Kesalahan psikologis keuangan yang sering kita lakukan dalam keseharian hidup yang kadang melelahkan ini adalah terjebak dalam sunk cost fallacy. Ini adalah salah satu jenis bias kognitif yanh juga banyak diungkap dalam ilmu tentang behavioral economics.
Berikut 4 contoh praktikal tentang jebakan sunk cost fallacy, yang mungkin pernah juga Anda alami.
Contoh pertama. Anda sudah membeli tiket bioskop untuk menonton film. Setelah 45 menit berlalu, Anda merasa filmnya sangat membosankan dan jelek. Namun alaih-alih keluar, Anda tetap saja menonton filmnya hingga usai. Saya kan sudah beli tiketnya, sayang kalau saya harus keluar di tengah pertunjukan.
Contoh berikutnya. Anda memilih kuliah di jurusan yang juga dipiliha banyak teman Anda sekolah. Setelah kuliah 2 semester, Anda merasa kurang sreg dengan jurusan yang Anda pilih. Banyak mata kuliahnya yang tidak sesuai dengan minat Anda. Namun Anda tetap memaksa untuk mengikuti kuliah hingga lulus. Saya sudah kuliah 2 semester dan keluar uang kuliah yang banya, sayang kalau saya harus keluar. Saya memilih untuk terus mengikutnya hingga lulus, meski sebenarnya saya kurang sreg dengan jurusan ini.
Contoh ketiga. Ada orang yang melakukan hubungan asmara dengan kekasihnya. Setelah satu tahun berjalan, dia merasa pasangannya kurang asyik dan kadang menyebalkan. Namun dia memilih untuk tetap meneruskan hubungan asmara itu. Kenapa? Agak sayang juga kalau harus saya akhiri hubungan ini, sebab saya sudah menginvestasikan waktu, tenaga dan pikiran yang cukup banyak untuk membina hubungan kami selama ini.
Contoh terakhir. Ada orang yang merintis dan menjalani sebuah bisnis. Setelah berjalan beberapa lama, bisnisnya stagnan dan kurang menunjukkan kemajuan yang signifikan. Namun alih-alih menghentikan usahanya, dia tetap memilih untuk terus menjalaninya meski tidak ada prospek bagus di depannya. Dia bilang, sayang kalau saya harus hentikan, sebab saya sudah menginvestasikan biaya, waktu dan pikira yang sangat banyak untuk memulai bisnis ini.
Semua contoh di atas adalah bentuk sunk cost fallacy. Bias kognitif ini merujuk kegagalan seseorang untuk “move on” karena merasa sudah mengeluarkan biaya, tenaga dan pikiran untuk sebuah keputusan sebelumnya – meski keputusan ini terbukti tidak bagus atau kurang optimal.
Meski dia kemudian sadar jika keputusannya itu kurang jitu, dia tidak mau move on, sebab merasa sayang karena sudah telanjur mengeluarkan biaya (sunk cost). Biaya ini bisa berupa uang, waktu, pikiran ataupun tenaga yang sudah dicurahkan.
Sunk cost fallacy oleh para peneliti behavioral economics sering juga disebut dengan “escalation of commitment” atau komitmen yang makin membesar.
Contohnya ya seperti di atas itu. Meski sudah merasa jurusan kuliahnya kurang sreg, dia tetap meneruskan hingga lulus. Meski sudah merasa pacarnya menyebalkan, dia tetap memilih untuk melanjutkan hubungan. Meski merasa bisnisnya stagnan, namun tetap terus menjalaninya.
Itu semua contoh jebakan eskalasi komitmen. Bayang-bayang merasa sudah telanjur menjalani, dan telanjur mengeluarkan biaya, membuat seseorang malah makin meningkatkan komitmennya untuk terus menjalani sesuatu – meski sebenarnya sadar bahwa sesuatu ini sudah tidak begitu sesuai dengan harapannya.
Kenapa jebakan sunck cost fallacy terjadi? Salah satu penyebab utamanya adalah kemungkinan banyak orang belum mengenal konsep “opportunity cost” atau biaya yang hilang karena kita gagal memanfaatkan kesempatan lain yang ada.
Artinya : saat Anda terus berkutat pada pilihan yang sebenarnya terbukti tidak optimal itu (misal tetap nonton film bioskop yang terbukti jelek, atau tetap kuliah di jurusan yang tidak sesuai minat, atau tetap menjalani bisnis yang terbukti stagnan), sebenarnya Anda sudah menyia-nyiakan kesempatan lain yang ada (opportunity cost).
Waktu yang Anda habiskan untuk menjalani keputusan yang lama itu telah menghilangkan peluang Anda untuk meraih sukses di tempat lainnya. Ada opportunity cost yang terjadi di sini.
Seseorang mungkin memilih terus menjalani hubungan dengan pasangannya yang terbukti menyebalkan, sebab dia merasa sayang kalau harus putus. Sebab dia merasa sudah menginvestasikan tenaga, waktu dan pikiran. Dia memilih untuk melanjutkan hubungan itu demi terhindar dari perasaan rugi.
Namun jika dipotret dari kacamata opportunity cost, keputusan dia tetap bertahan dalam hubungan yang kurang menyenangkan itu justru merugikan. Sebab artinya dia sama sekali kehilangan kesempatan untuk mencari dan mendapatkan calon pasangan lain yang lebih optimal dan lebih menyenangkan. Waktu yang akan dihabiskan demi melanjutkan hubungan dengan pacar yang menyebalkan itu merupakan opportunity cost yang amat mahal bagi dirinya.
Terus bertahan menjalankan bisnis yang stagnan juga merupakan opportunity lost yang amat mahal. Sebab dengan demikian, dia kehilangan waktu dan peluang untuk menjalani bisnis lain yang lebih menjanjikan laba.
Sejumlah orang terjebak dalam sunk cost fallacy karena tidak memahami opportunity cost tersebut. Orang ini memilih untuk makin meningkatkan komitmennya pada pilihan lama yang sebenernya salah karena takut mengalami kerugian. Namun sebenanya pilihan semacam ini membuat dia kembali akan mengalami kerugian yang fatal. Dia akan mengalami kerugian biaya kesempatan (opportunity cost) yang hilang sia-sia.
Semoga kita semua bisa terhindar dari jebakan sunk cost fallacy dan juga dapat mengelak dari opportunity lost yang amat mahal harganya.