4 Start Up Unicorn Indonesia dan Pelajaran Gila tentang Valuasi Digital Business

Unicorn Start Up adalah sebutan bagi barisan start up yang telah memiliki valuasi diatas USD 1M – atau setara dengan Rp 13.5 triliun, sebuah angka valuasi yang cukup masif.

Di Indonesia sendiri sudah ada 4 start up yang masuk kategor UNICORN yakni Tokopedia, Gojek, Traveloka dan terakhir Bukalapak.

Pelajaran apa yang bisa kita petik dari proses penciptaan Unicorn, dan apa implikasinya bagi valuasi bisnis digital masa depan?

Mari coba kita ulik jawabannya di pagi ini, sembari ditemani secangkir cappucino.

Unicorn sendiri memang lebih mengacu pada valuasi start up yang bergerak di ranah digital (internet medium).

Padahal sebenarnya start up juga bisa diberikan pada perusahaan baru yang bergerak di bidang off-line seperti bisnis restoran, bisnis peternakan sapi, bisnis produksi makanan kecil, atau bisnis lainya. Namun memang selama ini sebutan start up sudah telanjur identik dunia digital business.

Seperti yang disebut diatas, jumlah unicorn di Indonesia baru ada 4.

Jumlah uncorn tertinggi ada di Amerika, yakni berjumlah 256; kemudian disusul China (58 companies); India dan Inggris (11 companies).

Jerman dan Jepang hanya punya 6; dan kemudian masing-masing Perancis punya 1, dan Italia punya 1.

Artinya dibanding Perancis dan Italia, Indonesia punya lebih banyak Unicorn – 4 dibanding 1. Perancis dan Italia boleh bangga punya PSG dan Juventus. Namun Indonesia bisa bangga karena punya Tokopedia dan Gojek 🙂 🙂

Mungkin itu juga semacam tanda bahwa anak muda Jakarta tak kalah kreatif dengan anak muda Paris dan Milan.

Sebagai estimasi berikut nilai valuasi 4 unicorn start up Indonesia :

1. Tokopedia – valuasi Rp 50 triliun
2. Gojek – valuasi Rp 40 triliun
3. Traveloka – valuasi Rp 26 triliun
4. Bukapalak – valuasi sekitar Rp 15 triliun

Angka-angka valuasi diatas adalah angka yang sangat masif, untuk sebuah company yang baru berusia seumur jagung.

Pertanyaannya : bagaimana cara valuasi sebuah start up hingga punya nilai triliunan, padahal kebanyakan masih merugi hingga miliaran per bulan?

Sebagai misal : Gojek menghabiskan dana hingga Rp 150 MILYAR per bulan untuk subsidi tarif ke konsumen dan bonus kepada drivernya.

Atau dengan kata lain mereka membakar dana Rp 1.8 trilun per tahun demi jutaan pelanggannya (!)

Sebuah angka subsidi yang amat mencengangkan.

Lalu bagaimana bisa valuasi Gojek malah tembus Rp 40 triliun, padahal mereka rugi minimal Rp 1.8 trilun per tahun?

Lalu, bagaimana pula valuasi Tokopedia bisa tembus Rp 50 triliun, padahal mereka juga masih rugi ratusan miliar per tahun?

Bagaimana angka valuasi yang rada ajaib ini bisa muncul?

Salah satu patokan untuk mengukur valuasi adalah dengan membandingkan profit dengan valuasi (atau profit to valuation ratio).

Mari coba kita bandingkan dengan 2 start up paling sukses di dunia, yakni Facebook dan Alibaba.

Valuasi Facebook saat ini adalah Rp 6700 triliun – sebuah angka yang impresif. Tahun 2017 ini mereka diprediksi akan punya net profit sekitar Rp 200 triliun. Atau rasio valuasinya adalah 33x profit setahun (Rp 6700 triliun / 200 triliun = 33).

Valuasi Alibaba saat ini adalah Rp 6 ribu triliun, dan mereka tahun ini punya net profit Rp 80 triliun. Jadi rasio valuasinya adalah 75x profit setahun (Rp 6 ribu triliun / 80 triliun = 75).

Dua legenda ini, yakni Facebook dan Alibaba adalah acuan sukses bagi sebuah start up. Rasio valuasi mereka masing-masing adalah 33x dan 75x profit tahunan mereka.

Kalau coba diambil titik tengahnya, maka rasio valuasi yang layak dijadikan acuan adalah sekitar 50 x profit setahun.

Dengan acuan angka 50x profit setahun, maka jika valuasi Tokopedia adalah Rp 50 triliun, harusnya mereka kelak bisa dapat net profit Rp 1 triliun per tahun.

Apakah angka profit Rp 1 triliun per tahun kelak akan bisa diraih Tokopedia? Rasanya kok bisa ya.

Harap tahu, mereka saat ini sudah punya 2 juta merchant (pedagang online). Artinya untuk mendapatkkan net profit Rp 1 triliun, mereka hanya perlu generate net profit Rp 500 ribu per merchant.

Meraih net profit Rp 500 ribu/tahun (atau Rp 41 ribu/bulan) per merchant adalah sebuah langkah yang kemungkinan bisa diraih oleh Tokopedia. Dengan catatan, mereka bisa menghentikan langkah Shopee yang sangat agresif melakukan serangan.

Bagaimana dengan Gojek? Valuasi mereka saat ini Rp 40 triliun. Dengan rasio 50 kali profit, maka harusnya mereka kelak bisa punya profit Rp 800 milyar per tahun (40 triliun dibagi 50 kali).

Apakah kelak Gojek akan sanggup raih profit Rp 800 milyar per tahun; sementara saat ini malah masih rugi triliunan? Secara matematis, tampaknya masih ada dalam jangkauan.

Hitungannya sederhana : saat ini driver Gojek ada 300 ribu. Untuk raih profit Rp 800 milyar, mereka hanya perlu generate net profit Rp 2,6 juta/tahun per driver. Atau net profit sebesar Rp 216 ribu/driver/bulan.

Sebuah angka yang tampaknya bisa diraih meski tidak mudah, gara-gara serbuan masif dari pasukan Grab.

Saya rasa masa depan Gojek ada pada Gopay dan Gofood.

Saya membayangkan suatu hari nanti Gopay akan menjadi BANK DIGITAL TERBESAR di Indonesia, dengan ratusan ribu “virtual teller” yang merangkap sebagai drivers.

Bank-bank raksasa seperti BCA, BRI dan Mandiri sangat layak cemas dengan kehadiran Gopay.

Disruptive innovation Gopay bisa mengubah secara dramatis lansekap dunia perbankan Indonesia masa depan.

Sementara Tokopedia harusnya bisa pelan-pelan mendapatkan profit; meski kehadiran Shopee dengan free ongkirnya membuat perjalanan masa depan Tokopedia menjadi makin terjal dan melelahkan.

Dengan uraian diatas, maka valuasi start up Unicorn Indonesia yang terkesan gila-gilaan, menjadi lebih masuk akal dan reasonable.

Tantangannya adalah tentu bagaimana mereka bisa pelan-pelan mendapatkan profit. Yang agak menantang memang kehadiran para pesaing dengan modal yang juga besar. Ini yang acap membuat pertarungan menjadi sangat brutal dan berdarah-darah.

Namun modal utama para start up diatas adalah mereka semua sudah punya basis pelanggan online dengan jumlah jutaan. Basis jutaan pelanggan digital ini yang harapannya bisa jadi amunisi untuk melakukan monetisasi atau proses profitisasi di masa depan.

Menarik untuk melihat bagaimana valuasi Tokopedia, Gojek, Traveloka dan Bukapalak kelak pada tahun 2025 nanti.

Sejarah yang akan menjadi saksi : apakah ada diantara mereka yang gugur ditengah jalan, atau tetap survive dan melesat dengan valuasi 10 kali lipat dari angka sekarang.

Roda waktu akan terus berjalan. Masa depan kadang penuh dengan ketidakpastian.

Maka saya selalu terkenang dengan kalimat indah ini : “Satu-satunya cara terbaik untuk memprediksi masa depan adalah dengan menciptakan masa depan itu sendiri”.

29 thoughts on “4 Start Up Unicorn Indonesia dan Pelajaran Gila tentang Valuasi Digital Business”

  1. “Cara terbaik untuk memprediksi masa depan, adalah MENCIPTAKAN MASA DEPAN itu sendiri”, benar sekali, masa depan bisa dirubah dengan melakukan sesuatu yang BENAR (bekerja giat penuh semangat dg cara yang cerdas serta wajib senantiasa berSUJUD penuh SYUKUR dan berDOA kepadaNYA)pada hari ini, besok, lusa dst.

  2. Cobtoh baik buat yang ingin membangun start up, semoga di 2025 bukan hanya 4 unicorn saja, namun bertambah dengan unicorn unicorn lainnya daei megeri kita tercinta

  3. Makin bnyk kompetitor yg mengerubuti jalan sukses para unicorn. Kdng sampe bingung milihnya.

    Tp utk navigasi n kelengkapan tko, Toped masih yg terbaik. Free ongkir s/d 40 rb hrsnya jgn dilimit nominal pembelian.

    Bravo Indonesia, potensi start up nya msih super potensial..

  4. Sistem valuasi seharusnya menggunakan porter analysis. Bagaimana bargaining power of customer di 4 unicorn ini. Apakah dgn mengambil profit. Customer akan goyah. Jika ternyata bargaining power yg rendah maka tentu saja valuasi sebesae itu tidaklah relevan

  5. Mencengangkan! perkembangan start up di Indonesia.

    sedikit koreksi Kang :
    “Sebagai misal : Gojek menghabiskan dana hingga Rp 150 per bulan untuk subsidi tarif ke konsumen dan bonus kepada drivernya.”

    *mungkin Rp. 150 juta maksudnya ya Kang

    Terima kasih

  6. Ilmu yang sangat baru untuk saya tentang bisnis.. terjawab sudah, mengapa tokopedia dan gojek rela rugi milyaran pertahun..ternyata semua pengorbanan mereka akan mampu terbayar di masa depan

  7. Yang menjadi target utama dari start up sepertinya bukan laba secara langsung, tapi pada pertumbuhan jumlah pelanggan. Data pelanggan yang mereka punya itulah justru profit yang sangat luar biasa, karena dengan mengetahui customer behaviour, mereka tahu pasti akan mengembangkan bisnis mereka saat ini menjadi seperti apa

  8. Traveloka justru tidak begitu dibahas. Padahal dibanding ketiga unicorn lain, masa depan traveloka jauh lebih cerah.

    Saya pernah survey ke 1000 orang, 43% orang memilih traveloka untuk memesan tiket pesawat. Di Indonesia pertahun ada 80-100 juta penumpang pesawat, kita ambil tengah2nya 90 juta. Itu berarti ada 38,7jt tiket pesawat yang dipesan via traveloka.

    Kita ambil asumsi rata2 harga tiket pesawat sekali jalan adalah Rp 500rb. Pihak OTA dapat keuntungan 5%, berarti rata2 keuntungan adalah Rp 25rb per tiket. Kita kalikan 38,7jt x Rp 25rb = Rp 967.500.000.000 (Hampir Rp 1 triliun setahun)

    Itu belum termasuk keuntungan dari hotel dan tiket kereta api. Padahal margin hotel JAUH lebih besar daripada margin tiket pesawat. Lagi-lagi traveloka menjadi market leader di sektor ini. Kita ambil asumsi keuntungan dari hotel + kereta sama dengan tiket pesawat. Berarti total profit traveloka per tahun adalah Rp 2 trilliun.

    Dengan rumus yang sama, maka valuasi traveloka adalah Rp 2 trilliun x 50 = Rp 100 trilliun! Jauh lebih besar dibanding tokopedia dan go-jek!

    *Nb = data survey, jumlah penumpang dan margin tiket pesawat adalah valid berdasarkan riset saya. Sedang data lain berdasarkan asumsi.

  9. Mas yodhia,
    Saya rasa gojek tidak bergantung dengan gopay dan gofood saja. Gosend, gotix dan product inovativ yg akan bermunculan per periode juga sangat membantu. Goride nya hanya sebagai sarana promosi dan iklan seperti yg dilakukan google menggratiskan search engine nya

  10. Gimana biar valuasinya ga bubble kayak Dotcom sama Groupon?

    mengingat mereka pasti akhirnya akan listing di pasar saham?

  11. saya salah satu dari merchant di dua marketplace diatas. Sebulan saya bisa menghabiskan uang untuk promosi produk di bukalapak kurang lebih 500rb-1 Juta, sedang di Tokopedia antara 250-500rb.
    Untuk bisa memajang produk kita di halaman utama kedua marketplace itu paling tidak membutuhkan dana minimal senilai itu, mungkin lebih. Wajar nanti beberapa tahun lagi profit mereka bisa meroket

  12. Semakin seru menyaksikan persaingan tokopedia, bukalapak dan shopee.., seperti melihat persaingan minuman teh dalam kemasan saat ini.., teh botol vs teh pucuk..

  13. Denger-denger paytrend juga mulai masuk kategori unicorn, valuasinya mulai menembus angka 13 trilyun rupiah. Menarik juga untuk melihat valuasi perusahaan seperti jaknote/jackmal ya, mengingat pembelinya lumayan banyak dan loyal

Comments are closed.