Sonny Ericsson : Sinergi Kultural Nan Mengesankan

I love Sonny Ericsson. Begitulah tagline yang acap kita dengar dari produsen ponsel blasteran Jepang/Swedia ini. Iklan beragam lini produknya yang rancak hadir menyapa kita melalui layar kaca dan papan reklame di sudut-sudut jalanan. Bendera Sony Ericsson (SE) memang tengah berkibar menjulang. Di pasar domestik, serbuan ponsel ini pelan-pelan mampu menggoyang singgasana sang dewa dari Finlandia. Dalam pasar global, pangsa pasar SE terus merangkak naik, meski masih nomer tiga dibawah Samsung dan Nokia.

Tahun 2001 silam, ketika pertama kali aliansi itu dibangun, siapa yang mengira mereka akan sesukses sekarang? Aliansi strategis ini pada mulanya memang sebuah perkawinan dari dua raksasa teknologi yang terluka. Pada era 90-an Sony barangkali mesti disebut sebagai raksasa teknologi yang benar-benar terpelanting dalam pertarungan industri telekomunikasi dunia. Ketika Nokia dan Motorola perlahan-lahan merajai industri ponsel global, Sony sadar mereka telah ketinggalan kereta terlalu jauh. Dan ini sebenarnya sebuah tragedi. Sebab bagaimana mungkin perusahaan secerdas Sony, dan juga raksasa teknologi Jepang lainnya seperti Panasonic, bisa gagal memprediksi arah masa depan konvergensi teknologi digital.

Kalau saja Sony bergerak memasuki pasar ponsel bersamaan dengan Nokia, kemungkinan penguasa nomer satu dunia saat ini adalah Sony, dan bukan Nokia. Dan inilah pelajaran strategi yang amat penting : perusahaan-perusahaan yang sudah mapan acap mengalami myopia alias buta terhadap perubahan tren teknologi dunia yang berubah-ubah dengan dramatis.

Oke, nasi sudah menjadi bubur. Meski konon para petinggi Sony menangis sesenggukan menyaksikan Nokia terus menari-nari menguasai pasar telco global, mereka harus bergerak cepat. Dan sadar mereka tak mungkin mengejar Nokia jika bertarung sendirian, maka mereka memilih-milih siapa yang layak dipinang menjadi pasangan buat memenangkan duel maut dengan Nokia. Masuklah Ericsson.

Ericsson, kita tahu, pada era akhir 90-an mengalami babak belur. Akibat kalah bertarung dengan Nokia, Motorola, dan juga Siemens (saat masih hidup), Ericsson sempat terpojok di sudut ring, terkapar, dan hampir saja mengibarkan bendera putih tanda kekalahan. Dan persis pada momen itulah, sang samurai dari Jepang datang mengulurkan harapan. Kedua rakasasa yang terluka itu bertekad bangkit : bersama-sama merakit jurus buat merobohkan sang dewa dari Finlandia.

Kalau kita coba telisik faktor mengapa aliansi Sony dengan Ericsson bisa menuai keberhasilan – setidaknya hingga saat ini – maka tampaknya ada dua item yang layak dicatat.

Yang pertama, aliansi ini berhasil karena benar-benar mampu melakukan sinergi yang bersifat saling melengkapi (komplementer). Pengalaman yang kaya dari Ericsson dalam bidang telekomunikasi menemukan pasangan yang jitu lewat ketangguhan Sony dalam dua bidang : kamera (ingat Sony Cybershot) dan audio (ingat Walkman). Dan benar, kekuatan Sony ini benar-benar dieksploitasi guna menghasilkan aneka produk ponsel yang memukau. Hasilnya memang sunguh menggurihkan : lini produk SE yang mengandalkan kamera (seri K) dan ponsel-walkman (seri W) laris manis bak kacang goreng.

Elemen kedua adalah asimilasi kultur yang pas antara pekerja Jepang dengan rekannya dari Swedia. Meski dipisahkan jarak ribuan kilometer, dua negara ini sesungguhnya memiliki dua budaya yang identik – sehingga tak melahirkan culture clash (faktor perbedaan budaya kerja ini yang disebut banyak pihak sebagai salah satu sebab gagalnya aliansi Mercedes Benz dengan Chyrsler, raksasa otomotif dari Amerika).

Meski berasal dari benua Eropa, orang Swedia relatif berbeda dengan orang Inggris (yang terkenal bermental arogan dan aristokrat) dan juga orang Perancis (yang acap berpikir budaya Perancis adalah budaya adilluhung dan kerap memandang rendah budaya orang lain). Orang Swedia justru memiliki latar kultur yang mirip dengan Jepang yakni : amat mementingkan konsensus, suka bekerjasama (teamwork dan tidak menonjolkan individualisme), serta memiliki respek pada budaya lain. Dan dengan modal inilah, Sony dan Ericsson mampu merajut aliansi yang elok dan kohesif. Dengan kata lain, mereka mampu membangun aliansi kultural yang sinergis.

Perjalanan memang masih panjang. Sony Ericsson harus terus melahirkan produk-produk manis nan elegan guna memenangkan duel dengan para raksasa ponsel global. Namun dengan modal sinergi teknologi dan sinergi kultural, mereka berharap bisa terus melanjutkan perjuangan. Kini mereka memang bukan lagi dua raksasa yang terluka, namun dua raksasa yang siap mengibarkan bendera kemenangan.

Note : Jika Anda ingin mendapatkan file powerpoint presentation mengenai management skills, strategy, marketing dan HR management, silakan datang KESINI.

Author: Yodhia Antariksa

Yodhia Antariksa

18 thoughts on “Sonny Ericsson : Sinergi Kultural Nan Mengesankan”

  1. Pertamaxxx…
    Sekali lagi kekuatan sinergi membuktikan suatu keberhasilan…Sejak bergabung memang Brand keduanya pun menjadi lebih menanjak, produk2 yang dihasilkan menjadi lebih kompetitif, dan hasilnya bisa terlihat sekarang di Indonesia, dulu pasar HP sangat dikuasai Nokia, tp skr market share SE terus meningkat sehingga bisa mendekati….
    Termasuk saya yang dr dulu setia pake HP-HP keluaran SE…:D

  2. Setuju sekali Pak…, ide yang sangat cerdas menggabungkan dua perusahaan yang mempunyai keahlian yang saling melengkapi. Saat ini saya adalah penggemar Sony Ericcson, terutama seri Walkman. SE berusaha mengalahkan Nokia dengan mengandalkan fitur yang canggih dan harga yang bersaing, di saat Nokia lebih mengandalkan model yang memukau.

  3. Saya sependapat kalau SE ini hanya kalah start dari Nokia, tapi agaknya dengan produk yang lebih murah dari Nokia, lambat laun SE akan mampu mengunguli.

  4. sebuah ulasan menarik 🙂
    ada komparasi lain yang berhasil dan gagal dalam konteks merger 2 raksasa mas? bagaimana mas menyikapi merger HP dan compac? atau IBM dan lenovo?

    *menunggu wawasan lain.. 🙂

  5. Merger HP dan Compaq (menjadi HP) mulai menunjukkan hasil yang dahsyat setelah CEO baru, Mark Hurd. Sebelumnya dipimpin oleh CEO perempuan flamboyan bernama Carly Fiorina (yang ternyata gagal total).

    CEO yang baru bisa melakukan eksekusi dengan gemilang, dan kini HP makin kinclong kinerjanya. Masih nomer dua, dibawah Dell, tapi kian merangsek.

    Lenovo mesti hati2 menjaga brand Thinkpad…kalau ndak, bisa roboh nama besar Thinkpad, dan kini tampaknya ada gejala menuju kesitu.

  6. “gabungan dua raksasa yang terluka” bagaimanapun akan benar-benar menjadi besar karena yang gabung dua raksasa, bukan dua kurcaci.

    Pasangan akan bisa abadi jika bisa saling melengkapi (komplementer), masing2 punya daya kekuatan yang bisa sinergy.

    Dulu saya pengguna nokia, tapi sudah beberapa tahun terakhir koq ya jatuh hati pada SE
    I Love SE…he..he…he..

  7. hoo…menarik mas artikelnya, aku baru tau sejarahnya merger mereka..dan sekarang aku pencinta SE.. hehehe..
    aku baru lulus kuliah, dan kayaknya bisa belajar banyak dari web mas ini.. salam kenal..

  8. Sonylah benar2 raksasa yang saat ini sedang terluka. Berbagai portfolio andalannya bersusah payah menahan gempuran para pesaing di tataran global. TV yang digempur oleh Samsung. Digital camera yang sekarang dikuasai canon sebagai nomer 1, Sony cuma nomer 2, disusul Kodak, Olympus, Samsung, dan Nikon. Sony Playstation juga harus bertarung mati-matian dengan Microsoft XBox dan Nintendo Wii.

    Sony Ericcson memang memberikan cukup harapan bagi Sony, tapi pergerakan pasar yang sangat cepat harusnya menjadi pelajaran bagi SE untuk tidak cepat berpuas diri.

  9. Yep…penjualan PS3 juga amat mengecewakan para petinggi Sony – jauh dibawah harapan. Nintendo Wii dengan mudah menyalipnya.

    Kini mereka benar-benar bertaruh dengan teknologi andalannya, blu-ray disc (teknologi pasca DVD). Beruntung, data hari ini menunjukkan blu ray diprediksi akan mampu mengalahkan rivalnya, HD-DVD dari Toshiba. See this link : https://www.crn.com/digital-home/205921287

  10. Sonny punya ‘art’, Ericsson punya ‘technology’. Kalo di bisnis, kolaborasinya ibarat yin and yang.

  11. saya punya saudara di swedia yang pernah bekerja sebagai karyawan di Ericsson, saking cintanya dengan perusahaan ini paman saya yang bernama Ronny menamai anaknya dengan Alexander Ericsson.. Ini salah satu contoh bahwa perusahaan Ericsson memiliki manajemen yang baik terhadap para karyawannya

  12. Saat ini Sony Ericsson memang dikenal sebagai hape yang valuable, dengan harga hanya segini bisa mendapatkan yang sudah seperti ini jika dibandingkan dengan membeli ponsel Nokia.
    Hanya saja, calon pembeli terkadang juga sering mengeluh kalo harga jual dari Sony Ericsson turun drastis yang menyebabkan banyak juga yang enggan untuk membeli Sony Ericsson walaupun mengakui keunggulannya.
    Apakah ini permainan di pasarnya sendiri (distributor, counter) atau memang strategi manajemen SE Indonesia?

  13. Hhmmm, sejauh ini saya melihat banyak sekali hal-hal yang diulas secara strategis adalah perusahaan yang menghasilkan product tangible…

    Saya usul, bagaimana jika sekali-kali dibahas mengenai product intangible seperti jasa yang cukup kompleks seperti pendidikan. Secara tidak langsung, service yang dilakukan adalah produk yang sangat erat kaitannya dengan orang-orang yang mendelivered “produk” itu…

  14. Saya menyumbang pendapat saja, strategi Sony Ericsson ini berbeda dengan strategi dari Nokia. Ini mirip dengan kasus AMD dan Intel. Sony-Ericsson awalnya menggunakan teknologi second layer serta mengedepankan inovasi pada visualisasi, yang mana pada produk Ericsson tidak didapatkan karena seperti halnya karakter eropa yang cenderung pada budaya konservatif berbeda dengan Jepang yang dinamis. Sedangkan inovasi pada Nokia sebenarnya lebih dekat dengan budaya Jepang yaitu dinamis dan user friendly yang mana tidak didapat pada produk Ericsson sebelum bergabung dengan Sony.

    Strategi pada visualisasi dari Sony sejak bergabung dengan Ericsson ini mengubah pandangan akan produk ini sehingga mampu untuk mendapatkan awareness dari publik yang saat itu masih terpatok pada visualisasi menu yang diberikan oleh Nokia dalam setiap produknya. Dan secara perlahan tapi pasti, kemudian mencoba menggerus pangsa pasar alat komunikasi selular secara global yang bahkan menggeser posisi Siemens yang kemudian mati secara perlahan-lahan karena tidak mampu memenuhi Expectacy dari customer akan bentuk visualisasi yang lebih baik. Dan pada akhirnya sih, image brand Sony-Ericsson terbentuk sebagai produk yang penuh dengan inovasi pada visualisasi atau model, yang dengan kekuatan dari segenap produk Sony seperti yang sudah dijelaskan oleh mas Yodhia Antariksa sebelumnya, dengan membenamkan fitur Cybershot dan Walkman ke dalam sebuah handphone yang pada akhirnya, pelan dan pasti akan maju menantang langsung Nokia.

  15. “Orang Swedia justru memiliki latar kultur yang mirip dengan Jepang yakni : amat mementingkan konsensus, suka bekerjasama (teamwork dan tidak menonjolkan individualisme), serta memiliki respek pada budaya lain.”

    *bukankah ini juga kultur kita sebagai org indonesia….mari indonesia jadilah diri sendiri,bukan yang lain!

    keep up,republik in the middle of no where!

  16. klo kultur orang indonesia yang unggah ungguh dan banyak basa basi itu penginterpretasinya gimana pabila dimplementasikan ke ranah bussines

Comments are closed.