5 Solusi agar Garuda Indonesia Tak Jatuh pada Kebangkrutan

Garuda Indonesia, sebagai maskapai nasional kebanggaan bangsa, telah melalui berbagai tantangan berat dalam satu dekade terakhir. Dari tekanan finansial, utang menumpuk, beban operasional tinggi, hingga dampak pandemi yang menghantam industri penerbangan global, Garuda harus berjuang keras untuk bertahan.

Meski proses restrukturisasi utang dan efisiensi telah dilakukan, laporan keuangan perusahaan masih menunjukkan risiko kerugian yang terus mengintai.

Agar Garuda tidak lagi mencatatkan kerugian di masa mendatang, dibutuhkan solusi konkret dan terukur. Berikut adalah lima strategi yang bisa dijalankan agar kinerja keuangan perusahaan lebih sehat, kompetitif, dan berkelanjutan.

1. Optimalisasi Rute dan Frekuensi Penerbangan

Salah satu penyebab kerugian operasional adalah rute penerbangan yang tidak menguntungkan secara ekonomi. Garuda harus lebih selektif dalam mengoperasikan rute, terutama rute internasional dan regional yang memiliki tingkat keterisian rendah (load factor di bawah 60%).

Solusi utamanya adalah dengan melakukan audit menyeluruh terhadap semua rute aktif. Rute yang merugi secara konsisten harus ditinjau ulang, dikurangi frekuensinya, atau dialihkan ke maskapai anak usaha seperti Citilink yang lebih fleksibel dalam struktur biaya.

Di sisi lain, rute domestik dengan permintaan tinggi seperti Jakarta–Medan, Jakarta–Denpasar, atau Jakarta–Makassar harus dioptimalkan dari sisi frekuensi, jadwal keberangkatan, dan penyesuaian armada agar lebih efisien.

2. Negosiasi Ulang Kontrak Sewa Pesawat

Salah satu beban terbesar dalam laporan keuangan Garuda adalah biaya sewa pesawat (leasing), yang mencapai ratusan juta dolar setiap tahun. Banyak kontrak sewa yang disepakati dalam kondisi ekonomi tidak ideal, sehingga tidak kompetitif dibanding maskapai lain di kawasan Asia.

Solusi jangka menengahnya adalah melakukan renegosiasi secara bertahap dengan perusahaan leasing, mencari skema pembayaran yang lebih fleksibel, atau bahkan melakukan pembelian langsung untuk menghindari biaya sewa jangka panjang yang memberatkan.

Langkah ini juga bisa didukung dengan konsolidasi armada, yaitu mengurangi jumlah tipe pesawat agar efisiensi perawatan, suku cadang, dan pelatihan kru bisa lebih maksimal.

3. Diversifikasi Sumber Pendapatan Non-Tiket

Selama ini, sebagian besar pendapatan Garuda masih bergantung pada penjualan tiket penumpang. Padahal, potensi pendapatan non-tiket (ancillary revenue) sangat besar dan relatif stabil, terutama di masa pasca-pandemi.

Beberapa peluang yang bisa dikembangkan antara lain: layanan kargo udara, kerja sama logistik B2B, layanan catering, pemanfaatan ruang iklan di pesawat, dan monetisasi data pelanggan melalui kerja sama digital marketing.

Garuda juga dapat memperluas layanan perawatan pesawat (MRO – Maintenance, Repair & Overhaul) melalui GMF AeroAsia untuk menangkap pasar dari maskapai regional lain yang membutuhkan layanan teknis berkualitas.

4. Perbaikan Sistem Manajemen dan Kultur SDM

Restrukturisasi keuangan hanya akan berhasil jika dibarengi dengan perbaikan budaya kerja dan tata kelola organisasi. Dalam beberapa tahun terakhir, Garuda pernah diterpa kasus korupsi, penyalahgunaan wewenang, hingga pengelolaan SDM yang tidak efisien.

Solusi jangka panjangnya adalah membangun sistem manajemen modern berbasis meritokrasi, profesionalisme, dan transparansi. Rekrutmen, promosi jabatan, dan insentif harus berbasis kinerja nyata, bukan relasi personal.

Di sisi operasional, pelatihan ulang untuk kru, teknisi, dan staf layanan pelanggan harus ditingkatkan agar kualitas pelayanan Garuda benar-benar mencerminkan nilai “flag carrier” Indonesia.

5. Kolaborasi Strategis dengan Investor atau Mitra Global

Untuk menghindari kerugian jangka panjang, Garuda tidak bisa berjalan sendiri. Dibutuhkan mitra strategis, baik dari sisi pendanaan maupun jaringan bisnis global. Pemerintah bisa membuka peluang bagi maskapai besar dunia seperti Emirates, Singapore Airlines, atau Qatar Airways untuk bermitra secara terbatas, misalnya dalam hal manajemen rute, integrasi sistem, atau codeshare.

Selain itu, Garuda dapat memperluas kemitraan dengan perusahaan logistik, travel online, atau perbankan untuk membangun ekosistem layanan yang saling menguntungkan. Kolaborasi seperti ini juga bisa meningkatkan arus penumpang, menambah loyalitas pelanggan, serta membuka jalur distribusi pendapatan baru.


Kesimpulannya, untuk keluar dari jerat kerugian, Garuda Indonesia memerlukan pendekatan komprehensif: efisiensi biaya, optimalisasi rute, diversifikasi pendapatan, reformasi internal, serta kolaborasi dengan pihak luar. Dengan visi yang kuat dan eksekusi yang konsisten, Garuda masih punya peluang besar untuk kembali terbang tinggi sebagai maskapai kebanggaan bangsa.