Jumat lalu, saya tengah mengendarai mobil di jalan tol Cikampek – Jakarta sambil ditemani alunan musik dari gitaris Tohpati. Tiba-tiba dari arah yang berlawanan saya melihat ribuan sepeda motor melintas (di jalan tol yang bebas hambatan itu). Saya sejenak tertegun, sebelum cepat-cepat meminggirkan mobil untuk menghindar dari serbuan “pasukan sepeda motor” itu.
Saya baru sadar, para pengendara motor itu adalah para buruh di wilayah Cikarang dan Bekasi yang hendak melakukan demo. Hari itu jalan tol Cikampek – Jakarta yang merupakan urat nadi ekonomi nasional ditutup selama lebih dari 8 jam oleh ribuan buruh.
Tuntutannya satu : mereka ingin agar UMR (upah minimum regional) di daerah mereka dinaikkan menjadi 1,5 juta (dari sebelumnya sekitar 1,3 jutaan).
Setiap tahun, kebijakan UMR memang selalu menjadi sumber pertarungan antara buruh dengan pengusaha. Yang satu minta naik, dan yang satu ogah memberikan kenaikan. Dilematis memang.
Sejumlah pihak menyayangkan drama penutupan jalan tol itu – sesuatu yang dikuatirkan akan membuat investor takut, dan kemudian ramai-ramai membatalkan atau menunda rencana investasi mereka.
Namun alasan buruh simple : buat apa investasi triliunan masuk, ekonomi terus bangkit, namun upah kami tetap terus rendah. Isn’t that just a bullshit economy? Dan kegusaran semacam itu sungguh merupakan benih yang renyah untuk tumbuhnya revolusi kaum buruh (persis seperti yang pernah di-senandungkan dengan amat merdu oleh paman Karl Marx lebih dari seratus tahun silam).
Tuntutan buruh itu sejatinya masuk akal. Upah sebulan yang hanya Rp 1,3 jutaan itu barangkali ndak cukup jika mereka sudah berkeluarga dengan dua anak. Sementara biaya hidup terus merangkak naik.
Klik gambar untuk akses free KPI software.
Sayangnya upah yang rendah itu disebabkan juga oleh prinsip ekonomi yang amat sederhana : karena pasokan tenaga kerja JAUH melebihi permintaan. Semua barang harganya pasti akan jatuh kalau pasokan jauh lebih banyak dibanding permintaan.
Dan itulah yang terjadi dengan upah buruh/pekerja. Selama 20 tahun terakhir upah buruh rata-rata hanya mengalami kenaikan dua kali lipat. Padahal harga emas dalam kurun yang sama sudah naik 20 kali lipat. Jadi kalau diibaratkan barang, “gaji buruh/pegawai” adalah komoditi yang tidak layak dijadikan investasi.
Kondisi itulah yang membuat posisi buruh selalu lemah dihadapan para pengusaha. Jeritan pilu untuk meminta kenaikan gaji selalu dianggap angin lalu. Itulah kenapa membajak jalan tol Cikampek – Jakarta adalah sebuah pilihan “cerdas” untuk menarik perhatian, dan mendesakkan permintaan mereka (pembajakan jalan umum adalah sebuah langkah klasik yang sering diajarkan oleh gerakan buruh radikal di kota-kota Eropa, dan mereka sering melakukannya juga).
Itulah kenapa saya berempati dengan drama penutupan jalan tol itu – meski saya menjadi salah satu korban lantaran terjebak kemacetan selama berjam-jam. Selama ini para buruh itu telah banting tulang berkerja keras (terlalu keras mungkin) demi mengejar target produksi para juragannya. Wajar jika kemudian mereka menunutut kenaikan yang hanya 200 ribu per bulannya.
Namun jika permintaan itu selalu dianggap angin lalu, maka gerakan pembajakan jalan tol adalah pilihan terakhir untuk sebuah shock terapy : sebuah peringatan agar para juragan pemilik modal, para pengusaha, para kapitalis itu tidak terlalu serakah mengejar profit; diatas duka lara ribuan buruhnya.
Tentu saja, ada jalan lain bagi para buruh/pegawai untuk melakukan perbaikan nasib. Cara lain yang lebih elegan dibanding menutup jalan tol. Cara itu adalah : jangan pernah mau menjadi buruh/pegawai/kuli.
Bulan lalu ada kenalan yang bekerja sebagai buruh dengan gaji UMR (atau sekitar 1,3 jutaan). Ia lalu nyambi berdagang dan berjualan kaos. Ternyata keuntungan bersih dalam sebulan menembus angka 3 juta. Ia lalu mengundurkan diri dari posisi buruh, dan bertekad menekuni usahanya sebagai pedagang kaos. Ia tak ingin kembali mengulang pengalaman kelamnya sebagai buruh.
Life is too short to do an underpaid job. Begitu ia berceloteh sambil tersenyum lebar.
~~
Jika Anda ingin mendapatkan materi presentasi yang bagus tentang management skills dan personal development, silakan KLIK DISINI.
dilematis emang pak, ngeri juga bacanya..,
nasib saya nanti juga nda tau akan jadi apa setelah lulus kuliah ini
bisa bisa jadi buruh juga. hiks hiks hiks
nice and witty article pak boz.
Posting yang bagus pak, sudah seharusnya milih berwirausaha daripada menjadi buruh….
Maap, bukan UMP sekarang ya pak istilahnya? hehehehe…..
btw selain itu saya ingin menyoroti perkembangan kenaikan UMP 2 tahun ini cukup besar secara prosentase….dan dampaknya adalah besar bagi perusahaan dgn manajemen penggajian yang buruk…
karena ada beberapa level yang jenis pekerjaan dan pendidikan setingkat diatas buruh, gajinya jadi malah sama…..
Mungkin lain waktu bapak bisa menyajikan tulisan tentang urgentnya manajemen penggajian bagi perushaaaa, dibandingkan mengutamakan pelatihan dan pengembangan karyawan…trims
Mgk msh ingat kasus serupa maspion hengkang ke china, sony pindah taiwan, RIMM msh mikir2 invest disini padahal market mereka sangat besar yg ujung2nya malah rugi semua.
mari dilihat dari 3 sisi,buruh,pengusaha,pemerintah.tuntutan buruh sangat wajar untuk biaya hidup minimal mereka.dari sisi pengusaha,apakah benar nggak bs cover tuntutan buruh? atau ada biaya lain yg membuat ekonomi biaya tinggi?
bukankah konon upah buruh disini paling murah?
dari sisi pemerintah,ada baiknya menjadi solusi ekonomi biaya tinggi tsb.semoga ada jalan terbaik.
Salam,
Wahyudi
http://www.forthesakeofzion.org
Allah SWT tidak akan merubah nasib suatu kaum/pegawai apabila kaum/pegawai itu tidak merubah nasibnya sendiri.
Persis kejadian yang sedang saya atau Anda alami yang masih jadi pegawai dan gajinya kurang dari 16 juta rupiah per bulan…
Semoga Zat Yang Maha Pengasih memberikan solusi bagi kita semua…
Tulisan yang menginspirasi, dah coba sambil jualan kaos siiihh… di sini https://www.facebook.com/#!/pages/Ana-Collection/154647821258818.
Bener sekali apa yang disampaikan pak Yodhia akar masalahnya adalah ketidakseimbangan jumlah angkatan kerja dengan lapangan kerja yang tersedia.
Hanya sedikit koreksi istilah UMR sekarang sudah tidak ada dan diganti dengan UMP dan UMK. UMK hanya untuk karyawan yang baru masuk kerja (kurang dari satu tahun) dan lajang.Dan take home pay mereka tidak semua hanya sebesar UMP/UMK ada beberapa yang bisa mendapat 1.5 – 2 kali UMK.
Tulisan yang menginspirasi, dah coba sambil jualan kaos siiihh… di sini https://www.facebook.com/pages/Ana-Collection/154647821258818. Bener sekali apa yang disampaikan pak Yodhia akar masalahnya adalah ketidakseimbangan jumlah angkatan kerja dengan lapangan kerja yang tersedia.Hanya sedikit koreksi istilah UMR sekarang sudah tidak ada dan diganti dengan UMP dan UMK.UMK hanya untuk karyawan yang baru masuk kerja (kurang dari satu tahun) dan lajang.Dan take home pay mereka tidak semua hanya sebesar UMP/UMK ada beberapa yang bisa mendapat 1.5 – 2 kali UMK.
Coba lihat dr sisi pengusaha…
Saya kok berpendapat lain ya? Buruh selalu menuntut kenaikan upah, padahal kenaikan upah, akan menambah kenaikan harga barang. Sama saja sih menurut saya. Pengusaha tidak akan mau menanggung kenaikan tersebut hanya dengan menaikan labour cost mereka, tanpa menaikan harga. Yah yg dirugikan itu tetap mereka sendiri lah.
Dan ditambah lagi, kl kita liat produktifitas nya buruh2 itu, beberapa kali saya pantau, sangat2 rendah, mau nya kerja sedikit, gaji gede, makanya itu yg menyebabkan pengusaha harus menambah jumlah quantity manpower utk memenuhi volume, krn produktifitas tdk bs ditingkatkan
Pak Yodhia, berapa gaji buruh yang layak dan patut menurut bapak? Dan kalau bapak memperkerjakan pegawai, berapa gaji yang bapak berikan kepada mereka per bulan? Saya hanya mau tahu bagaimana pendapat seorang ahli manajemen seperti anda untuk hal ini. Please kindly answer. Thank you, sir!
Oke kita membela orang kecil, tp mereka itu kalo mau nya kerja sedikit gaji gede, ya ngapain dibela.
Cb liat China, orang Indonesia kerja 40 hoUrs/week, mereka 52 hours/week, produktifitas tinggi, jd raksasa ekonomi, liat seperti apa china sekarang. Indonesia? 52 hrs/week? Serikat Pekerja yg demo minta libur, cikampek tutup lagi.
Coba renungkan, bener nggak komentar saya ini..
Polemik yang seperti ini memang akan ada dan menjadi paradox bagi buruh, pemerintah dan pengusaha… saya sangat setuju dengan paragraf terakhir tulisan mas Yod… buat apa jadi buruh kalau bisa jadi pengusaha… mari kita didik dan tanamkan jiwa enterprener khususnya bagi anak-anak kita… generasi selanjutnya… 😀
Tulisan yang menginspirasi, dah coba sambil jualan kaos siiihh… di sini https://www.facebook.com/pages/Ana-Collection/154647821258818.
Bener sekali apa yang disampaikan pak Yodhia akar masalahnya adalah ketidakseimbangan jumlah angkatan kerja dengan lapangan kerja yang tersedia.
Hanya sedikit koreksi istilah UMR sekarang sudah tidak ada dan diganti dengan UMP dan UMK.UMK hanya untuk karyawan yang baru masuk kerja (kurang dari satu tahun) dan lajang.
Dan take home pay mereka tidak semua hanya sebesar UMP/UMK ada beberapa yang bisa mendapat 1.5 – 2 kali UMK.
Jadi kalau mereka kerja di Kelompok I dengan UMK Rp.1,849,000.00 kali 2 ya lumayan juga, bahkan bisa lebih besar dari pada S1 fresh graduate bahkan PNSpun(Guru SD/SMP) bisa kalah. Ini fakta lho pak…
Dulu jaman saya sekolah, ada case menarik soal Singapore.
Buat yang mau silakan di googling, judulnya Singapore Inc, diproduksi oleh Harvard Business School.
Uniknya, meski mereka berada di Asia yang notabene bisa menyediakan tenaga kerja murah, pemerintah Singapore sejak awal sudah maklum akan bahayanya berkonsentrasi pada tenaga kerja murah! Mereka membidik high level services dengan differentiation disisi skilled worker, bukan lagi cheap worker. Mahal memang, tapi karena yang dijual adalah differetiation, bukan jadi soal!
Dan untungnya dengan arah yang jelas seperti itu, issue yang kini bikin kening para petinggi kita berkerut, bukan lagi jadi masalah buat mereka.
Sebaliknya Indonesia, dari dulu strategi kita dalam memancing mengalirnya Foreign Direct Investment, selalu berfokus pada cheap worker.
Hasilnya mudah diduga, dalam Global Competitiveness Index 2009, kita terpuruk di posisi 54, jauh dibawah jiran kita Malaysia yang duduk manis di peringkat 24, apalagi Singapore yang berjaya di ranking 3 dunia.
Ada 3 faktor yang dianggap memperburuk kemampuan bersaing negara kita, yang pertama adalah kurangnya infrastruktur, yang kedua: kualitas layanan kesehatan, buat praktisi HR tentu maklum bahwa tingginya sick absenteeism adalah salah satu kontributor utama dari kurangnya produktifitas karyawan, dan yang ketiga adalah sebagian besar warga kita masih gagap teknologi.
Mestinya negara kita berfokus pada perbaikan 3 hal ini, bukan dengan mudahnya menekan UMK, UMP atau UMR, kalau memang ingin menarik minat investor tanpa harus bersitegang dengan buruhnya.
Wah pak cupluk ini jgn2 pengusaha yah..
Saya benar2 sedih mendengarnya…
Kenapa tidak dibarengi dengan pelatihan/training SDM yang lebih baik dr pihak perusahaannya??
Dilematis, lingkaran setan jika gaji buruh dinaikkan harga barang dipastikan naik. Agar harga barang murah perlu adanya efisiensi biaya. Namun sayangnya bagi perusahaan paling mudah untuk menekan cost adalah Gaji Pegawai. Hal2 tak terduga dan biaya “siluman” berkontribusi terhadap biaya yang tinggi sulit dihilangkan malah cenderung bertambah. Sehingga barang menjadi tidak kompetitif di pasar, ujung2nya akan lebih murah produk import. Akhirnya paling mudah ditekan adalah Gaji Pegawai. Untuk itu Pemerintahlah yang bertanggung jawab akan hal ini karena “oknum2″nya. Ini opini saya saja.
biasanya saya share tulisan di blog ini ke temen” karyawan lainnya, tapi untuk yang satu ini mikir dua kali mau share hehehehe, cukup kesimpulannya aja yg dishare “Life is too short to do an underpaid job”
Setuju sekali dengan pernyataan bang Yod..”Cara itu adalah : jangan pernah mau menjadi buruh/pegawai/kuli.”
ending yang sangat mengguggah pak yodhia.. hidup emang pilihan koq.. jadi karyawan ato pengusaha? Life is too short to do an underpaid job.. hahaha..
setuju Pak Yodh, meskipun sampai detik ini saya masih jadi pegawai (jadi masih ngerasa susahnya jadi orang yang “cuma” gajian).. semangat para buruh, kita pasti bisa jadi pengusaha!!
Dimanapun, apapun kepercayaan yang dianut, tukuan tidak menghalalkan cara. Saya setuju dengan mas Yod karena yang dianjurkan agama adalah berusaha yang secara umumnya jadilah pengusaha bukan menjadi pekerja karena pengusaha 7 kali lebih banyak kebaikan yang akan diperoleh. Hidup adalah pilihan, kalau kita milih jadi pekerja ikutilah system yang ada dan yang paling penting mulai dengan mengubah bukan menuntut perubahan.
Saya sih bukan tidak berempati. Tentu saja gaji segitu kalau dilihat dari kebutuhan hidup sangat pas-pasan. Tapi memang orang-orang kita itu cenderung malas dan tidak trampil. Contoh kecil saja, dalam setahun ini mungkin ada 8 kali saya ganti pembantu. Dari yang saya gaji agak lumayan sampai yang standard. Dan mereka ternyata tidak ada perbedaan kualitas. Kualitas mereka jarang yang bagus. Sebetulnya kualitas mereka yang tidak bagus itu kalau menurut saya bukan karena kemampuan mereka, tapi attitude mereka. Kalau saya perhatikan, penurunan kualitas ini terjadi sejak handphone dan simcardnya mulai dijual murah, sehingga mereka menjadi kurang profesional. Dulu para pembantu saya rata-rata 2 tahun bertahan, bahkan yang terakhir hingga 4 tahun. Tapi setelahnya hanya 1-3 bulan bertahan….*maaf, jadi curcol :D* . Jadi kalau menurut saya gaji 1,3 juta untuk standard pekerjaan yang seperti itu sudah cukup layak.
Namun demikian, Sebetulnya saya lebih setuju kalau mesin-mesin produksi diotomatisasi, sehingga menghemat biaya tenaga kerja. Dan tenaga kerja yang ada lebih ditingkatkan profesionalitasnya, pendidikannya atau diarahkan menjadi wirausaha.
Kalau kata para buruh bilang percuma para investor menanamkan investasinya disini, tp gaji mereka tidak meningkat, sebetulnya tidak juga demikian. Kalau para investor tidak menanamkan modalnya disini, mereka akan menjadi pengangguran, dan itu akan memperparah keadaan.
Jadi, saran saya, marilah lebih bijaksana melihat kondisi ini. Syukuri apa yang ada..kalau kita ingin berkembang, jangan selalu menuntut perusahaan kita, tapi kembangkanlah kreativitas diri, gali ilmu sebanyak-banyaknya dan tingkatkan penghasilan kita…Allah Maha Kaya 🙂
Aryo (10) : mungkin 1,8 – 2 jutaan yang ideal untuk entry level labor.
Kalau pegawai untuk bisnis konsultan semacam saya agak beda ya…karena ini jenis pekerjaan yang menuntut skills dan knowledge yang tinggi.
Pegawai yang ikut mengerjakan projek konsultasi dengan saya biasanya saya gaji 20 juta/bulan. Ada juga yang kerja hanya 2 hari saya beri 10 juta.
Pak Yodhia(23): Wowww, mau jadi pegawainya dong pak? hehehe
Ketika kejadian demo kemarin, sungguh berdampak sangat dahsyat, sampai-sampai perusahaan tempat saya bekerja menyewa brimob. Maklum perusahaan ini adalah aset nasional.
Masalah upah buruh tidak lepas dari pengaruh politik dan sistem pemerintahan di Indonesia. Kalau dilihat dari Undang-undang Ketenagakerjaan di Indonesia, nampaknya sulit sekali bagi buruh untuk meningkatkan kesejahterahannya, misalkan saja sistem outsourching yang sampai “matipun” buruh sulit untuk sejahterah.
Demikian juga kalau dilihat dari sistem pemerintahan, sulit bagi pengusaha untuk meningkatkan kesejahterahan buruhnya, misalkan saja pajak disana sini, pungli dsb. Jadi buruh dan pengusaha justru yang “diadu” sama pemerintah.
Rendahnya upah buruh berakibat rendahnya kinerja, rendahnya kinerja berakibat pengusaha tidak mau bayar upah yang tinggi, masalah akan berputar seperti itu terus menerus, sementara pemerintah hanya asik memungut pajak, belum lagi kalau ada masalah sampai ke PHI, daftar perkara saja kalau ga ada uang “tips” nya ga diladeni (lama).
Buruh dan pengusaha harus bersatu, caranya buruh harus sadar untuk meningkatkan kinerja dan kompetensi, pengusaha harus berani bayar upah tinggi terhadap buruh yang berkompetensi, lalu buruh dan pengusaha secara bersama-sama mengajukan (mendesak) kepada pemerintah agar pajak-pajak ke pengusaha (minimal) dapat dikurangi dan pengurangan pajak tersebut dialokasikan untuk kesejahterahan buruh.
pemerintah harusnya lebih ’empati’ terhadap nasib buruh, apalagi sebagian besar tenaga kerja di Indonesia bekerja sebagai buruh….termasuk karyawan juga buruh, he…
Great Point at last sentence.. menggampar, 🙂
kasihan ya para buruh.
sudah selayaknya para juragan memperhatikan nasib mereka.
Bukankah orang kaya adalah mereka yang juga mengkayakan sesamanya.
Harusnya manajemen perusahaan bisa lebih bersahabat dengan para buruh.
Namun kalau misalnya saya diposisikan sebagai buruh, maka lebih baik mengambil langkah keluar dari perusahaan dan jadi wirausaha.
Daripada menghabiskan sisa hidup di perusahaan yang membayar kita dengan tidak pantas.
Life is too short to do an underpaid job
bang yod, mohon pencerahannya menyikapi hal ini kepada kita semua
mengingat ada beberapa hal yang perlu kita cermati bersama saat ini
karyawan dan pengusaha mempunyai kepentingan yang berbeda,dan fungsi dari pemerintah adalah penyeimbang dari dua kepentingan yang berbeda itu.
seharusnya pengusaha melihat karyawan bukan sebagai cost center, melainkan sebagai asset.
dan pengusaha harus berfikir jika karyawan itu tidak mempunyai dasar kopetensi yang dibutuhkan perusahaan.
satu hal yang harus di garis bawahi,tidak ada perusahaan yang menghasilkan produk bermutu tanpa ada SDM yang bermutu di dalamnya.
Truely sad when economy is not conform to ppls needs.
Kepentingan economy terletak pada pemerintahan yang men-diktate cuaca econom. Keseimbangan cuaca economy memerlukan pemeritahan yang cerdas untuk memberi keseimbangan untuk masyarakatnya.
UMR diwajibkan untuk perusahaan memberi, tetapi gaji itu masih saja tidak memberi cukup untuk pekerja hidup dalam keperluannya sehari-hari, apalagi pekerja yang sudah bekerluarga. Terimakasih atas tulisannya pk.Yod.
Saya setuju dengan Mas Yodhia. jangan jadi buruh kalau komplain gaji kecil… Jadilah wiraswasta, meski kecil kecil an pasti bisa lebih daripada buruh…..
Lagipula, produktifitas buruh Indonesia dikenal sangat rendah sekali…. Ada teman cerita, dari semua negara di Asia Tenggara, buruh kita yang paling kecil produktifitasnya…. sangat menyedihkan….
Jadi yang kedua, kalau mau minta naik gaji, tunjukkan produktiftas apa yang telah diberikan….
tulisan yg maknyus…
jadi tamparan juga bagi yang selalu mengeluh mengenai gaji rendah tapi males untuk berpikir maju dan merubah keadaan internal
jadi lebih instropeksi diri…
motto saya :
“dimanapun anda bekerja, berikan yang terbaik bagi perusahaan dan reputasi anda, hingga suatu saat anda akan dibayar dengan bayaran yang sebanding dengan reputasi anda, entah oleh perusahaan sekarang atau perusahaan lain”
Pak Yodhia apa membuka lowongan pekerjaan?
Saya jadi tertarik dengan komentar bapak nomer 23. Hehehehe
Yohan (32) : sepakat sekali dengan moto Anda itu. Saya yakin Anda pasti akan jadi orang sukses !!
Ikut nimbrung mas yod,. 🙂
Sudah semestinya pengusaha menempatkan karyawan sebagai “partner” bisnis.
Seperti yang dilakukan oleh SEMCO Group yang berbasis di Brazil. SEMCO mengadopsi prinsip “win-win solution” antara karyawan dan perusahaan.
Dan dengan prinsip tsb, berhasil meningkatkan kinerja perusahaan hingga 40% pertahun!!
Jika Anda ingin tahu bagaimana caranya, silahkan baca buku “Revolusi Bisnis Abad 21-Dengan jiwa merdeka meningkatkan profit dan produktifitas” oleh Ricardo Semler. Buku yang sangat patut dibaca khususnya oleh Para Pengusaha!! 🙂
Kang Yodhia, Negara kita telah dijajah lama, sehingga kultur budak telah tertanam, sebaiknya pendidikan di negera kita berorientasi kepada kemandirian, berwiraswasta, mendidik untuk menjadi jiwa entrepenuer…
Makanya Rasulallah sangat menganjurkan umatnya untuk ‘berdagang’ barangkali itu artinya jangan lah jadi bawahan yang hanya bisa menerima dan tidak fikir maju
di tuntut untuk berinovasi merubah masa depannya dengan usaha keras dari diri sendiri…..
buat pak cupluk (11)
kerja sedikit minta gaji gede?
tuntutan 1,5 jt yg mana cuma naik 200rb dari gaji awal yang 1,3 jt itu apa menurut anda sudah bisa dikategorikan “gaji gede” ya pak…?
Saya pernah membaca twit yg dilontarkan oleh @budimandjatmiko di Twitter, bunyinya kurang lebih begini:
“Pertumbuhan ekonomi sudah meminta banyak perngorbanan kelas bawah, pemerataannya menuntut pengorbanan kelas menengah ke atas untuk berbagi.”
Saya sangat setuju dengan pernyataan itu, dan saya kira berhubungan dengan postingan ini 🙂
kata madneji peyoratif juga karena perkembangan zaman ya mas, sehingga mau tidak mau perspektif buruk masyarakat mengikuti perkembangan. tentu ini juga dibawa oleh media dalam penggunaannya dalam memberitakan peristiwa.
semoga indonesia menciptakan banyak Enterpreneurship
dan tidak mau mencari pekerjaan lagi…
sukses buat Indonesiaku
salam Damai
https://hariankita.com
Gaji buruh dinaikkan menjadi 20%
dari standar gaji sekarang
hehhee…
saya masih kuliah
tapi pengen buka usaha sendiri
doain ya… 😀
https://hariankita.com
Salam Pak Yodia,
Saya kadang berfikir, yang salah itu bukan Perusahaan yang dituntut oleh Buruh. Kaum buruh itu sulit: bukan karena makan. Insya Allah dengan upah minimumnya mereka bisa makan, bahkan makan enak. Tapi dengan syarat: pemerintah MENGAMBIL TANGGUNG JAWABNYA.
Saat ini, yang seringkali tidak disadari, terkadang tanggung jawab negara terhadap akses pendidikan murah, jaminan kesehatan yang baik dan merata dipaksa untuk ditanggulangi oleh perusahaan (dengan sistem reimburst, atau sistem yang Pak Yod sendiri saya yakin, lebih paham).
Pemerintah menuntut gaji di rasionalisasikan dengan sejumlah kenaikan bahan bakar dan lain sebagainya: padahal logika terbaliknya jika bahan bakar/migas/dikuasai oleh negara bukan KAPITALIS murni, maka buruh tidak sengsara seperti sekarang.
Masalahnya, terbalik: SDA yang harusnya dikuasai tidak dikuasai negara karena pejabatnya ingin menikmati hasilnya sendiri hanya dari secuil kompensasi dan motif lainnya: termasuk konspirasi. J
adinya, negara kesulitan membiayai infrastruktur, acuh tak acuh terhadap akses pendidikan dan kesehatan masyarakat yang jadi tugasnya. Jadinya, negara mencekik masyarakat dengan pajak untuk membiayai banyak hal: padahal Rasulullah pernah bersabda: penarik pajak itu akan masuk neraka.
Saya berpikir, sudah saatnya buruh dan perusahaan (yang baik tentunya) bersatu: menuntut kembali peran pemerintah terhadap kesehatan dan pendidikan (yang makan banyak biaya itu), merebut hak dasar mereka kembali sebagai pemilik sumber daya alam kepada pemerintah. Bukannya, malah saling berseteru… sehingga pemerintah semakin berada dalam posisi aman, dan semakin seru mencuci tangan.
Mungkin revolusi harus terjadi: ya, setidaknya revolusi pemikiran dulu dikalangan buruh dan perusahaan untuk menghancurkan konsepsi neo liberal.
Satu saat nanti, masanya pasti akan datang.