Korelasi Agama dengan Kemakmuran Bangsa dan Kekayaan Individu

stock-photo-28749627Adakah korelasi antara agama yang dianut sebuah bangsa dan komunitas dengan kemakmuran bangsa itu? Lalu adakah juga korelasi tingkat religiusitas seseorang dengan level kekayaan orang tersebut?

Korelasi antara agama dan kekayaan sebenarnya telah lama diteliti dalam studi-studi tentang sosiologi ekonomi dan business anthropology.

Di pagi ini kita akan mencoba mengulik tema yang rada serius ini dengan renyah, ditemani secangkir teh hangat.

Kenapa negara Jerman dan Amerika (mayoritas agamanya Protestan) dan Jepang (mayoritas agamanya Budha dan Shinto) relatif lebih makmur dibanding katakan Nigeria, Indonesia dan Pakistan (mayoritas agama tiga negara ini adalah Islam)?

Pertanyaan yang menarik, namun jawabannya mungkin lebih dari sekedar faktor agama. Ada sejarah peradaban yang panjang kenapa Jepang, Jerman dan Amerika cenderung lebih maju negaranya (setidaknya dilihat dari penguasaan ilmu dan teknologi).

Kapan-kapan saya akan membahas sejarah peradaban ini dengan lebih detil. Tak ada salahnya, sesekali kita bahas tema yang rada serius seperti tentang sejarah peradaban ini. Woke?

Namun ada sebuah studi tentang Katolik vs Protestan yang menunjukkan kesimpulan menarik : negara-negara yang mayoritasnya Protestan (Jerman, Amerika, Denmark, Norwegia) memang ternyata lebih makmur dibanding negara yang mayoritasnya Katolik (Italia, Portugal, Yunani dan Spanyol).

Mungkin itu ada hubungannya dengan premis terkenal dari Max Weber berjudul Etika Protestan : agama ini memang lebih kompatibel dengan spirit kapitalisme, yang mendorong pemeluknya untuk hidup makmur. Menjadi kaya itu juga ibadah, begitu salah satu doktrin dalam Etika Protestan.

Berbeda dengan Katolik yang mungkin cenderung konservatif, dan tidak mendorong pemeluknya untuk agresif mengejar kekayaan.

Banyak juga pendeta Katolik yang hanya bicara surga neraka, dan menganggap kaya itu dekat dengan setan. Kolot begitu. Samalah dengan sejumlah ustadz Islam yang konservatif dan melulu hanya bicara surga neraka plus hobi mengkafirkan orang lain. Semua agama selalu punya tipe pemeluk semacam ini.

Itulah mungkin kenapa sejumlah riset menunjukkan negara-negara Protestan lebih makmur dibanding negara mayoritas Katolik.

Dalam internal Islam sendiri kita mungkin menjumpai hal serupa. Perbedaan aliran (mazhab) atau ideologi Islam yang dianut bisa punya impak masif bagi kehidupan sosial ekonomi, bahkan kebijakan pembangunan ekonominya. Dalam jangka panjang ini akan berdampak signifikan bagi kemakmuran warganya.

Kontras yang paling mencengangkan mungkin perbandingan antara negara Saudi Arabia dengan Uni Emirates Arab. Keduanya negara Islam, sesama Arab dan sesama Kerajaan.

Namun kalau Anda melihat bandara Dubai atau Abu Dhabi dan membandingkan dengan bandara Jeddah International (di Saudi Arabia), Anda akan amat tertegun : betapa jauh bedanya.

Datanglah ke WC atau Toilet Bandara Jeddah, dan Anda akan merasa seperti di toilet terminal Pulogadung yang jorok. Jujur saya sendiri suka shocked dengan fakta ini. Bagaimana bisa toilet di bandara sebuah negara yang jadi kiblat umat Islam sedunia bisa sedemkian kumuh.

(Dan jangan pernah anggap remeh kebersihan sebuah toilet. Sejumlah studi empirik menujukkan “level kebersihan toilet” sejatinya adalah cerminan mutu sebuah bangsa dalam mengelola ekonominya. Sama, kalau toilet kantor Anda kumuh itu cerminan buruknya manajemen perusahaan Anda).

Sebaliknya : datanglah ke Bandara Dubai, dan Anda akan melihat betapa maju, BERSIH dan modern-nya pembangunan di Uni Emirates Arab.

Dubai (Fly Emirates) dan Abu Dhabi (Ettihad) memang cerita fenomenal. Dua kota di UEA ini adalah ikon kemajuan yang dramatis dan inovatif tentang kebangkitan ekonomi Arab Islam.

Nah, kenapa Uni Emirates Arab cenderung lebih sukses mengelola ekonomi negaranya dibanding Saudi Arabia? Mungkin ini ada korelasinya dengan ideologi Islam yang dianut.

Ideologi Islam Dubai dan Abu Dhabi cenderung lebih modern, toleran dan progresif. Sementara ideologi ekonomi Saudi Arabia kental diwarnai nilai-nilai Islam Wahabi yang relatif konservatif.

Efeknya amat kentara : arah pembangunan ekonomi dua negara itu jadi amat berlainan.

Dan untuk menunjukkan perbedaannya cukup bandingkan Bandara Dubai dengan Bandara Jeddah International. Anda dijamin akan tercengang melihat perbedaan level kedua bandara ini.

Di Indonesia kita mungkin juga menjumpai hal serupa, dalam konteks organisasi Islam NU dan Muhammadiyah.

Meski sama-sama Islam, namun dilihat dari amal usaha ekonomi dan industri pendidikan, maka Muhammadiyah tampaknya jauh lebih masif karyanya dibanding NU.

Itu mungkin ada kaitannya dengan ideologi Muhammadiyah yang memang cenderung fokus pada kebangkitan ekonomi, pro saudagar, dan gigih membangun amal pendidikan modern yang progresif.

Ada kisah yang fenomenal tentang ideologi ekonomi Muhammadiyah ini. Datanglah ke Muhammadiyah di desa saya, Desa Pekajangan, sebuah desa kecil yang makmur di utara kota Pekalongan.

Muhammadiyah yang cuma selevel Desa ini sekarang memiliki satu rumah sakit umum yang maju, satu rumah sakit bersalin yang laris, universitas kesehatan terbaik di Jateng dan puluhan sekolah dari level SD hingga SMA.

Semuanya menghasilkan profit hingga Rp 10M per tahun yang kemudian 100% dikembalikan untuk manfaat umat. Itu semua hanya Muhammadiyah ukuran DESA.

Kalaulah banyak orang suka berteriak tentang kebangkitan umat, mungkin kiprah Muhamadiyah di desa saya itu adalah contoh terbaik wujud nyatanya. Best practice tentang Islam yang berkemajuan.

Iya, kebangkitan ekonomi Islam mungkin tidak bisa dibangun dengan unjuk rasa teriak-teriak di Jalanan, dan lalu mengisi headline koran-koran. Lengkap dengan tagline spirit blah-blah-blah.

Muhammadiyah di Desa Pekajangan menunjukkan membangun ekonomi umat Islam harus dengan karya nyata, bukan dengan takbir belaka disertai dengan kostum jubah dan sorban.

Uraian panjang lebar diatas mau menunjukkan bahwa memang : ideologi agama, bahkan ideologi dalam internal sebuah agama, memang punya impak signifikan terhadap pola ekonomi dan kemakmuran penganutnya.

Uraian diatas telah menunjukkan ideologi dan nilai agama punya pengaruh kuat terhadap corak kehidupan ekonomi para pemeluknya.

Lalu bagaimana korelasi agama dengan kemakmuran individual? Apakah orang yang rajin beribadah pelan-pelan akan menjadi makin kaya? Atau sebaliknya : orang yang makin kaya cenderung akan makin religius?

Kita akan membahas beragam pertanyaan krusial itu dalam bagian 2 tulisan ini. Sambungannya Part 2, bisa dibaca DISINI.

Photo credit by Sim Kim Seong

27 thoughts on “Korelasi Agama dengan Kemakmuran Bangsa dan Kekayaan Individu”

  1. Tulisan yang sangat menarik. Esensi yang dapat saya tangkap adalah bahwa pemahaman agama yang dihembuskan oleh agama tertentu, atau lebih tepatnya aliran agama tertentu, hingga merasuk ke pikiran, perasaan, dan perilaku penganutnya memiliki dampak yang luar biasa dlm menciptakan kemakmuran/ketidakmakmuran.

    Barangkali dapat dikembalikan pada pernyataan Mohammad Natsir yang mengatakan agama adalah hal yang disebut sebagai problem of ultimate concern, sesuatu yang utama, yang menggerakkan perilaku.

  2. Pagi yang menyejukkan..

    Dewasa ini bnyk trlihat penyalahgunaan pemahaman keyakinannya..
    Aplgi soal diskotomi sunni syiah, perbedaan politik, yg satu dukung saudi yg satu dukung Iran.
    Wah yg tdny friends jd lawan. Bisnis jd terhambat..

    The power of mind mngkin terbntuk trgntung aktifitas religius individu nya.. Hasil yg positif tercontoh pd Jerman, Jepang..

  3. Sangat menarik artikelnya Pak, sebetulnya Islam tidak mengajarkan anti toleran, tidak mengajarkan kekerasan, Islam itu damai, namun perselisihan itu jangan kaget, sudah sekenario Allah swt. perbedaan itu adalah rahmat.

  4. Topik yg agak serius… Dan sensitif ini nampaknya 😀

    Sebagian besar dari uraian di atas, saya setuju.

    Pernah nonton video tentang korelasi agama dan ekonomi, yg ber-mindset modern yang akan maju lebih cepat..

    Senin yg indah…
    🙂

  5. Mohon maaf, yang dibahas memang sensitif, tapi perlu disikapi. Sepertinya ulasan tentang agama, apalagi Islam perlu disampaikan dengan kajian yang mendalam dan oleh ahlinya. Om Yodhia kan Pakar SDM dll kan yaa. Menilai Islam yang lebih baik dengan membandingkan kualitas kebersihan toilet ? Koq jadi ga berkualitas begini tulisan Om.

    1. Justru agama dan kebersihan memang berkorelasi. Bukankah kebersihan adalah sebagian dari iman? Allah itu indah dan menyukai keindahan, dan sesuatu yang “indah” itu sudah pasti bersih kan? Jadi semakin baik kualitas iman seseorang, maka kebersihan akan jadi bagian dari hidupnya. Sampai kebersihan toilet sekalipun…

  6. Sangat menarik pak Yodhia.

    Sebenarnya dalam Islam sendiri, Allah mengajarkan umat Islam untuk kaya. Hal ini terbukti, dalam Al-Quran ada ayat khusus yang membahas warisan. Kita diperintahkan untuk meninggalkan ahli waris dalam keadaan cukup.

    Dalam hal ini menunjukan bahwa seseorang harus kaya untuk dapat membagikan warisan sesuai petunjuk dalam Al-Qur’an.

    Bagaimana mungkin dapat membagikan warisan jika kondisi dia miskin.

    Dan beberapa amalan-amalan lainnya seperti berkurban, haji, sedekah, membangun masjid, membangun sarana pendidikan dll, yang amalan-amalan tesebut membutuhkan banyak uang untuk menjalankannya.

  7. Membahas kemajuan Ekonomi dari sudut pandang agama yang dianut cukup menarik, memberikan perspektif baru yang bisa menambah wacana, plus introspeksi bagi umat islam, bahwa menjadi kaya tidak dosa, bahkan harus, demi membantu kemakmuran rakyat (melaui zakat fitrah, zakat mal, infaq, shodaqoh), menjadi kaya seperti Istri Rosul, Siti Khadijdah, women enterpreuner pada masanya yang kaya raya. Atau menjadi seperti sahabat Rosul yaitu Abu Bakar Sidiq, yang mewakafkan (invest) hartanya pada investasi yang bertumbuh positif seperti lahan, ladang, dan sumur zamzam..

    Namun, kalau dihubungkan dengan teriak-teriak demo di jalan pakai sorban (saya ambil jekadian 411 dan 212) rasa-rasanya nggak nyambung ya Mas Yodhi, karena itu adalah demo untuk menuntut penegakan hukum, dan jika dimasukan dalam tulisan ini yang konteksnya adalah ekonomi dan agama yang dianut, ya tidak nyambung, karena 2 hal yang berbeda, antara kegiatan dan strategi bisnis perdagangan yang dilakukan Muhammadiyah dengan demo, seolah demo itu adalah salah, padahal esensinya berbeda.

    Mungkin ini sedikit kritik kepada Mas Yodhi, agar tulisannya benar-benar sesuai antara judul dan isi, agar pembaca tidak terkecoh dengan sebagian paragraf yang (menurut saya) agak-agak melenceng.

    Demikian, terima kasih, salam hormat,
    Gugi

  8. Wah akhirnya bahas yang rada serius dan sensitif..hehe

    Secara umum, yang saya tangkap sebenarnya semua berawal dari mindset-nya ya?

    Cara pandangnya terhadap makna dari kekayaan itu sendiri.

    Cocoklah dengan artikel bang Yodhia sebelum-sebelumnya tentang mindset kaya

  9. Agama Islam sekarang memang mengalami kemunduran dibandingkan zaman dahulu .
    Tapi beberapa waktu lagi Agama Islam bakal bangkit lagi.

    Sekarang biar saja Wahyudi yang mengusai dunia fana ini.

    Islam mengajarkan Akhirat sama dunia harus seimbang jangan cuma mengejar dunia yang fana saja.

    Kekuatan Iman kita di uji dengan cobaan kekurangan seberapa kuat kah dia.

  10. Cerita ttg desa Pekajangan menarik, sy dengar 80% penduduknya S1 dan S2 bahkan juga bergelar Doctor sep Hakim Garuda Nusantara, Rohman Achwan, Budiman dll.

    Kayaknya tidak ada didunia desa spt Pekajangan. Sebatas Desa kok punya pendidikan dari Paud, SD sampai Perguruan Tiggi.

    Punya Rumah Sakit Umum PKU Muh dan Rumah Sakit Ibu Anak Aisyisyah, BTM, dan kantor2 perbankan.

    Dan semuanya didirikan secara mandiri oleh warga desa yg kebetulan warga Muhammadiyah.

    Sy tidak tahu apakah Menteri Desa tahu ttg Desa Pekajangan.

    Ceritera suksesnya Desa Pekajangan sangat korelatif dg faham keagaman penduduknya dg kemajuan desanya.

    Sebagian warga desanya selalu bersama2 menebarkan manfaat untuk seluruh masyarakat sekitarnya Rahmatan lil alamin.

    1. Luar biasa kiprah muhammadiyah pekajangan.

      Layak dijadikan contoh bagi desa desa lainnya.

      Maju terus.

  11. hahaha…. akhirnya mas yodhia bahas topik yang agak sensitif.

    Sebenarnya banyak pak yang bisa dikupas antara kepercayaan sebuah agama dengan perilaku manusia (yang nanti ujung-ujungnya akan berkaitan dengan kemakmuran juga)

    saya sendiri sempat menulis alasan mengapa banyak masyarakat sekarang suka untuk mengkafir-kafirkan dengan mudah dari sudut pandang psikologi

    https://teknologipikiran.com/mengapa-pandu-wijaya-dan-beberapa-pemuda-lainnya-berani-menghina-gus-mus/#sthash.M4GxMv9I.dpbs

    Tapi untuk sementara biarlah tulisan mas yodhia yang renyah nan inspiratif ini sedikit menggelitik teman- teman diluar sana.
    thanks mas.

  12. Wah ditunggu part 2nya mas Yodhia. Untuk saat ini saya belum bisa banyak berkomentar karena pembahasannya cukup sensitif. Terlihat dari komentar – komentar sebelumnya.

    Tapi jujur semakin membuka pikiran saya bahwa memang apa yg disampaikan itu fakta.

  13. Mantap nih ulasannya.

    Islam kan memang ndak hanya mengatur ibadah-ibadah utama saja, namun mengatur semua sektor kehidupan, termasuk ekonomi.

    Kalau orang, masyarakat, negara miskin ya jangan menyalahkan Islam-nya 🙂

    Ada sebuah desa di mana saya pernah dibesarkan, yang pendatang dan pendatang musimannya banyak dari Pekajangan dan sekitarnya, secara ekonomi berkembang, jenjang pendidikan sampai SMA dan rumah sakit, dan Muhammadiyah menjadi motor utama penggeraknya.

    Yang belum ada perguruan tingginya.
    Desa itu namanya Kalibening.

    Terima kasih
    https://manajemenkeuangan.net/cara-mudah-input-kode-akun-akuntansi-dengan-excel-macro/

  14. lalu kenapa orang-orang atheis di China dan Jepang kaya-kaya ya pak. padahal mereka ngga punya agama, ngga percaya surga, neraka, apalagi Tuhan mereka ngga percaya sama sekali.

    tapi kok china bisa makmur.

    vietnam yg ateis juga semakin hari semakin melesat maju.

  15. Pertama-tama saya harus menyampaikan apresiasi kepada Pak Yodhia karena telah membahas topik ini.

    Meskipun saya gak terlalu religius, namun saya percaya bahwa ada kaitan yang erat antara agama dan kemakmuran sebuah peradaban bangsa, hal ini senada dengan paham yang dianut.

    Sederhana, jika terlalu sering ribut soal agama, maka kapan waktunya masyarakat memikirkan taraf hidup yang layak? belum lagi jika ada tindkan intoleransi yang sering mengemuka….

    Untuk ukuran indonesia yang umat beragama sangat beragam, tentu tidak bisa kita pandang sebelah mata, secara peradaban Indonesia memang jauh tertinggal dari negara yang disebtukan diatas….

    Satu hal yang pasti, semua tergantung usaha, doa dan ketekunan dalam meraih kemakmuran, kombinasi yang baik dari ketiganya akan menghasilkan sesuatu yang fenomenal….

    itu hanya pendapat saya pribadi ya….mungkin salah satunya pemicunya fadalah produktivitas seperti yang saya ulas dalam blog saya tadi pagi:

    https://www.danzierg.com/2017/01/5-trik-jitu-berikut-menjadikan-anda-lebih-fokus-dan-produktif.html

  16. Artikel yg sangat inspiratif. Sangat setuju dengan isinya.

    Tulisan spt ini perlu diperbanyak agar memperluas wawasan kita.

    Mantap mas.

  17. Hebat kiprah Muhammadiyah Pekajangan desa anda ini mas.

    Harus diperbanyak prestasi umat spt muhammadiyah desa anda ini.

    Jika makin banyak desa bisa spt itu, Insya Allah Islam di negri kita akan makin maju dan rahmatan lil alamin. Amin.

Comments are closed.