Setelah Rupiah Menyentuh Rp 15.000 Lalu Harus Bagaimana?

Minggu lalu, rupiah sempat kolaps dan menyentuh angka Rp 15.000 terhadap US Dollar – sebuah angka kejatuhan paling muram dalam 10 tahun terakhir.

What went wrong? Dan pertanyaan yang lebih krusial : lalu harus bagaimana?

Apa solusi yang layak dilakukan demi masa depan yang lebih baik, bukan saja masa depan negeri, namun juga masa depan nasib dirimu sendiri?

Mari kita ulas dalam sajian renyah pagi ini.

Penyebab utama kejatuhan mata uang Indonesia dan juga banyak negara emerging market lainnya (sepeti Argentina, Brazil, Turki, dan India) adalah ini : tren naiknya suku bunga acuan yang ditetapkan Bank Sentral Amerika (atau acap disebut sebagai Fed Fund Rate).

Di era yang serba connected seperti hari ini, Fed Fund Rate ternyata punya implikasi yang amat masif terutama bagi laju ekonomi bisnis emerging markets di seluruh dunia.

Semenjak krisis finansial 2008, Fed Fund Rate nyaris berada pada angka 0%. Inilah yang lalu memunculkan easy money. Uang para investor global lari ke negara emerging seperti Indonesia, demi mencari return yang lebih tinggi.

Indonesia jadi merasa agak lucky. Defisit neraca pembayarannya (dollar dari hasil ekspor lebih sedikit daripada dollar untuk import barang) diam-diam bisa selalu ditutup dengan injeksi dollar investor global yang membeli sejumlah instrumen keuangan Indonesia (seperti obligasi dan saham).

Namun Fed Fund Rate mulai bergerak naik sejak 2017. Kenapa pelan-pelan naik? Karena mulai ada ancaman inflasi disana. Untuk meredam potensi inflasi, maka Fed Fund rate pelan-pelan naik hingga 2018 ini.

Saat Fed Fund Rate naik, maka investor global yang tadinya menanamkan uangnya di pasar keuangan Indonesia pada mudik balik kampung. Kenapa? Sebab suku bunga US dollar mulai menarik lagi.

Sayonara Rupiah.

Akibatnya rupiah jadi termehek-mehek; dan hatinya galau karena habis manis sepah dibuang.

Rupiah makin mbledos sebab ada juga ancaman Perang Dagang US – China. Potensi perang dagang ini pasti akan membuat laju ekspor Indonesia jadi tersendat, dan ini juga menekan nilai rupiah.

Selain faktor eksternal seperti kenaikan Fed Fund Rate dan Perang Dagang, rupiah makin ndlosor karena sebab internal yang fundamental : kita defisit neraca perdagangan. Artinya, nilai impor LEBIH GEDE daripada nilai ekspor.

Penyumbang terbesar impor tinggi karena kita impor BBM. Sekedar info, sudah lama kita jadi net importer minyak.

Ratusan ribu mobil pribadi – yang sebagian tanpa malu menggunakan BBM bersubsidi itu — yang bikin kita harus impor BBM dalam jumlah yang makin masif dari tahun ke tahun.

Pada sisi lain, kita defisit neraca perdagangan karena nilai ekspor kita kurang cetar membahana.

Jadi harus bagaimana?

Apakah Rupiah butuh viagra untuk menemukan kembali vitalitasnya yang menggairahkan? Kalau ya, jenis viagra yang seperti apa?

Sejatinya, kunci penguatan rupiah itu akan terjadi saat kita mengalami suprplus perdagangan dunia. Atau saat kita lebih banyak mendapatkan pemasukan devisa dollar dari kegiatan ekspor dan juga perdagangan jasa.

Dan dari potensi yang ada, ada empat kuartet yang bisa menjadi pil viagra agar Rupiah rupiah kembali berjaya di masa depan. Kuartet ini adalah :

1. Sektor Pariwisata
2. Ekspor Perikanan dan produk turunannya
3. Ekspor Kelapa Sawit dan produk turunannnya
4. Ekspor Karet dan produk turunannya

Potensi pariwisata Indonesia sejatinya amat masif. Begitu banyak kekayaan alam yang dimiliki ibu pertiwi. Namun jumlah wisman ke Indonesia tahun lalu hanya 14 juta, kalah jauh dibanding yang ke Thailand sebanyak 35 juta. Tak ada separonya.

Kalau saja PNS Birokrat di Kemenpar kreatif, harusnya jumlah kunjungan bisa naik 3 kali lipatnya. Tapi berapa banyak PNS Birokrat yang kreatif?

Lalu sektor Perikanan. Tak ada negara di dunia ini yang lautannya seluas lautan Indonesia.

But you know what? Kinerja jumlah eskpor perikanan kita malah TURUN antara tahun 2013 – 2017 (dari 1.2 juta ton menjadi 1 juta ton). Wadoh.

Dengan potensinya yang begitu luar biasa, harusnya nilai ekspor perikanan saat ini bisa 5 hingga 10 kali lipat lebih tinggi.

Untuk kelapa sawit, Indonesia dalah produsen no. 1 dunia. Untuk karet, no 2 dunia.

Namun sayangnya mayoritas ekspor masih dalam bentuk setengah mentah; bukan barang jadi dan turunannya. Nilai tambah (value added) jadi rendah; dan akhirnya devisa dollar yang mengalir masuk juga tidak begitu masif.

Empat kuartet PPKK inilah – yakni Pariwisata, Perikanan, Kelapa Sawit dan Karet; yang akan jadi penentu masa depan rupiah.

Kalau saja nilai devisa dollar dari 4 sektor ini bisa naik 10 kali, maka rupiah dengan mudah akan kembali ke angka Rp 10.000 atau bahkan Rp 7.500.

Dalam ilmu manajemen modern, dikenal istilah Pareto Principle. Fokus pada yang utama akan membuat berjaya. Kehilangan fokus hanya akan membuat Anda tak mendapatkan apa-apa.

Energi dan pikiran para pengelola ekonomi negeri ini seharusnya lebih difokuskan pada 4 Kuartet Utama Penghasil Devisa ini.

Oke, paparan diatas adalah tentang masa depan ekonomi bangsa.

Lalu, bagaimana dengan masa depan ekonomi dirimu sendiri?

Ringkas saja.

Di tahun 2013, rupiah hanya Rp 10,000 terhadap dollar. Kalau sekarang sudah tembus Rp 15.000; artinya turun hingga 50% nilainya.

Dengan kata lain, daya beli penghasilan kamu jika dihitung dalam dollar, sudah turun 50%. Alamak. Wagesalah.

Dollar yang naik pada akhirnya akan menyebabkan imported inflation. Harga barang lokal seperti gadget, sepeda motor, hingga masakan nasi padang pelan-pelan akan naik juga.

Dus, daya beli Anda secara real memang pelan-pelan akan tergerus juga jika rupiah terus mbelgedhes perilakunya.

Karena itu, agar daya belimu tetap kuat, maka penghasilanmu harusnya juga naik minimal 50% dalam kurun 5 tahun (agar imbang dengan penurunan nilai rupiah yang 50% selama periode yang sama).

Minimal penghasilanmu naik 50% agar break even dengan penurunan rupiah yang juga 50%.

Akan jauh lebih bagus jika income Anda bisa naik 100% dalam periode 5 tahunan.

Kenapa harus naik 100%? Biar nggak worry dengan penurunan rupiah yang pelan-pelan pasti akan memunculkan imported inflation (kenaikan harga barang dan biaya hidup karena menguatnya dollar).

Pertanyaannya sekarang adalah : Apakah Anda sanggup menaikkan penghasilan 100% tiap 5 tahun?

Jujur, saya tak tahu jawabannya.

Selamat bekerja, teman. Selamat berjuang meraih rezeki yang barokah.