Pertarungan Cita Rasa & Strategi: Kopi Kenangan, Fore Coffee, dan Kopi Tuku

Dalam beberapa tahun terakhir, industri kopi di Indonesia bukan cuma soal secangkir espresso atau latte yang enak, tapi juga soal siapa yang paling cepat, paling cerdas, dan paling dekat di hati pelanggan. Tiga nama besar yang jadi sorotan adalah Kopi Kenangan, Fore Coffee, dan Kopi Tuku. Masing-masing punya gaya, pendekatan, dan target pasar yang berbeda—tapi tujuannya sama: merebut hati para penikmat kopi.

Kopi Kenangan: Skala Masif, Strategi Agresif

Kopi Kenangan bisa dibilang pemain yang paling agresif dalam ekspansi. Berdiri tahun 2017, mereka membidik celah antara kopi instan dan kopi mahal ala kafe besar. Hasilnya? Dalam waktu singkat, gerainya tersebar di mana-mana, dari mal sampai perkantoran.

Strateginya jelas: scaling cepat dengan modal besar. Mereka mengandalkan sistem cloud-based, teknologi pemesanan lewat aplikasi, hingga investasi dari modal ventura besar. Kopi Kenangan bukan cuma jualan kopi, tapi juga membangun ekosistem: ada Kenangan Heritage (kafe dine-in premium), Kenangan Manis (roti), bahkan Kenangan Brands yang mulai merambah F&B lainnya.

Menu mereka simpel tapi kena: Kopi Kenangan Mantan jadi best-seller dengan kombinasi kopi susu dan gula aren yang pas di lidah milenial dan Gen Z. Harganya juga cukup bersahabat, sekitar Rp20.000–30.000-an, membuatnya pas buat segmen pekerja muda dan mahasiswa.

Fore Coffee: Teknologi & Lifestyle-Oriented

Lalu ada Fore Coffee, yang sejak awal mengusung image lebih “techie” dan lifestyle. Berdiri di tahun yang sama (2018), Fore memposisikan dirinya sebagai brand kopi berbasis teknologi dengan pendekatan premium.

Mereka menekankan user experience digital—dari pemesanan di aplikasi hingga loyalty program. Bahkan, Fore termasuk pionir dalam sistem pre-order dan pengantaran instan. Desain tokonya pun estetik dan Instagrammable, cocok untuk konsumen urban yang nggak sekadar cari kopi, tapi juga ambience.

Soal rasa? Fore cukup variatif—dari kopi susu klasik sampai signature drinks seperti Pandan Latte atau menu seasonal yang kreatif. Harga sedikit lebih tinggi dari Kopi Kenangan, tapi masih dalam batas wajar untuk segmen menengah ke atas.

Kopi Tuku: Lokal, Personal, dan Dekat di Hati

Nah, beda cerita dengan Kopi Tuku. Kalau dua brand sebelumnya berbicara skala dan teknologi, Tuku justru menang di keaslian, konsistensi, dan kedekatan emosional.

Didirikan oleh Andanu Prasetyo tahun 2015, Tuku mulai dari kios kecil di Cipete dan meledak setelah Presiden Jokowi mampir dan beli kopi di sana. Tapi popularitas itu tidak membuat Tuku berubah haluan. Mereka tetap fokus pada kualitas, pelayanan hangat, dan keberpihakan pada petani lokal.

Tuku punya pendekatan yang sangat berbeda: tidak agresif ekspansi, tidak buka franchise, dan tidak terlalu gencar iklan. Namun kekuatannya justru di sana—pelanggan merasa lebih “dekat”, lebih otentik. Menu favoritnya jelas: Es Kopi Susu Tetangga. Rasanya khas, harga bersahabat, dan ada sentuhan “rumahan” yang bikin nagih.

Siapa Pemenangnya?

Kalau ditanya siapa yang paling unggul? Jawabannya tergantung dari sudut pandang.

  • Kalau bicara pertumbuhan skala dan bisnis, Kopi Kenangan jelas unggul.
  • Kalau bicara brand experience dan diferensiasi produk, Fore Coffee cukup menonjol.
  • Tapi kalau bicara soal loyalitas pelanggan dan kedekatan emosional, Kopi Tuku masih jadi juara.

Dalam industri yang makin padat dan kompetitif, masing-masing brand punya cara sendiri untuk bertahan dan berkembang. Pelajaran besarnya? Bisnis kopi bukan cuma soal rasa, tapi juga soal strategi, teknologi, dan kedekatan hati.

Dan untuk kamu, para pecinta kopi, ini kabar baik: karena dari ketiga brand ini, kamu bisa pilih mana yang paling cocok—mau yang cepat, estetik, atau penuh rasa personal.

Jadi, kamu #TeamKenangan, #TeamFore, atau #TeamTuku?

Dapatkan 21 Materi E-Learning yang Powerful. Klik disini sekarang juga !!