Kenapa Projek Meikarta Terancam Gagal Total?

Salah satu pembeli apartemen Meikarta hanya bisa menatap sedih bangunan unitnya yg masih mangkrak. Salah satu pembeli ini adalah bapak pria dengan usia 45-an tahun.

Dulu ia membeli apartemen di Meikarta seharga Rp 300 jutaan dengan harapan bisa disewakan dan mejadi passive income. Namun kini harapan itu kandas dalam buih fatamorgana yg perih.

Sialnya, bapak yg malang itu tiap bulan tetap harus bayar cicilan apartemen yg dibelinya, padahal unitnya tak kunjung dibangun. Alasannya bank-nya (yakni Bank Nobu) jika dia berhenti nyicil, maka Bank Indonesia memblacklist dirinya. Malang nian nasib bapak yg satu ini.

Kenapa Projek raksasa Rp 200 triliun ini terancam gagal total?

Projek Meikarta ini dirilis pertama kali tahun 2017 dengan iklan yg gila2an. Anggaran iklan Meikarta saat itu tembus Rp 1,5 triliun. Iklannya futuristik, dan hampir tiap hari muncul di televisi. Brosurnya amat megah dan menarik. Harga per unit juga relatif murah.

Tak heran ribuan orang tertarik membelinya.

Projek Meikarta sendiri merupakan projek super ambius dari Lippo Group. Rencana akan ada 100 gedung bertingkat (kantor, hotel dan apartemen). 100 gedung !! Total anggaran Rp 270 TRILIUN.

Nama Meikarta diambil dari gabungan nama Mei, nama ibu James Riady CEO Lippo dan Jakarta. Jadilah Meikarta. James ingin mengenang nama ibunya sebagai projek masterpiece Lippo.

Namun impian membangun 100 gedung pencakar langit itu kini mungkin tinggal impian. Puluhan unit apartemen yang mau dibangun masih hanya berbentuk tanah kosong dan belantara rongsokan.

Yang kelam : banyak pembeli yang sudah bayar DP dan bayar cicilan tiap bulan, tetap tak dapat unit yang dijanjikan. Padahal mereka beli sejak tahun 2018. Sudah 5 tahun, namun unit apartemen tetap masih hanya fantasi.

Kenapa projek Meikarta terancam gagal total?

Faktor pertama : Over-confidence bias.

Banyak sekali pengusaha properti yang terlalu optimis dan percaya diri berlebihan akan prospek projeknya. Petinggi Lippo kemungkinan besar terjebak cognitive bias semacam ini.

(Sekarang banyak apartemen jadi gedung hantu karena pengembangnya terjebak over-confidence bias).

Membangun 100 gedung bertingkat dalam sebuah wilayah yang permintaan pasarnya jauh di bawah angka itu, jelas sebuah supply-demand gap yang terlalu epik. Proyeksi penjualan jauh di atas potensi pasar yg ada.

Sebab kedua : karena terlalu ambisius (100 gedung!!), maka perijinannya pasti rumit. Sayangnya, ijin ini tidak dikelola dengan baik dan akhirnya bikin masalah hukum. Problem legal ini yg juga membuat projek Meikarta jadi terhambat secara signifikan.

Kalau saja projek Meikarta dibangun dengan skala yang lebih realistik, mungkin masalah perijianan juga menjadi lebih mudah dikendalikan. Ijin bangun 2 gedung tentu jauh lebih mudah drpd ijin bangun 100 gedung raksasa.

Sebab ketiga : pandemi yg terjadi sejak 2020, jelas amat berdampak buruk bagi penjualan unit-unit mereka. Padahal rencananya, 2020 – 2021 adalah tahun booming penjualan unit mereka.

Karena penjualan anjlok, otomatis dana untuk membangun gedung jadi kosong. Dana buat bangun projek kosong, dan pelanggan yg sudah bayar jadi korbannya.

Tiga faktor di atas (utamanya faktor pertama) yg membuat Projek Meikarta terancam gagal total.

Siang makin terik, dan bapak pembeli yg malang itu hanya bisa menatap tanah rencana bangunan apartemennya yg masih kosong. Belum ada apa-apa, selain onggokan tanaman liar. Tatapanya kosong dalam duka yg teramat pedih……