Karnaval Kapitalisme Global dan Selebrasi Kolonialisme Modern

Pagi itu langit yang cerah membayangi sebuah kedai buku kecil di salah satu sudut kota.

Di kedai buku yang bersahaja itu, tampak seorang pria paruh baya tersenyum riang. Ia bahagia sebab, di pagi yang terang itu, buku yang telah ia kerjakan dengan sepenuh perjuangan akhirnya diluncurkan juga.

Tak ada kilatan lampu media. Tak ada acara book signing. Tak juga hadir selebriti penuh gaya. Hanya ada sang penulis buku sambil ditemani beberapa rekannya. Di sebuah kedai buku yg bersahaja.

Sejarah kemudian mencatat, buku yang dilucurkan dari kedai yang sederhana itu kelak dianggap sebagai salah satu buku paling dahsyat sumbangannya bagi peradaban modern.

Kedai buku itu ada di kota Glasgow, Skotlandia. Acara peluncuran buku itu berlangsung di pagi yang cerah di tahun 1776. Itu artinya 237 tahun telah berlalu.

Judul buku itu The Wealth of Nations, sebuah buku yg dari rahimnya lahir anak kandung bernama ideologi kapitalisme dan free market economy.

Pria paruh baya yang tersenyum itu adalah bapak Adam Smith, yang kelak dikenal sebagai the Father of Modern Capitalism.

Ikon-ikon kapitalisme global kini kian menyeruak : Coca Cola, Nike, McD, KFC, Google, Samsung, Apple, Toyota, Twitter, hingga Unilever.

Ikon-ikon kapitalisme global itu terasa begitu dekat dengan keseharian kita. Kita semua adalah peserta yang tenggelam penuh sukacita dalam karnaval kapitalisme global.

Diam-diam, dalam parade kapitalisme global itu, kolonialisme modern terus dirayakan : brand-brand asing terus menyerbu pasar lokal, merenggut sumber daya ekononimi domestik, dan lalu profitnya dibawa ke tempat asal dimana mereka berada. Entah di New York, Tokyo atau Amsterdam.

Lalu kepada siapa ikon-ikon kapitalisme global itu harus berhutang budi? Kepada siapa mereka mereka harus berucap terima kasih dengan tulus?

Pada siapa lagi kalau bukan kepada Pak Adam Smith, penulis buku the Wealth of Nations, buku yang jadi pilar lahirnya ide capitalism.

Sebab tanpa ideologi kapitalisme dan free market economy, tak akan pernah lahir McD, Nike, dan KFC.

Tanpa ideologi kapitalisme dan free market economy, tak akan pernah lahir Google, Apple, Android dan Toyota.

Dan tanpa ideologi kapitalisme/free market economy, kolonialisme modern tak akan pernah bisa berdansa serta menari-nari dalam selebrasi penuh kemeriahan.

Esensi ajaran capitalism/free market economy yang ditulis pak Adam Smith dalam bukunya yang legendaris itu amat bersahaja. Ia menulis : roda ekonomi dan bisnis akan berjalan hanya, dan hanya jika didasarkan pada prinsip self interest.

Tanpa prinsip self interest, roda ekonomi akan macet dan termehek-mehek. Tanpa pemujaan pada kepentingan diri sendiri (self interest principle), bangunan kapitalisme global akan kolaps.

Ajaibnya, prinsip self interest itu yang terus mendorong sejarah peradaban dan kemajuan bisnis.

Contoh : parade inovasi yang brilian oleh Apple atau Google itu sejatinya demi self interest mereka. Sebab dengan itu, kepentingan untk menumpuk profit terus terjaga.

Contoh lain : inisiatif green business oleh beberapa perusahaan itu pertama-tama bukan demi kelestarian lingkungan. Namun demi self interest mereka : agar bisnisnya tetap tumbuh karena tidak kehabisan sumber daya alam.

Inisiatif CSR (corporate social respnsibility) juga bukan tentang solidaritas sosial, namun demi self interest perusahaan itu. Agar bisnisnya “aman” dan “lestari”.

Tanpa prinsip self interest, barangkali memang tak akan pernah lahir juga inovasi-inovasi gemilang yang mewarnai perjalanan sejarah bisnis.

Prinsip self interest demi lestarinya proses akumulasi modal : inilah pilar dari kapitalisme global.

Prinsip self interest dalam jubah free market economy yang berjasa melahirkan Samsung, sabun Lifebouy, ayam goreng Kentucky, hingga sebutir pil Viagra.

Adam Smith penulis buku the Wealth of Nations yang jadi pilar ajaran kapitalisme/free market economy mungkin tak pernah menduga. Ia tak akan mengira, buku yang ia tulis 237 tahun silam itu akan menjadi landasan filosofis yang kokoh bagi tumbuhnya peradaban kapitalisme global.

Pagi beranjak siang, ketika kedai buku di Glasgow itu mulai ramai dikunjungi orang. Di sudut kedai, pak Adam Smith mengajak temannya bersulang, merayakan buku the Wealth of Nations yang baru saja ia terbitkan.

Maka, mari di pagi yang cerah ini, saya mengajak Anda semua untuk juga ikut bersulang : merayakan kemenangan parade kapitalisme global dalam kehidupan sehari-hari kita.

Mari diminum air putih, kopi atau teh hangatnya.
(air mineral Aqua Danone, kopi dari Nescafe atau teh sariwangi dari Unilever. Tiga-tiganya juga adalah ikon kapitalisme global)

Author: Yodhia Antariksa

Yodhia Antariksa

25 thoughts on “Karnaval Kapitalisme Global dan Selebrasi Kolonialisme Modern”

  1. akhirnya hanya bisa berkata,
    inilah fakta yang harus di telan
    meski kadang cara mengunyahnya ‘logika’ tak mampu menerima seutuhnya.

    nice Pak Yodhia

  2. Kapitalisme sering dihujat di beberapa negara, tetapi tanpa faham free-market, tidak akan pernah ada perusaan spt goog, kfc, samsung, dll.

  3. Mari diminum air putih, kopi atau teh hangatnya. (air mineral Aqua Danone, kopi dari Nescafe atau teh sariwangi dari Unilever. Tiga-tiganya juga adalah ikon kapitalisme global)

    mari minum TEMULAWAK

  4. Dan saat ini kita tenggelam dalam kebahagiaan utopis kapitalisme.
    Nice sekali Pak Yod. seiring dengan kemeriahan ajang Miss World di bali tadi malam. maka bangsa ini “lagi2” menjadi santapan pagi yang renyah bagi para kolonial medern.

  5. Ideologi Share / Syariah (yang diyakini mampu mereduksi & menetralisir efek negatif ideologi kapitalsm / free market economy) belum berkembang karena sang pemilik ideologi & penjaga gawang ekonomi umat (umat Islam khususnya) justru ikut tenggelam dalam samudera kapitalisme, termegap-megap menarik diri dari ketenggelamannya.

  6. ternyata baru kita sadar bahwa kita telah jauh dari nilai luhur agama dan budaya kita yg menjunjung nilai-nilai kebersamaan, kegotong royongan dlm setiap proses transformasi sumber daya

    bahkan pedoman agama yg menekankan (jauh sblm ajaran kapitalisme “wealth of nation” itu lahir) agar setiap hasil yg kita dapatkan harus kita sisihkan sebagian sebagai bagian hak org lain.

  7. solusi utuk bisa lepas dari hegemony kapitalisme itu ada tiga pilihan 1) kembali kepada nilai syariah yg benar-benar murni syariah bukan labelingnya saja. 2) Revolusi atau 3) perang dunia III ??

  8. Mari diminum air putih, kopi atau teh hangatnya.

    (air mineral Aqua Danone, kopi dari Nescafe atau teh sariwangi dari Unilever.

    Bagian terakhir ini keren banget mas , nampol

  9. inget jaman kuliah dulu… Adam Smith…
    saya suka dengan kalimat pak Yodhia,, apalagi kalo sudah bilang “termehek-mehek” …. hehehehe….

  10. Sudah tua juga buku tsb ya, dalam pelaksanaannya tidak seburuk analisanya kok…adaptasi aja sesuai idealisme masing-masing.

  11. Mas Yod,
    Berhasil sudah memprovokasi di pagi hari cerah ini.
    Saya tunggu ulasan untuk lawan kapitalism… Mana bandrek-ku..?

  12. Wew…menarik, Pak Yodh, artikelnya.
    Tapi kopi saya buatan petani kopi di Berastagi, Sumatera Utara. Kedai kopi biasa saja, tapi sudah merambah sampai ke Belanda, dibawa turis-turis yang datang. Selepas itu dia menerima repeat order terus menerus 🙂

    Sampai jumpa dua hari lagi, Pak Yodhia. Salam dari Pangkalan Kerinci, Riau.

  13. saya tiap belanja bulanan selalu beli Pepsodent, sabun mandi life buoy, sampo lifebuoy, rinso, belanjanya naik toyota, atau honda..terus kita harus gimana doong mas!

Comments are closed.