Kenapa Valuasi Tokopedia Bisa Tembus Angka Fenomenal Rp 100 Triliun?

Pada awal Desember lalu, Tokopedia kembali mendapatkan ronde pendanaan (funding series) yang ke tujuh kalinya. Investor kali ini tetap Softbank (Venture Capital asal Jepang) dan Alibaba.

Dalam ronde pendanaan ketujuh kalinya tersebut investor sudah memberikan valuasi Tokopedia senilai Rp 100 triliun. Sebuah angka valuasi yang mind-blowing untuk sebuah start up lokal.

Padahal Tokopedia masih mengalami kerugian hingga ratusan milyar per tahun.

Apakah ini sebuah bubble valuation yg sarat kegilaan?

Sebagai perbandingan, valuasi atau kapitaliasasi market Indofood hanya Rp 60 triliun. Kalah jauh sama Tokopedia yang Rp 100 triliun. Demikian juga valuasi big brands seperti Wings, Garuda Food, Mayora hingga Adaro masih kalah dibanding start up Tokopedia.

Apakah angka valuasi yang epik itu kelak akan meletus dalam kepingan fantasi dan fatamorgana?

Ataukah angka itu sebuah valuasi yg rasional?

Mari kita bedah…..

Dalam analisa keuangan dikenal konsep rasio net profit dengan valuasi.

Untuk mengukur nilai Tokopedia, kita bisa gunakan data valuasi Alibaba sebagai acuan. Alibaba juga perusahaan marketplace dan ecommerce company.

Valuasi Alibaba saat ini sekitar Rp 6000 triliun. Sebuah angka yang super masif (termasuk 10 besar dunia). Sementara net profit Alibaba milik Jack Ma setahun adalah Rp 80 triliun.

Artinya rasio net profit dengan valuasi Alibaba adalah 75 kali. Dari angka valuasi Rp 6000 triliun dibagi angka profit setahun Rp 80 triliun

Rasio 75 kali ini yang harus dikejar oleh Tokopedia.

Artinya jika valuasi Tokpedia Rp 100 triliun, maka jika jika dibagi 75 kalinya, Tokopedia harus minimal punya net profit Rp 1.3 triliun.

Jadi agar valuasi yang segede gaban itu jadi rasional maka :

Tokopedia kelak wajib bisa punya net profit sebesar Rp 1.3 triliun per tahun.

Apakah angka net profit itu someday bisa mereka raih?

Tampaknya bisa meski tidak mudah. Challenging yet achievable.

Bagaimana cara Tokopedia bisa net profit Rp 1.3 triliun? Hitunganya simple tapi powerful.

Jumlah merchant di Tokped saat ini ada sekitar 7.5 juta pelapak. Anggap hanya 10% yg aktif dan menghasilkan. Jadi ada 750.000 merchant.

Rp 1.3 triliun dibagi 750.000 merchants = Rp 1,7 juta.

Rp 1.7  juta kalau dibagi 12 bulan hanya Rp 140 ribu.

Artinya Tokopedia hanya perlu generate net profit Rp 140.000/bulan dari setiap merchant yg aktif (sekitar 750.000 merchants) untuk bisa hasilkan laba Rp 1,3 triliun/tahun.

Angka net profit Rp 140 ribu per bulan per active merchant adalah angka yang tampaknya relatif achievable.

Saat ini saja Tokopedia sudah men-charge fee kepada setiap Official Store dengan angka yang jauh lebih tinggi daripada Rp 140 ribu. Persisnya fee adalah sekitar 5% dari nilai transaksi.

Gold Merchants Tokopedia juga harus membayar langganan dengan iuran Rp 150 ribu per bulan.

Tokopedia juga mendapatkan pemasukan dari TopAds (atau biaya layanan promosi iklan bagi para merchants-nya).

Pendapatan lain Tokopedia adalah dari jasa pengiriman/logistik seperti Tiki dan JNE.

FYI, saat ini para penyedia jasa pengiriman ini harus membayar komisi sekitar 7 % dari setiap biaya pengiriman paket kepada Tokopedia atas semua transaksi yang terjadi melalui Tokopedia. Shopee dan Bukalapak juga menerapkan kebijakan yang sama.

(Karena itu, bisnis logistik dan jasa pengiriman sebaiknya jangan terlalu tergantung pada big marketplace seperti Tokopedia, Shopee dkk. Bagaimana kalau misalnya kelak big marketplace ini maksa minta fee lebih tinggi, misal 10%. Profit para pemain logistik seperti JNE dan TIKI akan makin tergerus).

Saat ini total biaya pengiriman logistik bisnis online Indonesia sekitar Rp 15 triliun per tahun. 7% dari angka ini atau sekitar Rp 1 triliun akan masuk sebagai business fee ke marketplace besar seperti Tokopedia, Shopee dan Bukalapak. Sebuah income sampingan yang lumayan bagi para online marketplace.

Kembali ke Tokopedia. Target ke depan adalah bagaimana agar active merchants yang sukses jualan di Tokopedia bisa naik dari angka 750 ribu menjadi 5 juta. Sebagai info, pertumbuhan total merchants mereka selama 3 tahun terakhir adalah 7 kali lipat.

Dan target kedua, adalah bagaimana agar tingkat transaksi tiap active merchants itu makin bagus, sehingga mereka mau berlangganan menjadi Gold atau Premium Merchants, dan juga makin aktif memakai jasa layanan iklan.

Sukses bisnis para active merchants di Tokopedia akan berdampak signifikan bagi sukses Tokopedia juga.

Terus terang selama ini saya makin sering belanja ke Tokopedia. Saat ini saya jarang lagi ke toko offline. Tampaknya makin banyak orang seperti saya. Makin nyaman belanja secara online via Tokopedia.

Tantangan ke depan Tokopedia adalah menghadapi rival Shopee yang sangat agresif dan juga Bukalapak yang kian gencar melakukan promosi serta iklan. Juga rival lainnya seperti Lazada, BliBli dan JD.ID.

Persaingan dengan banyak players semacam ini adalah tantangan berat yang harus dihadapi Tokopedia.

Harapannya, bisnis Tokopedia bisa terus tumbuh, dan mampu menjustifikasi valuasinya yang telah tembus angka fenomenal, yakni Rp 100 triliun.

Sebab bagaimanapun, Tokopedia ini telah memberikan jasa bagi penciptaan lapangan kerja untuk ribuan pelapaknya.

Akhirnya, saya sudahi artikel ini dengan mengutip tagline mereka beberapa tahun lalu : Sudah cek Tokopedia belum?

16 thoughts on “Kenapa Valuasi Tokopedia Bisa Tembus Angka Fenomenal Rp 100 Triliun?”

  1. Menyambut Senin Pagi yang cerah, dan mampir ke sini, selalu ada ilmu baru,menceerahkan, dan menimbulkan inspirasi baru….

    FENOMENAL BANGET!
    so, kita tetap cuma jadi penonton, atau ikut berupaya mendapatkan bagian itu, walau ndak se-fenomenal mereka?

    Kalau ingin, perbaiki bisnis kita. Misalnya nih, kelola sistem keuangannya dengan implementasi SOP+Accounting Tools yang powerful, manajemen SDM yang WOW dll, dll, dan lain-lain.

    itu kalau mau, tapi kalau ndak, “yo wis” nikmatin aja apa adanya sampai jatah hidup habis.

    Tapi yo itu, jangan mengeluh bro kalau misqien apalagi menyalahkan orang lain, keadaan, dan nyalahkan negara serta kepemimpinnya.
    .

    Salam sukses penuh keberkahan.
    Terima kasih

    | https://manajemenkeuangan.net | Referensi online tentang Accounting, Finance, SOP & Accounting Tools|

  2. Rasanya masuk akal banget..

    Dari sekian banyak marketplace dan cOmmerce, saya langsung jatuh hati ke TopeD.. blanja rutin tiap bulan nya.. itung2 ikut pula memeriahkan pengusaha dan start up nasional..

  3. Alhamdulillah, saya juga salah satu merchant aktif di Tokopedia. Saat ini sudah di posisi silver 2, menuju ke silver 3.
    Terus terang disamping sebagai merchant, saya pun juga aktif belanja online dan kecenderungan belanja offline makin menurun.
    Pertimbangannya adalah harga yg competitif, kemudahan transaksi dan makin terpercayanya merchant yg buka lapak di marketplace nasional tsb.

  4. Mantep. Gurih banget artikelnya. Jujur sih saya termasuk pengguna setia tokped. Karena tiap belanja ada aja cashbacknya. Hal yang nggak saya dapatkan jika belanja di toko offline.

  5. Produk tokopedia memang bagus2 tpi pelapaknya jrg memberi gratis ongkir dengan minimum pembelian seperti di shopee untuk daerah luar jawa

  6. Tapi marketplace di Indonesia
    pelapaknya banyak yang hasil scrap dengan imacros 😉 .. coba aja cari produk produk yang laris.. banyak yang gambar atau foto nya sama..cuma harganya dinaikkan 1000, 2000 dst, bisa jadi satu pelapak punya beberapa akun…

  7. Ya ampun bang Yodh, jangan tertipu dengan nilai investasi, 100 trillun itu wujudnya uang digital, kalo orang bank udah tau lah uang digital ya muternya di dunia online. Ga akan beredar 100 triliun itu di masyarakat, di pasar, di desa desa, please..

  8. Toped menarik fee 5% dari Official Store. Rupanya itu alasan kenapa harga barang di Official Store lebih mahal daripada seller biasa.

  9. Bravooooo TOKOPEDIA, BUKALAPAK, SHOPEE yang terus memberikan kemudahan dalam belanja.

    Namun saya berharap, pemain lokal dapat bersaing dengan semangat menciptakan produk inovatif, supaya produk lokal bisa berjibaku dengan produk import

  10. Mantap pendekatan analisanya bang, meski memang bbrapa asumsi. keheranan sy saat ini hampir semua startup unicorn di indonesia lbh senang mepublikasikan value, jumlah user, growth, dll. tp nyaris silent bicara laba. sehingga dalam menilai kewajaran kita jadi menerka nerka.

Comments are closed.