanya mencapai 50%. Yang bisa survive lebih dari 10 tahun hanya 30%. Mayoritas gagal di tengah jalan, dan lalu hilang dari jejak peradaban.

Contoh lain yang acap muncul dalam kasus survivorship bias ini adalah kisah drop out dari kuliah yang terjadi pada para legenda bisnis seperti Bill Gates, Steve Jobs, hingga Mark Zuckerberg. Karena kisah ini berulangkali disebarkan dalam beragam media (baik media berita ataupun media sosial), maka muncul anggapan : tidak masalah DO saat kuliah, karena banyak tokoh bisnis hebat sepert Gates dkk yang juga milih DO.

Tentu saja anggapan semacam itu adalah anggapan yang tidak akurat, sebab fakta dan data yang lebih lengkap menunjukkan : 93% pengusaha yang sukses adalah lulusan sarjana S1 (Raj Chetty, 2001).

Studi lain yang komprehensif dan melibatkan jutaan ratusan ribu responden juga menunjukkan lulus kuliah dengan gelar sarjana merupakan salah satu indikator paling menentukan dalam sukses masa depan seseorang. Sebaliknya gagal kuliah atau DO saat kuliah akan membuat peluang sukses seseorang akan menurun secara signifikan (fakta ini diungkap dalam sebuah ground-breaking study tentang korelasi sukses dengan level pendidikan, dilakukan oleh team ekonomi dari Harvard University yang dipimpin oleh Profesor Raj Chetty, 2001).

Namun karena jebakan survivorship bias, maka data yang lengkap dan valid itu diabaikan. Orang lebih fokus pada kisah-kisah sukses para pebisnis yang DO (karena memang sering diberitakan). Dan kemudian dengan cukup yakin bilang Anda juga akan bisa sukses meski DO kuliah. Padahal faktanya, jumlah orang DO kuliah yang gagal jumlahnya jauh berlipat. Namun karena jarang diulas dan diberitakan, maka fakta ini hilang dari ingatan banyak orang.

Segenap uraian di atas membawa pesan : kita harus lebih cermat saat menyimak sebuah fakta dan data, agar lebih jernih menatap masa depan.