Minggu ini, kebijakan tarif tinggi era Presiden Donald Trump resmi ditetapkan permanen bagi sejumlah negara, termasuk Indonesia. Artinya, berbagai produk ekspor RI, seperti tekstil, aluminium, dan produk manufaktur tertentu, akan tetap dikenai bea masuk tinggi saat masuk ke pasar Amerika Serikat (tarif Trump terhadap Indonesia akan tembus hingga 47% !!).

Langkah ini mengonfirmasi bahwa pendekatan proteksionis AS tidak lagi hanya bersifat sementara atau politis, tetapi telah menjadi bagian dari kebijakan jangka panjang Washington dalam merespons persaingan dagang global.

Dampak Bagi Indonesia

Meski ekspor RI ke AS tidak sebesar Tiongkok atau Meksiko, tetap saja keputusan ini memukul keras beberapa sektor industri dalam negeri. Baja, misalnya, selama ini mendapat tantangan berat dari pesaing global. Tarif tinggi membuat produk kita makin tidak kompetitif di pasar AS.

UMKM yang masuk dalam rantai pasok global juga ikut terdampak. Beberapa produk komponen otomotif, tekstil, dan elektronik yang dikirim ke pabrik-pabrik AS kini berhadapan dengan margin laba yang makin tergerus akibat tarif tambahan tersebut.

So What? Mengapa Ini Penting

Bagi Indonesia, keputusan ini menjadi pengingat penting: kita tidak bisa bergantung pada satu atau dua pasar ekspor utama. Ketika salah satu pintu menutup, harus ada banyak jendela yang terbuka. Dalam hal ini, Amerika Serikat tetap mitra penting, tapi bukan satu-satunya.

Selain itu, ini juga menandai babak baru dalam dinamika global: era “perdagangan bebas” semakin usang. Negara-negara besar cenderung mementingkan industri domestik mereka sendiri. Negara seperti Indonesia harus menyusun strategi baru.

Langkah Strategis yang Bisa Ditempuh

Pertama, Indonesia harus lebih agresif melakukan diversifikasi pasar ekspor. Fokus pada negara-negara yang punya perjanjian dagang dengan RI seperti Jepang, Korea Selatan, Australia, dan kawasan Timur Tengah dan Afrika. Pasar-pasar ini punya potensi besar, tetapi belum tergarap maksimal.

Kedua, memperkuat posisi dalam rantai pasok regional. Misalnya, masuk lebih dalam dalam ekosistem manufaktur Asia Timur dan ASEAN, yang punya pertumbuhan industri tinggi. Dalam ekosistem ini, tarif AS tidak langsung menjadi kendala utama.

Ketiga, Indonesia harus mempercepat transformasi nilai tambah industri. Kita terlalu lama mengekspor bahan mentah dan barang setengah jadi. Saatnya fokus ke produk-produk manufaktur bernilai tinggi, termasuk teknologi, furnitur premium, atau tekstil dengan merek sendiri.

Negosiasi Perdagangan Bilateral

Langkah lain yang tak kalah penting adalah mendorong negosiasi bilateral dengan AS. Indonesia bisa mencari skema khusus atau pengecualian tertentu. Meski sulit, tetap penting untuk disuarakan melalui forum-forum diplomatik dan dagang resmi.

Misalnya, membangun narasi bahwa RI adalah mitra strategis di Indo-Pasifik dan berperan penting dalam menjaga stabilitas kawasan. Diplomasi ekonomi jadi kunci di tengah politik tarif yang makin ketat.

Daya Saing Domestik Juga Harus Diperkuat

Masalah utama Indonesia bukan hanya tarif, tetapi juga daya saing produk. Biaya logistik tinggi, birokrasi rumit, hingga kurangnya insentif inovasi jadi hambatan utama. Pemerintah dan pelaku usaha perlu memperbaiki ini secara serius.

Misalnya, mempercepat digitalisasi ekspor, menyederhanakan proses sertifikasi, hingga mendorong UMKM naik kelas lewat pelatihan dan insentif fiskal. Tanpa perbaikan di dalam negeri, pasar manapun tetap sulit ditembus.

Kesimpulan: Bangun Ketahanan Ekspor Nasional

Tarif tinggi Trump yang kini permanen bukanlah akhir dunia. Tapi ini adalah “wake-up call” bagi Indonesia untuk tidak terlena pada status quo. Dunia sudah berubah. Perdagangan bebas tidak lagi benar-benar bebas. Yang bertahan adalah yang lincah dan adaptif.

Solusinya bukan sekadar mengeluh pada WTO atau menyalahkan AS. Solusinya ada pada diri kita: berbenah, memperkuat daya saing, dan memperluas jangkauan ekspor. Saat satu pintu tertutup, mari buka sepuluh jendela baru.