
Selama hampir satu dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia seperti jalan di tempat—stagnan di angka 5% atau bahkan lebih rendah. Tahun 2023, angka pertumbuhan hanya 5,05%. Sebelum pandemi pun kisarannya tetap di sana, tanpa ada momentum lonjakan besar seperti negara-negara Asia lainnya di masa transisi industrinya.
Apa yang membuat ekonomi kita terasa berat untuk melaju lebih kencang? Dan lebih penting lagi: bagaimana jalan keluarnya?
Terlalu bergantung pada konsumsi rumah tangga
Kontribusi konsumsi rumah tangga ke PDB Indonesia mencapai hampir 60%. Artinya, ekonomi kita baru bergerak jika masyarakat belanja. Namun, dalam beberapa tahun terakhir:
- Daya beli kelompok bawah stagnan akibat inflasi pangan, ongkos hidup kota, dan gaji yang tidak naik signifikan.
- Kelas menengah lebih hati-hati dalam konsumsi, cenderung menabung atau investasi ke aset aman.
- Sektor informal masih dominan, membuat pertumbuhan pendapatan sulit naik secara struktural.
Singkatnya: konsumsi sebagai mesin utama makin kelelahan, tapi belum digantikan oleh mesin lain.
Sektor industri melemah, belum tumbuh kembali
Indonesia mengalami deindustrialisasi dini. Dulu kontribusi industri manufaktur ke PDB sempat menyentuh 28%, kini sudah turun ke angka 18–19%. Ini terjadi karena:
- Banyak pabrik relokasi ke negara seperti Vietnam atau Bangladesh.
- Biaya logistik dan energi di Indonesia masih lebih mahal.
- Regulasi tenaga kerja dan kepastian hukum dianggap belum menarik untuk investor industri.
Akibatnya:
- Penciptaan lapangan kerja produktif jadi minim.
- Ekspor barang jadi terbatas pada komoditas mentah seperti batu bara dan CPO.
- Nilai tambah nasional dari kegiatan ekonomi tetap rendah.
Ekonomi digital tumbuh, tapi belum berdampak luas
Memang ada harapan dari ekonomi digital. Startup tumbuh, e-commerce makin aktif, dan layanan on-demand jadi gaya hidup baru. Tapi sayangnya:
- Pertumbuhan masih terkonsentrasi di kota besar, belum merata ke daerah.
- Banyak lapangan kerja yang tercipta bersifat sementara dan tidak formal.
- Kontribusi ekonomi digital ke PDB masih kecil dan belum stabil.
Dengan kata lain, digital ekonomi belum menjadi game changer untuk pertumbuhan jangka panjang. Butuh waktu, kebijakan yang mendukung, dan penguatan SDM.
Investasi belum cukup agresif, masih dominan sektor ekstraktif
Investasi asing (FDI) memang meningkat, tapi mayoritas masih ke sektor tambang, energi, dan perkebunan—bukan ke industri teknologi atau manufaktur modern. Beberapa kendala utama:
- Kepastian hukum dan perizinan masih dinilai rumit.
- Infrastruktur belum merata, terutama di luar Pulau Jawa.
- SDM masih terbatas, terutama untuk kebutuhan industri 4.0 dan sektor inovatif.
Akibatnya, investasi yang masuk tidak banyak menciptakan lompatan pertumbuhan atau transformasi struktural.
Apa solusi konkretnya?
Untuk keluar dari jebakan pertumbuhan 5%, dibutuhkan strategi yang lebih radikal dan berani. Beberapa poin solusinya:
1. Percepat transformasi industri
- Dorong pembangunan kawasan industri baru yang terhubung ke pelabuhan dan logistik.
- Permudah izin usaha dan kepastian regulasi tenaga kerja.
- Sediakan insentif nyata bagi industri yang menciptakan lapangan kerja formal dan ekspor bernilai tambah.
2. Investasi besar-besaran di vokasi dan riset
- Perluas SMK dan politeknik yang berbasis industri dan kebutuhan daerah.
- Insentif bagi perusahaan yang berkontribusi dalam pelatihan tenaga kerja.
- Dorong kerja sama antara kampus dan industri untuk riset terapan.
3. Lanjutkan hilirisasi, tapi jangan hanya andalkan konglomerat
- Pastikan ada peluang bagi UMKM dan koperasi masuk ke rantai nilai industri hilir.
- Dorong proyek hilirisasi yang tersebar, tidak hanya tersentral di Jawa.
- Jaga agar hilirisasi tidak hanya jadi jargon, tapi benar-benar mendorong pengolahan dalam negeri.
4. Kembangkan ekonomi daerah
- Prioritaskan pembangunan di luar Jawa: Papua, Kalimantan, NTT, Sulawesi.
- Percepat konektivitas logistik antarpulau dan antarwilayah.
- Perluas akses digital dan pembiayaan usaha kecil di kota-kota menengah.
5. Perbaiki ekosistem investasi
- Lakukan evaluasi menyeluruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja.
- Pangkas aturan tumpang tindih pusat-daerah.
- Buat pelayanan investasi berbasis data dan target, bukan sekadar dashboard online.
Penutup: stagnasi ini bisa diatasi, jika berani berubah
Kita sedang menikmati bonus demografi, tapi waktu tidak menunggu. Jika kita terus jalan di tempat dengan pertumbuhan 5% per tahun, maka peluang emas itu akan berlalu begitu saja. Negara seperti Vietnam, India, bahkan Bangladesh, mulai berlari cepat karena berani berubah dan menata ulang strategi industrinya.
Indonesia juga bisa. Tapi butuh keberanian untuk keluar dari kebiasaan lama. Bukan sekadar proyek mercusuar, tapi perubahan cara kerja dan kebijakan secara menyeluruh.
