Middle Income Trap : Saat Penghasilan Anda Stagnan dan Tidak Bergerak Kemana-mana

Saat ini pendapatan per kapita penduduk Indonesia adalah USD 3400 atau sekitar Rp 37 juta per tahun. Artinya, jika di rata-rata pendapatan per penduduk Indonesia adalah sebesar Rp 37 juta/tahun atau sekitar Rp 3 juta/bulan.

Jika penghasilan Anda diatas itu, good, berarti kemakmuran Anda diatas rata-rata pendapatan per kapita nasional. Jika masih dibawah angka itu, berarti Anda masuk golongan miskin. Sorry.

Namun yang mencemaskan adalah ini : jika kelak pendapatan per kapita Indonesia mengalami “middle income trap” atau terperangkap dan tidak bergerak kemana-mana.

Artinya, penghasilan Anda sebagai penduduk Indonesia juga akan termehek-mehek. Stagnan.

Pendapatan per kapita Indonesia yang USD 3400/tahun itu merupakan peningkatan empat kali lipat dari angka 12 tahun lalu. Sebuah pencapaian yang impresif. Jika penghasilan Anda tidak naik empat kali lipat dalam kurun waktu yang sama, artinya Anda “tertinggal” dari lokomotif kemajuan ekonomi tanah air.

Memang, pendapatan per kapita yang USD 3400/tahun itu sejatinya masih relatif rendah dibanding Malaysia yang sudah tembus USD 10.000; atau juga Singapore yang sudah melampaui angka USD 25.000.

Namun jangan lupa. Penduduk Indonesia ada 250 juta; sementara Malaysia hanya 25 juta dan Singapore bahkan cuma 4 juta (just little red dot on the map).

Maka pendapatan per penduduk yang besarnya USD 3400 jika dikalikan 250 juta adalah skala ekonomi raksasa. Itulah yang menjelaskan kenapa size ekonomi Indonesia termasuk terbesar no 15 di dunia saat ini (dan akan menjadi terbesar no 7 di dunia pada tahun 2030).

Untuk mengukur kekuatan ekonomi sebuah bangsa, rumusnya memang pendapatan per kapita di kalikan jumlah penduduk.

So, never underestimate the power of Indonesian economy.

Dengan pendapatan per kapita yang USD 3400/tahun, maka Indonesia sudah masuk kategori negara berpenghasilan menengah (middle income countries).

Nah, untuk naik kelas menjadi negara maju, maka pendapatan per kapita harus naik menjadi minimal USD 12.000/tahun – atau sekitar empat kali lipat dari posisi sekarang.

Apakah Indonesia bisa naik kelas menjadi negara dengan penghasilan perkapita USD 12 ribu/tahun. Mudah-mudahan bisa.

Sebab ingat, dalam 12 tahun terakhir pendapatan per kapita Indonesia naik 4 kali lipat. Jika prestasi itu bisa diulangi, maka 12 tahun lagi pendapatan per kapita Indonesia bisa tembus ke USD 12 ribu/tahun; dan negeri kita bisa pelan-pelan berubah status menjadi negara maju.

Saat itu, Anda semua juga akan kian makmur. Sebab penghasilan Anda mungkin juga bisa naik empat kali lipat dari posisi sekarang. Bisa? Bisa dong. Impossible is nothing.

Bagaimana caranya agar ekonomi bisnis Indonesia bisa terus bergerak ke arah USD 12 ribu/tahun per penduduk; dan bukannya terperangkap dalam “middle income trap”? Ada dua hal yang mungkin bisa dilakukan.

Yang pertama : bangunlah sebanyak-banyaknya jalan raya, pembangkit listrik, pelabuhan dan rel kereta api. Semua ini bahasa kerennya disebut sebagai : infrastruktur.

Sebab sekali lagi, seperti yang pernah diucapkan Deng Xiao Ping – mastermind dibalik kebangkitan raksasa China : kalau mau bangun bangsa, tidak perlu visi, misi dan quick count. Yang dibutuhkan cukup bangun jalan raya, listrik dan pelabuhan.

Rel kereta api dan jalan tol lintas Sumatera, lintas Kalimanta, lintas Sulawesi serta jalur tol di atas laut Jakarta – Surabaya perlu segera dibangun. Begitu juga listrik. Puluhan ribu megawatt. Jika telat, suatu saat Anda tidak bisa lagi baca blog ini. Sebab colokan listrik mati semua.

Yang kedua : pendidikan. Simpel saja. Negeri ini perlu membangun kampus teknik dengan mutu SETARA ITB sebanyak 100 buah lagi. Sama, kampus dengan mutu SETARA UI atau UGM perlu dibangun sebanyak 100 buah lagi.

SMA Favorit seperti SMA Lab School atau SMA 3 Bandung, Semarang, Jogja atau SMA 1 di berbagai kota; tidaklah cukup. Perlu dibangun lagi 10.000 SMA dengan mutu SETARA SMA FAVORIT tersebut di segenap penjuru nusantara.

Itu artinya, ribuan sekolah dan kampus modern perlu dibangun. Dan puluhan ribu orang dikirim ke luar negeri untuk sekolah doktor dan master demi menjadi guru dan dosen andal.

Infrastruktur dan Pendidikan. Ini mungkin dua elemen kunci yang bisa membuat ekonomi kita tidak terjebak dalam middle income trap. Dan semua investasi tadi tentu butuh uang.

Kabar baiknya. Negara kita sudah punya uang yang banyak; tahun depan ada uang sekitar Rp 300 triliun. Tahun depannya, dan tahun depannya akan ada uang dengan jumlah yang sama. Dalam tiga tahun akan ada Rp 900 triliun. Lebih dari cukup untuk membangun jalan tol 5000 km, pelabuhan, listrik dan ribuan sekolah.

Sayangnya, dana sebesar Rp 300 triliun itu setiap tahun hangus dibakar di jalanan, dalam bentuk subsidi BBM. Mayoritas dihabiskan oleh pemilik mobil Avanza, Ertiga, CRV hingga Pajero. Dan bukannya dialokasikan untuk membangun jalan raya, listrik dan pelabuhan.

Jika benar Jokowi yang terpilih sebagai presiden, maka langkah krusial yang segera harus dilakukan adalah menaikkan harga bensin hingga suatu saat berada pada angka Rp 10 ribu per liter. Inilah revolusi mental yang konkrit. Dan bukan revolusi blah blah blah.

Mengalihkan subsidi BBM untuk membangun infrastruktur dan pendidikan – inilah sejatinya langkah revolusioner yang akan benar-benar berdampak masif bagi kemakmuran rakyat Indonesia, dari Sabang hingga Merauke.

Dan bukan kemakmuran bagi segelintir orang penikmat subsidi BBM yang naik mobil, dan rata-rata tinggal di Jakarta.

Tanpa pembangun infrastruktur dan pendidikan yang memadai; ekonomi negri ini bisa benar-benar terjebak dalam “middle income trap”. Pendapatan per kapita penduduknya stagnan.

Dan itu artinya, penghasilan Anda juga juga tidak akan bergerak kemana-mana. Dan kehidupan Anda akan kian sendu. Manyun. Penuh kegalauan.

Photo credit by : GdeFon

Bonus – 5 Kunci untuk Menguak Rahasia Kesuksesan Sejati

25 thoughts on “Middle Income Trap : Saat Penghasilan Anda Stagnan dan Tidak Bergerak Kemana-mana”

  1. Keywordnya Pembangunan Infrastruktur.

    Namun sayangnya pemerintah melalui departemen terkait hanya pandai mengotak-atik infrastruktur yg sdh ada dan kurangnya koordinasi antar instansi i.e. trotoar ditinggikan, got dilebarin, jalan hotmix nan rapi didedel utk kabel telkom, hotmix lg, dedel lg utk PDAM, hotmix lg, bongkar lg utk buat median jln, hotmix lg, bgt seterusnya.

    Sehingga dana yg mustinya utk membuat infrastruktur baru tersedot utk pryk tambal sulam.

    Kesimpulannya : Pembangunan infrastruktur baru msh jauh panggang dari api.

  2. itu yang harus pemerintah lakukan, pak. Kalo kita sebagai rakyat, apa yang harus kita lakukan supaya penghasilan naek 4x lipat?
    😀

  3. Mas Yodhia…utk pencerahannya boleh juga..trims, ttp kok menyinggung lagi ttg subsidi BBM yg 300T per tahun..padahal itu adalah angkah-bulshit…sit, real-nya gak sebesar itu…saya sudah dua kali komen utk hal yg sama.

  4. hehehe, kog Jokowi? ga yakin deh 😀

    menurut ane sendiri, kebijakan non populis kek gitu ga akan diambil sang presiden terpilih di tahun-tahun pertama kepemimpinannya, dan bahkan sampai akhir masa jabatannya.

    Why? karena di indonesia pencitraan adalah nomor 1. Anyway, kalo no 1 jadi presiden terpilih, ane yakin bisa neken kebijakan non populis ini

  5. Saya 100 % sependapat dengan Mas Yodhia, Indonesia memang tidak perlu visi, misi yang muluk-muluk (karena semua sudah jelas tercantum di UUD kita) , cukup bangun infrastruktur secara besar besaran dan tingkatkan pendidikan.

    Dua hal penting itulah tugas dan peran besar pemerintah negara ini. Mudah2an siapapun Presiden terpilih nanti mamahami hal ini dan mau mewujudkannya. Amiin.

  6. yg ga setuju cuman satu, ini semua tergantung dengan “orang lain”. saya lebih suka cara yang bisa dilakukan secara konkrit oleh saya, bukan menunggu orang lain, mau presiden atau siapapun, untuk melakukan itu.

  7. Sukarno (5) : inti dari argumen Anda itu adalah; kalau minyak dibikin di dalam negeri harga akan jauh lebih murah karena kita punya minyak sendiri.

    Argumen ini mengacu prinsip bahwa harga minyak dalam negeri yang dijadikan bahan baku, jangan ikut harga internasional. Bahkan seperti yang Anda tulisa, minyaknya dianggap gratis dari alam. Haduh.

    Dengan begitu harga keekonomian BBM jangan mengacu pada standar harga internasional yang sekitar Rp 10 ribu per liter. Tapi mengacu pada harga dalam negeri yang mungkin menurut Anda sangat murah (karena bahan baku minyaknya dianggap gratis), bisa hanya Rp 2 ribu/liter.

    Intinya : Anda mengatakan harga minyak jangan mengikuti standar internasional. Kalau bisa harga minyak dianggap nol (karena alam Indonesia menyediakannya). Sekali lagi : haduh.

    Penting di-ingat, komponen biaya produksi BBM terbesar ya di bahan baku….yakni minyak (mungkin hingga 95%).

    Cost recovery yang Anda sebut itu HANYA mengacu pada biaya peralatan/tenaga kerja…..lhah kalau harga bahan baku minyaknya ndak dihitung; terus bagaimana dong. Minyaknya dari Hongkong?

    Nah kalau mau harga minyak jangan pake standar internasional….ya coba saja begini. Anda punya emas. Karena emasnya dapat di tambang lokal dekat rumah, ya dihargai murah saja…atau bahkan gratis….

    Mau nggak emas Anda dijual dengan harga hanya Rp 100 ribu per gram (bukan Rp 500 ribu/gram spt harga dunia).

    Mau dong…kan tambangnya emasnya ada di dekat rumah….bukan di luar negeri (jadi jangan ikut harga emas di bursa New York dong….)….atau karena di dalam negri tambangnya, emasnya bisa gratis dong…. 🙁

    Logika seperti itu agak aneh ya…kecuali kita hidup di Korea Utara yang terisolasi.

    Harga komoditi mineral, sumber daya alam dan migas seperti emas, minyak, perak, nikel, batubara….ya semua mengikuti supply and deman dunia…dus harganya harga internasional.

    Lebih aneh lagi, jika menghitung harga BBM hanya dari cost recovery (biaya overhead) saja (yakni USD 10/barel), dan menganggap MINYAK-nya GRATIS.

  8. Tertarik dengan tulisan “Dan itu artinya, penghasilan Anda juga juga tidak akan bergerak kemana-mana”
    Supaya penghasilan kita tetap bergerak.. adakah artikel yang mengulas tentang ini?

  9. Terimakasih mas Yodh, artikelnya mencerahkan dan menyengat SEMANGAT! Go Indonesia! Optimis, Kerja, Kerja dan Kerja!

  10. Benar benar strategi yang sederhana untuk melakukan “LEVERAGING” pendapatan Nasional Indonesia namun jelas sosial Impact dari kenaikan BBM ke angka keekonomian Rp. 10.000/ liter bukan perkara yang mudah.Tetap optimis ! UKM Pasti Bisa !

  11. Mas-Yodhia,

    Masih segar daalam ingatan; tahun lalu setelah kepala BPMIGAS tertangkap tangan KPK, yg selanjutnya ditindaklanjuti oleh MK dg membubarkan BPMIGAS, maka banyak media yg kemudian mengangkat issue subsidi-BBM ini, sampai Karni Ilyas pun membahasnya tuntas-tas di forum ILC TV-One.

    Intinya adalah logika anda (no.13) itu, keliru.

  12. membaca: ” SMA Favorit seperti SMA Lab School atau SMA 3 Bandung, Semarang, Jogja atau SMA 1 di berbagai kota …. ”
    salah satu SMA di Jl. Kartini Pkl masuk kategori gak ya? hehehe…..

  13. ya kalau semua kembali dari subsidy BBM ya silahkan saja naikkan ke Rp.10.000 gpp kalau perlu Rp13.000 juga boleh biar pemerintah untung. tapi ya konsekuensinya pemerintah harus bisa buat energi alternative massal maksimal 10 tahun ini selesai. jadi mulai tahun depan stop ngambek masalah bensin.

    kemudian kalau angka PPC $3,400/tahun/warga seharusnya bisa dibarengi dengan nilai tukar sekarang. kalau tahun ini 3400 dollar bisa beli emas 71 gram kalau tahun depan sudah gak bisa ya bangsa yang rugi karena nilai mereka sudah berkurang.

    jadi intinya saling mengisi aja om yodhia . disatu sisi kita tekan infrastruktur disisi lain kita tingkatkan pendapatan bangsa dari stop bbm subsidy seccara cermat dan maksimalkan potensi pajak dan Migas kita

    saya optimis presiden terpilih 2014 pak Jokowi berani naikkan harga, gpp demo asal planning dan workingnya jelas

  14. Artikelnya bagus Pak, Saya setuju saja bbm naik. Asalkan kompensasinya benar2 digunakan untuk pembangunan infratruktur dan pendidikan tadi. Jika harganya naik pun, hal tersebut akan mendorong kita utk berusaha dapat memenuhinya.

Comments are closed.