3 Penyakit Sosial yang Mematikan dalam Dunia Maya (dan Anda Semua adalah Korbannya !)

Pelan namun pasti, era digital yang serba online, serba connected, terasa makin lekat dengan keseharian kita. Internet dan dunia maya mungkin telah mendedahkan begitu banyak keajaiban. Membentangkan arena tanpa tepi dimana kita terus merajut komunikasi dan interaksi.

Namun dibalik kehidupan serba online itu, bayang-bayang kelam terasa terus mengintai. Disitu hadir virus penyakit sosial (social sickness) yang terus menghantui. Dan tanpa sadar, virus itu terus menyelinap dalam raga kita.

Apa saja jenis penyakit sosial dalam dunia maya itu? Dan adakah kita sesungguhnya telah jatuh dalam jebakan penyakit itu?

Tulisan ini sejatinya di-inspirasi oleh tulisan Tere Liye yang dimuat di harian Kompas Sabtu lalu, dengan judul Penyakit Sosial di Dunia Maya. Saya mencoba mengeksplorasi tema itu dengan lebih detil dan seperti biasanya, menyajikannya dengan renyah untuk Anda semua : the citizen of Internet World.

Dalam tulisan itu, Tere menyebut adanya enam jenis penyakit sosial dari dunia maya. Disini saya hanya akan mengulik tiga diantaranya. Baiklah, mari kita telusuri satu demi satu. Oh ya, silakan diminum dulu teh pocinya.

Internet Sickness 1 : The Death of Thinking Skills. Meruyaknya dunia online, dan menjamurnya social media sites (think FB and Twitter and Youtube) mungkin justru telah membius thinking skills kita.

Status pendek di media social membuat kita terbiasa membaca secara ringkas dan instan. Insting kita untuk mau menekuni buku-buku serius dan panjang (yang amat dibutuhkan untuk membangun keruntutan pola pikir), pelan-pelan disapu bersih oleh ledakan status social media yang serba pendek dan dangkal. (Saya pernah menulis tragedi memilukan ini DISINI).

Generasi digital a la smartphone dan Android pada akhirnya mungkin hanya tergelincir menjadi “generasi gadget yang dangkal daya jelajah pengetahuannya”.

Buku-buku tebal terasa kian asing dalam era digital yang serba riuh oleh kicauan (noisy) dan berita-berita pendek online yang sarat sensasi. Dan dengan itu, tradisi menulis yang kokoh (yang hanya dan hanya bisa dibangun lewat ketekunan membaca) menjadi redup. Layu dan lalu semaput di pinggir jalanan.

Internet Sickness # 2 : The Rise of Digital Robbers. Benar sodara-sodara, jagat online sukses melahirkan maling-maling digital.

Sorry to ask : berapa lagu yang ada di PC, flashdisk, atau henpon Anda itu yang legal? Faktanya, data menunjukkan 80% lagu digital yang ada dalam gadget Anda itu adalah produk rampokan (di-download tanpa seijin pemilik hak ciptanya).

Dan itu sungguh bikin getir : perampok-perampok lagu digital itu bukan orang miskin dan kere. Mereka adalah orang-orang kantoran yang berdasi. Mereka saling copy paste file lagu via flash disk, dan pura-pura tidak tahu kalau lagu digital itu sebagian besar ilegal.

Dalam jagat online, berserakan ribuan lagu hasil rampokan dan juga ebook-ebook ilegal (diterbitkan tanpa seijin penulis aslinya). Para surfer yang bermental kere (maunya serba gratisan melulu) kemudian mendownload lagu-lagu dan ebook ilegal itu dengan santai.

Ladang pembantaian hak cipta yang memilukan terjadi secara masif. Luka dan tangis para pemegang hak asli karya itu berceceran dimana-mana. Dan pelaku pembantaian itu — baik yang mengupload ataupun yang tanpa merasa bersalah mendownload — adalah perampok-perampok digital dalam era modern.

(Kita sama sekali tidak berhak mengutuk koruptor sebab kita semua juga adalah maling-maling digital).

Internet Sickness # 3 :  Internet is a Productivity Killer. Berapa jam Anda online setiap harinya? Mungkin 2, 3 atau 5 jam. Dan dengan koneksi online via smartphone, maka kegiatan online itu pasti akan kian menyita banyak waktu kita.

Sayangnya, mayoritas online time spending itu hanya dihabiskan sekedar untuk “konsumsi informasi” : cek berita, cek status, lihat youtube, lalu klik link ini, link itu, dan seterusnya.

Kalaupun memproduksi konten, itu hanya sebatas update status yang isinya cuman begini : selamat ulang tahun buat kamu yang manis. Atau siang nanti baiknya makan dimana ya. Prettt.

Faktanya, gemuruh gelombang digital hanya menempatkan kita sebagai “passive digital consumers”. Kita menghabiskan ribuan jam di depan screen hanya untuk “mengunyah” tumpukan informasi yang tampaknya menggoda, namun acap tak punya substansi.

Information overload telah menyergap raga kita. Dan duka terasa kian perih karena “informasi yang terus meluber” itu juga kebanyakan bersifat dangkal.

Lalu, kalau kita menghabiskan ribuan jam di depan screen, namun hanya sekedar sebagai konsumen pasif, dan acapkali informasi yang kita kunyah itu tidak memberikan dampak positif bagi produktivitas kerja, bagi kehidupan finansial dan karir kita, jadi BUAT APA?

Itulah tiga jenis penyakit sosial dalam jagat maya. Tiga-tiganya bersifat mematikan.

Yang pertama, mematikan minat membaca buku serius dan kemudian daya nalar dan critical thinking skills.

Yang kedua, mematikan nafkah pengarang musik yang lagunya terus dicuri oleh maling-maling digital (yang berkeliaran di sudut-sudut kantor yang megah).

Dan yang ketiga, mematikan produktivitas lantaran we waste so much of our online time.

Selamat bekerja teman. Segera matikan koneksi internet Anda.  Dan lalu tuntaskan semua tugas yang ada.

Photo credit by : Leland @flickr.com

Author: Yodhia Antariksa

Yodhia Antariksa

35 thoughts on “3 Penyakit Sosial yang Mematikan dalam Dunia Maya (dan Anda Semua adalah Korbannya !)”

  1. Termasuk blogwalking yang kemudian copy paste nggak Pak?

    miris … tapi memang begitu, kadang saya juga copas dari blog ini untuk konsumsi pribadi …. Maaf ya Pak Yodhia …

  2. Mudah2an membaca blog ini dan blog2 sejenis nggak masuk penyakit yang no 3 🙂

  3. utk produk-produk digital yang dari Indonesia, sy biasanya cenderung untuk beli yang legal..
    soalnya kalo yang illegal berat juga nanti tanggung jawab di akhirat..:)

  4. Selamat Pagi Pak Yodhi,

    Saya memang sering sekali mendengar alasan yang pertama, namun tak sepenuhnya setuju. Adakah hasil penelitiannya, begitu?

    Menurut saya, itu kembali kepada orangnya masing-masing, apakah merupakan penikmat informasi dengan media buku-buku tebal atau tidak.

    Saya adalah salah seorang maniak internet, tapi saya tidak merasa mengalami penurunan dalam hobi membaca buku atau menganalisa isinya.

    Ya, saya juga hobi baca buku-buku yang agak berat. Saya memang kecanduan twitter dan aktif beropini di beberapa situs yang sesui dengan hobi saya, tapi, entah bagaimana, saya merasakan kemampuan menulis saya meningkat karena suka beropini dan bertukar pikiran lewat forum-forum.

    Hmm, saya tidak tahu, mungkin akibat pengaruh kesukaan saya membaca juga .. Bahkan kalau pintar-pintar, sharing dan aktif di forum-forum internet mengasah kemampuan berpendapat, menurut saya sih. Beropini dengan suara lantang di depan banyak orang merupaakan momok bagi sebagian orang dan tidak semua bisa melakukannya dengan baik.

    Karena hal ini, sebagian orang jadinya tidak mau capek-capek mempunyai opini sendiri dan hanya ‘ngikut’ opini terbanyak. Dengan belajar mengungkapkan pendapat lewat media tulisan di internet terlebih dahulu, setidaknya mengasah diri untuk belajar berpendapat/beropini sendiri terlebih dahulu.

    Kalau terbiasa mempunyai opini sendiri, sedikit demi sedikit akan belajar mengungkapnya dengan baik, melalui media tulisan/online, maupun bersuara dalam sebuah diskusi face to face.

    Yang kedua, benar, dan saya salah satu pelakunya (jujur), hehehehe. Hmmm, menurut saya, ini lebih kepada aji mimpung dan sistem yang belum populer saja 🙂

    Saya sendiri bukannya tidak mau membayar atau bagaimana, tapi menurut saya, sistem pembayaran/pembelian ebook/lagu/video yang belum populer. Orang mungkin akan mau-mau saja membayar kalau tidak mahal-mahal amat, itu yang pertama.

    Yang kedua, bagaimana caranya agar sistem jual beli digital ini terkesan ‘gampang’ dan ‘aman’. Kebanyakan sistem jual/beli online menggunakan kartu kredit (setahu saya, tidak begitu tahu realitanya, tapi ‘terkesan’ seperti ini), dan tidak semua orang memakai kartu kredit.

    Kemudian, saya beranggapan (dan mungkin sebagian orang), memakai kartu kredit untuk urusan beginian ini agak repot.

    Siapa tahu ada charge ini dan itu nya yang diluar harga yang tertera, dan semacaam itu lah. Andaikan sistem pembayaran/pembelian lagu-lagu ini ‘jelas’ dan ‘gampang’, serta tersosialisasi dengan baik, saya kira orang-orang takkan terlalu keberatan untuk membayar.

    Maksud saya, jauh lebih gampang untuk menyodorkan flashdish kepada rekan-rekan atau mencari link download ilegal yang banyak bertebaran di google atau dimanapun, selama kita ‘ahli’ untuk menemukan daripada harus berurusan dengan kartu kredit yang ribet dan siapa tahu ada charge berlebih yang kita nggak pahami, sehingga merasa terkecoh.

    Oke deh, yang sudah kerja dan punya kartu kredit. Yang nggak punya gimana?

    Yg masih pelajar gimana? Merepotkan sekali kalau harus menunggu ortu pulang kerja atau pinjam sana-sini dulu, harus mencocokkan waktu dengan mereka, atau meminta persetujuan mereka dahulu. Jauh lebih simpel menuju mbah google.

    Dan, saya tidak terlampau setuju sih kalau kebanyakan pelaku nya adalah pekerja kantoran. Yang mereka download tak seberapa sih menurut saya, kalau hanya sekedar lagu-lagu se-flashdish.

    Yang demen dengan artis-artis tertentu yang hanya bisa dilacak lewat internet, (kawula muda, anak SD-Kuliah), biasa melacak artis idolanya setiap hari lewat youtube (performance mereka setiap hari) dan mendownload-nya (tidak ada cara legalnya, tentu, memaang perusahaan si artis kadang-kadang rilis DVD performance, tapi isinya cuma performance terbaik, yang namanya fans demen koleksi kan?

    Kita mau SEMUA performance, bukan hanya yang terbaik-terbaik saja 🙂

    Tapi, bahkan kami yang kere-kere ini sekalipun tetap bersedia membeli single digital/album sang artis (kalau mampu) sebagai bentuk dukungan. Saya sih tak bisa membayangkan kalau semua hal yang saya mau ditonton di youtube harus bayar atau bagaimana, haduh, youtube kan media sharing bagaimanapun ya.

    Tapi, youtube sekalipun udah ada sistem biar ga gampang dibajak kok.

    Kayak misalnya kalau ada yang upload video suatu acara tertentu, bakalan cepat dilacak oleh stasiun TV yang bersangkutan, sehingga akan diblok dalam waktu cepat.

    Si uploader bakalan kena suspend dari youtube-nya kalau keseringan melakukan hal yang sama. Begitu juga dengan akun-akun lainnya macam media**** dan lain-lain. Link-nya cepat sekali expired, bentuk pencegahan terhadap digital robbers saya kira XD.

    Yang ketiga, benar banget! Internet itu pembunuh produktivitas! Saya memang kecanduan online dan kesusahan dengan bagaimana bisa mengaturnya, hahaha, apalagi saya adalah orang yang berjenis ‘kepo’. Apalagi kalau sudah tengah malam, enak banget kepoin apapun yang bisa dikepoin.

    Tapi, mengenai jenis informasi-nya apakah bersifat ‘dangkal’ atau tidak, itu tergantung kepada pribadi masing-masing.

    Tidak semua orang yang demen update status macam ‘ngantuk’, ‘makan dimana ya?’, atau sebagainya. Saya sendiri sering memperlakukan twitter sebagai ‘buku diari’ saya dan tak pernah peduli apakah saya punya follower atau tidak.

    Saya sering sekali, kalau udah malam biasanya, kepikiran apa kek gitu, misalnya buku-buku yang saya baca, atau saya biasanya punya kebiasaan menghubung-hubungkan ini dan itu, entah buku yang sayan baca dan hubungannya dengan realita, atau dengan buku yang lain atau semacamnya

    (hehe, otak punya hobi menghubung-hubungkan apa saja yang bisa dihubungkan, ya kan Pak? 🙂 dan sharing pendapat di twitter.

    Kadang banyak yang menanggapi dan terjalinlah sebuah diskusi, tapi sering juga tidak ditanggapi 🙂

    Bagi saya itu menyenangkan, dan kalau ada yang melakukan hal yang sama dengan saya, saya juga jadi banyak menemukan ilmu-ilmu baru.

    Jadi, tergantung bagaimana setiap orang memanfaatkannya, kalau saya pikir 🙂

    Mengganggu produktifitas memang iya, tapi informasinya apakah dangkal atau tidak, kembali ke pribadi masing-masing juga, suka informasi yang jenisnya apa.

    Informasi itu memang sesuatu hal yang misterius, bukan begitu pak? Saya ingin mengetahui semua hal, karena itu saya menyukai banyak informasi dimanapun. Dalam hal ini, media sosial banyak memuat informasi yang tidak tersedia secara legal di situs2 formal/televisi, dan itulah yang saya suka.

    Tapi, kalau tidak hati-hati, kita memang akan terjerumus kedalam informasi-informasi yang dangkal. Jadi, tergantung kitanya.

    Bahkan, informasi yang dangkal pun kadang-kadang berguna, kita bisa jadi tahu perilaku umum manusia/konsumen (orang dengan pekerjaan/kelas ekonomi ini dan itu, biasanya makan dimana, cara berpikirnya bagaimana, karakternya, wataknya), dan pengetahuan seperti ini bisa jadi berguna di masa depan.

    Kalau kita bisnis misalnya, kita tahu kepada forum apa atau jenis netizen bagaimana yang potensial jadi market kita 🙂

    Oh ya, Pak. Kalau ada, boleh tu, disharing, mengenai bagaimana caranya agar internet tidak menurunkan produktifitas (kalau ada caramya) 🙂

    Oke, sekian dari saya.

    Selamat Pagi

  5. Sangat setuju Pak, Namun … , perlu juga dilihat sisi positifnya kan dengan kehadiran dunia digital sekarang ini. Kembali kepada personnya untuk dapat menjaga keseimbangan …agar terhindar dari penyakit sosial yang mengerikan seperti dipaparkan oleh penulis.

    Generasi saat dan kita sendiri ini tidak dapat terlepas dari dunia digital ini bukan …. perubahan jaman, kita tidak ikuti perubahan ini ..akan ketinggalan dan menjadi manusia GAPTEK. Menjaga keseimbangan dengan baik menjadi Kuncinya.

    salam

    David – Plaza Powerbank
    “Tempat terbaik – terlengkap dan termurah”

  6. Ibarat pisau, tergantung yang memakainya, saya rasa lebih banyak manfaat positif daripada negatifnya, dan seyogianya kebijaksanaan dan kedewasaan kita dalam berpikir dan bertindak bisa menjadi salah satu rambu-rambu dan pedoman. Semoga.

  7. Artikel yg bagus mas.
    Tapi soal gratisan lagu, saya rasa itu mengimbangi tidak adilnya sistem ekonomi yg terlalu menguntungkan musisi seperti halnya pemain bola kelas internasional.

    Kalau klik sana sini emang seperti merokok, habis langsung buang. Habis baca langsung lupa.

  8. Sy setuju comment Tiffany. Pd prinsipnya smua kembali pd pribadi masing2. Utk orang dewasa mungkin sudah bisa memilah dan punya prioritas.

    Yg menjadi kekhawatiran adl utk generasi Y /instant yg gk mau susah pengen cpt senang.

    Ada yg dipandang perlu utk membatasi atw membimbing mereka bagaimana mengelola penggunaan media digital menjadi sesuatu hal yg positif dan bermanfaat utk dirinya dan orang lain.

  9. terima kasih atas ulasannya. mengenai perampokan digital memang sudah akut, bahkan seperti hal yg lumrah. dikataka hal yg wajar, padahal besar sekali dampaknya terhadap kreatifitas dan Keiinginan para seniman untuk memproduksi karya2 bagus

  10. tambah satu aja..penyakit game online yang mewabah dikalangan anak (sd, smp) sampai lupa belajar dll.

  11. Selamat pagi pak Yodia,

    Saya pikir apa yang bapak buat ada benarnya ada juga tidak sependapat,

    Begini pak Yodia, dari saya kecil sampai sma tahun 1994 belum ada yang namanya internet dan apapaun yang namanya email atau fasilitas sosial lainnya mungkin baru ada yang namanya telegram.

    jadi kalau setelah era itu berlalu muncullah namanya teknologi yang lebih elite sekarang ini, otomatis akan membawa perubahan dalam setiap mindset berpikir dan bertindak yang akan menggunakan teknologi serba cepat

    Bahkan anak kecil,remaja yang kekurangan dana( alias uang jajan pas-pasan) dibela-belain untuk ke warnet yang sejamnya 2000 rupiah.

    Apa ini bukan dampak dari kemajuan teknologi, saya pikir ini akan tergantung lagi kepada setiap individu mau memakai yang serba digital dan mengikuti teknologi atau tradisional yang mencari secara manual, tetapi tidak akan mematikan semangat untuk tetap berkreatifitas.

    Sekali lagi …….selamt pak Yodia atas opini-opininya..ora et labora.

  12. Irc Boy (2) : ya kalau konsumsi blog ini, ya termasuk produktif. Sebab isi blog ini bergizi 🙂

    Tiffany (4) : pfft….komentarnya lbh panjang dari artikelnya 🙂
    Thanks anyway.

    Mungkin kapan2 kita perlu ngopi2 ya, berdiskusi tentang JAMAN DIGITAL 🙂

  13. Selamat pagi pak Yodhia,,
    seperti biasa selalu menunggu tulisan bapak terbaru..

    Kalo baca artikel bapak masuk poin nomer 3 nggak ya pak..
    Hehehe..

    Simple tapi menggelitik..

  14. Jadi intinya bagaimana kita bisa menempatkan sesuatu tepat pada posisinya ya…. jangankan internet, uang pun kalo kita salah dalam mengelolanya malah BISA jadi masalah buat kita… dan yang terpenting bagi yang sudah punya anak, baik-baiklah dalam mendidiknya supaya generasi kita yang akan datang bukan hanya menjadi konsumen belaka (konsumen teknologi, konsumen barang dll)… siiipp.

  15. Pak Dicky (6) Cheers

    @Pak Yodhi….
    Muhaha, maaf ya Pak, karena komentarnya kepanjangan. Anda adalah yang kesekian kalinya yang mengatakannya kepada saya. Kadang-kadang, saya memang agak terlalu bersemangat 🙂

    Boleh tu Pak, ditunggu ulasan dan diskusinya. Saya mempunyai banyak hal untuk didiskusikan tentang JAMAN DIGITAL 🙂

    Terutama kalau saya lihat bagaimana perilaku adek2 SD-SMA, teman2 kuliah dan yang sudah bekerja/tahun-tahun awal. Sekilas tentu banyak terkesan sisi negatif, terutama bagi generasi sebelumnya yang nggak terlalu akrab dengan internet.

    Generasi ‘kita’ selalu dianggap orang yang lebih dewasa sebagai generasi autis(?) yang hanya sibuk dengan dunia sendiri dengan gadget dan sosmed, tapi saya tak terlalu sepakat dengan hal itu.

    Saya menangkap sejuta potensi dari mereka, digital generation ini.

    Ada banyak revolusi berpikir/bertindak/berperilaku yang sangat berbeda dengan generasi selanjutnya.

    Mereka unik dan mempunyai cara yang berbeda dengan generasi sebelumnya karena pengaruh teknologi, dan bagaimanapun, dunia bisnis akan berada di tangan mereka nantinya, dan mau tak mau kita juga akan mengikuti cara mereka suatu saat nanti.

    Tambahan.
    Bagi saya, apapun itu, uang, ketenaran, penderitaan, cobaan, kesuksesan, dan kegagalan (termasuk internet)seperti pedang bermata dua.

    Kita akan bisa memetik setiap keuntungannya dengan ketajaman si pedang, tapi kalau tidak hati-hati, kita sendiri yang akan mati ditebas putus.

    Kesuksesan bisa berakibat sombong yang nantinya akan mengacu kepada keruntuhan sendiri, sebagaimana dengan kegagalan yang bisa menjadi batu loncatan.

    Begitu juga dengan internet. Ada sejuta hal yang bisa dipelajari disana, situs manapun, termasuk sosmed, tapi, kalau tidak pintar-pintar, kita memang hanya akan meneguk racunnya saja.

    Sama seperti api. Orang tua bilang, jangan main api karena nanti bisa kebakaran.

    Saya tidak sepakat. Saya justru makin tertarik untuk bermain api (terutama ketika dilarang), dan siapa tahu saya bisa mengendalikan api nantinya, dan memanfaatkannya untuk hal-hal yang bermanfaat.

    Dengan resiko kebakaran, tentunya. Sadar akan resiko itu penting banget, tapi kita juga tak boleh luput dari melihat setiap potensi keuntungan yang ada.

    **maaf saya kepanjangan lagi, ya Pak. 🙂

  16. @Tiffany

    maaf, kalau menurut saya untuk transaksi sebenarnya tidak terlalu melulu harus “terisolasi” dengan kartu kredit. Saat ini para produsen di internet kebanyakan sudah fleksibel dalam hal transaksi pembayaran. Bahkan yang paling praktis saat ini kebanyakan produsen sudah menerima pembayaran dengan PayPal.

    Terima kasih kepada Pak Yodhia yang senantiasa produktif menyajikan artikel inspiratif semacam ini :).

  17. Thanks for sharing, pak yodhia.

    Memang dunia maya di satu sisi ‘menghidupkan’ tp di sisi lain bisa ‘mematikan’. Menghidupkan, karena hidup kita makin bergairah dengan banyaknya informasi, tp bisa mematikan karena kita bisa malas berpikir – copy paste aja drpd mikir lama2, atau lupa waktu shg kerjaan tertunda, hasil kerja jd seadanya.

    Namun semua kembali pada diri kita, bagaimana kita memanfaatkan dunia maya dg positif.

  18. Pagi Pak,

    artikel hari ini ibarat kopi pahit di senin yang mencoba ceria. ini sih pendapat saya pribadi ya.

    1. saya lebih suka “download” buku dibanding apalagi beli buku cetak, habis saya heran karena: buku cetak semakin tebal, trus habis dibaca juga butuh tempat penyimpanan, kemudian kurang go green ah.

    2. kalo kebtulan dapet yang gratis yang mumpung gratis, klo memang harus bayar minta linknya. (klo ada yang gratis kenapa harus bayar)

    3. beli cakram digital asli (katanya) terakhir saya terpaksa beli cakram digital dari sebuah store resmi penjual cakram digital (D*** T***) saya ada pengalaman 2x tuker Cakram karena ada tracklist yang krecet2 suaranya,pastinya cacat produksi karena penyanyinya waktu nyanyi ga krecet2.

    jadi balik lagi selagi masih ada yang gratis kenapa harus bayar.

    4. update status, hm.. kalo ini saya setuju sih suka2 yang punya account aj ud ga suka ya di unfriend aj, ga usah ribet ngomentarin dan gak ribet karena terganggu.

    so far ini sharing saya, saya gak bermaksud menyinggung dan saya berharap artikel yang nantinya disampaikan lebih memuat sarapan yang positif dan memotivasi.

  19. Untuk penyakit yang pertama, saya termasuk mengamati menurunnya analytical thinking di kalangan fresh graduate. Penyebabnya : Budaya mencari bahan kuliah dengan web searching, bahkan sampai komik ala Jepang yang hanya BAK-BIK-BUK. Mudah-mudahan pengamatan saya salah.

  20. owke deh, tak bisa dpungkiri jika kesempatan menjadi “konsumen-ilegal” atas produk2 digital memang masih terbuka lebar saat ini, emang jadinya kelihatan aneh jika ada barang gratisan kok malah beli.

    tapi pembahasan disini sangat memotivasi, terutama ajakan untuk “berpindah kwadran” dari “kwadran konsumen-ilegal/konsumen-legal” ke “kwadran produsen-legal”

    jadi menyebarkan produk digital itu sebaiknya atas karya cipta sendiri atau seijin yang empunya.

    tantangannya adalah bagaimana bisa didepan screen & masuk ke dunia maya namun menjadi produsen, jika tidak malah jadi konsumen terus.

    salam kenal Mas Yod, biasanya saya cuma baca2 saja he3…

  21. Klo dibilang productivity killer, bisa ya bisa nggak.. , karena memang ada orang2 yg pada dasarnya nggak produktif.

    Mereka larinya bisa kemana aja. Bisa mancing ga kenal waktu, nongkrong begadang tanpa tujuan, dan masih banyak lagi. Dan habit online ga jelas tu bisa jadi salah satunya.

    Orang yg pada dasarnya produktif tidak cenderung ke hal2 spt itu, setidaknya orang2 yg saya kenal sih.

    Tentang maling digital, emg karakteristik internet tu terbuka, jd yg mo bikin karya jg dituntut lbh kreatif utk dpt uang.

    Nyatanya Avatar BRripnya ada di mana2, tapi tetap aja film itu menghasilkan triliunan. Musik dibajak, Ahmad dani ato Ariel ya masih tajir2 aja.

    Tentang thinking skill, emg tipikal orang beda2. Sesuatu yg fenomenal bahkan seringkali terinspirasi dari hal/informasi yg nampak sepele (bagi orang lain).

    Newton dgn apel jatuh misalnya.

    Saya sendiri sih berpikir bahwa justru dgn keluar dari buku/referensi2 pendahulu kita, kita akan menemukan sesuatu yg baru, bukan sekedar pemahaman atau penyempurnaan dari apa yg sudah ada.

  22. ya betul nih, teknologi itu ibarat pisau. bisa dimanfaatkan, tapi juga bisa melukai….

    semuanya tergantung cara kita menggunakannya

  23. Dear mas yodia,

    Komentar saya pendek saja,mas. Baru kali ini, saya baca comment dan artikel sama beemanfaatnya. Salut buat mas Yodia dan tiffany yang membuat minggu saya menajadi seru

  24. kalau ngeliat analisa bapak kyknya cuma dilihat dari sudut pandang pribadi, bukan merupakan survey yang dilakukan secara profesional, but anyway artikelnya bisa cepat membuat kita terjaga

  25. pada dasarnya malas dan suka membaca informasi yang pendek lalu berkoar dan menjadi gosip.

    keren pak ulasan yang membikin penasaran bagaimana kelanjutan hal ini 😀

  26. yang nomer satu ada benernya juga, coba cek perilaku siswa dan mahasiswa sekarang yang lebih suka cari bahan kuliah / tugas di google ketimbang blusukan di perpusatakaan.

    Di satu sisi ini hemat waktu, tapi di sisi lain perilaku ini juga makin mengentalkan budaya malas, asal copas sana-sini bahkan gak sering gak dicantumin sumbernya.

    parahnya lagi SDM guru kita kebanyakan masih gaptek, sehingga melihat sswanya copas mentah-mentah dari google adalah tindakan yg wajar.

    kalau udah gini jangan ngomong kesadaran tentang Hak Kekayaan Intelektual, karena sedari kecil sudah ditoleransi untuk membajak

  27. Beberapa hari terakhir ini saya sudah coba mengurangi jam-jam online yang digunakan untuk hiburan. Apalagi kalau pas lagi banyak kerjaan, saya berusaha menghindari internet, kecuali untuk hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan. Lumayan, produktivitas jadi meningkat 😀

  28. Beruntung saya gunakan era digital sebagai media bisnis, yang memang bisnisnya saya jalankan full secara online. Baik di market dalam maupun market luar dan jualan produk Digital.

    Kacamata dan pembahasan topik ini memang bukan untuk orang-orang seperti saya dan pak Yodhia dengan RajaPresentasi nya… Hahaha… 😀

    Salam Berkelimpahan!

  29. Mari amati negara2 yg menolak era keterbukaan digital seperti korut,vietnam..mereka kian tertinggal dari negara lain. Dibalik 3 ulasan penyakit diatas, msh banyak manfaat bagi orang yang mau berfikir..

Comments are closed.