Beberapa pekan lalu, sambil duduk leyeh-leyeh di serambi rumah, saya melakoni apa yang selalu saya lakukan di kala sore yang senggang dan teduh : membaca buku yang isinya kira-kira bagus.
Kali ini sembari ditemani keripik goreng yang renyah, saya hampir tersedak ketika membaca kesimpulan buku yang tengah saya baca : internet secara masif telah menghancurkan kecakapan berpikir kita. Yes, internet has destroyed our thinking skills.
Buku yang menjadi New York Time Best Seller itu bertajuk : What the Internet is Doing to Our Brains. Judulnya menarik dan mengundang rasa ingin tahu. Begitulah, di akhir pekan yang teduh itu, sambil sesekali mengunyah keripik goreng, saya menikmati halaman demi halaman buku ini dengan sungguh-sungguh.
Dan di pagi ini saya ingin membagikan esensi isi dari buku itu kepada Anda semua.
Tema sentral buku itu sejatinya sederhana namun powerful : internet dengan segenap isinya (berita online selalu update, aliran status di FB dan Twitter yang setiap saat datang, dll) yang sangat mengedepankan freshness telah mendorong kita tenggelam dalam era ‘ketergesaan’, dan terjebak dalam kedangkalan informasi tanpa substansi.
Tiap hari ribuan informasi datang ke screen online kita; dan sebagian besar hadir dalam bentuk yang khas : ringkas, acap berisikan info yang trivial (kosong tanpa makna; mirip ribuan status di twitter dan FB itu), dan kadang menempelkan link di sejumlah bagiannya. Semua hadir dengan instan, dan always updated.
Itu semua memberikan pengaruh mendalam bagi perilaku para internet users : kita semua menjelajah internet dengan pola quick reading dan quick scanning (dan tanpa fokus). Klik link ini sebentar, lalu lihat link lain sebentar. Baca berita disini sebentar, lalu broswe status disana sebentar. Kita lalu terbiasa – dan kemudian “menyukai” pola baca yang penuh distraksi seperti itu.
Klik gambar untuk akses free KPI software.
Kita juga kemudian cepat bosan dengan tulisan/artikel di internet yang terlalu panjang (makin pendek makin baik). Pertanyaan saya : pernahkan Anda membaca artikel yang panjangnya lebih dari 15 halaman di media internet? Jawabannya mungkin tidak pernah.
Pelan namun pasti, pola perilaku online semacam diatas mendidik otak kita untuk berpikir dalam kerangka yang sama : serba ingin cepat (tergesa-gesa), cepat bosan dengan kedalaman, dan berpikir dengan penuh distraksi (tanpa fokus).
Dan persis seperti itu yang dituliskan dalam buku ini : kebiasaan menjelajah internet telah membuat kita makin enggan untuk membaca buku-buku serius yang tebal (sebab otak kita telah terbiasa dengan info online yang serba ringkas) dan kita juga makin tidak terlatih untuk melakukan deep thinking yang memerlukan konsentrasi dan ketekunan (sebab otak kita sudah terbiasa dengan dunia online yang serba cepat, instan, dan trivial).
Dalam jangka panjang, situasi semacam diatas secara sistematis akan merusak kecakapan otak kita untuk melakukan “deep processing” serta kemampuan untuk mengolah imajinasi, pemikiran dan analisa secara mendalam.
Dalam buku itu juga diungkapkan hasil studi yang menarik : kemampuan kita untuk me-retain informasi yang kita baca melalui media online juga jauh lebih buruk dibanding jika kita membaca informasi itu melalui buku konvensional. Kemampuan menyerap itu akan jauh lebih buruk lagi jika informasi/artikel yang kita baca di internet itu memuat banyak link (semakin banyak link dalam sebuah artikel akan makin membuat daya tangkap pembaca akan isi artikel itu makin menurun).
Kebiasaan kita untuk “berpikir a la internet” yakni suka menyerap informasi pendek dengan instant, cepat dan penuh distraksi juga akan merembet ke kehidupan nyata kita.
Pelan-pelan karena terbiasa dengan “gaya berpikir a la internet” ini, kita lalu makin sulit untuk membangun konsentrasi dalam waktu lama untuk menekuni sesuatu (pekerjaan misalnya). Kita juga makin cepat bosan dengan sesuatu yang memerlukan ketekunan (kita selalu ingin seperti ketika berkelana di dunia maya : bisa cepat berpindah-pindah secara seketika).
Demam smartphone (seperti Blackberry dan Android) serta komputer tablet (semacam iPad dan Galaxy Tab) kian memperburuk situasi semacam itu.
Dengan gadget mobile ini, kita jadi kian tenggelam dalam “gaya berpikir a la Internet” : always online anytime anywhere. Dan dengan itu, pola pikir yang mengedepankan “instant access”, update berita, update info dan update status (seolah-olah semua ini penting) terus mengharu biru pikiran kita.
Dengan kata lain, kehadiran gadget modern semacam itu akan mendorong kita untuk makin terjebak dalam “pola pikir serba ringkas, serba cepat, dan serba penuh distraksi”. Ini semua diam-diam mungkin akan kian menggerus kemampuan kita untuk melakukan “deep thinking” : menekuni sebuah informasi (atau buku-buku serius) secara mendalam dengan tekun.
Isi setiap halaman dari buku bagus ini membuat saya berpikir keras. Ada banyak hal yang mestinya masih ingin saya tuliskan disini. Namun saya takut Anda sudah bosan dengan tulisan yang terlalu panjang ini (sebab mungkin Anda semua juga sudah terkena sindrom “berpikir a la Internet”).
Karena itu, untuk sementara waktu, ijinkan saya menyudahi tulisan ini, dan ijinkan pula saya menghabiskan keripik goreng yang tinggal separuh ini. Keripik goreng ini rasanya benar-benar mak nyus. Anda mau?
Wah iya nih bener juga apa yg di bilang buku itu ya pak..Jadi kita harus gimana ya pak. Adakah solusi yang di berikan oleh buku tersebut pak Yodya? Sambung lagi ya tulisannya apa yang harus dilakukan untuk menghindari penghancuran Thinking skill kita!
Terima kasih sudah diingatkan akan hal ini, mudahimudahan generasi (anak-anak) kita tidak terpengaruh ya!
Pak, apakah cahaya yg tampil di layar pc, hp, smartphone, ipad, bb atau galaxsi tab menyebabkan ketidaktahan dalam membaca, sehingga kemungkinan info yg ditampilkan lebih menarik atau disukai dgn gaya ringkas.:)
jangan sampai kita adiktif dengan internet terutama FB dan twitter, niscaya memang mengurangi kecerdasan dan membuang waktu…
Thanks pak buat referensinya yang ringkas, padat, cerdas, mengena dan menggugah.
Di jaman informasi yg serba terbuka dan membanjir ini, org kadang lupa utk memilih dan memilahnya dengan cerdas.
Thinking skill, analytical skill serta critical thinking nutlak tetap diperlukan agat tdk terjebak dalanm pola berpikir ala internet. Kalau tidak kita akan kebingungan sendiri menghadapi derasnya arus informasi yg ringkas namun kadang dangkal. Kita terjebak dalam suatu paradox of choice.
Gue bangeet. Baca tulisan ini seperti menohok saya atas kebiasaan sya yg sgt mirip dgn kondisi diatas.
Thanks God, tulisan ini menyadarkan sya atas internet. btw thanks to Pa Yodhia yg sharing tulisan ini, & bagi kripiknya dong.
Sepertinya Hal itu akan lebih baik dilakukan sesuai dengan kebutuhan karena segala sesuatu yg kits lakukan atas dasar need akan membuat Kita menjadi lebih bijak.
Pras
Thanks Mas, artikel yang menarik dan terimaksih juga sudah menyadarkan saya.
Tulisan ini memukul telak saya
Selamat Pagi Pak Yodia, terima kasih atas artikelnya di Senin pagi ini.
Beberapa hal yang ingin saya tanyakan sehubungan dengan tulisan Bapak ini, terutama tentang membaca.
1. Banyak saat ini digaungkan seni membaca cepat dengan beragam tehnik, plus testimoni2 dari mereka yang mampu membaca cepat dan sanggup melahap banyak buku dalam waktu singkat. Apakah ini salah satu bentuk budaya “berpikir ala internet” yang ingin serba instan dan cepat?
2. Apakah membaca baik web page ataupun buku dengan cara cepat umumnya tidak menyerap lebih baik daripada jika dibaca sambil diresapi?
3. Budaya gadget disebut2 sebagai revolusi membaca karena orang dapat membawa banyak buku dalam bentuk digital (pdf misalnya) dan lalu membacanya di gadget mereka. Apakah berarti tren gadget saat ini menjadi kurang tepat guna karena justru tidak berpengaruh pada minat mambaca?
Terima Kasih Pak Yodia, ditunggu pencerahannya..
oh ternyata 😐
dan ketika membaca artikel ini pun saya sambi buka halaman tetangga. Buku yang menggelitik para internet-holic, saya jadi teringat gadget yang digunakan Pak Yodhia ternyata sependapat dengan penulis buku tsb.
Wooh.. Dan saya pun sepertinya sudah terbiasa “berpikir a la internet”. 😐
sgla sesuatu yg “berlebihan” pasti punya efek buruk
Artikel yang bagus mengawali minggu ini.. 🙂
akan tetapi .. trend informasi via gadget harus terus di lanjutkan 🙂 sepert sempat saya lirik pagi ini disebuah kolom tanggalan,e-book akan menghemat 500.000 pohon setiap tahunnya jika kebiasaan ini dilanjutkan, karena 42% dari industri “perpohonan” adalah untuk kertas 🙂
Setuju pak.
Dan rasanya media televisi kita juga mengadopsi pola pikir seperti itu. Sering kali dalam acara talkshow mengundang narasumber yang “heboh” untuk membicarakan masalah yang lagi heboh juga. Tapi tunggu saja beberapa waktu kemudian, masalah tadi sudah “basi” untuk dibicarakan karena ada topik atau masalah baru lagi.
hehe, menarik sekali om. Mau gimana lagi, kita manusia juga dituntut untuk beradaptasi dan teknologi diciptakan untuk memudahkan manusia dalam kesehariannya.
bagi sebagian yg lain hanya pengguna internet bagi yang lainsendiri sebagai ladang marketing dan pendapatan. cukup berbanding lurus 🙂
sharing yang bermanfaat bagi saya pak…. Tepat seperti yang saya lakukan saat ini. Buka sana berpindah sini dengan segera…. Solusinya apa pak??
atraktif. itulah perkembangan zaman,. ada budaya yang ditimbulkan, ada efek yang disebabkan,. ada baik ada buruknya.
Apa yang dijelaskan dalam buku itu menempatkan kita hanya sebagai konsumen informasi.
Padahal internet sendiri sesuai perkembangannya tidak hanya menempatkan kita sebagai konsumen informasi
Tapi juga sebagai produsen informasi, sebagaimana posting ini menunjukkan penulisnya sedang memproduksi suatu informasi
Apabila kita berperan juga sebagai produsen, maka berpikir mendalam akan tetap terlatih.
Tapi bila kita menempatkan diri sebagai konsumen, ya wajar saja konsekuensinya sebagaimana dijelaskan dalam buku itu. Bahkan tanpa internet pun juga begitu
Terimakasih mas Yodhia, saya sdh merasakan akibatnya
menurut pendapat saya, ini karena pengaruh fitur ‘find’ atau ‘search’ yang ada dalam setiap produk digital. Sehingga kita tidak perlu lagi untuk membaca keseluruhan materi dari a-z.
Bentul (Benar dan Betul) Pak Yodhia, meskipun demikian karena perkembangan zaman yang seolah-olah makin menuntut setiap orang untuk selalu uptodate, maka saya sampai alokasikan budget untuk beli e-book reader. Terima kasih pencerahannya Pak Yodhia dengan mebagi resensinya.
Bapak, tulisannya memberikan pencerahan sekali,..
Saya sangat merasakan apa yang bapak ulas disini, dan ini sangat mengganggu saya.
Saya adalah seorang mahasiswa, dan membutuhkan keahlian berfikir kritis. Namun, addiction pada internet ini memang membuat saya tidak lagi menikmati buku-buku serius dan menurunkan konsentrasi saya dalam melakukan apapun (terbiasa pada pola instan begini)
jadi, apa bapak punya solusi untuk hal seperti ini? pola pikir yang serba instan seperti ini, apakah menurut bapak akan mempengaruhi pola pikir masa depan, mengingat sebagian besar anak muda mengikuti pola ini? apakah bapak memandangnya baik atau buruk?
Rendra (9) : kalau teknik speed reading dilakukan untuk membaca buku konvensional; hasilnya tetap bagus. Sepanjang dilakukan dengan teknik yang benar (ada tekniknya lho).
Yang paling berpengaruh adalah media-nya. Studi menunjukkan jika info ditaruh dalam media screen (laptop; smartphone; tablet) dan kemudian disertai dengan “hiasan ikon di setuap sudut”; maka ini akan memunculkan distraksi dan menurunkan daya serap kita.
Kalau mau beli e-reader, mungkin pilih yang sederhana seperti Kindle generasi pertama yang miskin fitur. Kindle sekarang juga sama spt iPad. Penuh dengan fitur. Nah, fitur-fitur ini ternyata menurut riset justru membuat kita tidak bisa konsentrasi dengan isi informasi.
Bahkan dalam sebuah studi dilakukan hal begini : orang diminta belajar sesuatu melalui tablet digital, lalu info dilengkapi dengan fitur multi media yang kaya, seperti video untuk mendukung isi tulisan; dan grafik yang bergerak, dll. Hasilnya ajaib : fitur multi media semacam itu justru membuat daya serap pembaca MENURUN.
Otak kita terbatas. Multi tasking adalah MITOS. Jadi kalau membaca, sambil mata melirik-lirik ikon; sel otak kita langsung jeblok. Konsentrasi langsung menurun drastis.
Kuncinya sadar bahwa : otak kita TIDAK PERNAH BISA DIAJAK untuk melakukan MULTI-TASKING.
Baca juga tulisan saya ini :
https://strategimanajemen.net/2009/05/11/4-rahasia-kunci-tentang-cara-otak-kita-bekerja/
Tiffany (23 ) : KEGELISAHAN ANDA ADALAH JUGA KEGELISAHAN JUTAAN ANAK MUDA DI DUNIA.
Banyak anak muda di negara maju yang “memberontak” juga….merasa otaknya kian DIPASUNG dengan kemajuan digital.
Solusi simpel : usahakan dua kali seminggu NYEPI di perpustakaan. Matikan HP. Matikan BB. Matikan WIFI dan Matikan Internet. Lalu baca buku dengan suntuk. Ini yang selalu saya lakukan setiap saat.
bacaanya menarik…
ada makanan instan
kini ada internet instan
semoga keripik goreng mas bukan instan. he he..
Langsung mengena…akhirnya sering terjadi penyebaran informasi tanpa dicari sumber yang benar
Mantaaap…mungkin ini yang menyebabkan sindrom “short memory” gampang lupa.
Sebagaimana mestinya, semua buku perlu dinikmati dalam pola pandang apapun yang disajikannya.
Kadang kala itu untuk memperlihatkan pemikiran masa, tidak semua berpikir begitu. Tentu saja sesuatu yang tidak diperlukan bisa saja menjadi hanya penghibur dalam saat yang diperlukan, misalnya FB atau semacam (youtube).
Kita semua ada pilihan untuk kegiatan yang memberi manfaat dalam direksi hidup kita. Internet menurut aku, adalah seseuatu perpustakaan yang seseorang bisa mencari, mendapatkan informasi yang ia perlukan, bila mana tanpa internet, sangat sulit untuknya mendapatkan informasi itu.
Internet adalah source informasi, biar bagaimanapun seseorang memakainya.
Saya si terganggu sama kripiknya mas Yodhia, krn lagi puasa apa aja bisa bikin ngiler..hehe
Alhamdulillah di satu sisi saya termasuk suka akses informasi ala internet, tapi disisi lain kerjaan kantor tetep menuntut saya fokus, analitic dan teliti so.. saya masih yakin tuh ama multi tasking …
thanks sharing kripik gorengnya eh salah…pencerahannya..
nice idea…
tapi ada blog ini mengusung ide yang sama* 🙂
*) sama2 ga nyampe 2 lembar
Ulasan yang sangat menarik dan mengena, saya juga khawatir budaya menulis dan membaca serba cepat dan instant ini tidak hanya merusak cara berpikir kita, namun juga mempengaruhi banyak sisi kehidupan kita.
Budaya silaturahmi yang penuh makna dan budaya, diganti dengan SMS yang bahkan isinya pun di copy paste saja ke semua orang
semoga tetap ada kesadaran bagi kita untuk tidak terjebak pada pola pola instant yang lebih parah.
Agar mengundang membaca berhalaman2 seperti ebook.mgkn penjual ebook boleh turunkan harganya ebook nya
pernahkah kita bandingkan bahwa harga ebook lbh mahal daripada buku fisik,kalo buku fisik butuh modal lbh besar,sedangkan ebook modal relatip kecil,bagaimana pendapat teman2?
spt pepatah easy come easy go..
Terima kasih pak Yodia atas ilmu yg telah di bagikan..
“Solusi simpel : usahakan dua kali seminggu NYEPI di perpustakaan. Matikan HP. Matikan BB. Matikan WIFI dan Matikan Internet. Lalu baca buku dengan suntuk. Ini yang selalu saya lakukan setiap saat.”
nah ini dia solusi yg patut dcoba 😀
Gud book,.. ini seperti mengingatkan kita kalo terlalu berlebihan menkonsumsi internet. Tapi mas yodhia keenakan makan kripik nih,, pengennya cepet aja..:D jadi ga kelar deh..
Thanks buat kupasannya mas! Izin share di blog saya..:)
Tjia Ngie (33) di luar negeri atau kalau kita ke http://www.amazon.com, harga ebook rata-rata cuman 9 dollar; jauh lebih murah dari buku cetak.
Banyak yang malah dibagikan secara gratis.
tulisan yang renyah, serenyah kripik yang sedang dinikmati mas Yodhia.
logis juga seh apa yang diungkapkan oleh mas Yod, kebiasaan kita berinternet akan membentuk kepribadian kita.
sebagai contoh, ketika kita akan mencari artikel, maka manakah yang akan kita pilih, mencari bahan ke perpustakaan yang jumlah koleksinya ribuan, atau cukup mengetik beberapa kata di kotak ajaib bernama google?ada juga pernyataan bahwa internet mendekatkan yang jauh, dan menjauhkan yang dekat.
solusinya yang logis ya seperti yang diungkapkan teman2, selain berinternet, kita juga banyak menulis, berinteraksi di dunia nyata, bertafakur (mengagumi kebesaran Alloh), membaca buku2 yang bermutu dsb.
dan yang lebih penting membaca Al Quran, memahami artinya, mengejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari.
Jangan lupa mas Yod, makan kripiknya jangan terlalu banyak, karena sesuatu yang berlebihan tidak baik untuk kesehatan. salam….
Nice book.
dan ulasan yang menohok saya ini Pak.
sehari2 bekerja di depan komputer untuk monitoring berita membuat saya keranjingan klik sana, klik sini. bahkan berita tak penting pun sempat-sempatnya saya baca (karena portal berita online memasukkannya di headlinenya). Solusi untuk nyepi di perpus akan saya coba pak.
Trimaksih pak Yodhia..
izin share di wall saya ya.
pukulan telak. terimakasih telah disadarkan pak….
xixixixi……kena dehhh… bettulllll… segera berbenah ah.. thanks
aduh benar Pak, apalagi kalau kita hanya sebagai konsumen (kata Pak Bukik)sepaerti saya dan mungkin juga yang lain malah semakin miskin. Hanya tahu kulitnya saja. tmks salam kenal
Woww…. Saya merasa telah menjadi salah satu “korban” internet seperti yang dimaksud oleh buku tersebut.
Semua-semua ingin serba cepat. Dan benar, smartphone yang saya punya semakin memperparah keadaan.
Saya harus berusaha menjadi orang yang cerdas dalam memanfaatkan teknologi, bukan malah jadi korban teknologi. Thx atas artikelnya, Pak Yodhia 🙂
Artikel yang menarik pak…..saya sampe tersihir dengan tulisan Bpk.
Sekian banyak orang yang menjadi korban internet, termasuk saya.
Ternyatabanyak sisi yang dapat diambil dengan adanya internet di tengah-tengah kehidupan kita. Semua serba internet. Teknologi semakin hari semakin canggih, tetapi teknologi pulalah yang menyihir kita untuk menjadi korban-korbannya.
Thanks pak Yodhia atas sharing bukunya…
Salah satu solusi saya adalah berusaha mendisiplinkan diri untuk tetap baca koran atau majalah… karena ulasan di koran biasanya lebih mendalam ketimbang berita-berita singkat di situs berita internet..
keep posting pak…
betul betul,,,lama lama otak nih ga bisa mengolah permasalahan yg konkret lagi nih
bagi sebagian besar itu memang terjadi mungkin, tapi alhamdulillah , saya tetep masih lebih suka baca buku seperti milik anthony Robbin dan lain-lain walaupun tebal dan kadang sama sekali tidak ada gambar
mugkin karena saya menemukan kenikmatan disana, seperti halnya orang yang menyelami internet dan merasa semua instan itu mungkin mereka menikmatinya
jika tweet itu berasal dari orang-orang yang positif seperti para motivator biasanya justru bermanfaat mengingatkan yang follow akan sikap positif, dan di sayangkan mungkin belum banyak yang menyadari hal itu..
Maaf Pak yodhia, saya sepertinya 2 pekan ini telat berkunjung diblog ini 🙂 makasih
Makasih berbagi info bukunya pak,
benar saya juga sudah “berpikir a la internet” hehehe…
terima kasih pencerahannya… semoga menginspirasi banyak orang
salam
Info Call of Papers-Forum Ilmiah Nasional Pascasarjana UMY
aku makin kaya reprensi… makasih
Era DIGITAL … ya apa boleh buat.
Semua bakal ada sisi negatif dan sisi positif-nya.
Semua tergantung dari bagaimana kita menyikapinya.
kebetulan mata saya memang tidak kuat membaca dengan komputer terlalu lama, jadi hanya mengambil poin pentinya saja maka dari itu saya sangat terbantu bila penulis membuat artikel dengan poin2 penting.
Namun, bila ada tulisan bagus dan panjaaang.. saya print agar bisa dibaca offline dan bisa saya arsip.
anyway, trims atas pencerahannya pak yodhia, jadi saya akan setting sedemikian rupa blog saya agar lebih minimalis aksesorisnya 🙂
Yes, inilah efek negatifnya, tapi tentunya ada positifnya, efek negatif lainnya adalah kerusakan pada mata….
tulisan yang kecil, keypad yang kecil, cahaya layar…yang secara terus menerus (karena asyiaknya)membuat mata kita teradiasi dan berakomodasi kuat secara terus-menerus, ini juga ada penelitiannya.
Salam anthusias selalu. Salam segomegono taoto dawet….
gara2 google kita jadi nga pernah ngafal lagi
Ya, walaupun tidak mungkin juga meninggalkan internet sepenuhnya, tapi saya berusaha menyeimbangkannya saja, sesuatu yang berlebihan memang tidak baik, dan sesuatu yang kekurangan juga tidak baik.
Mohon maaf pak, biasanya ada sesuatu yang bertambah setelah membaca tulisan anda, tapi sayang kali ini (mohon maaf nothing), sepertinya anda ingin menceritakan orang banyak namun tanpa anda sadari anda berada dalam zona tersebut, silahkan baca tulisan anda sendiri begitu banyak pengulangan ide yang sama, namu tidak ada intinya, saya khawatir anda juga termasuk orang yang susah untuk fokus, saya memaklumi mungkin gorengan yang rennya telah menurunkan kualitas anda. (Kritis dan saran dari pembaca setia anda)
Regards,
Irwan
Dear mas Yodia,
Tentunya kita tak mungkin membendung arus internet, dan sejatinya setiap informasi yang mengalir telah menyatu dengan pola prilaku kita dalam meningkatkan kemampuan atau bahkan membantu menyelesaikan berbagai permasalahan.
Untuk tetap focus dan mendapatkan substansi pengetahuan dari informasi yang mengalir dari internet, maka dibutuhkan komunitas yang mempunyai area pengetahuan dan kepentingan yang sama. Seperti halnya blog yang dihadirkan oleh mas Yodia ini, tentunya mempunyai spesifikasi pengetahuan yang diperuntukan dalam aktivitas tertentu, yaitu bidang management.
Kembali dengan nasihat klasik, ” tergantung sama orangnya…”, apakah kita dapat memfocuskan diri dalam memanfaatkan internet ini atau terbawa arus informasi yang menjadikan kita “the Jack everything and master of none”.
Dengan kemampuan focus pada area yang tak terbatas, maka internet tetap dapat dijadikan source of knowledge sesuai dengan bidang dan interest kita masing-masing. Tetapkanlah Taxonomy pengetahuan kita agar setiap informasi yang diperoleh akan terus meningkatkan pengetahuan. Keep browsing, searcing and levarage your knowledge….
ijin share ya pak…
Selain menghancurkan thinking skills, internet juga membuat manusia menjadi tidak sabaran. Tidak sabar saat antri di loket, tidak sabar saat antri di lampu merah, tidak sabar saat menunggu pesanan makanan di restoran. Ini dipicu juga (selain faktor internet) oleh faktor high speed broadband (mobile juga). Karena kita sebagai pengguna internet berharap hidup itu seperti internet; cepat, mobile, simple. Padahal hidup gak selamanya begitu.
Eniwe, nice article pak… ijin copas ke milis ya…
nampaknya survey ini betul-betul sesuai dengan kenyataan. saya sendiri merasakannya.
untuk seumur saya, membaca di internet (e-book, atau artikel) memang berbeda dengan membaca sebuah buku tercetak. bagaimanapun membaca buku cetak masih terasa lebih nikmat dibandingkan dengan membaca ebook, selain mata terasa lebih relaks, mungkin juga karena keterbatasan waktu sehingga cenderung mencari yang sifatnya ringkas dan cepat.
ini tentu berbeda dengan anak-anak muda sekarang yang lebih komputer minded.
tulisan yang sangat bagus mas yodhia, saya minta ijin men-share artikel ini di blog saya (dg tetap mencantumkan sumber dari blog mas yodhia).
salam,
teknologi di ciptakan memang untuk mempermudah manusia dalam segala Hal, setiap perubahan pasti ada efeknya baik positi maupun negatif. tetapi ingat……. Userlah yang menjadi Filter dari efek2 yang disebabkan, “So .. be wise Use Teknologi” and ” improvement No Limit”
cara penyajiannya sangat bagus hingga saya bisa baca sampe tuntas…mungkin ini adalah salah satu efek negatif dari adanya internet…tapi kembali ke personalnya bagaimana mengantisipasinya….btw keren saya suka…boleh dong keripiknya he3
Sudah semestinya kita lebih bijak menggunakan teknologi komunikasi dan informasi tersebut. Kepekaan terhadap lingkungan sekitar kita dalam bentuk nyata sesungguhnya lebih berarti dan memiliki imbal balik yang mumpuni.
Trims pak Yodhia, artikel yang bagus
buku yang menarik, patut masuk daftar beli nih 😀
Ya bener banged pak..
Belakangan ini selama saya semakin sibuk dengan dunia internet, membuat saya malas untuk menelan buku-buku tebal seperti yang sering saya lakukan dulu..
Padahal kenikmatan, dan proses berfikir juga penggalian pemikiran memang lebih mendalam bisa diperoleh kalau kita menyerap informasi yang detil dan panjang, seperti membaca buku, dibandingkan informasi internet yang (kebanyakan) serba ringkas.. 🙂
https://info-suka.blogspot.com
beul banget tulisan ini…
benar bpak bilang saya meraskan dampaknya
Tergelitik ingin mengomentari,
Boleh saya mengatakan ada benarnya tulisan artikel ini, tapi boleh saya berkomentar dari kacamata lain.
Dalam dunia serba praktis serba cepat dan serba penuh tuntutan ini, sangat dibutuhkan mbah google, pak bing ataupun tante yahoo untuk dapat menemukan data yg benar2 diinginkan.
Analoginya seperti ini, saya orang teknik, saya butuh kalkulator perhitungan tentang pembagi tegangan dengan rangkaiannya, apakah saya harus membaca dari rangkaian2 dasar atau bahkan dari pembacaan warna, tentu tidak khan???
Jujur secara pribadi, internet memberikan dampak positif dari segi kecepatan dan jumlah referensi data, tetapi juga secara pribadi terkadang internet membuai saya pada hal2 yg sebenarnya bukan tujuan awal saya, misal saya ingin mencari schematic suatu rangkaian, eh berujung membaca gosip tentang artis, hal ini karena semua itu saling bersinggungan di internet.
Tetapi semua itu tergantung bagaimana kita konsisten akan apa yang kita lakuan.
Dan terlebih lagi setelah saya membaca artikel ini, jujur secara pribadi saya tersentak dan jadi teringat bahwa saya sebeneranya sedang fokus belajar tentang silverlight tetapi bisa nyasar juga kesini.. hahaha… (*itulah indahnya internet)
Perlu di garis bawahi, artikel ini bisa menjadi satu catatan yg perlu diingat untuk membuat kita tetap fokus bila kita sedang berinternet.
So… semuanya kembali lagi ke personalnya..
*back to topic ah..
Salam beranalisa selalu pak Yodhia..
Eko Purwanto
Project Control Engineer
ekopurwanto1985@gmail.com
apa yang bapak tulis..benar-benar sudah saya rasakan sendiri…dan itu menjadi sebuah PR buat saya
izin share 🙂
Today I got a lot of information from your article .. I hope you continue to write articles that are beneficial to us all .. .. Greetings .. success for you ..
Today I got a lot of information from your article .. I hope you continue to write articles that are beneficial to us all .. .. Greetings .. success for you ..thanks..
ijin share y Pak, terimakasih infonya
Dari tulisan di atas mungkin saya bisa menyimpulkan beberapa penyebab kenapa kita sering terkesan malas baca tulisan panjang dan sering berpindah-pindah halaman tanpa membacanya secara tuntas.
1. Membaca di depan layar monitor tidak senyaman tulisan di atas kertas, sehingga kita serasa ingin sesegera mungkin menyudahinya.
2. Kita tidak fokus, karena ada banyak info di halaman lain yang menggoda padahal isinya juga biasa saja.
3. Pasti, kualitas tulisan kurang bagus karena beberapa sebab, seperti isi materi yang dangkal.
pas banget nih artikelnya…..untuk nemu nih jadi cepat2x memperbaiki diri….cuma gimana ya nyembuhin sindrom ini om
what, ini ditulis 2011? tapi terasa banget sekarang oleh saya..
berpikir ala internet, susah berpikir mendalam, pengen serba instan..
pantas saja sulit mengerjakan skripsi hehe..
http://www.bayuwin.com