Selama hampir satu dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia seperti jalan di tempat—stagnan di angka 5% atau bahkan lebih rendah. Tahun 2023, angka pertumbuhan hanya 5,05%. Sebelum pandemi pun kisarannya tetap di sana, tanpa ada momentum lonjakan besar seperti negara-negara Asia lainnya di masa transisi industrinya.
Apa yang membuat ekonomi kita terasa berat untuk melaju lebih kencang? Dan lebih penting lagi: bagaimana jalan keluarnya?
Di antara ratusan bank yang beroperasi di Indonesia, ada tiga raksasa yang mendominasi lanskap perbankan nasional: Bank Central Asia (BCA), Bank Mandiri, dan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Ketiganya punya basis nasabah yang masif, layanan digital yang agresif, dan posisi pasar yang sangat kuat.
Namun, di balik dominasi itu, ada persaingan yang cukup menarik. Masing-masing punya segmen yang ingin dikuasai, strategi berbeda, dan tentu saja kelebihan serta kelemahannya sendiri.
Pasar otomotif Indonesia saat ini sedang memasuki fase transisi yang cukup dramatis. Jika 10 tahun lalu hanya segelintir orang bicara soal mobil listrik, kini topik ini sudah masuk obrolan warung kopi, thread Twitter, sampai TikTok otomotif. Dan satu nama pendatang baru tiba-tiba menyodok ke permukaan: BYD—pabrikan mobil listrik asal Tiongkok yang sedang menantang sang raja jalanan Indonesia, Toyota.
Apakah ini pertarungan yang setara? Ataukah hanya dentingan kecil dari pemain baru yang coba menggoda pelanggan milik sang raksasa? Mari kita bedah lebih dalam.
Di era mobilitas tinggi seperti sekarang, memilih maskapai penerbangan bukan sekadar soal harga tiket. Kenyamanan, ketepatan waktu, pelayanan, hingga reputasi juga memainkan peran penting. Di antara maskapai penerbangan domestik yang paling sering wara-wiri di langit Indonesia, ada tiga nama yang kerap jadi pilihan utama: Citilink, Pelita Air, dan Lion Air.
Saya akan mencoba membandingkan ketiganya secara singkat, jujur, dan berbasis pengalaman langsung maupun data publik.
Pernah merasa kelelahan hanya karena harus membuat banyak keputusan dalam sehari?
Itulah yang disebut decision fatigue—kelelahan mental akibat terus-menerus membuat keputusan, mulai dari yang remeh seperti sarapan apa, hingga yang besar seperti strategi bisnis atau keuangan keluarga.
Akibatnya, kita bisa jadi lamban berpikir, impulsif, bahkan menunda keputusan penting. Berikut lima cara ampuh untuk mengatasinya:
Semakin sedikit keputusan kecil yang Anda buat, semakin banyak energi mental yang bisa disimpan untuk keputusan besar. Itulah mengapa banyak tokoh sukses seperti Steve Jobs atau Barack Obama memilih memakai pakaian yang hampir selalu sama—mereka ingin mengurangi jumlah keputusan remeh tiap hari.
Coba mulai dari hal sederhana: sarapan yang sama tiap hari, jadwal olahraga yang tetap, atau menyusun pakaian kerja seminggu sekaligus. Saat rutinitas berjalan otomatis, otak Anda bisa fokus pada hal-hal yang benar-benar penting.
Minggu ini, kebijakan tarif tinggi era Presiden Donald Trump resmi ditetapkan permanen bagi sejumlah negara, termasuk Indonesia. Artinya, berbagai produk ekspor RI, seperti tekstil, aluminium, dan produk manufaktur tertentu, akan tetap dikenai bea masuk tinggi saat masuk ke pasar Amerika Serikat (tarif Trump terhadap Indonesia akan tembus hingga 47% !!).
Langkah ini mengonfirmasi bahwa pendekatan proteksionis AS tidak lagi hanya bersifat sementara atau politis, tetapi telah menjadi bagian dari kebijakan jangka panjang Washington dalam merespons persaingan dagang global.
Investasi adalah tentang kepercayaan. Ketika sebuah perusahaan asing memutuskan untuk menanamkan modal di suatu negara, mereka datang bukan hanya membawa uang, tapi juga harapan, rencana jangka panjang, dan ekspektasi akan stabilitas serta kepastian.
Namun, apa jadinya jika janji-janji manis pemerintah berubah menjadi kenyataan pahit? Inilah yang terjadi pada pabrik KCC Glass di Batang, Jawa Tengah — sebuah investasi besar dari Korea Selatan yang kini justru menyuarakan kekecewaan mendalam.
Pabrik KCC Glass masuk ke Indonesia dengan semangat besar. Mereka dijanjikan kawasan industri Batang yang strategis, fasilitas infrastruktur yang siap pakai, dan berbagai insentif investasi yang menggiurkan. Tapi seiring waktu, kenyataan berkata lain.