Welcome to Digital World. Everyone is Invited. Begitu mungkin banner yang mesti dikibarkan saat ini – saat dunia terus bergerak ke arah digitalisasi.
Pada akhirnya, revolusi mungkin tidak lahir dari gemuruh sorak sorai massa. Ia lahir dari sesuatu yang tak terduga : hanya dari sekeping screen ponsel pintar atau mini tablet.
Screen mini yang hanya berukuran 3 atau 5 inch itu yang sejatinya telah mengubah secara dramatis gaya hidup jutaan umat manusia di segenap penjuru jagat. Menciptakan apa yang layak disebut sebagai digital revolution.
Pagi ini, sambil minum secangkir teh hangat, saya ingin mengajak Anda berkelana : menelusuri jejak-jejak dunia digital yang menawarkan beragam kemungkinan.
Sejak fajar internet menyingsing di awal tahun 1995, dunia memang bergerak ke arah digital secara masif. Era itu kemudian juga melahirkan “Digital Generation” : atau mereka yang sejak tumbuh remaja telah begitu fasih dengan dunia digital dan online.
Generasi yang lahir setelah tahun 1995 kemudian disebut sebagai “Digital Natives” : atau mereka yang sejak usia tiga tahun sudah bisa pencet-pencet iPad/tablet, dan usia 5 tahun sudah fasih menggunakan Google dan Yotube.
Generasi digital yang terus mekar pada akhirnya juga melahirkan digital lifestyle : sejenis pola hidup yang bertumpu pada interaksi digital. Lahirnya smartphone, tablet dan mini tablet menjadi pemicu dunia digital itu. Pemicu lainnya : akses online via teknologi broadband, hot spot wifi, serta layanan data dari beragam operator selular.
Merebaknya gaya hidup digital itu pada akhirnya juga melahirkan sejumlah implikasi serius bagi cara kita bekerja dan menjalani ritual hidup. Berikut tiga implikasi yang layak dicermati.
Digital Implication # 1 : The Death of Paper Publication. Pelan-pelan rintihan suara selamat tinggal terdengar bagi ribuan penerbitan buku/koran/majalah yang berbasis kertas.
Tempo hari, Borders (toko buku off line yang menjadi Gramedia-nya Amerika) resmi menyatakan bangkrut (lantaran tak lagi bisa bersaing dengan layanan buku online dari Amazon.com dengan senjata andalannya : Kindle dan ebook. Penjualan ebook via Kindle tahun depan akan LEBIH BESAR dari versi buku cetak).
Majalah konvensional Newsweek yang resmi menutup edisi cetaknya, adalah korban ke-sekian dari gelombang digitalisasi informasi.
Pelan namun pasti, fenomena seperti diatas juga akan terjadi di tanah air. Berbahagialah Detik.com yang terus jadi pioner (tidak salah jika beberapa waktu lalu, Chairul Tanjung/Trans Co membeli Detik.com dengan harga 600 milyar).
Lalu, Kompas.com harus terus bekerja amat keras untuk mengejarnya. Sebab jika tidak, mungkin mereka akan tergilas seperti Borders dan Newsweek itu.
Digital Implication # 2 : The Rise of Smartphone Screen. Screen atau layar ponsel pintar kita pada akhirnya telah mengubah cara kita membaca dan mengunyah informasi. Screen ponsel/tablet telah men-dekonstruksi our reading habits.
Dalam dunia digital yang serba bergegas dan ringkas, orang enggan lagi membaca artikel atau tulisan yang terlalu panjang. Dalam screen yang kecil, semua informasi harus dihadirkan secara pendek (Twitter ikut mendorong kebiasaan ini. Serba ringkas, dan kadang instan).
Namun seperti yang pernah saya tulis disini, perubahan semacam itu mengundang implikasi serius bagi generasi digital : kita jadi kian enggan untuk membaca buku-buku tebal nan panjang.
Otak kita kian terbiasa membaca informasi dalam screen digital secara ringkas dan pendek. Pelan-pelan, otak kita jadi kian malas untuk membaca informasi yang mendalam dan membutuhkan konsentrasi panjang.
Namun dibalik fenomena itu, lahirlah aplikasi Summly. Aplikasi yang diciptakan Nick D’Aloisio (baru berusia 17 tahun) ini mampu meringkas tulisan online panjang menjadi hanya beberapa paragraf namun tetap menangkap esensi artikel.
Aplikasi yang pasti kian penting dalam dunia “digital screen”. Itulah kenapa Yahoo lalu tertarik membelinya seharga Rp 280 milyar. Pasti bukan jumlah uang yang kecil buat Nick yang baru lulus SMA. (Kisah Nick juga contoh sempurna tentang “young digital generation”. Kapan-kapan saya akan mengulasnya secara khusus).
Digital Implication # 3 : of Digital LearniThe Rise ng. Dalam jagat digital, kita juga kian familiar dengan maraknya beragam aplikasi (apps) untuk menunjang proses pembalajaran/digital learning. Beragam “digital learning apps” tersedia secara melimpah di apps store seperti AppleStore dan GooglePlay/Android Marketplace.
Di luar negeri, kini kian banyak penyedia layanan pendidikan dan ilmu pengetahuan yang secara cerdas memanfaatkan aplikasi untuk men-deliver produk-produk mereka (gambar yang tersaji di awal tulisan dan samping ini adalah contoh indah tentang bagaimana iPhone telah berubah menjadi powerful learning tool).
Jadi screen ponsel pintar tak lagi hanya sekedar alat komunikasi : namun telah bergerak menjadi digital learning tool yang keren dan empowering.
Itulah tiga implikasi yang layak di-stabilo dari melambungnya tren digital lifestyle dan digital generation. Ada yang manis. Ada juga yang pahit. Tugas kita adalah : merespon dan mengantisipasinya secara cerdas.
Tidak hanya gadget yang dituntut untuk selalu berinovasi, namun pada akhirnya setiap generasi dituntut untuk selalu meng-update kapasitas dan kompetensi dirinya dalam memanfaatkan perangkat tersebut maksimal.
Pembelajaran yang tak pernah henti.
Digital fraud juga semakin banyak
mantab juga nih Pak Yod, sampai ke aplikasi BB juga. Ditunggu untuk aplikasi blog ini di Android ya Pak..
Terima kasih mas Yodi atas infonya yg selalu menarik. Saya ijin app strategi manajemen dr BB. Bravo Pekajangan!
Mantabs Pak…
Jangan sampai gadget yg digunakan lebih canggih dari penggunanya 🙂
“Everything in the world is Analog.”
Kapan ya kita bs jadi pelaku inovasi digital bukan korban era digital.
kalo kata salah satu mentor saya dulu, semestinya digital itu melengkapi yang sudah eksis (kertas, radio, dll), dan bukannya mematikannya.
tapi ya.. kalo ngeliat kondisi saat ini.. ah, entahlah.
Hal yang sama terjadi pada dunia musik dengan mati surinya toko-toko kaset yang dulu legendaris seperti Duta Suara atau Aquarius.
Namun dari semua masa lalu itu meninggalkan pernak-pernik yang kemudian dicari lagi oleh banyak orang yang pernah mengalaminya, dan akhirnya masa lalu menjadi sebuah komoditas, seperti layaknya yang saya lakukan dengan mengelola http://www.hobijadul.com….hehehehehe...
salam
Kiranya para orang tua tidak membiasakan anaknya untuk menjadi budak gadget sejak usia dini
Di zaman serba IT kelak buku cetak memang akan semakin berkurang peredarannya di pasaran, tetapi bukan berarti lenyap tanpa bekas.
Hal ini karena buku cetak memberikan sensasi berbeda dari sebuah ebook dalam hal perannya untuk proses transfer ilmu sehingga keberadaannya akan selalu dibutuhkan oleh para pencintanya.
Asslmkm. Artikel yang inspiratif thanks Mas Yod…Mohon izin share ya mas
Hmmm inilah era informasi-konseptual….
Wow keren mas, terus kalau versi Android ada gak ya?
soalnya saya pake android 🙂
Dunia terus berkembang dan berubah
http://www.TokoAgus.com
Affanul (14) : yang Android dan iOS belum ada….baru ada di Blackberry. Mudah-mudahan segera menyusul …. 🙂
siapa yang ‘menguasai’ tehnologi, akan ‘menguasai’ dunia
Setiap kejadian adalah pembelajaran bagi penerbit yang lain untuk tidak pernah bosan berinovasi dan berkreasi dalam bisnisnya.
Kompas, Surya dan Jawa Pos silahkan menghitung hari menyusul Borders apabila gagal berubah dan menyikapinya.
Benar kang, saat ini adalah era digital, siapa yang menguasainya dan pandai memanfaatkannya, they must have the most advantage.
Saatnya “online generation” 🙂