
Dalam beberapa tahun terakhir, Eropa menghadapi fenomena politik yang mengkhawatirkan: kebangkitan kembali gerakan neo-fasis yang berwajah modern, tetapi membawa ideologi lama — nasionalisme ekstrem, xenofobia, dan penolakan terhadap imigran.
Dari Italia hingga Prancis, dari Jerman hingga Swedia, partai-partai sayap kanan semakin mendapat tempat di parlemen dan di hati sebagian warga. Mengapa hal ini bisa terjadi? Mari kita bahas dari lima aspek penting: ekonomi, identitas, keamanan, politik, dan media.
ASPEK EKONOMI: KETIMPANGAN DAN KECEMASAN SOSIAL
Krisis ekonomi yang menghantam Eropa sejak 2008 meninggalkan luka mendalam. Banyak pekerja lokal kehilangan pekerjaan karena deindustrialisasi, otomatisasi, dan globalisasi.
Ketika imigran datang mencari penghidupan, sebagian masyarakat merasa terancam. Mereka melihat para pendatang sebagai pesaing dalam lapangan kerja dan penerima tunjangan sosial yang “menggerogoti” anggaran negara.
Perasaan terpinggirkan ini melahirkan sentimen “kami versus mereka.” Partai-partai sayap kanan dengan lihai memainkan isu ini, menyalahkan imigran atas pengangguran dan kemiskinan.
Padahal akar masalahnya lebih dalam: ketimpangan ekonomi global dan distribusi kekayaan yang tidak merata. Namun, narasi sederhana — menyalahkan pihak luar — lebih mudah diterima masyarakat yang sedang frustrasi.
ASPEK IDENTITAS: KETAKUTAN KEHILANGAN JATI DIRI
Banyak warga Eropa, terutama generasi tua, merasa nilai-nilai tradisional mereka terancam oleh arus globalisasi dan multikulturalisme.
Di kota-kota besar, keberagaman etnis dan agama meningkat tajam. Simbol-simbol Islam seperti jilbab, masjid, dan makanan halal makin terlihat di ruang publik.
Bagi sebagian orang, hal itu terasa “asing” dari budaya Eropa yang sekuler. Ketakutan ini diperkuat oleh nostalgia terhadap masa lalu yang dianggap lebih “murni.”
Neo-fasisme lalu menawarkan jawaban emosional: mengembalikan “kejayaan bangsa,” melindungi “darah dan tanah,” serta menolak campuran budaya. Rasisme tumbuh bukan hanya dari kebencian, tetapi dari rasa kehilangan dan krisis identitas yang mendalam.
ASPEK KEAMANAN: TRAUMA DAN KETIDAKPERCAYAAN
Serangkaian serangan teror di Eropa dalam dua dekade terakhir memperburuk persepsi terhadap imigran, terutama dari Timur Tengah.
Meskipun mayoritas imigran datang secara damai, sebagian masyarakat menggeneralisasi bahwa pendatang membawa ancaman terhadap keamanan.
Kekhawatiran ini dimanfaatkan oleh kelompok politik ekstrem. Mereka menanamkan ketakutan bahwa Eropa sedang “diserbu” oleh migran asing yang akan mengubah wajah benua.
Akibatnya, kebijakan perbatasan diperketat dan partai-partai anti-imigran naik daun dengan slogan seperti “Eropa untuk orang Eropa.”
ASPEK POLITIK: KEKECEWAAN TERHADAP ELIT DAN DEMOKRASI LIBERAL
Banyak warga merasa partai-partai tradisional gagal memberikan solusi nyata. Demokrasi liberal dianggap terlalu birokratis dan tidak mendengar suara rakyat kecil.
Dalam kekosongan kepercayaan ini, muncul tokoh populis yang berbicara dengan gaya keras namun “jujur.” Mereka menantang elit politik dan menjanjikan perubahan radikal.
Gerakan neo-fasis modern menyamarkan diri dengan retorika nasionalisme populis. Mereka menolak label “fasis,” tapi memakai strategi serupa: menciptakan musuh bersama dan membangkitkan kebanggaan nasional.
Inilah wajah baru fasisme abad ke-21 — berpakaian demokrasi, tapi berjiwa otoritarian.
ASPEK MEDIA: API YANG DISULUT ALGORITMA
Media sosial memainkan peran besar dalam menyebarkan kebencian. Algoritma platform digital mempromosikan konten yang memicu emosi — terutama ketakutan dan kemarahan — karena mudah viral.
Akibatnya, hoaks dan propaganda anti-imigran menyebar cepat. Gambar kriminalitas oleh segelintir imigran diperbesar, sementara kontribusi positif mereka jarang muncul.
Selain itu, kekuatan politik tertentu memanfaatkan bots dan troll farms untuk memperkuat narasi nasionalis ekstrem.
Masyarakat yang terisolasi secara ekonomi dan sosial menjadi sasaran empuk. Kebencian pun terasa “masuk akal.”
PENUTUP: CERMIN KETAKUTAN, BUKAN KEKUATAN
Kebangkitan neo-fasisme di Eropa bukan sekadar kebangkitan ideologi lama, melainkan reaksi terhadap perubahan dunia yang cepat dan tak pasti.
Di balik rasisme dan penolakan terhadap imigran, tersimpan ketakutan — kehilangan pekerjaan, identitas, keamanan, dan makna hidup.
Tantangan terbesar Eropa kini bukan hanya menekan ekstremisme, tetapi memulihkan kepercayaan rakyat pada nilai-nilai kemanusiaan dan solidaritas.
Selama ketimpangan dan ketakutan dibiarkan, ideologi gelap itu akan selalu menemukan jalannya untuk bangkit kembali.

