3 Alasan Menolak MBG vs 3 Alasan Pro MBG

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu usulan kebijakan populer di Indonesia, terutama menjelang pemilu. Tujuannya mulia: memberikan akses makanan bergizi secara gratis kepada anak-anak sekolah atau kelompok masyarakat rentan demi memperbaiki gizi, menurunkan angka stunting, dan meningkatkan kualitas pendidikan serta kesehatan nasional.

Namun seperti kebijakan publik lainnya, MBG menimbulkan pro dan kontra. Sebagian melihatnya sebagai langkah strategis untuk membangun SDM unggul. Namun tak sedikit pula yang menilainya terlalu ambisius, mahal, atau berisiko dalam implementasinya.

Berikut adalah tiga alasan umum menolak MBG dan tiga alasan kuat mendukung program tersebut.


TIGA ALASAN MENOLAK MBG

1. Beban Anggaran Negara yang Sangat Besar

Salah satu kekhawatiran terbesar terhadap MBG adalah biaya yang sangat tinggi. Untuk membiayai makan bergizi gratis bagi jutaan siswa di seluruh Indonesia setiap hari, negara perlu mengalokasikan triliunan rupiah setiap tahun.

Di tengah defisit fiskal dan kebutuhan anggaran di sektor lain seperti infrastruktur, energi, pertahanan, atau subsidi sosial lainnya, banyak pihak mempertanyakan apakah pembiayaan MBG realistis dan berkelanjutan.

Kritikus menyebut bahwa jika tidak dikelola dengan baik, program ini bisa mengorbankan anggaran sektor penting lainnya, atau bahkan menambah utang negara dalam jangka panjang.


2. Risiko Korupsi dan Kebocoran

Pengadaan massal makanan untuk anak sekolah membuka celah besar bagi praktik korupsi, markup harga, atau kualitas makanan yang tidak layak. Pengalaman dari berbagai proyek bantuan sosial (bansos) sebelumnya menunjukkan bahwa program seperti ini rawan penyelewengan dana, terutama di level distribusi.

Kekhawatiran ini diperparah oleh potensi pengadaan fiktif, rantai logistik yang tidak efisien, dan potensi kongkalikong antara vendor dan pejabat daerah.

Tanpa pengawasan ketat dan sistem audit digital yang transparan, MBG bisa menjadi ladang korupsi baru yang justru merugikan negara dan rakyat.


3. Insiden Keracunan MBG yang Makin Masif

Kasus keracunan massal yang menimpa lebih dari 5.000 siswa penerima program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi alarm keras bahwa program ini dijalankan tanpa kesiapan dan pengawasan ketat. Program yang semula dimaksudkan untuk meningkatkan gizi anak-anak sekolah justru berubah menjadi bencana kesehatan.

Di berbagai daerah, proses distribusi makanan dilakukan tergesa-gesa, tanpa standar higienitas dapur, rantai dingin, dan pengawasan ahli gizi yang memadai. Akibatnya, banyak siswa mengalami mual, muntah, dan diare setelah mengonsumsi makanan dari program ini.

Tragedi ini memperlihatkan kelemahan sistemik dalam pelaksanaan MBG. Alih-alih dikelola oleh tenaga profesional, banyak pelaksana di tingkat sekolah dan daerah tidak memiliki kompetensi dalam manajemen pangan massal.

Lebih jauh, keracunan ribuan siswa ini harus menjadi titik balik. Pemerintah tidak bisa terus menutup mata dan hanya menyalahkan pelaksana lapangan. Diperlukan audit menyeluruh atas seluruh rantai pasok MBG dari penyedia bahan makanan, pengolah, hingga pengawas lapangan.

Tanpa reformasi sistemik, MBG berisiko menjadi program yang merusak kepercayaan publik dan menelan korban lebih banyak. Program gizi seharusnya menyehatkan, bukan membahayakan. Jika keselamatan anak-anak dikorbankan demi ambisi politik, maka penolakan terhadap MBG bukan hanya wajar—tetapi perlu.


TIGA ALASAN MENDUKUNG MBG

1. Investasi Jangka Panjang untuk SDM Unggul

Bagi pendukung MBG, program ini dianggap sebagai investasi strategis dalam membangun kualitas sumber daya manusia (SDM). Anak-anak yang mendapatkan asupan gizi yang baik akan memiliki daya konsentrasi lebih tinggi, daya tahan tubuh lebih kuat, dan potensi akademik lebih baik.

Dampaknya bisa terlihat dalam penurunan angka stunting, peningkatan prestasi pendidikan, dan produktivitas jangka panjang. Negara-negara seperti Jepang, Finlandia, dan Korea Selatan yang pernah menjalankan program serupa menunjukkan hasil positif dalam pembangunan SDM.

MBG bukanlah sekadar program sosial, tapi pondasi pembangunan masa depan bangsa.


2. Mengurangi Ketimpangan Sosial dan Akses Gizi

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa jutaan anak Indonesia masih mengalami kekurangan gizi, terutama di wilayah tertinggal dan miskin. Program MBG bisa menjadi jaring pengaman sosial yang menghapus ketimpangan dalam akses gizi antara anak kaya dan miskin.

Bagi keluarga miskin, MBG bukan hanya soal makan gratis, tetapi mengurangi beban ekonomi harian dan memberi anak-anak peluang yang lebih adil untuk tumbuh sehat dan cerdas.

Program ini dapat menjadi bagian dari strategi menghapus kemiskinan struktural dan memperbaiki kesetaraan antar daerah.


3. Mendorong Ekonomi Lokal dan UMKM Pangan

MBG juga bisa menjadi penggerak ekonomi rakyat, terutama jika sistem pengadaan makanannya melibatkan UMKM lokal, petani daerah, atau katering kecil di lingkungan sekolah.

Dengan pendekatan yang terdesentralisasi, MBG dapat mendorong permintaan terhadap produk pertanian lokal, menciptakan lapangan kerja, dan menghidupkan ekonomi desa.

Jika dirancang dengan skema padat karya dan kolaborasi antar daerah, MBG bisa menjadi program gizi yang juga berdampak ekonomi, bukan hanya sosial.


PENUTUP: REALISME VS IDEALISME

MBG adalah program ambisius dengan potensi besar, namun tantangannya juga tidak kecil. Menolak MBG bukan berarti anti rakyat, dan mendukung MBG bukan berarti abai terhadap efisiensi anggaran.

Yang terpenting adalah bagaimana desain kebijakan ini dibuat secara realistis, bertahap, terukur, dan transparan, disertai pengawasan publik yang kuat.

Apakah MBG akan menjadi kebijakan sukses seperti BOS atau KIS, atau justru jebakan anggaran yang membebani negara—semuanya tergantung pada kualitas implementasi, bukan hanya janji politik semata.