Dampak Training : Gone With the Wind?

Ditengah arus perubahan lingkungan bisnis yang kian melaju, banyak perusahaan yang kian sadar bahwa kompetensi karyawan yang unggul merupakan salah satu senjata andalan untuk merebut kemenangan. Perjalanan membangun keunggulan kompetensi SDM dengan kata lain, merupakan “jalur sutra” yang mesti ditempuh untuk menuju kejayaan sejati.

Dalam konteks ini, proses training atau pelatihan merupakan salah satu elemen yang paling banyak dilakukan untuk mendongkrak kompetensi para karyawan menuju level yang diharapkan. Faktanya, data best practices menunjukkan bahwa perusahaan kelas dunia rata-rata mengalokasikan dana sebesar US$ 1,612 per tahunnya untuk melatih setiap karyawan yang mereka miliki (untuk perusahaan di Asia rata-rata adalah US$ 543). Selain itu, rata-rata jumlah jam pelatihan yang diikuti oleh setiap karyawan perusahaan kelas dunia tersebut adalah 62 jam per tahun (sementara untuk rata-rata perusahaan di Asia adalah 40 jam per tahun).

Fakta diatas menunjukkan bahwa perusahaan kelas dunia menginvestasikan dana dan waktu yang relatif besar untuk melakukan kegiatan training. Harapannya, proses pelatihan ini akan mampu secara kontinyu meningkatkan keunggulan kompetensi para karyawannya. Dalam kasus di Indonesia, kita juga melihat banyak perusahaan – baik kelas menengah atau besar – yang rajin melakukan kegiatan training untuk para karyawannya, baik berupa kegiatan in-house training atau berpartisipasi melalui kelas public training. Kenyataan semacam tentu saja patut disaluti sebab ia menjadi sinyal bahwa perusahaan domestik-pun punya komitmen yang elok untuk mendidik dan melatih para karyawannya.

Pertanyaan berikutnya yang lebih penting adalah : sejauh mana efektivitas kegiatan training yang telah banyak dilakukan itu? Adakah kegiatan training sekedar acara refreshing belaka demi “menghabiskan” budget yang telah dianggarkan? Adakah kegiatan training sekedar proses sesaat dan tak pernah memberikan value bagi kinerja perusahaan? Tentu saja, sejumlah pertanyaan ini valid untuk diajukan – lebih-lebih ketika dirasakan makin tidak adanya koneksi antara training dengan kinerja karyawan dan perusahaan secara keseluruhan.

Pertanyaan itu pada sisi lain, mengingatkan kita bahwa evaluasi untuk mengukur efektivitas training merupakan komponen yang bersifat vital untuk membuktikan bahwa anggaran training yang kita investasikan tak cuma menguap sia-sia. Dalam hal ini, kita lantas perlu menengok pada metode 4 Level Evaluasi Training yang diperkenalkan oleh Don Kirkpatrick, salah seorang pakar training dari USA.

Level pertama untuk mengevaluasi efektivitas training adalah sekedar menanyakan kepuasan dari para peserta mengenai mutu materi dan juga instruktur dalam proses pelatihan yang baru saja mereka ikuti. Sementara itu, level kedua adalah mengukur aspek learning para peserta – yakni apakah pengetahuan para peserta menjadi kian bertambah setelah mengikuti kegiatan training. Evaluasi level kedua ini umumnya dilakukan dengan cara memberikan tes untuk menguji daya serap para peserta mengenai beragam materi yang telah diajarkan dalam proses pelatihan.

Level ketiga evaluasi bersifat lebih vital karena ia mengukur apakah materi pelatihan yang diajarkan telah diaplikasikan oleh para peserta dalam pekerjaan sehari-harinya. Jadi disini, dilihat apakah materi training dibiarkan menguap begitu saja, atau memang benar-benar dipraktekkan untuk merubah perilaku para peserta menuju perilaku unggul yang diharapkan. Tak banyak perusahaan yang melakukan kegiatan evaluasi pada level ini – dan persis pada titik inilah tragedi kesia-siaan program training acapkali terjadi. Tragedi akan muncul, karena banyak pengelola training yang memperlakukan kegiatan training sekedar sebagai “program sesaat” yang tidak bersifat kontinyu, dan tanpa diikuti oleh serangkaian proses coaching yang melibatkan elemen segiempat, yakni peserta, atasan peserta, instruktur training, dan pihak pengelola training. Padahal proses pembinaan pasca kegiatan training inilah yang justru akan membantu proses aplikasi materi training dalam kenyataan sehari-hari para karyawan. Sayang, banyak pengelola training yang melupakan elemen kritikal ini.

Level keempat dari proses evaluasi training adalah mengukur apakah kegiatan training yang telah dilakukan dapat memberikan dampak positif bagi kinerja perusahaan atau unit bisnis dimana para peserta bekerja. Para pengelola training semestinya selalu melakukan evaluasi atas kegiatan training yang telah mereka selenggarakan – baik pada level 1 dan 2, dan juga yang lebih penting pengukuran pada level 3 dan 4. Sebab hanya dengan itulah, kita bisa yakin apakah anggaran training yang telah diinvestasikan benar-benar memberi value, atau sekedar lenyap tak berbekas ditelan angin malam.

Note : Jika Anda ingin mendapatkan file powerpoint presentation mengenai management skills, strategy, marketing dan HR management, silakan datang KESINI.

Author: Yodhia Antariksa

Yodhia Antariksa

8 thoughts on “Dampak Training : Gone With the Wind?”

  1. Gimana teknik evaluasi yang bisa digunakan untuk mengukur motivational training (training- training motivasi) terutama aspek pola berfikir dan sikap para audience/ team yang ditraining?

  2. Saya pikir metode level 2 dan terutama leve 3 bisa diaplikasikan untuk mengukur perubahan pola pikir, sikap dan perilaku peserta. Caranya adalah dengan membandingkan apakah ada perubahan pola perilaku peserta antara sebelum dan sesudah training. (sesudah disini periodenya bisa 3, 6 dan 12 bulan setelah training).
    Kriteria perbandingannya mesti dijabarkan dalam sejumlah indikator perilaku yang konkrit dan observable.

    Metode perbandingannya kemudian bisa dilakukan melalui asesmen formal, atau melalui observasi langsung dari atasan/rekan kerja.

  3. Saya kira saat ini yang sering dilupakan adlah level 4 dari evaluasi, padahal justru ini yang paling penting karena merupakan outcome dari suatu proses. level 2 dan 3 baru sebatas input dan output. So, mencari model evaluasi level ke 4 menjadi sangat penting. apakah menggunakan model 360 performance review untuk perilaku atau mengukur dampak dari kegiatan peserta di kantornya yang memerlukan perangkat pengukuran yang biasanya sulit diukur karena banyak faktor yang mempengaruhi pengukuran (bias dari hal-hal lain).
    Kesan yang timbul yang berjangka panjang dan juga respek terhadap trainer berjangka lama mungkin bisa menjadi salah satu unsur keberhasilan dari outcome atau inoput belaka? perlu kita cari jawaban sama-sama. bravo. good article

  4. Saya tertarik dan penasaran pada sistem HR di perusahaan kelas dunia. Yang membuat sy tertarik adalah teknik dan metode mereka untuk mendapatkan deep impact atas training yg dilakukan….

  5. Gone with the wind, fenomena yang berlaku juga di dunia pendidikan. Sepulang dari pelatihan cara mengajar guru masih sama dengan yang kemarin. Pada akhir pelatihan banyak juga yang mampu mendemonstrasikan kebolehannya sebagai indikator menyerap isi pelatihan. Tetapi setelah di sekolah lain lagi ceritanya. “Mampu dan mau” dua hal yang beda memang. Yang efektif adalah pasca pelatihan adanya pendampingan, disamping itu dia harus menularkan perolehannya kepada temannya.

  6. Saya dari Nursing. Merupakan fenomena yang di pandang lazim di negeri ini, pelatihan hanya pelatihan tetapi efek / dampak yang positif dari hasil pelatihan biasanya kurang dapat di aplikasikan, hal ini menurut saya perlu adanya pendampingan lanjutan dari hasil pelatihan, misal dengan Clinical Mentorship Program,sehingga harapan yang hendak dicapai pada semua lefel akan tercapai. terimakasih

  7. bagaimana anda mendapat data best practice??
    apakah anda melakukan penelitian sendiri atau mendapat dari penelitian orang lain??
    mau di pakai latar belakang skirpsi ^.^

Comments are closed.