Mitos tentang Pelanggan adalah Raja

Pelanggan adalah raja, demikian sebuah pepatah terkenal pernah terdengar. Namun kini ditengah kompleksitas interaksi antara produsen dengan pelanggannya, pepatah itu barangkali tak sepenuhnya sahih. Tak semua pelanggan adalah seperti raja yang mesti diperlakukan dengan manis.

Lalu, bagaimana kita bisa mengidentifikasi bahwa seorang pelanggan memang raja yang kudu dipelihara dengan penuh perhatian, mana pelanggan yang cukup dilayani dengan alakadarnya saja, dan mana pelanggan yang justru harus “dipecat” lantaran hanya bikin bete perusahaan?

Beruntung kini kita mengenal sebuah pendekatan bernama customer value analysis. Melalui pendekatan ini, sejatinya perusahaan mencoba melacak jejak transaksi seorang pelanggan dengan layanan perusahaan, dan kemudian dari jejak itu bisa dianalisa apakah pelanggan tergolong good customers or bad customers?

Beberapa waktu lalu misalnya, salah satu bank swasta terbesar di tanah air, yang produk tabungannya paling banyak memiliki nasabah melakukan customer value analysis. Hasilnya cukup mengejutkan : ternyata hanya sekitar 20 % pelanggannya yang memberikan kontribusi profit hingga 70% bagi bank tersebut. Sementara jutaan pelanggan lainnya hanya memberikan kentungan ala kadarnya. Bahkan nasabah yang saldo tabungannya hanya ratusan ribu rupiah acap hanya merugikan : biaya untuk maintain nasabah ini bisa lebih tinggi dibanding keuntungan yang disumbangkan oleh nasabah tersebut.

Kondisi serupa juga dialami oleh para operator ponsel. Banyak operator yang pusing jika mereka memiliki jutaan pelanggan yang hanya menghabiskan 25 ribu rupiah/bulan untuk pulsa telponnya. Sebab biaya untuk mengelola satu pelanggan-nya mungkin bisa habis di angka yang relatif sama. Dus artinya pelanggan itu tak banyak memberikan keuntungan bagi perusahaan oprerator.

Yang lebih repot adalah jika pelanggan yang sudah kecil nilai transaksinya itu hobinya komplain ke bagian customer service. Ini lebih bikin pening : sebab ongkos bagian customer service untuk melayani pelanggan yang rewel itu bisa kian melambung (biaya telpon, biaya tenaga kerja, biaya waktu yang hilang, dll). Dan ini dia : karyawan bagian CS bisa stress jika terus-terusana harus menghadapi pelanggan yang bawel, dan dalam jangka bisa berdampak negatif bagi produktivitasnya.

Itulah kenapa, beberapa waktu lalu, ada sebuah perusahaan telekomunikasi di luar negeri secara resmi “memecat” ribuan pelanggannya. Sebabnya sederhana : pelanggan ini nilai transaksinya kecil, dan sudah begitu, terlalu banyak menuntut.

Uraian diatas memberikan pesan bahwa memang tidak setiap pelanggan itu adalah raja. Secara lebih rinci, kita mungkin bisa membagi jenis pelanggan menjadi tiga : bad customers, good customers dan great customers.

Contoh bad customers ya seperti yang dikisahkan diatas. Nilai transaksinya kecil dan tak banyak memberikan sumbangan profit bagi perusahaan. Contoh lain adalah pelanggan yang suka ngemplang (ini berlaku bagi jenis layanan yang memakai sistem pembayaran bulanan, misal pembiayaan kredit angsuran motor, rumah, atau pembayaran iuran listrik, dll).

Bad customers juga bisa merujuk pada pelanggan yang tidak begitu care dengan prosedur. Contohnya di industri airline : banyak penumpang airline yang masih mengkatifkan BB-nya meski sudah ada di dalam pesawat (pakenya Blackberry, namun perilakunya masih primitif. Doh.)

Bagi para bad customers ini, proses edukasi yang tekun mungkin perlu dilakoni : tujuannya supaya pelanggan menjadi lebih tertib dalam melakukan pembayaran, dan juga agar mereka kian sadar dengan tanggungjawabnya sebagai konsumen yang cerdas (dan tentu termasuk mematuhi prosedur keselamatan bersama seperti contoh di industri airline diatas).

Good customers mungkin adalah mayoritas tipikal pelanggan yang ada. Mereka memiliki nilai transaksi yang cukup memadai, memiliki respek yang win-win dengan para produsen, dan juga relatif memiliki kepedulian dengan tanggungjawabnya sebagai konsumen yang baik (good consumers).

Great customers adalah mereka yang termasuk pelanggan premium, memiliki nilai transaksi yang amat tinggi, dan mampu memberikan sumbangan besar bagi profit produsen. Dalam dunia perbankan, kita mengenal mereka sebagai priority bank customers. Dalam industri airline, kita menyebutnya frequent flyers.

Bukan itu saja, great customers juga cenderung merupakan pelanggan yang loyal, dan mampu membangun long term and mutual relationship dengan para perusahaan penyedia jasa dan produk.

Pihak perusahaan tentu saja berharap agar mayoritas pelanggan mereka masuk kategori great customers (atau paling tidak good customers). Sebab dengan itu, proses pelayanan terbaik dan kinerja bisnis yang cemerlang bisa terus dirajut dan dikembangkan.

~
Note : Jika Anda ingin mendapatkan kaos dengan desain Android, Blackberry, Barcelona dan kaos desain Manchester United yang keren, silakan KLIK DISINI.

Photo Credit : Panascape @flickr.com

Author: Yodhia Antariksa

Yodhia Antariksa

48 thoughts on “Mitos tentang Pelanggan adalah Raja”

  1. ya..saya selalu mengklasifikasi pelanggan dari pelanggan utama ( corporate ) dan pelanggan personal..tapi tetap dengan layanan standar, cuma penanganan dan sistem bayar aja yang di bedakan..

  2. kata sam wallton pendiri WallMart “kita semua memiliki atasan yang sama. yakni pelanggan. mereka dapat memecat kita kapan saja, dengan membeli di tempat lain”.
    .
    hanya saja tidak semua pelanggan sama kualitasnya… meskipun semua pelangan adalah raja, tapi tidak semua raja harus dilayani dengan sama. ada raja yang harus betul betul dilayani, ada yang sekedarnya saja.
    .
    tugas anda adalah memperbanyak & mempertahankan populasi good customer. karena inilah pelanggan anda yang paling berharga. jadikan pelanggan setia ini betul-betul sebagai raja anda. perlakukan dengan baik.
    .
    aturan 80/20 dari 100 pelanggan anda. mungkin hanya ada 20% yang merupakan good costumer. carilah mereka.
    carilah 20% pelanggan terbaik anda

    SALAM SAYA
    ONO MUSFILAR

  3. untuk mencari 20% pelanggan dengan kontribusi 80% diperlukan usaha yang terus menerus, beruntung saat ini sebagian perusahaan sudah menggunakan CRM untuk ‘mengurus’ lebih serius pelanggan2 tersebut. tapi walaupun tool sudah ada, tetap yang menjadi pengambil keputusan dan eksekusi di lapangan adalah manusia, yang masih tetap harus dibekali dengan budaya layanan

  4. Jika sifatnya pekerjaan publik, maka hal ini tidak dapat 100 % diterapkan, karena pemerintah adalah pelayan publik, demikian juga dengan perusahaan2 pemerintah seperti BUMN dan BUMD, seperti PLN dan PDAM. Jika pelangang good customers or bad customers ini diterapkan jadi bermasalah. terima kasih mas atas sarapan pagi dengan inspirasinya

  5. apakah berarti bank swasta tsb harus “memecat” 80% nasabahnya yang dianggap kurang menguntungkan tsb..??

    Bisa jadi karena hal ini ditimbulkan bukan dari faktor kesengajaan nasabah tsb (misalnya dana lagi cekak), mungkin suatu waktu nasabah tsb menjadi seorang pengusaha, bisa memberikan keuntungan yang tidak dibayangkan oleh bank tsb.

    Intinya, semua bisnis itu ada resikonya, kalau tidak mau beresiko yang jangan buka usaha, toh dengan adanya 80% nasabah yang dianggap “kurang menguntungkan”, masih saja bank tsb menjadi bank swasta yang cukup besar dan menghasilkan profit yang luar biasa…

    tergantung dari pengelolaan saja, bukan hanya dipandang dari sudut nasabah…begitu juga dengan perusahaan yang lain, jadi tetap PEMBELI ITU ADALAH RAJA…

  6. Menurut saya, bagaimanapun pelanggan (konsumen) berhak mendapatkan yang terbaik dari produsen.

    Bila konsumen bawel, biasanya itu ada sebabnya, misalnya layanan atau produk yang dibeli tidak sesuai dengan promosi yang digencarkan oleh produsen.

    Terkadang hal-hal semacam itu disebabkan oleh pihak produsen sendiri yang membuat program yang “mengecoh” konsumen hingga akhirnya konsumen merasa dirugikan.

    Atau bisa juga karena ketidakmampuan produsen (perusahaan) dalam membina karyawannya sehingga para karyawan itu kurang cermat atau malas dalam menyampaikan keterangan produk2 atau program2 promosi kepada konsumen. Akibatnya, terjadi salah paham dan konsumen pun merasa dirugikan.

  7. Saya setuju dengan saudara SANTO AS, namun demikian idealnya seorang “Raja” harus bisa menjadi tauladan rakyatnya. Penting bagi para “Raja” ini untuk intropeksi diri, jika seorang nasabah suatu bank tidak bisa memberikan profit hanya karena uang simpanannya CEKAK ya minimal jadilah nasabah yang berbudaya tinggi, tak banyak komplen dan hal-hal lain yang tidak bikin stress petugas CS bank ybs.

    Terima kasih sarapan paginya,
    Regards,
    Masmur

  8. Betul Pak Masmur, jangan mentang2 jadi raja terus bisa seenaknya saja, ya masih dalam batas toleranlah kalau komplain..

  9. ehhm bad customer….”calon customer” saja sering saya temui yang bawelnya luar biasa,

    tunjuk sana sini produk yang di pajang, minta dicarikan item ini itu, sms berpuluh-puluh kali, namun setelah itu menghilang entah kemana….tapi itulah seni berdagang di dunia maya…hehehhehe….salam

  10. Iya saya sependapat..artinya sebagai pelanggan juga kita bisa memeberikan value lebih jika ingin kita terus bisa menikmati layanan. win-win solution deh

  11. Saya kurang setuju dengan adanya program untuk “memecat” pelanggan karena mereka adalah bad customer. Sejahat dan sebawel apapun pelanggan adalah tetap pelanggan, dan mereka sudah mau mengunakan produk kita berarti ada unsur “trust” dalam mengunakan produk kita, unsur ini merupakan amanah bagi kita sehingga kita pun perlu melayani mereka dengan baik.

    Justru kalo gak ada bad customer ini bagaimana perusahaan bisa melakukan evaluasi dan improvement terhadap pelayanan dan produk serta sistem yang berjalan di perusahaan. Oleh sebab itu tantanganya adalah ayo kita berikan yang maksimal kepada setiap pelanggan kita dan dengan begitu kita bisa mereduksi Bad Customer dan meningkatkan mereka menjadi Good atau bahkan Great Customer.

    Terima kasih artikel ini sungguh menginspirasi.

  12. Wah, kok kebetulan sekali ya. Barusan kemarin saya pas ke ATM iseng ambil brosur sebuah bank syariah. Di brosur itu ditunjukkan bagi nasabah premium akan menerima fasilitas lebih, disediakan lounge untuk mereka. Itu mungkin salah satu bentuk ‘merawat’nasabah potensial. walaupun tidak disebutkan secara eksplisit bahwa nasabah yang biasa, akan menerima layanan yang standart saja.

    @ Santo AS (7): Wah, sepakat sekali. Bisa saja nasabah yang sekarang termasuk nasabah yang ‘bikin ribet’, dikemudian hari usahanya berkembang lalu naik kelas jadi nasabah ‘potensi’ premium. Jangan-jangan karena sekarang layanan yang diterima ‘asal saja’ jadi ngasih bad image bagi bank itu lalu beralih ke bank sebelah. Wah, berarti naik level layanan bisa saja ya kalau nasabah naik klasifikasi kontribusinya.

    Saya jadi inget waktu msih awal masuk kuliah mulai ‘mbanking’ (baca: belajar berurusan dengan bank atas nama diri sendiri). Saya yang dari kota kecil terkaget-kaget dengan layanan di bank yang berkantor di kampus. Saya yang masih cupu begitu tapi menerima layanan yang sangat baik. Sebetulnya standart saja sih, tapi waktu itu sudah berasa premium. Sampai sekarang saya masih memiliki image yang positif pada bank itu.

    Terkait dengan nasabah coporate, nasabah UKM dalam klasifikasi berdasarkan besarnya kontribusi terhadap profit, kira-kira diposisi mana ya? Mengingat dulu waktu krismon, justru dana nasabah ini yang (saya dengar) dananya lebih stabil dan mampu menyokong bank-bank besar?

    Btw, customer dan consumer itu bedanya dimana? He…he…maaf,ini belajarnya otodidak banget…Kalau ada yang salah mohon diluruskan.Segala ilmu dan masukan ditunggu…

    Salam

  13. Mungkin pernyataannya tepat tapi contohnya tidak pas

    Perusahaan telekom : mengapa mereka punya banyak pelanggan yang hanya menggunakan 25 ribu rupiah/bulan?
    Bank: Mengapa mereka punya jutaan pelanggan yang hanya menyisakan sedikit saldo di tabungan?

    Itu kan buah strategi mereka sendiri. Genjot penjualan dengan iming-iming harga murah, banyak bonus.
    Terus sekarang, setelah pelanggan berdatangan dianggap sebagai pengganggu?

    Kalau ada banyak pelanggan yang buruk, langkah pertamanya bukan memecat pelanggan. Tapi perusahaan harus merefleksikan strategi marketingnya. Ubah! Sesuaikan agar membidik segmen yang tepat
    Bila strategi marketing berubah dengan sendirinya pelanggan akan menyesuaikan kok

  14. TErimakasih atas ulasannya. Sangat benar sekali, ada Good Customer and Bad Customer. Sebagai perusahaan yang memiliki visi profit, harus mencari good and great customers. Semua marketer dan operation div harus mengetahui hal ini…..

  15. “itulah kenapa, beberapa waktu lalu, ada sebuah perusahaan telekomunikasi di luar negeri secara resmi “memecat” ribuan pelanggannya. Sebabnya sederhana : pelanggan ini nilai transaksinya kecil, dan sudah begitu, terlalu banyak menuntut.”

    trus gmn klanjutan perushn diatas? apakah lbih moncer ato justru sbaliknya??

  16. Yoga (19) : tampaknya menjadi lebih baik…..beban berat yang tadinya habis digunakan untk melayani bad customers yang tidak begitu profitable, kini bisa dialokasikan untuk serve good customers.

  17. bener juga sih bang Yod… sekarang mungkin lebih tepat kalau pelanggan kita ibaratkan adalah mitra dan bukan Raja. Positioning ini memberikan kita posisi tawar yang lebih baik. 🙂 Selamat Berbuka Puasa….

  18. Menurut saya, kita melihat dari dua pihak, bukan hanya customer yang kita perbincangkan dalam hal ‘bad or good’ tapi perusahaan itu juga..

    mungkin “be a good company for good costumer” bisa menjadi suatu tambahan ..
    salam
    ..

  19. yah walau bagaimanapun,,,, perusahaan tidak mungkin dapat hidup tanpa ada pelanggan.
    .
    hanya saja kualitas dari pelanggan pasti berbeda-beda
    .
    tapi strategi dari perusahaan, memiliki peluang untuk mengubah segalanya.
    .
    kita harus jeli melihat keadaan ini. good dan bad customer, memiliki keunggulan masing-masing. memiliki kebutuhan masing-masing, memiliki cara penanganan masing-masing.
    .
    tantangan kita adalah….. bagaimana menyiasati para pelangan yang buruk menjadi keuntungan buat kita.
    .
    terus lakukan perbaikan, di segala hal….. inilah yang akan membuat lebih banyak good customer berdatangan…. dan bad customer melunak, berubah menjadi pelanggan yang menguntungkan kita.
    .
    salam saya
    ONO MUSFILAR

  20. Pada prinsipnya pelanggan tidak selalu benar,

    namun demikian yang pasti pelanggan selalu penting,

    setidaknya semakin besar pelanggan prospek untuk mendapatkan aset yg lebih baik juga akan semakin besar.

    sehingga sayang sekali kl kita sampe memecat pelanggan kita sebelum sempat mengambil prospek aset dari mereka.

    Salam,
    Wahyudi
    http://www.whjobs.info

  21. Selamat pagi,

    Menurut saya, apapun itu, yang namanya pelanggan tetap pelanggan. Kalo dinilai hanya pada saat transaksinya kecil, belum tentu selamanya mereka seperti itu. Misal : pelanggan operator seluler.

    Sebuah operator yg terkenal memiliki 100 juta pelanggan, namun bila harus memberikan pelayanan alakadarnya pada pelanggan baru yang hanya membeli pulsa 25 ribu rupiah bisa saja menjadi kekuatan terbesar dalam merusak image perusahaan tersebut (saya contoh korbannya, sudah tetap ingin mencoba setia dengan menambah 150 ribu buat unlimited, tapi hasilnya nihil…coba bayangkan maunya apa??? )

    Jadi kalo kita memilih2 pelanggan, bisa jadi pelanggan juga memilih2 produsen yang akan di pilih. Dan bila kita mengecewakan pelanggan, jangan harap masa depan perusahaan itu secerah hatinya yg telah memecat ribuan pelanggannya.

    Kekuatan mulut bisa berdampak besar dalam berbisnis. Saya misalnya, hanya berbekal facebook, saya berhasil membuat bengkel mobil JASUTRA ( cikarang ) memiliki image buruk dalam menjadi bengkel andalan di dareah bekasi.

    Bengkel ini telah “menembak” harga pada saya untuk biaya jasa. Sungguh mengecewakan bila jasa memperbaikin bushing steer (pake bongkar dudukan steer dan tempat power steering=100rb) lebih murah ketimbang memasang sayap (dan dekat reck end=240rb )

    Jumlah friend FB saya ada 678 orang, di kantor saya ada 3000 karyawan. coba bayangkan kalo ada customer yg kecewa dan bercerita tentang ini kesemua orang ?

  22. belakangan saya tau bahwa bengkel JASUTRA ini memiliki kepala bengkel yang suka mainin harga. Bagi anda yang tinggal di Lippo Cikarang, lebih baik ke Bahagia Motor atau Bengkel yang di ruko Thamrin (pujasera sirkus)

  23. suatu ketika, saya menghadiri seminar Pak Rhenald Kasali…
    intinya, beliau menyatakan bahwa itu adalah soal pemahaman.

    ya, memang kalo “pembeli sebagai RAJA”, maka perusahaan harus selalu ‘perfect’ memberikan layanan best of the best-nya.
    lantas, apakah itu win-win solution? kita harus ingat bahwa perusahaan butuh pelanggan, dan pelanggan butuh perusahaan. itu bahasa simple-nya..

    so, menurut Beliau, lebih tepatnya kalau pembeli, atau pelanggan disebut sebagai “partner” untuk keuntungan bersama, baik untuk perusahaan, maupun untuk para pelanggan.
    thanks.

  24. saya setuju sekali dengan artikel ini,baca juga buku: dealing customer from hell.

    tidak semua customer adalah raja

    tugas kita adalah mencari pelanggan sejatipelanggan loyal dan setia yang membangun relationship dgn saling menghargai untuk kemudian kita servis abis.

    ini pengalaman saya,ketika anda mendapati cust from hell td,semua effort,usaha,solusi atau servis terbaik anda tidak akan pernah bisa memuaskan mereka,yang ada adalah waktu,tenaga,pikiran dll untuk customer setia anda menjadi tersita krn sibuk dgn cust from hell tadi, sehingga customer sejati anda akan kabur.

    so..jangan heran kalau pelanggan juga bisa kita dipecat 🙂 it works with me..ketika sudah mendapatkan cust yang setia…siap-siap mereka akan menjadi evangelist anda !

  25. Bila kita memiliki produk/ service yang baik, tidak perlu takut apabila kita sampai harus “memecat” pelanggan. Bakal selalu ada yang akan menggantikan mereka.

    Contohnya situs ini saja. Kalau diperhatikan, Bung Yodh selaku owner situs ini biasanya hanya menanggapi sekitar 5% komentar yang masuk (kali ini saya hitung malah hanya 3%). Tapi jelas, setiap tulisan yang keluar saban senin akan mendapat komentar yang cukup banyak.

    Bukankah demikian Bung Yodh?

    Salam
    Robin

    P.S kalaupun komentar saya kali ini tidak ditanggapi, saya akan tetap jadi pelanggan yang setia.

  26. Doni (13) dan Susi (31) : dua kasus Anda tipikal yang ditemui oleh para pemilik bisnis online.

    Memang kalau Anda punya bisnis, Anda bisa tau benar betapa kadang kita menemukan customer yang “buruk”. Persis kata Susi. Pelanggan semacam ini bahaya karena akan “menghabiskan” energi dan sumber daya kita, yang mungkin lebih baik diberikan pada pelanggan lain yang baik.

    Jadi kalau kita punya BISNIS SENDIRI, memecat customer yang bad adalah hal yang wajar. Kalau kita belum punya bisnis sendiri, memang kita belum punya pengalaman sebagai produsen. Hanya sebagai konsumen.

  27. Ternyata antara pelanggan dan penyedia jasa/barang memiliki hubungan yang menarik, saya tidak terlalu mengerti tentang bisnis, tetapi informasi yang anda berikan dan saya baca saat ini mungkin berguna nantinya. Thanx’s

  28. Iya juga sih, ga selamanya pelanggan adalah raja, kalo tingkahnya udah kelewatan harus ambil aksi, toh masih banyak pelanggan lain. Jadi lebih baik bikin usaha yang orang-orang butuh, jangan sampe pengusaha yang butuh, alias mengemis ke pelanggan.

  29. Betul, mas, saya punya pengalaman walaupun pelanggan itu saudara atau teman dekat sekalipun, kalo bikin pusing and puyeng, harus di pecat saja.
    Supaya perusahaan semakin sehat dan bertumbuh, syalom 🙂

  30. Saya setuju edukasi yang terus menerus bang…..kalo memecat mah jadi tambah berabe urusan…perkembangan mitos pelanggan bukan lagi raja mungkin kali….mitos pelanggan adalah raja beralih menjadi pelanggan adalah partner

  31. Kadang ada juga pelanggan yang awalnya nyebelin tapi berubah menjadi pelanggan yg paling menguntungkan….

    yang penting bagaimana cara memprospek mereka ,,sekarang persaingan bisnis sangat ketat bung,,pembeli sekarang memang selalu menang untuk menuntut di”raja”kan.

    Kalau begitu kenapa operator ponsel berani banting harga kalau tdk untung?…

    seolah mereka menjaring pelanggan sebanyaknya tanpa harus peduli siapa calon pelanggan mereka…

  32. saya punya banyak bad-costumer:
    – suka menghina produk
    – suka bandingin dengan produk lain
    – kalo nawar ga rasional
    – suka menggurui
    – cerewetnya minta ampun
    pusing kalo ketemu konsumen kaya gini!!!

  33. mungkin konsep yang dimaksud adalah Customer Equity, karena pengertian customer value lebih pada sudut pandang customer mengenai nilai produk

  34. Artikel dan comments yang sangat menarik lumayan untuk menambah wawasan saya dalam berbisnis.

    Jadi disini dapat disimpulkan bahwa strategi dalam melayani customer sebaiknya memang dengan hati tulus dan ikhlas dan dalam hal ini kita juga harus memberikan penjelasan yang gamblang pada customer, begitu pula dalam menghadapi customer kita juga harus tanggap akan kebutuhannya serta kita harus cerdas menyikapi complain dan cermat dalam menghadapi customer mengingat latar belakang pendidikan serta budaya setiap orang itu berbeda.

    Memelihara pelanggan itu lebih di rekomended ketimbang “memecat”, meski mungkin “memecat” itu juga menjadi salah satu bahkan sebuah usaha terakhir yang bisa kita lakukan sebagai pebisnis, karena memang bisa jadi cstmr yang rewel atau cstmr yang di awal berbisnis dengan kita belum memberikan profit yang besar tapi bisa menjadi “Great CSTMR” di masa yang akan datang…seperti seorang anak kecil yang nakal yang bisa saja di kemudian hari menjadi seorang pemimpin yang bijaksana.

    terima kasih banyak bung Yodhia Antariksa dan semua rekan yang hadir disini (salam kenal), kalau ada waktu silahkan kunjungi juga blog saya di https://indonesianlady21century.blogspot.com atau kunjungi juga Fans Page saya di https://www.facebook.com/indonesianlady21century

    Salam Dahsyat, MERDEKA !!!

  35. Sampai kapanpun customer itu adalah raja, mau raja kecil atau raja besar ya tetap harus dilayani doung, toh perusahaan juga gak bisa survive tanpa keberadaan “raja-raja”itu kan.

    Kalo penjualannya menurun, ya strategi marketingnya harus dibenahi, bukan rajanya disuruh pergi, toh raja-raja nyebelin semacam itu akan pergi dengan sendirinya ke tempat/produk lain tanpa perlu susah-susah diusir.

    Hak-hak konsumen di Indonesia sendiri masih banyak yang terabaikan, bagaimana mau memperlakukan sebagai raja kalo rajanya sendiri dizolimi? Lalu, jika konsumen jadi raja, produsen jadi apa?

    ya dayang-dayang doung, masa jadi satpam, oleh karena itu layani raja dengan sebaik-baiknya, kalau si raja masih tidak puas juga, tanpa perlu diusir dia juga akan cari dayang yang lain.

Comments are closed.