Semenjak Daniel Golemen menggagasnya dalam karya fenomenal bertajuk Emotional Intelligence, kini makin diyakini pentingnya makna kecerdasan emosional dalam merajut kanvas kehidupan yang dilimpahi oleh kesuksesan dan kebahagiaan. Kecerdasan intelektual ternyata hanya separo dari sebuah perjalanan. Ia mesti juga dilengkapi dengan kecerdasan emosional (dan juga kecerdasan spiritual) agar kita semua bisa menggapai hidup yang penuh arti kemuliaan.
Secara eksploratif, kecerdasan emosional sendiri pada dasarnya merujuk pada dua dimensi kunci yang mesti kita praktekkan dengan penuh kesempurnaan. Dimensi yang pertama adalah tentang dunia intra-personal – atau sebuah dunia sunyi untuk melihat dengan penuh kebeningan relung diri kita sendiri. Dimensi yang kedua adalah tentang dunia inter-personal – atau sebuah dunia dengan mana kita menghamparkan berderet perjumpaan dengan orang lain.
Baiklah kita akan segera membahas dua dimensi kunci itu secara intim. Namun sebelumnya, saya persilakan Anda untuk mereguk dulu kehangatan secangkir kopi atau teh yang sekarang mungkin ada disamping laptop/dekstop Anda. Seduhlah kehangatan itu sambil bersyukur bahwa hari ini Anda masih dilimpahi karunia untuk menikmati secangkir teh hangat…….
Oke, mari kita lanjutkan perbincangan kita. Dimensi yang pertama, seperti tadi disebutkan, berhubungan dengan dunia intra-personal. Dalam dimensi ini sendiri terdapat dua elemen yang mesti dicermati, yakni : self awareness dan self esteem.
Knowing yourself is the beginning of all wisdom, demikian filsuf Aristoteles pernah bersenandung. Maknanya jelas : kita tak akan pernah mampu mengenggam buah kebajikan tanpa kemampuan untuk secara jernih dan jujur menelisik setiap sudut raga dan jiwa kita. Kemampuan untuk secara bening menelusuri segenap jejak kelebihan dan potensi yang ada pada diri kita; dan juga sekaligus mau mengakui kekurangsempurnaan yang ada dalam diri kita dengan penuh kelapangan dada.
Dan dengan kesadaran-diri yang kokoh itulah, kita kemudian bergerak maju merajut self-esteem dengan optimal. Self-esteem sendiri bermakna tumbuh-mekarnya rasa respek pada diri sendiri – tanpa harus tergelincir menjadi arogan atau takabur. Sebaliknya, self esteem ini lebih mewujud pada tumbuhnya rasa bangga (self-pride) atas jati diri Anda dan juga terhadap segenap jejak karya dan impian yang tengah Anda ukir. Tanpa self-respect yang kuat, kita tak akan pernah mampu membangun respek pada orang lain. Dan tanpa self-esteem yang menjejak dengan kokoh, kita tak akan pernah melenting menjadi insan yang unggul, penuh kemuliaan dan bermartabat.
Dimensi kedua dari kecerdasan emosional berkaitan dengan dimensi inter-personal atau dunia tentang jalinan interaksi dengan orang lain (others). Disini terdapat dua elemen kunci yang juga layak diperhatikan, yakni elemen interaksi antar manusia dan elemen empati.
Kecerdasan emosional pada akhirnya amat berkaitan dengan ketrampilan kita dalam merajut relasi dengan orang lain (interpersonal relationship). Disitulah kemudian kita diuji untuk selalu bisa merekahkan pola relasi yang santun, penuh rasa respek dan saling-menghargai, serta dilimpahi spirit untuk berbuat baik kepada sesama. Disini pula kita diajak untuk selalu mampu menghadirkan rajutan komunikasi yang konstruktif dan suportif, dan bukan pola komunikasi yang dipenuhi rasa kedengkian dan negative thinking lainnya.
Dan kita tahu, segenap kecerdasan semacam diatas hanya bisa digelarkan jika kita juga diguyur oleh spirit empati yang kuat. Inilah sebuah sikap untuk mau memahami dan menghargai perasaan orang lain. Sebuah sikap untuk juga mau bersikap welas asih pada sesama. Sebuah sikap untuk selalu menghadirkan momen perjumpaan yang penuh keramahan, menebar kebaikan kepada sesama tanpa pamrih, dan menyodorkan jabat tangan erat dalam balutan rasa cinta dan empati.
Demikianlah empat tema utama yang menaungi makna kecerdasan emosional – yakni dimensi self awareness, self esteem, interpersonal relations dan empathic understanding. Kita mungkin tak tahu persis berapa kadar kecerdasan kita dalam empat dimensi kunci itu. Namun tampaknya kita selalu diminta untuk terus menebarkan benih kecerdasan itu dalam segenap jejak kehidupan kita; dalam roda waktu yang terus berputar.
Sebab hanya dengan itulah, kita lalu bisa tumbuh menjadi insan yang luhur dan penuh kemuliaan. Memuliakan hidup, memuliakan sesama. Bukankah ini salah satu tugas suci kita sebagai anak manusia?
Note : Jika Anda ingin mendapatkan file powerpoint presentation mengenai management skills, strategy, marketing dan HR management, silakan datang KESINI.
Saya juga sering mendengan “Kecerdasan Spiritual”. Apa bedanya? Apakah hanya istilah saja?
Bang Yodhia,
Menurut beberapa buku yang saya baca dan seminar yang pernah saya ikuti bahwa orang pintar ( IQ OK ) tetapi EQ ( intra – personal and interpersonal skills tidak dimiliki ) sangat sedikit yang berhasil dan ini dapat kita lihat sendiri ditempat kerja kita. Tentunya keberhasilan tidak sempurna kalau tidak dibarengi dengan SQ.
Seorang karyawan yang ingin sukses paling tidak harus memiliki IQ rata-rata, EQ dan SQ. Tapi bagaimana dengan mantan preman yang menjadi pengusaha dan sukses ya Bang Yodhia? TQ
Salam kenal bang Yodhia….!
saya mungkin baru bergabung dalam komunitas learning & Dev. perusahaan.
saya pun baru juga diberikan referensi oleh kawan untuk berkunjung di blog bang Yodhia.
dan ternyata hasilnya cukup memuaskan dahaga saya tentang dunia L&D yang baru saya geluti ini.
bang Yodhia boleh saya di emailkan materi atau apa saja yang lebih technical tentang development based on competency.
Rgds,
Boeb’s
mas yodya, saya sangat sependapat dengan EQ, dan SC karena dalam beberapa pengalaman seorang leader biasanya tumbuh dari mereka yang mempunyai ketiga kecerdasan secara bersama-sama yaitu IQ, EQ dan SQ
trims selamat berkarya
Kecerdasan Spiritual adalah kecerdasan dimana kita sebagai makhluk tuhan mengelola hubungan horisontal dengan sesama dan vertikal dengan sang Khaliknya (Tuhan). Di sisi ini “agama” berperan sebagai media. Jadi kecerdasan Spiritual (baca ber”agama”) menjadi penting selain IQ dan EQ, karena dengannya kita mulai belajar cara berhubungan dengan sesama manusia secara ber-etika dan bermoral.. -menggapai karir tinggi tanpa harus “musuh dalam selimut” rekan sejawat, dan semangat bahwa -bekerja / mencari nafkah itu bagian dari ibadah.. Jadi jangan ber -orientasi bekerja semata-mata untuk kebutuhan mencukupi finansial.
@ Rezki, mengenai kecerdasan spiritual, saya pernah mengulasnya juga…bisa dibaca DISINI.
@ Boebs, anda bisa lihat hal yang anda butuhkan di menu presentasi. Ada presentasi tentang competency-based HR.
@ Oom Permana, kesuwun atas komentare sing mencerahkan….Saya sudah kangen dengan sego megono lek…..hahahaha….
IQ = Tingkat Kecerdasan tinggi.
EQ = Lebih gampang ber-sosialisasi. (benarkah?)
Setelah membaca posting, jadi ingat bahwa ada sebagian orang yang cerdasnya minta ampun, tapi susah bersosialisasi, dan sukses di bagian riset aja.
Tapi orang ber-EQ tinggi, dan kebetulan IQ nya rendah, susah memecahkan masalah teknis. Tapi cocok untuk bagian Sales, karena lebih gampang berkomunikasi dengan orang.
Kira2 begitu?
IQ yang bagus jaminan untuk melakukan karya dengan sempurna.
EQ yang bagus jaminan untuk hidup dengan penuh warna dan persahabatan.
Bila digali lagi lebih dalam dengan SQ, bisa jadi akan tercapai suatu titik kesadaran dimana manusia hidup untuk berkarya dan bersosialiasi demi menjalankan tugasnya sebagai mahluk Tuhan.
Btw saya langganan RSS Blog ini, sangat berguna, thanks lho Pak Yodhia
bner2 inspiring banget dah tulisan disini…
makasi mas yodhia atas tulisannya
Sayang terlalu banyak kecerdasan yang ada, tetapi pemimpin kita di negeri ini tetap saja bodoh..
Mas Yodhia, saya minta izin ambil tulisannya buat Blog jurusan saya http://www.alumni-tip2003.blogspot.com. Silakan diintip kalo berkenan. Saya kasihkan juga sumber dan nama terangnya. Matur suwun ya mas Yodhia..
http://www.bhimapriantoro.blogspot.com
Pingback: Seberapa Bagus Kecerdasan Emosional Anda? « Kartarahardja’s Weblog
Apakah kecerdasan emosional dapat diprogram ?
Barangkali artikel “kecerdasan emosional” berikut berguna >> KECERDASAN EMOSIONAL
saya senang sekali membaca artikel anda yang sederhana pembahsannya, tetapi kena sasaran dan menyentuh hati.
Saya akan mencoba memperhatikan saran anda. Proficiat
IQ, EQ dan SQ, perlu dilengkapi pula dengan LQ. Aku barusan usai baca buku “Laduni Quotient; Model Kecerdasan Masa Depan”.
Kecerdasan pikiran (IQ, EQ dan SQ) perlu disinergikan dengan kecerdasan hati (Aql, Qalb, Dzauq, Shadr, Fuad, Bashirah dan lubb). Ini menurut buku yang saya baca “Laduni Quotient; Model Kecerdasan Masa Depan”.