Ya, berapa rata-rata penghasilan Anda per jam?
Menghitung penghasilan dalam satuan jam, akan membuat Anda lebih tajam melihat seberapa mahal “harga diri Anda”.
Seberapa tinggi harga produktivitas dan value yang bisa Anda hasilkan per jamnya?
Time is money, begitu pepatah lama pernah berujar. Waktu adalah uang. Dan cara terbaik untuk membuktikan kebenaran pepatah itu adalah dengan menghitung penghasilan uang yang bisa Anda raih dalam satuan jam.
Atau berapa rata-rata penghasilan Anda per jam-nya? Rp 10 ribu, 20 ribu atau sudah di atas Rp 100 ribu per jam?
Cara mengukurnya adalah dengan membagi penghasilan Anda dalam sebulan, dengan jumlah jam kerja dalam sebulan.
Standar jam kerja harian di Indonesia adalah 8 jam kerja.
Jika dikalikan rata-rata jumlah hari sekitar 22 hari dalam sebulan, maka hasilnya adalah : 176 jam kerja dalam sebulan.
Jadi dalam sebulan, rata-rata jam kerja Anda adalah : 176 jam.
Maka jika upah Anda dalam sebulan adalah Rp 5 juta misalnya, maka penghasilan Anda per jam adalah sekitar Rp 28.000 saja (Rp 5 juta dibagi 176 jam).
Sementara jika penghasilan sebulan Anda adalah Rp 10 juta, maka upah Anda adalah Rp 56.000/jam. Not bad.
Berapa idealnya penghasilan per jam?
Dalam era Industri 4.0 ini, selayaknya penghasilan Anda bisa di atas Rp 100 ribu/jam.
(Angka Rp 100 ribu per jam ini berdasar hasil perhitungan biaya hidup keluarga dengan dua anak, dan tinggal di kota besar. Perhitungannya pernah saya tulis dalam artikel disini).
Lepas dari upah per jam yang Anda hasilkan saat ini, ada tiga pelajaran yang bisa kita petik dari proses menghitung penghasilan dalam satuan jam ini. Mari kita ulik satu demi satu dengan tuntas.
Pelajaran #1 : Kita Menjadi Lebih Paham Value Diri Kita
Menghitung penghasilan dalam satuan jam, membuat kita menjadi lebih tajam dalam memahami berapa value atau harga produktivitas diri kita. Ibaratnya kita bisa zoom in, nilai output yang kita hasilkan dalam setiap jamnya.
Saat kita tahu bahwa upah per jam yang kita terima misal hanya Rp 50 ribu per jam; atau bahkan hanya Rp 30 ribu per jam – mendadak kita disadarkan, rasanya kok agak murah juga ya harga skills kita ini.
Coba bayangkan sejenak. Rp 50 ribu atau bahkan Rp 30 ribu – adalah jumlah uang yang relatif kecil.
Apakah job value kita memang hanya segitu harganya? Apakah upah per jam yang relatif rendah itu bukan bentuk eksploitasi terselubung? Lalu adakah cara lain yang bisa saya lakukan untuk melipatgandakan upah per jam yang saya hasilkan?
Pertanyaan-pertanyaan eksploratif semacam itu, menjadi muncul saat kita sadar betapa upah per jam kita masih terasa cukup kecil; dan sejatinya punya ruang lebar untuk dilipatgandakan.
Pelajaran #2 : Mengejar Pekerjaan dengan Upah Mahal Per jam
Menghitung penghasilan dalam satuan jam, dan bukan dalam satuan bulanan seperti yang lazim dlakukan, akan membuat kita sadar akan dua hal penting.
Yang pertama, sejatinya ada sejumlah pekerjaan yang menawarkan upah per jam sangat mahal, atau lebih tinggi hingga ratusan kali dibanding pekerjaan permanen bulanan.
Hal kedua, dengan menemukan jenis pekerjaan dengan upah mahal per jam-nya, maka konsep kerja penuh waktu selama sebulan full menjadi tidak relevan. Sebab hanya dengan kerja beberapa jam saja dalam sebulan, maka kebutuhan biaya hidup sudah terpenuhi.
Misal ada seorang trainer bisnis yang upahnya adalah Rp 3 juta/jam. Atau ada konsultan manajemen yang bayarannya Rp 1 juta/jam. Atau ada internet marketer yang dalam sehari kerjanya hanya tiga jam, namun bisa hasilkan income Rp 3 juta/hari (sehingga per jam dapat Rp 1 juta).
Dengan level upah per jam yang sangat tinggi seperti kasus di atas, maka orang-orang tersebut tidak perlu kerja penuh selama sebulan, dan setiap hari kena macet.
Misal, trainer bisnis tadi mungkin hanya cukup kerja 20 jam saja dalam sebulan. Atau internet marketer tadi hanya perlu kerja 50 jam saja per bulan.
Semua jam kerja di atas jauh dibawah standar 176 jam, namun hasil berkali-kali lipat.
Poinnya adalah : mengukur penghasilan dalam satuan jam akan membuat kita tidak terpaku pada konsep kerja harus sebulan full.
Mengukur pekerjaan dengan upah per jam, akan membuat jam kerja kita menjadi jauh lebih fleksibel. Kita tidak mesti terpaku pada model setiap hari kerja mulai jam 8 pagi sampai jam 5 sore, kadang ditambah lembur tanpa upah tambahan.
Dengan satuan jam sebagai ukuran, maka kita bebas kerja kapan saja, sesuai keinginan, sebab kita sudah tahu berapa upah kita per jamnya. Kalau misal hanya dengan kerja 10 jam saja, kita sudah dapat imbalan memadai, ya cukup kerja 10 jam saja.
Pendeknya, konsep mengukur penghasilan dalam satuan jam, akan membuat kita lebih kreatif dalam menemukan pekerjaan atau profesi.
Wawasan kita dibuka untuk bisa menemukan pekerjaan yang upah per jam-nya sangat mahal; sehingga kita tidak perlu bekerja satu bulan full untuk membiayai kebutuhan hidup.
Konsep menghitung penghasilan dalam satuan jam inilah yang sejatinya juga mendorong pertumbuhan profesi freelancers. Kini profesi freelancer ini booming di berbagai negara di dunia. Istilahnya adalah “gig economy explosion”.
Gig economy maknanya adalah Anda tidak dibayar bulanan secara permanen hingga puluhan tahun lamanya. Freelancer dalam gig economy dibayar dalam satuan jam, sesuai kebutuhan. Tidak perlu di-hire sebagai pegawai tetap selamanya.
Contoh trainer bisnis, konsultan manajemen, atau internet marketer yang disebut di depan, sebenarnya mereka juga adalah figur freelancer juga. Dalam profesi yang berbeda-beda.
Tentu saja, pilihan profesinya bisa beda-beda. Namun yang paling utama : bayarannya untuk kerja 5 jam bisa lebih tinggi daripada penghasilan sebulan full yang Anda dapatkan.
Pelajaran #3 : Menjadi Makin Paham apa Arti Waktu adalah Uang
Time is money. Pepatah ini akan menjadi makin bermakna jika kita menghitung upah kita dalam satuan jam. Jadi ukurannya lebih presisi dan lebih tajam.
Orang-orang yang sadar bahwa upah dirinya adalah Rp 1 juta/jam tentu akan memperlakukan waktu dengan cara yang amat berbeda dengan orang yang upahnya hanya Rp 30 ribu/jam.
Orang yang upahnya Rp 1 juta/jam akan merasa benar-benar kehilangan waktu yang amat mahal jika misalnya dia hanya menghabiskan waktu tanpa faedah (misal hanya main hape dengan aneka konten yang tidak jelas).
Orang dengan upah Rp 1 juta/jam (dan bukan sekadar Rp 30 ribu/jam) akan merasa kehilangan Rp 3 juta jika dia membuang waktu tanpa manfaat selama 3 jam. Sementara yang upahnya Rp 30 ribu/jam hanya akan kehilangan Rp 90 ribu. Betapa jauh selisih kehilangannya.
Konsep “waktu adalah uang” dengan kata lain akan menjadi makin kentara jika kita mengukur penghasilan kita dalam satuan jam (dan bukan satuan bulanan).
Demikianlah tiga pelajaran kunci yang layak kita petik dari ulasan tentang rata-rata penghasilan Anda dalam satu jam-nya.
Semoga penghasilan Anda per jam-nya bisa terus meningkat secara dramatis, seiring dengan peningkatan skills dan kompetensi Anda.
Apakah dalam mematok “harga diri/jasa” kita, bisa berdasarkan lulusan pendidikan kita pak ?
Soalnya saya benar, gaji/bulan dr perusahaan industri tempat saya bekerja memang kisaran 5jt/bulan, tapi utk segi biaya hidup, itu sudah berlebih-lebih sih pak, dalam artian jika dipergunakan utk makan dan kebutuhan pokok lainnya.
Penerapan pepatah time is money yg inspiratif..
WOW inspiratif banget dan renyah bergizi untuk dinikmati.
Dalam konsep Manajemen Keuangan ada topik menarik tentang Time Value Of Money.
Barangkali bisa berkolaborasi dengan time is money 🙂
ya… berapa pun besar pendapatan yang kita inginkan, pastinya perlu upaya dan doa.
Kecuali Anda “fokus nganggur” dan berharap dapat tunjangan lewat selembar kartu 🙂
Artikel senin pagi yang membuat good day, trims kak Yodhia
Untuk bisa menggapai penghasilan 100 ribu per jam dibutuhkan skill yang mumpuni. Baik hard skill (keahlian teknis seperti internet marketing, programming) ataupun soft skill (keahlian negosiasi dll).
Bismillaah. semoga bisa mencapai penghasila Rp 100,000 per jamnya
Intinya bagaimana kita meningkatkan value kita, sehingga memiliki “harga” yang tinggi di pasaran.
Dan benar, ada beberapa jenis pekerjaan yang mampu memberikan pendapatan jauh lebih tinggi dibanding yang lain, contohnya sudah disebutkan diatas.
Thanks …
Mas Yodh, jumlah jam kerja per bulan adalah 173, sesuai UU dan Permen tentang Upah Kerja Lembur.
Pertanyaan saya, yg dihitung apakah yg dihitung Gaji Gross atau Nett? Karena itu bisa sangat berbeda hasilnya. Hehe..
Kalau saya hitung hasil saya sekarang masih dibawah 100 ribu, tetapi saya selalu bersyukur karena itu sudah dapat mencukup kebutuhan keluarga kecil saya.
Banyak pelajaran yang bisa saya catat dari artikel yang saya baca sampai habis: sejatinya mengukur produktivitas ini penting untuk karyawan ataupun pekerja profesi seperti freelancer yang disebutkan di depan.
Dengan mengetahui kisaran harga atau bayaran per jam, maka kita jadi lebih menghargai waktu dan menggunakannya untuj tujuan produktif….
Ini mungkin bisa digunakan untuk memotivasi bawahan juga bagi para leader atau pemilik usaha.
Sejujurnya saya merasa sangat tergugah dengan artikel ini….terima kasih atas pencerahannya pak Yodhia…mudah2an income saya per jam selalu naik setiap tahunnya….
GasPoll
Menarik, apalagi kalau bisa dihitung berdasarkan cashflow quadrant yang saat ini sedang dijalankan.
Misalnya penghasilan per jam dari employe vs freelance,
business owner vs investor.
Hasilnya lebih menarik, bagaimana menurut bapak?
Terimakasih artikel bacaannya mas yodhia. Tapi sepertinya apa ndak terlalu naif tiap waktu kita hanya lihat nilainya dari segi uang. Padahal selain hitungan uang, sangat banyak hal dalam hidup yang sangat penting